Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Nusa Tenggara Timur Pulau Rote
Saledale
- 12 April 2018

Konon, di Desa Metilopu, Pulau Rote, hiduplah keluarga petani bernama Tukateik bersama dengan seorang isteri yang tercinta, Bingalete namanya. Keduanya dikaruniai tiga orang yang yang ganteng-ganteng. Si sulung bernama Lelu Welang, lalu diikuti oleh Pelang Galing dan Tipa Soli.

Pekerjaan keluarga ini sehari-hari bercocok tanam. Meski begitu, keluhan hidup yang dihadapi tidak pernah terdengar dalam setiap pembicaraan dengan tetangganya. Mereka tidak pernah menyesali hidup sebagai petani kecil. Sang suami pandai menciptakan kondisi yang kondusif. Tak heranlah bila saban hari mereka menghadirkan canda ria, ditambah lagi sang isteri yang senantiasa pasang senyum di tengah anak-anaknya yang rada-rada nakal.

Sayang kehidupan yang harmonis itu harus segera berakhir tatkala sang istri tercinta meninggal. Sang ayah bingung. Siapa yang bakal menjadi pengganti istrinya dalam mendidik anak-anak yang masih kecil itu? Setelah lama hidup menduda, sang pengganti pun ditemukandi desa seberang. Kekasih baru itu bernama Saledale. Orangnya cantik. Sayangnya kecantikan raganya tidak seimbang dengan hatinya. Bagaimana tidak! Di depan sang suami ia bertingkah seperti menyayangianak tirinya.Apabila sang suami pergi kerja, ia tak memperhatikan anak-anak itu. Kalau sang suami pulangdan bertanya tentang anak-anaknya, Saledale lalu menjawab, baik-baik, sudah diberi makan, dan kebutuhan lainnya sudah dipenuhi semuanya.

Sebagai seorang ayah yang baik, tentu tidak begitu sajamenerimapengakuan Saledale. Karena itu, ketika tengah malam tiba, Tukateik mendekati anak-anaknya. Satuper satu ia tanyakan tentang sikap ibu tiri mereka. " Apakah kamu makan pada siang hari? " Sang Ayah berusaha menggali unek-unek yang terpendam dalam hati anak-anaknya.."Tidak pernah Ayah", jawab si sulung dan didukung oleh adik-adiknya. "Lalu sisa -sisanasi yang belepotan di pipi kamu saat aku pulang, itu apa? " Desak Sang Ayah sembari menahan emosinya." Oh itu, itu benar Ayah, Tapi itu hanya akal-akalan ibu Saledale saja. Dia mengambil sisa-sisa nasilalu menggosok-gosokkannya pada mulut dan pipikami,sehingga tampak seperti baru habis makan", sahut anak-anaknya dengan suara yangdibuat rendah. Maklum ibu tiri mereka sedang tidur pulas di kamar sebelah. Mendengar jawaban anaknya,Sang Ayah dongkol juga hatinya. Meskipun demikian,Sang Ayah tidak mengekspresikankemarahannya di depan anak-anaknya. Sambil merangkul, ia mengajak anak-anaknya untuk tabah dalam menghadapi tantangan hidup.

Keesokan harinya, Tukateikmemberitahukan Saledale bahwa dia akan pergi jauh dari Metilopu. "Berapa lama?" Tanya Saledale cukup lembut. "Sehari penuh", jawab Tukateik sambil memohon agar menjaga baik-baik anak-anak. Lalu ia pergi. Sang istri tidak tahu, kalau ini hanya merupakan siasat belaka sang suami. Begitu Saledale bertandang ke rumah tetangga, Tukateik kembali masuk rumah. Lalu bersembunyi di loteng rumah.

Apa yang diceritakan anak-anaknya ternyata benar adanya. Siang itu, ia menyaksikannya sendiri. Saledale tidak mengajak anak-anak itu untuk makan. Remuk redam hatinya. Seketika itu ia menangis. Air matanya membentuk mata air. Lalu mengalir dengan derasnya. Tumpahan air mata itu pun menembusi lantailoteng rumah. Sementara itu Saladale kaget karena wajahnya terkena air. Maklum ia sedang berbaringria di kamarnya. Namun begitu, ia mengira, air itu adalah air kencing tokek atau cecak sebangsanya.

