Batavia ( Jakarta ) sang Ratu dari Timur , memilki sejarah panjang yang tidak saja kompleks namun juga demikianmenarik . Catatan sejarah mengungkap bahwa perjalanan di ”melting pot” senantiasa diwarnai oleh dinamikakehidupan khas dan penuh cita rasa . Gabungan antara budaya dari pemukim keturunan Melayu /pribumi dan Tionghoa peranakan yang telah hidup saling berdampingan selama berabad – abad merupakan kekhasan paling menonjol dari kota ini , terutama sekali sejak abad ke – 16 . Kelahiran dan perkembangan pesat kota juga bisa sebagai akibat kolonialisme, penaklukan atau perluasan megapolis dan adanya minoritas kreatif (creative minority). 'Hukum sosio historis' ini juga berlaku bagi sejarah Jakarta. Sejarah yang berelemen percampuran berbagai unsur itu menciptakan Batavia sebagai kota kosmopolitan berenergi tinggi , senantiasa berdenyut kuat untuk menandakan perubahan cepat dan tak pernah usai yang masih terus terasa hingga kini . Kekhasan itulah yang telah memukau siapa saja , apakah itu penduduk aslinya sendiri , pengunjung sementaranya ( turis ) ataupun mereka yang mungkin tidak pernah kesampaian menjejakkan kakinya di Batavia sama sekali . Semua itu telah terdokumentasikan dalam pelbagai buku termasuk dalam sejumlah buku catatan– catatan perjalanan ataupun sekadar buku kenang – kenangan . Sayangnya . meskipun demikian menarik dan imaginatif , buku buku yang beredar mengenai hal tersebut , karena disusun oleh pendatang yang berkehendak mempresentasikan lokalitas Batavia dari kacamata budaya tertentu , warna kolonialnya tampak terasa sangat kuat . Berkat proses seleksi dan manipulasi selalu saja dapat ditandai kesan teaterikal dan ornamental genre buku seperti itu . Yang lebih penting lagi , isinya juga tidak senantiasa mau mengikutsertakan realita kehidupan lokal sesungguhnya , karena dianggap bukan termasuk ”puncak – puncak keindahan” wilayah kota . Kesemuanya ini dilakukan semata - mata demi menjaga ”keaslian ” dan tidak hilangnya dramatisasi sang objek sesuai dengan selera yang mempresentasikanya . Cara menyampaikan dan mendeskripsikan tempat – tempat di Batavia seperti itu telah membentuk konsep keindahan Batavia yang khusus , seperti direfleksikan di dalam foto – foto kuno atau kartupos kolonial yang diterbitkan dengan desain yang bermacam – macam . Terlebih lagi dengan diperkenalkannya budaya turisme modern sejak permulaan abad ke 20 telah menciptakan Hindia ( baca: batavia ) seolah secara umum memiliki dua lanskap keindahan yang berbeda . Yang pertama adalah yang dominan , resmi , megah dan dianggap layal dijual /disajikan . Jenis lansekap lainnya adalah yang tidak resmi , bila panggung pertunjukan dapat diibaratkan letaknya di belakang panggung atau layar , disimbolkan dengan suasana kampung yang bersahaja , namun sesungguhnya asli dan apa adanya yaitu kehidupan para penghuninya yang terdiri dari berbagai suku , agama , ras dan golongan yang tinggal disekitar tembok (ommelanden ) . Adanya dominasi cara pandang yang pertama itu seringkali dirasakan sebagai kurang adil dibandingkan dengan , misalnya cara pandang kalangan pribumi atau non-Belanda lainnya . Penjelasan – penjelasan mengenai kota ini yang menghilang dan telah dilucuti kehadirannya biasanya bisa muncul dalam cara pandang yang berasal dari dalam , yakni dari kalangan penduduknya . Tema – tema kebersahajaan dalam kehidupan , gaya dan falsafah hidup yang selama ini di/terlewatkan sesungguhnya sudut menarik bila esensinya mampu ditampilkan kembali . Tentu saja menemukan kembali yang hilang itu untuk disiapkan bagi pembaca masa kini bukanlah pekerjaan yang mudah . Awal ide konsep pada saat saya membuat tulisan ini adalah saat saya membaca sebuah buku mengenai kebudayaan indis karya Prof Dr Djoko Soekiman dan F De Haan disana banyak dibahas mengenai gaya hidup masyarakat pribumi maupun non pribumi yang terpengaruh oleh gaya hidup masyarakat kolonial . Namun disatu sisi lain pembahasan mengenai multi etnis yang ada sejak awal berdirinya kota tersebut masih sangat jarang sekali dibahas . Hingga saat ini penulisan sejarah ( historiografi ) tentang Jakarta/Batavia telah mengalami perkembangan yang cukup pesat . Berbagai karya ilmiah ditulis oleh para sejarahwan untuk mengulas bermacam aspek yang berkaitan dengan sejarah kota Jakarta . Salah satunya adalah karya Lance Castles yang berjudul ”The Ethnic Profile of Jakarta ” tahun 1967. Artikel ini seringkali menjadi sasaran kritik dari masyarakat yang menjadi salah satu pokok bahasan artikel itu yaitu masyarakat pribumi . Dimana terjadi perdebatan mengenai asal muasal kaum pribumi yang di katakan Castles berasal dari ”budak” , sementara bagi kaum pribumi pendapat itu ditentang keras karena istilah ”budak ” tidak sanggup untuk menjelaskan asal orginalitas etnik penduduk Jakarta /Batavia itu sendiri , karena sudah terjadi berbagai macam akulturasi yang majemuk diantara etnis etnis yang ada .
Perlu disebutkan bahwa dalam tulisan ini kisah masyarakat Betawi , pribumi , peranakan yang majemuk dan kosmopolitan itu masih tetap menarik , yang jelas tulisan ini berusaha menampilkan asal muasal kota Batavia hingga menjadi Jakarta ditinjau dari aspek sejarah perkembangan masyarakatnya yang senantiasa mengalami perubahan dalam segi sosial budaya yang secara tidak langsung juga berpengaruh pada perkembangan arsitektur dari masa ke masa itu . Demikianlah semoga tulisan sederhana mengenai sejarah kebudayaan ini ada manfaatnya bagi pengembangan ilmu sejarah di Indonesia. Saya menyadari tulisan ini ini tidak lepas dari kekurangan . Oleh karena itu\ kritik dan saran untuk perbaikan di masa mendatang sangat diharapkan .
Kata Kunci : Batavia , Sosio Historis , Originalitas Etnik , Akulturasi , Kolonial , Ommelanden
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja