SEPAK RAGA, RIWAJATMOE KINI
Permainan sepak raga adalah cikal-bakal lahirnya cabang olahraga sepak takraw. Setidaknya, kalimat awal pada tulisan ini memantik pemikiran masyarakat (pembaca) yang memang pada umumnya menganggap sepak takraw itu sama dengan sepak raga. Tapi sejarah mencatat, permainan sepak raga lebih “berumur” dibanding sepak takraw.
Permainan sepak raga merupakan budaya tradisional khas Sulawesi Selatan. M. Dahlan Dg. Gassing, tokoh masyarakat Marosyang mengembangkan sepak raga bertutur, permainan ini muncul dari desa Kaemba, dusun Patte’ne, Maros, Sulawesi Selatan. Dari sebuah kampung yang dahulu disebut Ujung Bulo yang dijuluki sebagai kampung Pa’raga di Kabupaten Maros. Berdasarkan cerita turun-temurun di desa Kaemba, pada awalnya masyarakat disana menyebut permainan ini dengan nama ma’raga yang berarti gerakan aktivitas tubuh (raga), dengan menggunakan bola yang terbuat dari rotan.
Sepak raga pada dasarnya mengadopsi gerakan-gerakan beladiri corak islami yang memang banyak dikembangkan oleh te-tua kita di era penjajahan terdahulu. Tentu dengan tujuan membentengi diri sembari berharap mampu mengusir para penjajah meski dengan peralatan sederhana. Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa jurus seni beladiri yang diajarkan berkembang menjadi kolaborasi permainan dengan menggunakan bola yang terbuat dari rotan, kemudian pemain-pemainnya membentuk lingkaran, lalu memainkan bola tersebut dan memindahkannya dari kaki satu pemain ke pemain lainnya sambil berusaha untuk tidak menjatuhkannya ke tanah.
Dalam perkembangannya, kedatangan Raja dari Gowa yang menyebarkan Islam yang juga memperkenalkan alat-alat musik tradisional seperti gong dan gendang membuat permainan sepak raga atau ma’raga memasuki era baru, sejak saat itu ma’raga mulai diiringi dengan alat-alat musik tradisional, dan menjadikan sepak raga sebagai salah satu bentuk syiar dalam penyebaran agama Islam. Sebab dijaman itu, syiar lewat kesenian memang terbukti cukup ampuh “mengambil hati” masyarakat dibanding dengan cara kekerasan.
Dalam cerita lain juga menyebutkan, bentuk penyebaran permainan sepak raga ini melalui pelaut-pelaut suku Bugis-Makassar yang terkenal dengan keberanian dan kengototannya mengarungi laut lepas. Ketika pelaut-pelaut ini berlabuh dan singgah di negeri orang, mereka mengisi waktu senggangnya dengan ma’raga. Permainan inilah yang dilihat, kemudian diikuti penduduk di tempat persinggahan tersebut hingga menyebar ke daerah-daerah, seperti Minangkabau, Kalimantan dan daerah lainnya. Cerita ini sejalan dengan catatan sejarah Melayu terawal. Dimana pada masa pemerintahan Sultan Mansur Shah Ibni Almarhum Sulthan Muzaffar Shah (1459-1477), seorang puteranya bernama Raja Ahmad dibuang oleh negeri karena bersalah membunuh anak bendahara akibat persengketaan saat bermain sepak raga. Sejalan dengan catatan sejarah ini, permainan ini berubah dengan menggunakan jaring dan peraturan angka pada tahun 1940-an. Kemudian terus berkembang dikawasan Asia, di Filipina dikenal dengan nama sipa, Burma dengan sebutan chinlone, di Laos dengan nama kator, dan di Thailand dengan sebutan takraw. Itulah mengapa hingga saat ini Malaysia dan Thailand masih saling “klaim” tentang kepemilikan sejarah awal cabang olahraga sepak takraw ini.
Saat ini di Sulawesi Selatan, meskipun memang sudah agak langka dari segi pertunjukan maupun kuantitas pemainnya, tapi sesekali kita masih bisa melihat aksi para pa’raga (sebutan untuk pemain sepak raga) yang biasa dipersembahkan pada acara-acara adat maupun acara penyambutan tamu dari luar Sulawesi Selatan. Mereka tampil dengan menggunakan pakaian adat yang terdiri dari passapu (penutup kepala khas Makassar berbentuk segitiga), baju tutup (jas tradisional suku Bugis-Makassar) yang dipadukan dengan lipa’ sabbe (sarung khas Makassar dari kain sutera). Kemudian mereka mempertontonkan aksi akrobatik dengan membentuk formasi tingkatan manusia (biasanya 2 hingga 3 tingkatan) sembari terus memainkan bola tanpa menjatuhkannya ke tanah hingga bola yang terbuat dari rotan tersebut sampai dan dimaini oleh pemain yang berada di puncak (tingkatan paling atas). Gerakan ini yang selalu mendapat tepukan tangan dari penonton, karena memang terlampau sulit dilakukan tanpa latihan rutin sebagai pembiasaan gerakan yang memadukan seni dan fisik ini.
Pada akhirnya, negeri ini harusnya was-was akan permainan tradisional sepak raga ini, seperti was-wasnya Malaysia dan Thailand yang masih saling “klaim” tentang cabang olahraga sepak takraw. Biarkanlah Malaysia dan Thailand saling “klaim” tentang olahraga sepak takraw, sudah saatnya kita mengambil langkah lebih cerdas dengan mengamankan nenek moyang dari cabang olahraga sepak takraw, yakni permainan sepak raga atau ma’raga sebagai warisan budaya dunia yang tercatat di UNESCO (semoga). Berikan ruang kepada kelompok-kelompok pa’raga yang sudah mulai langka untuk lebih sering menampilkan aksi kesenian akrobatiknya, disamping menggalakkan coretan-coretan budaya yang tentu saja akan menopang “tegak berdirinya” permainan sepak raga ini diusia tuanya. Karena sejarah, mencari siapa yang lebih tua!. Tentu bangsa Ibu Pertiwi tak ingin kasus-kasus seperti angklung, Reog Ponorogo dan batik yang sempat di”klaim” oleh negara lain kembali terjadi. Karena pengobatan terbaik adalah pencegahan!.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja