Konon, di Desa Metilopu, Pulau Rote, hiduplah keluarga petani bernama Tukateik bersama dengan seorang isteri yang tercinta, Bingalete namanya. Keduanya dikaruniai tiga orang yang yang ganteng-ganteng. Si sulung bernama Lelu Welang, lalu diikuti oleh Pelang Galing dan Tipa Soli.
Pekerjaan keluarga ini sehari-hari bercocok tanam. Meski begitu, keluhan hidup yang dihadapi tidak pernah terdengar dalam setiap pembicaraan dengan tetangganya. Mereka tidak pernah menyesali hidup sebagai petani kecil. Sang suami pandai menciptakan kondisi yang kondusif. Tak heranlah bila saban hari mereka menghadirkan canda ria, ditambah lagi sang isteri yang senantiasa pasang senyum di tengah anak-anaknya yang rada-rada nakal.
Sayang kehidupan yang harmonis itu harus segera berakhir tatkala sang istri tercinta meninggal. Sang ayah bingung. Siapa yang bakal menjadi pengganti istrinya dalam mendidik anak-anak yang masih kecil itu? Setelah lama hidup menduda, sang pengganti pun ditemukandi desa seberang. Kekasih baru itu bernama Saledale. Orangnya cantik. Sayangnya kecantikan raganya tidak seimbang dengan hatinya. Bagaimana tidak! Di depan sang suami ia bertingkah seperti menyayangianak tirinya.Apabila sang suami pergi kerja, ia tak memperhatikan anak-anak itu. Kalau sang suami pulangdan bertanya tentang anak-anaknya, Saledale lalu menjawab, baik-baik, sudah diberi makan, dan kebutuhan lainnya sudah dipenuhi semuanya.
Sebagai seorang ayah yang baik, tentu tidak begitu sajamenerimapengakuan Saledale. Karena itu, ketika tengah malam tiba, Tukateik mendekati anak-anaknya. Satuper satu ia tanyakan tentang sikap ibu tiri mereka. " Apakah kamu makan pada siang hari? " Sang Ayah berusaha menggali unek-unek yang terpendam dalam hati anak-anaknya.."Tidak pernah Ayah", jawab si sulung dan didukung oleh adik-adiknya. "Lalu sisa -sisanasi yang belepotan di pipi kamu saat aku pulang, itu apa? " Desak Sang Ayah sembari menahan emosinya." Oh itu, itu benar Ayah, Tapi itu hanya akal-akalan ibu Saledale saja. Dia mengambil sisa-sisa nasilalu menggosok-gosokkannya pada mulut dan pipikami,sehingga tampak seperti baru habis makan", sahut anak-anaknya dengan suara yangdibuat rendah. Maklum ibu tiri mereka sedang tidur pulas di kamar sebelah. Mendengar jawaban anaknya,Sang Ayah dongkol juga hatinya. Meskipun demikian,Sang Ayah tidak mengekspresikankemarahannya di depan anak-anaknya. Sambil merangkul, ia mengajak anak-anaknya untuk tabah dalam menghadapi tantangan hidup.
Keesokan harinya, Tukateikmemberitahukan Saledale bahwa dia akan pergi jauh dari Metilopu. "Berapa lama?" Tanya Saledale cukup lembut. "Sehari penuh", jawab Tukateik sambil memohon agar menjaga baik-baik anak-anak. Lalu ia pergi. Sang istri tidak tahu, kalau ini hanya merupakan siasat belaka sang suami. Begitu Saledale bertandang ke rumah tetangga, Tukateik kembali masuk rumah. Lalu bersembunyi di loteng rumah.
Apa yang diceritakan anak-anaknya ternyata benar adanya. Siang itu, ia menyaksikannya sendiri. Saledale tidak mengajak anak-anak itu untuk makan. Remuk redam hatinya. Seketika itu ia menangis. Air matanya membentuk mata air. Lalu mengalir dengan derasnya. Tumpahan air mata itu pun menembusi lantailoteng rumah. Sementara itu Saladale kaget karena wajahnya terkena air. Maklum ia sedang berbaringria di kamarnya. Namun begitu, ia mengira, air itu adalah air kencing tokek atau cecak sebangsanya.
Saledale langsung ke kamar mandi. Saat itu, Tukateik turun dari lonteng. Ia berpura-pura capai dari perjalanan yang melelahkan. Kemudian setelah Saledale melihat suaminya, ia pun segera menyiapkan makanan. Ia pun berpura tanya pada anak-anaknya. "Kamu sudah makan, `kan?" Sayangnya, anak-anak itusecara polos menjawab, tidak. Mendidihlah darahnya. Lalu ia memarahi ketiganya. Sementara sang suamiberpura-puradiam saja, Saledale menambahkan," Anak-anak ini bohong, Pak, tadi sudah makan kenyang sampai berak berkali-kali. Anak apa macam begini !", sewotnya.
Ketika malam turun sempurna, Tukateik perlahan menuju kamar istrinya. Ia tahu, pasti istrinya sedang dongkol terhadap anak-anaknya. Lalu ia duduk di sampingSaledale. "Bagaimana sebaiknya, anak-anak kita itu, Saledale?" Ia mencoba menggali pikiran sang istri. Tanpa menunggu jawaban Saledale, Tukateik pun menghibur, "Sungguh berat beban yang harus kamu pikul, terutama ketika aku pergi jauh". Sang istri hanya membungkam. Saat seperti itu, timbul niatnya untuk memarahi istrinya. Tapi ia juga berpikir, pilihan seperti itu bukan menyelesaikan persoalan." Sekarang begini saja, bagaimana kalau kita menghantar mereka ke hutan saja?" Sang suami memberi jalan keluar. Eh... Saledale langsung mengiyakan.
Malam itu, Tukateik tidak dapat tidur. Ia sedih. Ia menyesal jalan keluar yang diputuskannya. Sebenarnya ia mau berusaha membangunkan Saledale untuk mengubah keputusannya. Tetapi ia takut sama istrinya, nanti dibilang tidak punya pendirian. Lagi pula ia malu dengan tetangga, kalau ia menceraikan Saledale yang cantik itu. "Tidak tahu malu, duda mendapat jodoh yang masih perawan. Lalu diceraikan seenaknya", Tukateik mencoba memperkirakan tanggapan tetangganya.
Pagi yang sudah ditentukan pun tiba. Tukateik bergegas menghampiri anak-anaknya. Saledale pun tidak ketinggalan. Sementara itu, anak-anak itu kaget.
Bagaimana tidak ! Sepagi itu, ibu tiri mereka memberikan tiga buah ketupat.
"Bawa ini untuk makan di perjalanan", pesan Saledale kepada anak-anaknya. "Sejak hari ini kamu tinggalkan rumah. Kamu hidup di hutan", sambung sang Ayah berpura-pura marah karena di sampingnya, Saledale masih berdiri.
Tukateik dapat melihat apa yang tersirat di pelupuk mata anak-anaknya.
Karena itu, ia pun mengajak Saledale untuk menghantar ketiga anaknya itu ke hutan. Setelah jauh, Tukateik berkata,"Cukup sampai di sini saja kami hantar kalian.Tinggallah di sini!' Tetapi anak sulungnya, Lelu Welang, menjawab,"Kalau kami masih mendengar suara lesung maka kami akan merasa sedih". Lalu mereka berjalan lagi. Setelah merasa cukup jauh, Tukateik berkata lagi,"Cukup sampai di sini saja". Tetapi anak kedua, Pelang Galing menjawab,"Kalau kami masih mendengar suara anjing dan ayam berkokok maka kami merasa sedih'. Mereka kemudian berjalan lagi hingga tiba di suatu tempat bernama Ne'igun Fe'daen, mereka pun berpisah.
Sepeninggal Tukateik dan Saledale, mereka pun lapar. Kemudian mereka membuka bekal masing-masing. Tiba-tiba 'malakale ma leolesu' (=tangisan) mereka pun tak terbendung. Apa pasal ? Ternyata ketupat pemberian ibu tiri, Saledale, bukan berisi nasi. Ketupat pertama berisi 'abu ra'o' (=abu dapur), kedua, kotoran kucing, dan ketiga isinya kotoran babi.
Meski perut mereka terasa lapar, mereka terus berjalan mengitari hutan. Di ujung perjalanan, mereka bertemu dengan seorang tua yang lumpuh, berjenggot panjang, dan sebagian jenggotnya mengikat sebuah gong besar. Ketiganya, sama-sama heran. Mereka penasaran. "Bagaimana Bapak dapat hidup tenang, senang, dan nyaman di hutan ini, padahal Bapak sendiri menderita lumpuh ?" Mereka mencoba membongkar isi hati si Bapak Tua itu. "Gong yang terikat di jenggotku sangat mujarab. Apa saja yang saya minta pasti dipenuhi. Kalau saya lapar, tinggal memukul saja gong ini", si pemilik jenggot menyahuti pertanyaan. "Kami bertiga lapar, Bapak", si Tipa Soli memberitahu. Bapak Tua itu langsung memukul gong tersebut sebanyak dua kali. Maka di depan mereka terhidang nasi, daging, dan buah-buahan. Mereka pun melahap sampai kenyang.
