|
|
|
|
SEJARAH SANGIHE Tanggal 16 Jul 2013 oleh Alffi . |
CERITA GUMANSALANGI
Untuk mendalami kebudayaan sangihe, sebaiknya memahami sastera lisan sangihe, sastera lisan sangihe adalah salah satu bukti peninggalan kebudayaan sangihe masa lalu yang masih dilestarikan sampai saat ini. Dari beberapa sastera lisan sangihe yang paling melegenda adalah cerita Gumansalangi. Dari cerita tersebut kita dapat melihat keberadaan sangihe dari penduduk mula-mula sampai terbentuknya kerajaan-kerajaan yang menjadi dasar terbentuknya sebuah suku yang dinamakan suku sangihe. Kisah Gumansalangi sebagai penduduk mula-mula tergambar secara utuh dalam “Tamo” karena tamo telah menjiwai kelahiran sangiang konda sebagai ibu dari orang-orang sangihe. Cerita Gumansalangi dan pembentukan kerajaan sudah ditulis banyak orang meskipun hanya dalam tulisan-tulisan lepas, bukan dalam sebuah buku yang sangat lengkap.
Ada banyak tulisan yang dilengkapi dengan tahun kejadian, tetapi belum bisa diakui karena semua cerita tentang Gumansalangi, tidak pernah dibukukan dimasa lalu sehingga terjadi kesimpangsiuran. Mungkin cerita lengkap tentang Sangihe boleh ditelusuri di Belanda untuk mandapatkan kepastian yang lebih ilmiah dan dapat diakui oleh publik yang lebih luas.
Seperti pepatah mengatakan “tak ada rotan akarpun jadi”. Kita sebagai generasi baru tidak bisa lagi menunggu “pemerintah” untuk mendanai penelitian dan penulisan tentang sejarah dan kebudayaan sangihe secara komprehensip. Karena lebih banyak orang sangihe “ndak” mau peduli, dari pada yang terpanggil untuk berbuat menggali kekayaan budaya.
Tokoh Gumansalangi sudah diceritakan berabad-abad lamanya di kepulauan sangihe melalui cerita lisan dari generasi kegenerasi secara turun-temurun. Sejak masuknya bangsa Eropa, cerita Gumansalangi mulai ditulis oleh para budayawan, sejarahwan dan pemerhati sejarah dan kebudayaan sangihe lainnya dalam bentuk tulisan-tulisan lepas.
Cerita Gumansalangi pertama kali diterjemahkan Desember 1993 di Biola University – Los Angles. Kisah Gumansalangi terbaru ditulis oleh Kenneth R. Maryott, seorang berkebangsaan Amerika yang bekerja sebagai dosen bahasa Inggris di Philliphin dalam buku yang berjudul “ Manga wÄ•keng Asaļ ‘u Tau SangihÄ• “. Buku tersebut ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Sangihe,bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, diterbitkan oleh “ The Committee For The Promotion Of The Sangir Language, Davao - Phillphiness, 1995. Kenneth bertindak sebagai editor, berdasarkan penuturan dari Bapak Haremson E. Juda. Disamping itu terdapat juga cerita tentang Makaampo. Cerita Makaampo pertama kali ditulis dan dipublikasikan dengan judul “BÄ•keng Makaampo (The Story of Makaampo)” dari artikel journal “Majalah Bijdragen tot de taal,- Land – en Volkendkunde, Volume 113 (1957)
Cerita Gumansalangi berasal dari kepulauan Sangihe Talaud, yang diceritakan sebagai folklore atau cerita rakyat. (Folklore adalah unsure kebudayaan dari masa silam yang menuju ke ambang kepunahan). Banyak cerita yang berkembang di kepuluan sangihe tentang Gumansalangi tetapi intinya berkisah tentang penduduk sangihe pertama. Permasalahannya adalah Siapa dan dari mana asal Gumansalangi yang sebenar – benarnya. Sampai kapanpun tidak akan mungkin ditemukan kebenaran secarah ilmiah siapa Gumansalangi. Penyebabnya adalah belum ditemukan bukti melalui naskah kuno atau prasasti yang menulis atau memberikan gambaran tentang kehidupan Gumansalangi. Hal ini terjadi juga pada beberapa folklore lain disulawesi utara seperti cerita Toar dan Lumimuut dari Minahasa, cerita Gumalangi dan isterinya Tendeduata penghuni pertama Bolaang Mongondow, cerita seperti ini tetap menjadi legenda.
Kenapa cerita Gumansalangi memiliki banyak bentuk,dari alur cerita maupun kesesuaiannya dengan sejarah Sangihe. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu : Cerita Gumansalangi merupakan sastera lisan, yang hanya diceritakan dari mulut ke mulut, keadaan ini memungkinkan terjadinya berbagai perubahan. Perubahan dapat terjadi berdasarkan siapa yang pertama mengisahkan, siapa yang mendengarkan, kepada siapa kisah itu diturunkan dan dilingkungan apa cerita itu dikembangkan.
Berdasarkan beberapa cerita yang berkembang dimasyarakat sangihe terdapat beberapa cerita berdasarkan tempat dimana cerita itu berkembang diantaranya ; Cerita Gumansalangi versi Siau, Cerita Gumansalangi versi Talaud, Cerita Gumansalangi versi pulau Sangihe besar. Dikalangan orang sangihe sendiri terdapat beberapa bentuk, seperti versi cerita Gumansalangi dari orang-orang yang ada di bekas kerajaan Tabukan dan diluar kerajaan Tabukan. Diantara beberapa versi tersebut dapat dipaparkan beberapa versi yang memiliki perbedaan.
Gumansalangi adalah kulano pertama di Pulau Sangihe besar. Gumansalangi bersiteri Ondaasa yang disebut juga Sangiangkonda atau Kondawulaeng. Gumansalangi adalah Putera Mahkota dari kesultanan Cotabato,Mindanao Selatan akhir abad ke XII. Mereka diperintahkan untuk pergi ketimur oleh ayah Gumansalangi dengan maksud supaya mereka dapat mendirikan kerajaan baru. Berangkatlah mereka dengan menunggangi ular terbang sampai ke Pulau Marulung (pulau balut), kemudian keselatan menuju pulau Mandolokang (pulau Taghulandang) dipulau ini mereka tidak turun tetapi melanjutkan perjalanan ke pulau lain melewati pulau Siau dan turun di pulau Sangihe besar.
Dalam perjalanan, ikut pula saudara laki-laki dari Kondaasa bernama Pangeran Bawangunglare. Mereka lalu mendarat di pantai Saluhe. Dikemudian hari nama Saluhe berubah menjadi Saluhang dan kini menjadi Salurang.
Karena Gumansalangi adalah seorang bangsawan maka tempat tersebut dinamakan Saluhang yang berararti ”dieluk-elukan” dan dipelihara supaya dia bertumbuh dengan baik dan subur. Sejak kedatangan Gumansalangi dan Kondaasa di saluhe, selalu saja terdengar gemuruh dan terlihat kilat yang datang dari gunung. Gumansalangi lalu diberikan gelar Medellu yg berarti Guntur dan Kondaasa diberikan gelar Mengkila yang berarti cahaya kilat. Gumansalangi dan Kondaasa memiliki dua orang putra bernama Melintangnusa dan Melikunusa.
Gumansalangi lalu mendirikan kerajaan pada tahun 1300. Wilayah kerajaannya sampai ke Malurung (Pulau Balut / Philliphina).Saudara laki-laki Kondaasa melanjutkan perjalanan ke kepulauan Talaud tepatnya di pulau Kabaruan. Sampai saat ini tempat yang pertama kali diinjak oleh Pangeran Bawangunglare, dinamakan Pangeran.
Gumansalangi menyerahkan waris raja kepada anaknya yang sulung Melintangnusa pada tahun 1350. Anak bungsu Melikunusa mengembara ke Mongondow dan memperisteri Menongsangiang putri raja Mongondow.Melikunusa meninggal di Mongondow sedangkan Melintangnusa meninggal di Philliphina pada tahun 1400. Sesudah wafatnya Malintangnusa, kerajaan terbagi dua yaitu kerajaan Utara bernama Sahabe atau Lumage dan kerajaan Selatan bernama Manuwo atau Salurang. (dari beberapa catatan lepas pemerhati sejarah sangihe).
Terbentuknya kerajaan pertama Sangihe berakar dari cerita tentang Gumansalangi. Humansandulage beristeri Tendensehiwu dan memperanakan Datung Dellu. Datung Dellu bersiteri Hiwungelo dan memperanakan Gumansalangi.
Gumansalangi, setelah mempersunting Ondaasa berlayar dari Molibagu melalui pulau Ruang,Tagulandang,Biaro,Siau terus ke Mindanao kemudian kepulau Sangihe, mereka tiba di Kauhis lalu mendaki Gunung Sahendarumang dan berdiam disana sampai terbentuknya kerajaan Sangihe pertama bernama Tampungang Lawo pada tahun 1425.
( Iverdikson Tinungki dalam tabloid Zona utara )
Gumansalangi adalah anak seorang raja dari sebuah kerajan kecil diwilayah Philiphina bagian selatan. Ibunya meninggal ketika Gumansalangi masih kecil. Raja kemudian menikah lagi dengan perempuan lain dan melahirkan seorang puteri. Pada suatu pesta sang puteri atas perintah ibunya mempengaruhi Raja dengan sebuah permintaan dan berkata ”harta kekayaan tak penting bagiku yang kuinginkan adalah agar Ayah dapat membunuh Gumansalangi. Permintaan ini dilakukan agar tahta kerajaan tidak jatuh ketangan Gumansalangi.
Keinginan itu diketahui oleh Batahalawo dan Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan pengikut Gumansalangi, mereka lalu meberitahukan rencana itu pada Gumansalangi. Batahalawo kemudian melemparkan ikat kepala ( poporong ) kelaut yang kemudian menjelmah menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang membawa terbang Gumansalangi dan tiba di Rane dan tebing Mênanawo lalu mengitari bukit Bowong Panamba,Dumêga dan Areng kambing. Setibanya ditempat yang baru, setiap malam Gumansalangi hanya mendengarkan suara burung pungguk atau Tanalawo, arti lain dari Tanalawo adalah Pulau Besar.
Pada suatu senja digubuknya kedatangan seorang nenek yang memerlukan tempat berteduh. Malam berikutnya dia didatangi lagi seorang gadis cantik. Dua persitiwa membingungkan hati Gumansalangi. Disaat tenang terdengar suara yang berkata ambilah telur dipucuk pohon yang besar itu dan jangan sampai pecah. Ditebangnyalah pohon tersebut sampai mendapatkan sebutir telur. Telur itu kemudian pecah dalam perjalanan pulang, dari telur itu keluar seorang puteri cantik yang kemudian dikenal dengan nama Konda Wulaeng atau Sangiang Ondo Wasa ( puteri perintang malam ) putri khayangan. Mereka menikah lalu dinobatkan menjadi Kasili Mědělu dan Sangiang Měngkila yang berarti Putra Guntur dan Putri Kilat. Dinamai demikian karena pakaian sang putri berkilau seperti emas dan pertemuan mereka ditandai gemuruh dari langit. Cerita ini juga menjadi bagian dari lahirnya nama sangihe, dan menjadi inspirasi untuk pemotongan kue adat Tamo.
( Toponimi,Cerita rakyat, dan data sejarah dari kawasan perbatasan Nusa Utara, Sub Dinas kebudayaan kab.Kepl. sangihe, 2006 )
Tahun 1300, Pangeran Gumansalangi dibuang oleh orang tuanya dari Cotabato – Mindanao, jauh ketengah hutan. Gumansalangi dibuang karena tabiatnya buruk. Ditengah hutan Gumansalangi menyadari kesalahannya sambil menangis-nangis dan tangisannya terdengar sampai kekayangan. Dia lalu ditolong oleh raja dari kayangan dengan mengirim putri bungsunya bernama konda kebumi untuk menemui Gumansalangi dalam penyamaran sebagai seorang perempuan yang berpenyakit kulit.
Gumansalangi mengajak perempuan itu untuk tinggal bersamanya. Tapi beberapa hari kemudian sang putri menghilang karena kembali kekhayangan. Dua kali putri melakukan hal itu kepada Gumansalangi. Ketiga kalinya sang putri datang lagi dalam rupa putri cantik atas perintah ayahnya. Sejak saat itu mereka menjadi suami isteri.
Setelah menikah, atas perintah sang raja khayangan mereka disuruh keluar dari hutan tersebut. Kepergian mereka ditemani oleh kakak sang putri bernama Bawangung – Lare yang menjelmah menjadi seekor naga. Mereka berangkat ketimur dan sampai ke pulau Marulung (pulau balut sekarang) Ditempat ini mereka tidak turun karena tidak ada tanda seperti yang disampaikan oleh ayah mereka.Tanda-tanda tersebut adalah nampak kilat saling menyambar dan gemuruh. Perjalanan di lanjutkan melewati Pulau Mandalokang (Pulau taghulandang sekarang) mereka tidak menetap disana karena tidak ada tanda dan terus ke pulau Karangetang disana tidak juga terlihat tanda. Perjalanan dilanjutkan ke pulau Tampungang Lawo menuju ke gunung Sahendalumang. Di puncak gunung, mereka menemukan tanda berupa kilat dari atas dan gemuruh dari bawah. Berdasarkan titah sang ayah, menetaplah mereka di tempat itu. Gumansalangi diangkat menjadi raja dengan gelar Medellu yang berarti bagaikan gemuruh, sedangkan Putri Konda dijuluki Mengkila yang berarti putri kilat. Kerajaan itu bernama kerajaan Tampungan Lawo.
Tahta kerajaan kemudian diserahkan kepada anaknya yang sulung Melintangnusa tapi kemudian Melintangnusa pergi ke Mindanao dan menikah dengan putri Mindanao bernama Putri Hiabĕ anak dari raja tugis. Adiknya Melikunusa pergi ke daerah Bolaang Mongondow dan menikah dengan putri Mongondow bernama Menong Sangiang.
Tahta kerajaan dari Melintangnusa digantikan oleh anaknya Bulegalangi. ( sumber cerita dari Bapak H.Juda dalam buku “ Manga wÄ•keng Asaļ ‘u Tau SangihÄ• “).
Melihat penyampaian syair umum dalam berbagai sasalamate tamo yang diturunkan sejak masa lalu, memberikan gambaran tentang usaha Gumansalangi memecahkan masalah dan akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan. Tentang telur pada pucuk tamo sudah dijadikan hiasan utama pada tamo masa lalu sbagai simbol kehidupan baru yang diamanatkan dalam kisah Konda Wulaeng. Jika pemaknaan filosofi Tamo adalah gambaran Gumansalangi dan konda wulaeng maka kemungkinan besar, dari beberapa versi cerita Gumansalangi diatas yang paling bersesuaian adalah versi ke tiga.
SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT SANGIHE
Sangihe adalah daerah kepulauan, yang dahulunya satu bagian dengan kepulauan Talaud dan Kepulauan Sitaro dalam sistem pemerintahan kabupaten. Saat ini Kepulauan Talaud dan Kepulauan Sitaro ( siau, taghulandang,biaro ) terpisah, dan membentuk pemerintahan kabupaten yuang baru.
Luas kepulauan sangihe adalah 2.263,95 km persegi (ensiklopedi nasional indonesia). Terletak antara 125,10â° sampai 127,12â° bujur timur dan 2,3â° lintang sampai 5,2â° lintang utara. Secara Geografis, kepulauan sangihe berbatasan, sebelah utara dengan perairan laut philliphina,sebelah selatan dengan selat talise - perairan laut minahasa,sebelah barat dengan laut maluku, sebelah timur dengan laut sulawesi. Sangihe merupakan daerah vulkanis karena berada pada jalur pegunungan sirkum pasifik yang menghubungkan jalur philiphina,ternate,tidore sulawesi utara dan sulawesi selatan. Hal ini dibuktikan dengan adanya gunug api seperti gunung awu di pulau sangihe,gunung karangetang di pulau siau,gunung ruang di pulau ruang taghulandang,gunung api bawah laut mahangetang. Sangihe dikenal sebagai sangir atau sanger oleh suku-suku lain di Sulawesi utara.
Kemungkinan besar penggunaan nama sangihe berhubungan dengan kata sangi’ berarti sumangi, sasangi, sasangitang, makahunsangi, mahunsangi, masangi, semua kata ini merujuk pada arti tangis dan sedih. (sangiress nederlands woordenboek met nederlands sangiress register, Mr.K.G.F.Steller-Ds.W.E.Aebersold). Kata Sangihe dapat dipilah dari dua kata yang diartikan secara harafiah yaitu : Sangi dari kata sangiang yang berarti Putri Khayangan, Ihe atau uhe berarti Emas. ( Toponimi,cerita rakyat dan data sejarah dari kawasan perbatasan nusa utara). Kata sangi’ dapat juga ditemukan sebagai nama tempat di pulau lapu-lapu kepulauan philliphiness,afrika dan india.(Encarta 2007). Pelaut Eropa menyebut daerah kepulauan Sangihe Talaud dengan nama Sanguin. Pelaut-pelaut china dalam satu ekspedisi yang dipimpin laksaman Ceng Ho menyebut daerah kepulauan sangihe dengan nama Shao San. (Iverdixon Tinungki,Tabloid Zona Utara). Dalam bahasa Tountembouan, kata Sangir berarti mengasah dengan menggunakan batu asah. Tempat untuk mengasah benda tajam disebut pasangiran.
Sampai saat ini belum ditemukan data secara pasti sejak kapan kata sangihe mulai digunakan sebagai nama kepulauan yang didalamnya hidup ethnis sangihe. Muhamad Yamin dalam buku Atlas Sejarah sudah menulis P. Sangihe sebagai daerah kekuasaan kesultanan Ternate sampai tahun 1677 sebelum diserahkan ke VOC. Dalam catatan-catatan lain mengatakan bahwa sangihe adalah Nusa Utara. Kepulauan Sangihe dan Talaud pernah menjadi wilayah konsentrasi pasukan Majapahit. Kedatangan pasukan kerajaan majapahit di utara Indonesia terutama di Kepl.Talaud antara tahun 1350 sampai 1365. Masa ini dihitung sejak Hayam Wuruk berkuasa di kerajaan Majapahit dan mencapai kejayaan. Thn 1365 adalah tahun wafatnya Gajah Mada.
Manusia Sangihe pertama berdasarkan Legenda dan cerita lisan, terdiri dari 4 jenis yaitu:
Manusia Apapuhang. Apapuhang adalah jenis manusia pertama dalam legenda Sangihe yang pernah hidup di pulau Sangihe. Mereka hidup dicabang pohon. Persebaran manusia apapuhang berada di Utaurano antara Mangehesê dan Bowongkalaeng. Disebuah lembah yang sekarang dikenal dengan nama balang apapuhang, kecamatan Tabukan Utara. Bentuk fisik Apapuhang, tubuhnya pendek, kerdil. Suku Apapuhang memiliki kerajaan di bawah bumi. Untuk dapat masuk di kerajaan Apapuhang harus melewati pintu gerbang yang berada tepat di belakang air terjun Apapuhang di Kampung Lenganeng (Wawancara dengan Bapak Radangkilat thn 1994) Semua benda di kerajaan Apapuhang terbuat dari emas.
Manusia Tampilê Batang, Hidup diakar pohon besar yang tumbang. Persebaran penduduk ini tidak diketahui.
Manusia Pêmpanggo (manusia jangkung) Tidak memiliki tempat tinggal tetap. Persebaran penduduk ini tidak diketahui.
Manusia Angsuang. Angsuang adalah raksasa dalam bahasa sangihe.Cerita tentang manusia ini menjadi Legenda di kampung-kampung yang berada dikaki gunung Awu. Angsuang adalah tokoh dalam legenda Gunung Awu, yang menceritakan proses terjadinya letusan gunung berapi.
Dr. Peter Beltwood dari Australian National University Departement of Prae-history bekerjasama dengan pihak permuseuman kantor pendidikan dan kebudayaan yang diwakili oleh Drs. I. Made Sutayasa pada bulan Juni sampai Juli 1974 telah mengadakan penggalian dikepulauan sangihe dan talaud. Dari hasil penggalian ditemukan taring dan gading hewan purba,gerabah bermotif, flakes, kerangka manusia purba (di goa Bowoleba Manalu).Temuan itu memberikan gambaran bahwa sudah ada kehidupan di kepulauan sangihe dan talaud sejak kurun waktu 5000 tahun silam. (Toponimi,cerita rakyat dan data sejarah dari kawasan perbatasan nusa utara)
Tim arkeologi nasional melalui balai arkeologi manado dalam laporan penelitian arkeologi, “kajian permukiman dan mata pencaharian hidup manusia masa lalu di kepulauan sangihe dan talaud sulawesi utara” mendapatkan hasil bahwa sudah sejak lama ada kehidupan di kepulauan Sangihe dan Talaud.
Robert C. Suggs dalam buku “ Island Civilization of Polynesia”, ( John Rahasia “Penemuan Kembali Tagaroa “, 1975 ) mengungkap bahwa sejak ± 2000 – 1700 sebelum Masehi terjadi tekanan politis militer China dan Mongolia dari bagian utara daratan Asia yang mendesak penduduk di lembah Mekhong di daerah Yunnan (Viet Nam) untuk pindah. Penduduk yang tinggal di lembah Mekhong menjalani tiga macam situasi yaitu : Mereka yang lemah dan tunduk, dikuasai dan diasimilasikan dibawah peradaban,kebudayaan dan kekuasaan China – Mongolia.Mereka yang lemah tetapi mengadakan perlawanan,dihancurkan sampai keakar-akarnya, sehingga tidak berbekas.Mereka yang tidak mau tunduk terpaksa meninggalkan daerah asalnya dan merantau keluar. Ketepi laut China Selatan ke Philliphina, Nusantara, melalui Mikronesia dan Melanesia sampai ke kepulauan Hawaii, pulau Paskah, Selandia baru di Polynesia dan ada juga yang ke Madagaskar, Timur Afrika.
Periodisasi persebaran penduduk di China akibat masalah diatas dapat dikelompokan sebagai berikut ;
Migrasi nenek moyang Nusantara terdiri dari dua tahapan yaitu :
Migrasi pertama tahun 1700 - 1500 sebelum Masehi dinamakan proto melayu. Migrasi ini membawah kebudayaan Batu baru / neolitikhum yang berpusat di Bascon hoabin Indo china. ( kebudayaan kapak lonjong dan persegi ). Yang termasuk keturunan proto melayu adalah : suku toraja dan dayak. Migrasi kedua tahun 700 - 300 Sebelum Masehi dinamakan Deutro Melayu yang membawah kebudayaan logam. Kebudayaan ini berpusat di Dongson. Yang termasuk keturunan deutro melayu adalah suku Jawa dan Bugis.
Penduduk Sangihe dan Talaud termasuk ras Melayu Polynesia. Asal perpindahan mereka dari Utara Mindanao dan lainnya berasal dari Ternate. Suku bangsa Sangihe dan Talaud termasuk suku bangsa Polynesia dan sebagian besar termasuk dalam suku Austronesia (Prof. J. C. van Erde, dalam catatan tentang kebudayaan Sangihe-Talaud, Gideon Makamea,2008 ).
Penduduk Sangihe, tidak dapat ditentukan dengan pasti asalnya. Diperkirakan mereka berasal dari Philliphina dan Sulawesi Utara hal ini didasarkan dari bahasa yang ada di Sangihe dan Talaud, Philliphina dan Minahasa memiliki banyak kesamaan. (Breuwer 1918 ; 771,dalam catatan tentang kebudayaan Sangihe-Talaud, Gideon Makamea,2008 ) Penduduk sangihe sendiri beranggapan bahwa nenek moyang mereka berasal dari utara.
Untuk mengetahui siapa nenek moyang pendatang dan siapa nenek moyang penduduk asli dapat dilihat melalui beberapa ras dunia yg akan menunjukan keberadaan nenek moyang suku sangihe.Ras Kaukasoid terdiri dari, Nordik (Eropa utara/ Jerman), Alpin (sebagian besar bangsa Eropa), Mediterania (Timur tengah / Arab), Indic (India). Ras Mongoloid terdiri dari, Asiatik Mongoloid (China,Jepang,Korea ), Malayan mongoloid (Melayu), American Mongoloid (Indian). Ras Negroid terdiri dari, African Negroid (negro Afrika), Negrito (penduduk Asli Philiphina).Ras khusus seperti ; Australoid/penduduk asli Australia, Polynesia/bangsa Pasifik, Melanesia/Papua pasifik, Micronesia / Pasifik, Ainu/penduduk asli Jepang, Dravida/penduduk asli India, Bushman / Afrika selatan.
Bangsa Melayu terdiri dari 4 Suku bangsa yaitu : Malaysia, Indonesia, Orang negrito, dan Papua (Encarta 2005). Dapatlah disimpulkan bahwa penduduk Sangihe asli ditinjau dari etnik, dan legenda, bukanlah orang Indonesia tetapi merupakan bagian dari suku bangsa negrito. Karakter fisik ras Negrito adalah : mata tidak sipit,warna kulit gelap kehitaman, postur tubuh tinggi rata-rata 130 cm.
Sebelum terjadi migrasi besar-besaran dari daratan china, di Nusantara sudah ada penduduk yaitu : Wedoid dan Negrito. Sisa-sisa suku wedoid adalah : suku Sakai di siak, suku kubu di jambi,suku lubu di palembang. Sisa-sisa suku negrito sudah punah. Ras Negroid termasuk juga sub ras africa negroid (Negro Afrika) dan negrito penduduk asli Philliphina. Negrito adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Eropa untuk membedakannya dengan Negro Afrika.
Karakter fisik penduduk sangihe ditinjau dari asalnya terdiri dari ;
Berdasarkan cerita lisan yang sudah terwaris turun temurun bahwa nenek moyang orang sangihe adalah Gumansalangi. Gumansalangi diberikan gelar Kasili Medellu ( pangeran guntur ) dan Konda asa bergelar Sangiang Mengkila atau Konda wulaeng yang berarti putri cahaya.
PENINGGALAN KEBUDAYAAN PRA SEJARAH
Kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, serta lain-lain kenyataan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan adalah salah satu ciri yang membedakan antara manusia dengan binatang.Kebudayaan sangihe memiliki semua unsur - unsur kebudayaan yang ada.
Terhitung sejak mithology tagharoa, maka kebudayaan Sangihe purba dimulai sejak tahun 3000 sebelum masehi dan berakhir sesudah saman logam (nusantara). Mithologi tagharoa adalah mithology Pasifik. Sebagian peninggalan saman purba dari saman batu masih dapat dilihat di kepl, sangihe.
Secara tipologi peninggalan bersejarah di sangihe, membuktikan bahwa benda-benda tersebut memang berasal dari saman purba, meskipun sampai saat ini belum diketahui secara jelas tentang fungsi dan umur dari benda tersebut. ( Tipologi adalah suatu cara untuk menentukan umur benda budaya berdasarkan bentuknya. Makin sederhana benda budaya makin tua umurnya )
Gong dalam bahasa sangihe adalah Nanaungan. Berfungsi sebagai musik pengiring upacara keagamaan dari saman logam.
KEHIDUPAN BERAGAMA DAN
KEPERCAYAAN SUKU SANGIHE
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib,luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Mempercayai sesuatu sebagai yang suci atau sakral adalah ciri khas kehidupan beragama.(Busstanudin Agus, Agama dalam kehidupan manusia,50,2005).
Manusia beragama karena beberapa hal yaitu ; Tidak mampu mengatasai bencana alam,tidak mampu melestarikan sumber daya dan keharmonisan alam,tidak mampu mengatur tindakan manusia untuk dapat hidup damai satu sama lain dalam masyarakat. (Evans-Pritchard, dalam Busstanudin Agus, Agama dalam kehidupan manusia,50,2005)
Kepercayaan ialah sistem keyakinan yang dianut oleh seseorang atau masyarakat dan menjadi dasar orientasi dan prilakunya. Unsur yang biasanya terkandung dalam kepercayaan ialah : mithos,ketuhanan,manusia,alam semesta,doa,mistisisme, magi dan tujuan kehidupan. ( D.J. Walandungo, Tesis,Islam Tua Terpasung dan Merana,2002).
Jauh sebelum terbentuknya kerajaan pertama, suku sangihe sudah menganut sistem kepercayaan. Kepercayaan yang dianut suku sangihe dimasa lalu tidak dapat dipastikan seperti apa. D. Brillman dalam bukunya Onze zending velden De zending op de sangi-en Talaud – eilanden menjelaskan bahwa sampai abad ke – 16 terdapat sistem kepercayaan yang disebut “ kepercayaan mana “. Mana adalah kekuatan yang menonjol,yang menyimpang dari kekuatan yang biasa, kekuatan ini hadir secara gaib di mana –mana (sakti). Pendapat umum, mengatakan bahwa kepercayaan suku sangihe dikelompokan sebagai kepercayaan animisme. Animisme adalah suatu kepercayaan mengenal adanya roh-roh dan mahluk-mahluk halus yang mendiami seluruh alam semesta. Selain pendapat diatas, suku sangihe dimasa lalu juga menganut fetis atau pemujaan terhadap benda-benda alam maupun buatan manusia yang diisi dengan kekuatan gaib, jika benar fetis, berarti agama sangihe purba juga beraliran dinamisme. (Dr. Harun Hadiwijono, Religi suku murba di Indonesia,2006)
Beberapa pendapat tentang kepercayaan sangihe dapat dilihat melalui aktifitas keagamaan masa lalu. Masyarakat sangihe mengenal beberapa ritual keagamaan seperti ritual měsundeng. Sundeng bukan hanya sekedar ritual keagamaan tetapi sebagai sebuah komunitas yang didalamnya terdapat suatu kehidupan budaya dan sistem kemasyarakatan yang memiliki hubungan dengan sebuah kekuatan yang dianggap lebih berkuasa dari komunitas tersebut.
Komunitas ini mengatur adanya pemimpin agama yang di sebut Ampuang. Ampuang bertindak sebagai orang yang berkedudukan tertinggi dalam komunitasnya. Dalam menjalankan aktifitasnya ampuang dibantu oleh para tatanging dan para bihing. Penetapan kedudukan dalam komunitas sundeng dilakukan melalui proses pemuridan atau bawihingang.
Kegiatan utama ritual měsundeng adalah menalě atau mempersembahkan sesaji. Pada awalnya pemberian sesajen dilakukan dalam bentuk pengorbanan yang mengorbankan manusia kepada penguasa alam. Ritual sundeng tidak dilaksanakan ditiap kampung tetapi dilaksanakan dalam suatu pusat penyembahan yang disebut penanaruang.Terdapat tempat pelaksanaan ritual sundeng yaitu di manganitu, pananaru,pulau mahumu dan beberapa tempat lain. Pusat penyembahan terbesar terdapat di kampung Pananaru kecamatan Tamako. Pelaksanaan ritual sundeng dihadiri oleh perutusan komunitas sundeng terkecil dari tiap kampung. Tidak semua komunitas sundeng memiliki ampuang ataupun tatanging, kebanyakan dari komunitas kecil hanya memiliki seorang bihing.
Secara garis besar, tata cara pelaksanaan kegiatan menalÄ› dimulai dari berkumpulnya para anggota komunitas sundeng melalui perutusannya. Duduk melingkar berdasarkan kedudukan dan peran dalam kegiatan penyembahan. Mempersiapkan seseorang yang akan dikorbankan. Meminta petunjuk dari penguasa alam. Setelah direstui ditikamlah satu orang yang sudah dipersiapkan dengan alat yang bernama kenang. Diyakini jiwa sang korban menuju tempat lain. Berpindahnya jiwa korban diantar melalui prosesi budaya seperti tari lide’, bunyi-bunyian alat musik oli’ disertai tagonggong dan nanaungang. Setelah semua kegiatan selesai, semua peserta makan bersama.
Komunitas sundeng meyakini adanya kekuatan yang melebihi kekuatan mereka, untuk itu mereka mempersembahkan korban sebagai bentuk hubungan antara manusia dan sang penguasa alam. Kekuatan yang melebihi kekuatan manusia dalam komunitas sundeng berupa kekuatan tidak terlihat atau roh. Kekuatan tersebut terdiri dari tiga unsur roh yang dibedakan dari orang-orang yang menyembahnya yaitu Ghenggonalangi, Aditinggi dan Mawendo. Ghenggonalangi adalah kekuatan yang berkedudukan setinggi langit yang menguasai seluruh bumi. Aditinggi adalah kekuatan yang berkedudukan didaratan tertinggi, yang disembah oleh orang - orang di perbukitan. Mawendo adalah kekuatan yang berkedudukan dilaut yang disembah oleh orang-orang dilaut dan dipesisir pantai.
Pada saat ritual sundeng masih dijalankan dalam sebuah komunitas sundeng maka muncullah sebuah ritual yang disebut mědaroro. Inti dari ritual ini adalah mencari dan menemukan petunjuk dari roh leluhur yang sudah mati. Ritual inilah yang ditafsir oleh D.Brillman dalam buku (Kabar baik dari bibir pasifik,terjemahan) sebagai agama orang sangihe. Ritual medaroro masih dilaksanakan di pananaru sampai tahun 1976 (wawancara dengan tua kampung pananaru,thn 2007), di Manganitu sampai tahun 1960-an (wawancara dengan bpk. Garing,bapak Ulis).
Konsep dan tata cara pelaksanaan ritual medaroro masih diadaptasi dari ritual sundeng termasuk lokasinya. Dikemudian hari lokasi pelaksanaan medaroro sudah dilaksanakan di kampung-kampung dalam komunitas kecil yang dulunya adalah komunitas kecil sundeng. Yang membedakan antara sundeng dengan medaroro adalah persembahan korban tidak lagi menggunakan manusia tetapi menggunakan babi. (wawancara dengan tua kampung, Nahepese, Bengka, Karatung, Kauhis, 2001 – 2007). Digantinnya korban manusia dengan babi, dimulai pada saat masuknya bangsa eropa di kepulauan sangihe. Pada akhirnya persembahan korban dalam ritual medaroro diganti dengan persembahan sesajen nasi kuning dengan lauknya.(wawancara dengan bpk. G. Makamea,2007). Makna kekuatan yang disembah dalam ritual medaroro tidak lagi kepada Ghenggonalangi,aditinggi dan mawendo tetapi kepada HimukudÄ›. Selain ritual sundeng dan medaroro masih ada ritual lain yang pernah dilakukan masyarakat sangihe dimasa lalu seperti ritual menahulending banua,menondo sakaeng,mendangeng sake, melanise tembonang, menaka batu, dan lain-lain.
Ritual menaka batu (menutup kubur dengan batu) adalah ritual purba yang berhubungan dengan peristiwa kematian,ritual ini dilakukan beberapa saat setelah penguburan jenasah. Berdasarkan temuan, batu penutup kubur ini diambil dari tempat yang sangat jauh dari tempat penguburan karena lokasi pekuburan tua ini berada di atas bukit.Dilihat dari bentuk bangunan, dapat diidentifikasi bahwa kuburan yang menggunakan tutup batu, dibuat pada saman Batu besar.
Tutup batu kubur ini menyerupai dolmen.Ukuran batu mulai dari 50 x 50 cm sampai 100 x 250 cm dengan ketebalan 5 – 25 cm. Berat batu berfariasi dari 50 kg sampai 700 kg. Pada bagian bawah terdapat 4 sampai 5 tiang batu setinggi 40 cm dari atas tanah.Ritual menaka batu menunjukan status sosial masyarakat. Kuburan yang memiliki penutup batu paling besar berasal dari kalangan atas sedangkan kuburan yang memiliki penutup batu kecil dari kalangan bawah.Berdasarkan penuturan dari tua-tua kampung pananaru dan lapango, untuk mengangkat batu ukuran besar memerlukan tenaga sebanyak 50 sampai 100 orang yang dilakukan secara estafet.Diatas batu, duduk seorang pemimpin yang memberikan perintah.Setibanya di pekuburan ada seorang tua-tua adat yang sedang memainkan musik Tagonggong, pada saat batu penutup kubur mulai diangkat keatas bukit, sering terjadi perkelahian. Setelah prosesi menaka batu selesai, diadakanlah pesta dalam bentuk meberi makan seluruh pekerja. Situs kuburan tua sangihe yang memiliki konstruksi yang sama, menggunakan penutup batu besar terdapat di pantai pananualeng,pananaru,pangalemang,bawuniang lapango.
Konsepsi masa lalu tentang keragaman budaya terbawa jauh sehingga menemui suatu perubahan dengan munculnya upacara Tulude. Upacara ini dilaksanakan setahun sekali sabagai upaya mensyukuri keberadaan ditahun yang sudah dilalui dan menolak bala di tahun yang baru. Pada upacara ini ditampilkan semua bentuk hasil kebudayaan sangihe. Tulude merupakan upacara adat terbesar.
Filosofi utama dari tulude terletak pada tamo, dimana seluruh lapisan masyarakat dapat hadir tanpa harus diundang. Pada kegiatan ini tampak nilai kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat, antara masyarakat yang satu dengan lainnya dengan tidak membedakan status dan kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Islam merupakan agama luar pertama yang masuk dan berkembang dikepulauan sangihe. Sebelum agama Islam berkembang lebih luas disangihe, sudah lahir sebuah komunitas kehidupan beragama menyerupai islam yang disebut Islam tua atau kaum tua. Aktifitas keagamaan komunitas ini masih mempercayai dan mengikuti kebiasaan penganut islam Alquran, seperti melakukan puasa,melakukan sholat berjamaah,merayakan beberapa hari keagamaan Islam berdasarkan islam quran. Komunitas keagamaan ini tidak memiliki kitab suci sebagaimana agama Islam Al-quran. Mereka meyakini bahwa ajaran islam tua disebarkan pertama kali oleh seseorang yg kemudian disebut sebagai Mawu Masade. (penjelasan beberapa umat islam tua 2003). Salah satu ajaran leluhur yang mereka anggap patut di jaga adalah : umat tidak perlu sekolah tinggi, karena kalau sekolah tinggi dapat mengotori tingkat keimanan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa (wawancara dengan bpk. Manto Kirimang,2007)
Masade adalah seorang anak berumur 7 tahun yang ditemukan di kerajaan Tabukan pada masa pemerintahan Raja Dalero. Pada saat itu terjadi perang antara kerajaan tabukan dan kerajaan islam LumaugÄ›. Penyebab perang bukan masalah agama tetapi dendam kepada sultan sibori dari ternate yang membawa lari Maimuna putri raja Dalero. (Sultan sibori sering berkunjung ke kerajaan Lumauge). Pada saat terjadi perang,masade bersembunyi didalam perahu yang tertutup ditanah. Dia ditemukan dan dibesarkan oleh Manakabe. Masade mempelajari agama Islam di Ternate dan Mindanao lalu kemudian menyebarkannya ke sangihe. Masade meninggal dan dimakamkan di Tubis,Philliphina, beberapa waktu setelah perjalanannya ke Ternate,Mongondow,dan Mekah.
Ajaran Masade diteruskan oleh muridnya yang bernama Penanging. Penanging melakukan pemuridan kepada tiga orang yaitu Makung, Hadung dan Biangkati. Ajaran tiga murid penanging inilah yang melahirkan tiga aliran ajaran dalam Islam Tua. Tempat ibadah komunitas keagamaan ini dinamakan mesjid, alat yang digunakan untuk memanggil orang beribadah menggunakan lonceng. Shalat berjamaah dilaksanakan tiap hari Jumat. Ajaran utama mereka berasal dari imam. Ada kemungkinan lahirnya komunitas keagamaan islam tua merupakan kegagalan dari dakwah islam Syi,ah.
Disaat agama islam tua sedang mengalami tekanan dari berbagai pihak terutama tekanan dari negara sendiri, muncul seorang penyelamat yaitu Pendeta Don Javirius Walandungo. Melalui sebuah tesis dengan judul “ Islam Tua Terpasung dan merana” telah membuka mata pemerintah untuk menyelamatkan agama ini dari tekanan saudara-saudaranya.
Sampai saat ini tidak ada bukti yang dapat menguatkan tetang kapan masuknya ajaran islam mula-mula di kepulauan sangihe. Secara umum, ajaran islam masuk ke Indonesia oleh beberapa ahli berasal dari India, Coromandel, Arabia, Mesir, China dan Persia. Diperkirakan ajaran yang masuk ke sangihe melalui philliphina dan ternate.
Ajaran Islam masuk dan berkembang disangihe dilihat dari dua kemungkinan.
Pertama, masuk melalui Philliphina awal tahun 1400 oleh pedagang dan pelaut china yang melalui jalur pelayaran laut. Persebaran islam ini dilakukan melalui pelayaran yang dilakukan juga oleh pelaut china, Cheng Ho dalam kunjungannya di pulau Sulu. Masuknya ajaran islam dari philliphina juga dipengaruhi oleh hubungan dagang yang dilakukan oleh muslim cina maupun muslim moro,mindanao.
Kedua, masuknya ajaran islam dari Ternate diperkirakan pada abad ke 14, karena pada saat itu islam sudah tersebar diseluruh ternate. Sultan ternate yang benar – benar sudah memeluk agama islam adalah Sultan Zainal Abidin (memerintah sebagai sultan thn 1486-1500),Zainal Abidin belajar islam dari Sunan Giri. Pada masa pemerintahan sultan Baabullah anak dari Sultan Hairun (1570-1583) kesultanan ternate mencapai kejayaan. Wilayah kekuasaannya sampai ke Philliphina. Orang pertama yang menyebarkan agama islam AlQuran disangihe adalah Imam Penanging yang kemudian dianggap oleh penganut Islam tua sebagai murid dari Masade ( wawancara dengan bapak Gabriel, kepala MI Petta )
Menurut tradisi lisan sangihe, agama islam pertama kali diperkenalkan di Tabukan oleh seorang arab bernama Syarief Maulana Moe’min pada abad ke 15 dan mendapatkan pengaruh pertama terhadap raja kerajaan Lumauge. ( Suwondo,1978 dalam D.J.Walandungo, Islam tua terpasung dan merana ). Kerajaan lumauge berpusat di sebuah bukit di belakang moronge. Kerajaan ini adalah satu-satunya kerajaan islam di sangihe yang merupakan bagian dari kekuasaan kerajaan Tabukan.
Pada abad ke 19 datanglah seorang imam dari pontianak yang mengajarkan ajaran Islam. Imam tersebut dijuluki “Imam Pontiana”. Sesudah imam “pontiana” dipulangkan oleh pemerintah Kerajaan Tabukan ke pontianak, muncul lagi seorang pengajar agama islam dari tabukan bernama Walanda yang sebelumnya pernah berguru pada Tamieng. Walanda memperdalam ilmu Islam di mongondow,setelah kembali ke sangihe ia membuka pengajian di tabukan. Pertengahan abad ke 19, raja Kumuku (Hendrik David Paparang) mempelajari agama Islam di Ternate. Sekembalinya di Sangihe, dia membawa seorang anak bernama Moedin Baud. (catatan laporan kunjungan Gubernur jendral di kerajaan Tabukan, 1927)
Pada masa pemerintahan Presidentsi raja Cornelis Siri Darea tahun 1886, agama islam di Kerajan Tabukan mendapat tekanan. Kapiten laut Hadiman Makaminan dan Maloehenggehe Paparang dihukum karena berguru ajaran islam pada Husein (orang Gorontalo). Orang-orang yang masih memeluk agama Islam di Tabukan diungsikan ke Tahuna dan membentuk komunitas baru kampung islam Tidore. Pengungsian dipimpin oleh Abdoel Latief. Di bowondego/lenganeng mereka menangis sambil mengucapkan doa Ya Allah Tuhan yang rahman, PadaMulah tempat berlindung, Sertailah berkat, teguhkanlah iman, Peliharalah hambamu diperasingan. Diantara para pengungsi terdapatlah seorang yang bijak bernama Ontameng Kakomba yang kemudian menjadi guru agama Islam di Tahuna.
Di masa pemerintahan raja Tahuan, Dumalang, islam mendapat tekanan. 15 orang penganjur Islam diasingkan diluar Sulawesi.Atas pertolongan Controleur Hoeke beberapa tahun kemudian dibangunlah sebuah mesjid di Sawang. Dimasa pemerintahan Raja D. Sarapil 1898 umat islam dalam pembuangan Tahuna, diijinkan pulang ke Tabukan dan membangun mesjid di Moronge dan Peta.
Tahun 1915 datanglah seorang Ambon bernama Marasa Besi mengajarkan ilmu sihir bertopeng agama Islam. Tahun 1919 Sarikat Islam terbentuk di Tabukan, organisasi ini bubar pada tahun 1921. Karena kesalah pahaman, pemimpin Sarikat Islam J.G. Janis dihukum, sampai meninggal dan dikuburkan di Surabaya. Pada masa pemerintahan raja W.A. Sarapil tahun 1925, kehidupan beragama di kerajaan tabukan menjadi baik. (disarikan oleh Bombaran Makaminan dalam catatan laporan kunjungan Gubernur jendral di kerajaan Tabukan, 1927 )
Satu-satunya kerajaan Islam di Sangihe adalah Kerajaan Lumauge yang berpusat di Moronge, dibawah kekuasaan Kerajaan Tabukan. Kerajaan lain disangihe yang mendapat sentuhan islam adalah kerajaan Kendahe. Raja kerajaan kendahe pertama adalah anak Sultan Achmad dari philiphina, memerintah thn 1600 – 1640. Raja Tabukan yang beragama islam adalah raja Gadma. ”Utusan raja Gadma menegaskan kepada pemerintah spanyol di manila bahwa mereka rela meninggalkan agama islam dan memeluk agama kristen” ( Meersman 1967 dalam D.J.Walandungo, Islam tua terpasung dan merana).
Misi Khatolik Portugis pertama yang tiba di Maluku adalah beberapa rahib Franciscan yang mendarat di Ternate tahun 1522,kemudian berkembang pesat sampai tahun 1570, di ambon lease,bacan,halmahera – morotai,ternate-tidore, Banggai,Manado dan Sangihe. Hal ini terlaksana atas usaha dari Misionaris Jesuit, Franciscus Xaverius sejak tahun 1546 selama 15 bulan penginjilan. Sesudah tahun 1570 Misi Roma khatolik mulai mengalami kemunduran akibat dari, dibunuhnya Sultan Hairun oleh Portugis.
Tahun 1563, pater Diego de Magelhaes membaptis “raja Manado” dan raja Siau Possuma. Thn. 1566 raja Siau yang baru kembali dari pengungsian ditemani oleh misionaris dari Ternate Pater Mascarenhas. Akhir bulan september 1568 raja Kolongan meminta rohaniawan di siau untuk menerimanya menjadi Kristen. Tgl. 5 Oktober 1568, Pater Mascarenhas tiba di pulau sangihe, mengajar selanjutnya membaptis dan menikahkan beberapa bangsawan di kerajaan kolongan. Tahun 1563 adalah awal sentuhan Khatolik di Siau.
Perkembangan protestan di pulau sangihe dapat di periodisasikan berdasarkan buku Wilayah-wilayah zending kita, Zending dikepulauan sangi dan talaud, sebagai berikut :
Penyebaran protestant calvinis dimulai sejak Spanyol
menarik diri dari Sangihe, setelah VOC merebut Tahuna
pada tahun 1666. Pendeta mula-mula adalah Ds. Pregrinus
(1677) dan Ds. Cornelis de Leeuw, sebagai pendeta
pertama yang berkhotbah dalam bahasa Sangihe (1680
Penyebaran agama kristen protestan mula-mula dilakukan oleh para pendeta pegawai VOC. Tahun 1675 Pendeta J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah. Tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing di Manado. Sampai tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia. Kekristenan pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik. (Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja ringkas,81,1966)
Tahun 1674-1675 adalah masa awal sentuhan protestan di pulau sangihe. Pada masa itu Pendeta Franciscus Dionysius dan Pendeta Ishacus Huysman berkunjung ke pulau sangihe,kemudian sakit lalu meninggal dan dikuburkan ditepi pantai, jalan menuju ke angges. Thn. 1676 sangihe dikunjungi oleh Pendeta. J.Montanus dan Pendeta Peregrinus. Tahun 1770 – 1853 Pendeta Josep Kam Bertugas di Maluku dan dijuluki Rasul Maluku, pendeta ini sering melakukan kunjungan ke sangihe. Pendeta terakhir yang berkunjung ke pulau sangihe semasa VOC adalah Pendeta J.R. Adams pada tahun 1789. 31 Desember 1799 VOC dibubarkan, sejak bubarnya VOC tidak ada lagi pelayanan rohani
Van der Kamp mendirikan NZG Tahun 1797. Tahun 1817 Pendeta Josep Kam berkunjung ke Minahasa. Tahun 1819 Lenting berkunjung ke Minahasa.Pendeta Josep Kam dan Ds. Lenting mendapati orang Kristen tidak ada pelayanan lagi,lalu mereka melaporkan keadaan itu pada NZG di Belanda. Pada tahun 1822 atas laporan diatas maka NZG mengirim 2 orang berkebangsaan Swiss, L.Lamers di Kema ( meninggal 1824 di Kema ) W. Muller di Manado (meninggal 1827 di Manado) Mereka meninggal karena penyakit Typus.Dalam pelayanan, mereka mengalamai banyak hambatan dan tantangan terutama dari kalangan turunan Eropa.Tahun 1827 pelayanan manado diganti oleh Ds. G. J. Helendoorn. 4 tahun kemudian tahun 1831 dikirim lagi 2 Orang pelayan yaitu : Johann Friedrich Riedel dan Johann GottliebSchwars.
Tahun 1855, NZG mengutus S.D. van der Velde van Capellen dari Minahasa ke sangihe dan membaptis 5033 orang.Ketika itu S.D. van der Velde van Capellen sedang bertugas di Tareran,Minahasa. Atas kujungan tersebut dilaporkanlah keadaan jemaat kristen sangihe yang terlantar kepada NZG. Oleh menteri Jajahan, diberikan jawaban bahwa akan diutus empat orang Zendeling-werklieden atau zendeling tukang. S.D. van der Velde van Capellen kembali lagi ke tempat tugas di minahasa sampai akhir hidup dan dikuburkan di lansot tareran tahun 1856.
Komisi Zendeling tukang memulai pekerjaannya di
Amsterdam tahun 1851 dan mengutus pekerja injil di
Indonesia. Komisi telah mengutus sembilan orang ke
pulau sangihe dan talaud untuk melakukan penginjilan.
Usaha penginjilan ini dilakukan atas beberapa latar
belakang diantaranya :
Karena kekurangan tenaga di Belanda, Komisi zendeling tukang mengambil beberapa utusan dari Jerman. Mereka yang diutus adalah : Carl W.L.M Schroder, E.T.Steller, F. Kelling dan A.Grohe. Kelling dan Grohe ke pulau Siau mereka tiba di Taghulandang 15 Juli 1875. Steller dan Schroder tiba di Manganitu 25 Juni 1857. Pengutusan zendeling tukang berakhir tahun 1858.
Pada masa ini tanggungjawab pemeliharaan iman di pulau sangihe dan talaud ditangani oleh Komite Sangihe dan Talaud. Komite ini didirikan di Belanda atas kerja sama dengan beberapa badan penginjilan. Komite hanya bertanggung jawab membiayai perjalanan utusan injil sampai di Batavia, sesudah itu diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda melalui badan penginjilan yang ada di Manado. Utusan injil yang datang di sangihe dan talaud diambil dari beberapa badan penginjilan.
Utusan injil baru tiba di Sangihe tahun 1888. Mereka yang diutus adalah : M. Kelling,W.T.Vonk, J.C.G.Ottow. Tahun 1891, siau menerima pekerja injil baru yaitu : A.J. Swanborn,pada saat yang sama G.F. Schroder pindah dari talaud di pulau sangihe, dan Mr.K.G.F. Steller tiba di Manganitu 31 mei 1899. Pada tanggal 1 Juli 1904 pelayanan injil di serahkan lagi pada komite untuk pemeliharaan kebutuhan rohani jemaat kristen protestan pribumi. Menjelang pertengahan tahun 1900, gereja kristen di sangihe menyatakan berdiri sendiri, tidak terikat lagi oleh gereja negara.