Saledale langsung ke kamar mandi. Saat itu, Tukateik turun dari lonteng. Ia berpura-pura capai dari perjalanan yang melelahkan. Kemudian setelah Saledale melihat suaminya, ia pun segera menyiapkan makanan. Ia pun berpura tanya pada anak-anaknya. "Kamu sudah makan, `kan?" Sayangnya, anak-anak itusecara polos menjawab, tidak. Mendidihlah darahnya. Lalu ia memarahi ketiganya. Sementara sang suamiberpura-puradiam saja, Saledale menambahkan," Anak-anak ini bohong, Pak, tadi sudah makan kenyang sampai berak berkali-kali. Anak apa macam begini !", sewotnya.

Ketika malam turun sempurna, Tukateik perlahan menuju kamar istrinya. Ia tahu, pasti istrinya sedang dongkol terhadap anak-anaknya. Lalu ia duduk di sampingSaledale. "Bagaimana sebaiknya, anak-anak kita itu, Saledale?" Ia mencoba menggali pikiran sang istri. Tanpa menunggu jawaban Saledale, Tukateik pun menghibur, "Sungguh berat beban yang harus kamu pikul, terutama ketika aku pergi jauh". Sang istri hanya membungkam. Saat seperti itu, timbul niatnya untuk memarahi istrinya. Tapi ia juga berpikir, pilihan seperti itu bukan menyelesaikan persoalan." Sekarang begini saja, bagaimana kalau kita menghantar mereka ke hutan saja?" Sang suami memberi jalan keluar. Eh... Saledale langsung mengiyakan.

Malam itu, Tukateik tidak dapat tidur. Ia sedih. Ia menyesal jalan keluar yang diputuskannya. Sebenarnya ia mau berusaha membangunkan Saledale untuk mengubah keputusannya. Tetapi ia takut sama istrinya, nanti dibilang tidak punya pendirian. Lagi pula ia malu dengan tetangga, kalau ia menceraikan Saledale yang cantik itu. "Tidak tahu malu, duda mendapat jodoh yang masih perawan. Lalu diceraikan seenaknya", Tukateik mencoba memperkirakan tanggapan tetangganya.

Pagi yang sudah ditentukan pun tiba. Tukateik bergegas menghampiri anak-anaknya. Saledale pun tidak ketinggalan. Sementara itu, anak-anak itu kaget.

Bagaimana tidak ! Sepagi itu, ibu tiri mereka memberikan tiga buah ketupat.

"Bawa ini untuk makan di perjalanan", pesan Saledale kepada anak-anaknya. "Sejak hari ini kamu tinggalkan rumah. Kamu hidup di hutan", sambung sang Ayah berpura-pura marah karena di sampingnya, Saledale masih berdiri.

Tukateik dapat melihat apa yang tersirat di pelupuk mata anak-anaknya.

Karena itu, ia pun mengajak Saledale untuk menghantar ketiga anaknya itu ke hutan. Setelah jauh, Tukateik berkata,"Cukup sampai di sini saja kami hantar kalian.Tinggallah di sini!' Tetapi anak sulungnya, Lelu Welang, menjawab,"Kalau kami masih mendengar suara lesung maka kami akan merasa sedih". Lalu mereka berjalan lagi. Setelah merasa cukup jauh, Tukateik berkata lagi,"Cukup sampai di sini saja". Tetapi anak kedua, Pelang Galing menjawab,"Kalau kami masih mendengar suara anjing dan ayam berkokok maka kami merasa sedih'. Mereka kemudian berjalan lagi hingga tiba di suatu tempat bernama Ne'igun Fe'daen, mereka pun berpisah.

Sepeninggal Tukateik dan Saledale, mereka pun lapar. Kemudian mereka membuka bekal masing-masing. Tiba-tiba 'malakale ma leolesu' (=tangisan) mereka pun tak terbendung. Apa pasal ? Ternyata ketupat pemberian ibu tiri, Saledale, bukan berisi nasi. Ketupat pertama berisi 'abu ra'o' (=abu dapur), kedua, kotoran kucing, dan ketiga isinya kotoran babi.