Di senja itu mereka tidur lebih awal. Kepergian malam pun tidak dirasakannya. Ketika pagi itu mereka bangun, si Bapak Tua sudah menghilang. Mereka hanya mendapatkan gongnya. Dengan gong ajaib itu pulalah kebutuhan mereka pagi itu terpenuhi. Mereka berterima kasih kepada si Bapak Tua yang rela menolong mereka dari penderitaan yang berkepanjangan.
Perjalanan mereka diteruskan. Akhirnya mereka tiba di sebuah tempat yang bernama Kosikona Ma Heladulu. Di situlah mereka menetap. Mereka membangun sebuah istana megah. Mereka begitu bahagia. Semua kebutuhan, semuanya terpenuhi. Caranya, ya tinggal saja memukul gong sebanyak dua kali. Luar biasa !
Berita keberhasilan mereka sampai juga di telinga Tukateik dan Saledale, sang Ayah dan Ibu tiri yang mengasingkan mereka. Sebenarnya, mereka malu sekali atas tindakan yang buruk itu. Tetapi karena keduanya jatuh miskin, timbul juga niatnya untuk mendatangi anak-anaknya yang sukses itu. Kedatangan kedua orangtua itu disambut baik oleh anak-anaknya.
Ketika mereka mau pulang, anak-anaknya menahan mereka. Tetapi dengan alasan yang masuk di akal, akhirnya keduanya dilepaskan. Sebelum keduanya pulang, anak-anaknya memberikan seekor kerbau dan dua bakul padi sebagai bukti kasih sayang anak kepada orangtua. Mereka pun berpesan, kalau membutuhkan sesuatu, jangan ragu-ragu untuk datang lagi. "Anak-anak ini baik sekali",batin Saledale sembari merenungi lagi tindakannya sewaktu anak-anak itu ada di sampingnya. Tukateik mengetahui apa yang ada dalam pikiran Saledale. Karena itu, ia membisikkan kata,"Minta maaflah kepada mereka". Sayangnya, Saledale tidak punya keberanian untuk melakukannya.
Dalam perjalanan pulang, Tukateik yang memegang kerbau dan membawa padi sebakul. Sedangkan sebakul lainnya dipikul oleh Saledale. Ketika mereka tiba di jalan yang agak menurun, tepatnya di Desa Piluk , Tukateik meminta Saledale untuk menarik kerbau. Saledale menerimanya. Mereka pun berjalan lagi, karena awan mendung dan sebentar lagi hujan pasti turun dengan derasnya.
Tak seberapa lama, Tukateik kaget karena Saledale tiba-tiba berada di tanduk kerbau, sementara tanduk sebelahnya tergantung bakul padi. Untuk menolongnya, Tukateik tak sanggup. Sebab selain dia barusan membuang hajat (WC besar) juga jarak keduanya agak berjauhan. Apalagi, kerbau itu berlari kencang. Dalam pada itu, Saledale pun tidak sempat meminta tolong, karena kerbau tersebut langsung menanduk perutnya sehingga darah segar mencurat dengan cepat. Bakul padi akhirnya jatuh di sebuah tempat bernama Lapudale, sedangkan Saledale di suatu tempat yang bernama Kosi.
Tukateik memang tidak dapat berbuat apa-apa. Nyawa Saledale sudah melayang, padi-padi sudah berhamburan di Lapudale (=kini di musim hujan padi yang terbuang itu tumbuh dengan sendirinya tapi tidak bisa dimakan karena berwarna hitam), juga dia sendiri sudah tua bangka. Satu-satunya jalan, dia kembali menemui anak-anaknya di Kosikona Ma Heladulu dan hidup bersama dengan anak-anaknya yang sudah kaya raya itu.
Sumber: https://www.kompasiana.com/usmandg/saledale-ibu-tiri-yang-jahat-cerita-rakyat-pulau-rote-prov-ntt_552a5780f17e619078d62481
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...