Meski perut mereka terasa lapar, mereka terus berjalan mengitari hutan. Di ujung perjalanan, mereka bertemu dengan seorang tua yang lumpuh, berjenggot panjang, dan sebagian jenggotnya mengikat sebuah gong besar. Ketiganya, sama-sama heran. Mereka penasaran. "Bagaimana Bapak dapat hidup tenang, senang, dan nyaman di hutan ini, padahal Bapak sendiri menderita lumpuh ?" Mereka mencoba membongkar isi hati si Bapak Tua itu. "Gong yang terikat di jenggotku sangat mujarab. Apa saja yang saya minta pasti dipenuhi. Kalau saya lapar, tinggal memukul saja gong ini", si pemilik jenggot menyahuti pertanyaan. "Kami bertiga lapar, Bapak", si Tipa Soli memberitahu. Bapak Tua itu langsung memukul gong tersebut sebanyak dua kali. Maka di depan mereka terhidang nasi, daging, dan buah-buahan. Mereka pun melahap sampai kenyang.

Di senja itu mereka tidur lebih awal. Kepergian malam pun tidak dirasakannya. Ketika pagi itu mereka bangun, si Bapak Tua sudah menghilang. Mereka hanya mendapatkan gongnya. Dengan gong ajaib itu pulalah kebutuhan mereka pagi itu terpenuhi. Mereka berterima kasih kepada si Bapak Tua yang rela menolong mereka dari penderitaan yang berkepanjangan.

Perjalanan mereka diteruskan. Akhirnya mereka tiba di sebuah tempat yang bernama Kosikona Ma Heladulu. Di situlah mereka menetap. Mereka membangun sebuah istana megah. Mereka begitu bahagia. Semua kebutuhan, semuanya terpenuhi. Caranya, ya tinggal saja memukul gong sebanyak dua kali. Luar biasa !

Berita keberhasilan mereka sampai juga di telinga Tukateik dan Saledale, sang Ayah dan Ibu tiri yang mengasingkan mereka. Sebenarnya, mereka malu sekali atas tindakan yang buruk itu. Tetapi karena keduanya jatuh miskin, timbul juga niatnya untuk mendatangi anak-anaknya yang sukses itu. Kedatangan kedua orangtua itu disambut baik oleh anak-anaknya.

Ketika mereka mau pulang, anak-anaknya menahan mereka. Tetapi dengan alasan yang masuk di akal, akhirnya keduanya dilepaskan. Sebelum keduanya pulang, anak-anaknya memberikan seekor kerbau dan dua bakul padi sebagai bukti kasih sayang anak kepada orangtua. Mereka pun berpesan, kalau membutuhkan sesuatu, jangan ragu-ragu untuk datang lagi. "Anak-anak ini baik sekali",batin Saledale sembari merenungi lagi tindakannya sewaktu anak-anak itu ada di sampingnya. Tukateik mengetahui apa yang ada dalam pikiran Saledale. Karena itu, ia membisikkan kata,"Minta maaflah kepada mereka". Sayangnya, Saledale tidak punya keberanian untuk melakukannya.

Dalam perjalanan pulang, Tukateik yang memegang kerbau dan membawa padi sebakul. Sedangkan sebakul lainnya dipikul oleh Saledale. Ketika mereka tiba di jalan yang agak menurun, tepatnya di Desa Piluk , Tukateik meminta Saledale untuk menarik kerbau. Saledale menerimanya. Mereka pun berjalan lagi, karena awan mendung dan sebentar lagi hujan pasti turun dengan derasnya.

Tak seberapa lama, Tukateik kaget karena Saledale tiba-tiba berada di tanduk kerbau, sementara tanduk sebelahnya tergantung bakul padi. Untuk menolongnya, Tukateik tak sanggup. Sebab selain dia barusan membuang hajat (WC besar) juga jarak keduanya agak berjauhan. Apalagi, kerbau itu berlari kencang. Dalam pada itu, Saledale pun tidak sempat meminta tolong, karena kerbau tersebut langsung menanduk perutnya sehingga darah segar mencurat dengan cepat. Bakul padi akhirnya jatuh di sebuah tempat bernama Lapudale, sedangkan Saledale di suatu tempat yang bernama Kosi.

Tukateik memang tidak dapat berbuat apa-apa. Nyawa Saledale sudah melayang, padi-padi sudah berhamburan di Lapudale (=kini di musim hujan padi yang terbuang itu tumbuh dengan sendirinya tapi tidak bisa dimakan karena berwarna hitam), juga dia sendiri sudah tua bangka. Satu-satunya jalan, dia kembali menemui anak-anaknya di Kosikona Ma Heladulu dan hidup bersama dengan anak-anaknya yang sudah kaya raya itu.

Sumber: https://www.kompasiana.com/usmandg/saledale-ibu-tiri-yang-jahat-cerita-rakyat-pulau-rote-prov-ntt_552a5780f17e619078d62481

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Sambal Matah
Makanan Minuman Makanan Minuman
Bali

Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati

avatar
Reog Dev
Gambar Entri
Gereja Kristen Jawa Pakem Taman Lansia Ceria
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Bangunan GKJ Pakem merupakan bagian dari kompleks sanatorium Pakem, yang didirikan sebagai respon terhadap lonjakan kasus tuberculosis di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, saat obat dan vaksin untuk penyakit ini belum ditemukan. Sanatorium dibangun untuk mengkarantina penderita tuberculosis guna mencegah penularan. Keberadaan sanatorium di Indonesia dimulai pada tahun 1900-an, dengan pandangan bahwa tuberculosis adalah penyakit yang jarang terjadi di negara tropis. Kompleks Sanatorium Pakem dibangun sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan kapasitas di rumah sakit zending di berbagai kota seperti Solo, Klaten, Yogyakarta, dan sekitarnya. Lokasi di Pakem, 19 kilometer ke utara Yogyakarta, dipilih karena jauh dari keramaian dan memiliki udara yang dianggap mendukung pemulihan pasien. Pembangunan sanatorium dimulai pada Oktober 1935 dan dirancang oleh kantor arsitektur Sindoetomo, termasuk pemasangan listrik dan pipa air. Sanatorium diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII pada 23...

avatar
Seraphimuriel
Gambar Entri
Pecel Mie
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Timur

Bahan-bahan 4 orang 2 bungkus mie telur 4 butir telur kocok 1 buah wortel potong korek api 5 helai kol 1 daun bawang 4 seledri gula, garam, totole dan merica 1 sdm bumbu dasar putih Bumbu Dasar Putih Praktis 1 sdm bumbu dasar merah Meal Prep Frozen ll Stok Bumbu Dasar Praktis Merah Putih Kuning + Bumbu Nasi/ Mie Goreng merica (saya pake merica bubuk) kaldu jamur (totole) secukupnya kecap manis secukupnya saus tiram Bumbu Pecel 1 bumbu pecel instant Pelengkap Bakwan Bakwan Kriuk bawang goreng telur ceplok kerupuk Cara Membuat 30 menit 1 Rebus mie, tiriskan 2 Buat telur orak arik 3 Masukkan duo bumbu dasar, sayuran, tumis hingga layu, masukkan kecap, saus tiram, gula, garam, lada bubuk, penyedap, aduk hingga kecap mulai berkaramel 4 Masukkan mie telur, kecilkan / matikan api, aduk hingga merata 5 Goreng bakwan, seduh bumbu pecel 6 Siram diatas mie, sajikan dengan pelengkap

avatar
Netizen
Gambar Entri
Wisma Gadjah Mada
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Gadjah Mada terletak di Jalan Wrekso no. 447, Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma Gadjah Mada dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh PT GAMA MULTI USAHA MANDIRI. Bangunan ini didirikan pada tahun 1919 oleh pemiliknya orang Belanda yaitu Tuan Dezentje. Salah satu nilai historis wisma Gadjah Mada yaitu pada tahun 1948 pernah digunakan sebagai tempat perundingan khusus antara pemerintahan RI dengan Belanda yang diwakili oleh Komisi Tiga Negara yang menghasilkan Notulen Kaliurang. Wisma Gadjah Mada diresmikan oleh rektor UGM, Prof. Dr. T. Jacob setelah di pugar sekitar tahun 1958. Bangunan ini dikenal oleh masyarakat sekitar dengan Loji Cengger, penamaan tersebut dikarenakan salah satu komponen bangunan menyerupai cengger ayam. Wisma Gadjah Mada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal Tuan Dezentje, saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai penginapan dan tempat rapat. Wisma Gadjah Mada memiliki arsitektur ind...

avatar
Seraphimuriel
Gambar Entri
Rumah Indis Wisma RRI
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Bangunan ini dibangun tahun 1930-an. Pada tahun 1945 bangunan ini dibeli oleh RRI Yogyakarta, kemudian dilakukan renovasi dan selesai tanggal 7 Mei 1948 sesuai dengan tulisan di prasasti yang terdapat di halaman. Bangunan bergaya indis. Bangunan dilengkapi cerobong asap.

avatar
Seraphimuriel