SENI TARI DAN MUSIK SANGIHE
Penciptaan tari lahir sebagai bagian dari keperluan ritual atau upacara adat dan kegiatan sosio – kultural. Dalam tata kehidupan seperti itu rasa dan semangat kebersamaan menjadi titik sentral. ( I Wayan Dibia,dkk. Tari Komunal,2006)
Tari berkembang atas kerja sama dan rangsangan yang didapat dari musik,seni rupa,sastera dan drama. Penciptaan tari tradisi sudah ada seiring dengan lajunya sejarah. Masing-masing khazana tari tersebut mengalami perubahan dan perkembangan. Satu sama lain dapat terjadi saling silang budaya atau saling mempengaruhi.( Sumaryono Endo Suanda, Tari Tontonan, 2006)
Di sangihe, tarian merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, apakah itu untuk keperluan ritual ataupun pertunjukan. Dalam mengekspresikan tari, musik menjadi bagian didalamnya. Setiap bentuk tari mengalami perubahan dari waktu ke waktu berdasarkan perkembangannya.
Terdapat beberapa tari-tarian asli sangihe yang masih ada dan sedang dikembangkan yaitu, tari gunde,tari sese madunde,tari alabadiri,tari dangsang sahabe,tari bengko,tari salo,tari upase,tari tambor dan tarian ampa wayer.
Substansi (isi) dasar tari, adalah gerak tubuh, karena itu tari adalah perwujudan ekspresi secara personal. Tari lahir dari suatu sistim kebudayaan yang berlaku didaerah masing-masing merupakan bentuk komunikasi antar manusia yang lahir dari tatanan kehidupan. ( I wayan dibia,cs.Tari komunal,2006 ).
Tari dipertunjukan pada berbagai peristiwa, seperti yang berkaitan dengan upacara (ritual) dan pesta untuk merayakan kejadian-kejadian penting.Tari telah berperan penting dalam sistim sosial sejak zaman pra sejarah (Sumaryono, Endo Suanda,Tari tontonan, 2006)
Penelitian tentang musik ini telah dilakukan oleh banyak ahli dan pemerhati lokal dan beberapa pakar etnomusikolog dari Indonesia maupun luar negeri. Mengolį adalah suatu kegiatan memainkan alat musik yang dinamakan musik lide. Latar belakang permainan musik ini adalah sebagai media penghubung manusia dan sang penguasa alam. Disamping memainkan musik ,terdapat satu orang perempuan yang menyanyi dengan isi syair pantun (dalam bahasa sangihe disebut papantung, medenden). Musik lide terdiri dari sekumpulan alat musik tradisional Sangihe yang dimainkan secara bersama oleh penganut kepercayaan sundeng. Musik ini sudah ada bersamaan waktunya dengan kerajaan mula-mula di kepulauan sangihe tahun 1500 – an. Kesenian ini lahir sabagai bagian dari ritual mêsundeng.
Musik lide terdiri dari beberapa jenis alat musik yang pada musik melodis memiliki unsur 5 buah nada yaitu : do,re,mi,fa,sol.
Musik lide terdiri dari 8 jenis irama lagu purba. Jenis irama lagu purba yang masih ada dari antara 8 lagu purba adalah :
1. Lagung lide
2. Lagung laogho u lendu
3. Lagung elehu ake
4. Lagung sangi u wuala
Lagu yang sudah punah diantaranya adalah Ondolu Wango.
Hal ini disampaikan oleh nara sumber, pemain dan pembuat alat dikampung Manumpitaeng bernama Umbure Kalenggihang. Menurut bapak Malomboris (pemerhati music lide dari kampung Manumpitaeng) lagu yg sudah dinyatakan punah masih dapat dimainkan oleh Bapak Umbure tetapi belum saatnya diajarkan. Hal ini mungkin berhubungan dengan sitem pewarisan pada Agama Sundeng. Menurut bapak Malomboris, pemerhati budaya lide dari Manumpitaeng mengatakan bahwa selain lagu, terdapat juga tari pada ritual sundeng yang sudah dinyatakan punah, tari tersebut bernama Tari lide.
Jenis irama lagu, pengembangan dari lagu purba diantaranya adalah :
1. Lagung bowong buas
2. Lagung balang
3. Lagung sahola
Setiap jenis lagu memiliki latar belakang penciptaan yang berbeda. Yang unik dari irama musik lide yaitu : irama musik lide sudah diturunkan secara turun-temurun tanpa perubahan secara signifikan. Perbedaan musik lide hanya terdapat pada tempat dimana musikc itu dikembangkan. Irama lagu musik lide di daerah sekitar Pulau Mahumu hanya menggunakan 3 irama lagu sementara didaerah lain menggunakan 4 irama lagu. Musik lide merupakan paduan dari beberapa jenis alat musik seperti : Oli, Bansi, Arababu, salude dan Sasesaheng yang dimainkan secara bersamaan menjadi sebuah ansambel. Permainan music ini sering juga di padukan dengan vocal / suara manusia. Syair lagu yang dinyanyikan kebanyakan bertema permintaan yang memiluhkan, hasil dari penderitaan yang berkepanjangan. Pada perkembangan salanjutnya Musik lide mulai dipadukan dengan gong atau dalam bahasa sangihe disebut Nanaungang. Kegunaan gong adalah pengendali tempo lagu.
Dari keempat jenis lagu yang ada, pada dasarnya mempunyai nuansa kepedihan. Lagu lide merupakan lagu inti atau lagu pembuka yang dapat menyertai penyembahan agar cepat sampai kepada sang penguasa alam dalam bentuk permohonan.Lagu Elehu ake : mengetengahkan tentang bentuk permintaan dan permohonan seperti air yang mengalir.Lagu Sangi U Wuala : arti sangi u wuala adalah Tangisan Buaya. Dimasa lalu masyarakat sangihe meyakini adanya Upung (leluhur) Manusia dan Upung (leluhur) Buaya. Upung buaya berjalan dengan dua kaki menggunakan ikat kepala merah. Upung buaya ini memiliki kekuatan yang sangat sakti sehingga apa yang dia minta harus diberikan. Jika permintaannya tidak dipenuhi maka akan ada korban yang ditelan. Lagu sangi u wuala berkisah tentang ancaman terhadap kehidupan manusia yang digambarkan sebagai rupa Buaya. Ancaman tersebut telah membawah umat pada kesedihan yang berkepanjangan.Lagu Laogho u lendu,lagu lendu diambil dari nama salah satu jenis burung yang hidup di sangihe. Burung ini adalah satu-satunya burung dalam kehidupan budaya sangihe yang dianggap sebagai perpanjangan tugas penguasa alam. Tugas burung lendu yang paling utama adalah ating tanda tentang kematian kerabat terdekat. Selain lendu ada juga kaliyaow yang meberi tanda akan kehadiran kerabat dekat dari tempat jauh.
Tari lide sebagai bagian dari ritual mêsundeng. Merupakan tarian purba yang sudah punah. Tari ini dilakukan dalam tahapan menalê, (menalê adalah memberi makan, wawancara : G. Makamea,2008) dilakukan untuk mengantar roh perempuan muda yang dikorbankan kepada sang pencipta).
Tari lide ditarikan oleh perempuan, penari mengelilingi korban dalam kelompok tari, dan menari sesuai gerakan masing-masing yang imajinatif dan spontan. Gerakan dasar tari, tangan di goyang dan kaki disentak-sentakan ketanah sambil mengelilingi korban. Dasar dari tari lide adalah tari tunggal yang ditarikan bersama.Dilihat dari unsur tari maka tarian ini dikelompokan sebagai tari komunal. Tari komunal adalah suatu peristiwa pertunjukan tari yang melibatkan masyarakat besar. Tari komunal mengandung prinsip semangat kebersamaan,rasa persaudaraan atau solidaritas terhadap kepentingan bersama.
Lambat laun konsep kebudayaan semakin mengalami perubahan. Setelah masuknya agama Islam dan agama Kristen di kepl. Sangihe maka pengorbanan manusia diganti dengan binantang berupa babi. Seekor babi dengan persyaratan yaitu babi tambun besar berwarna hitam keseluruhan dari unjung kepala sampai ujung kuku.Pengorbanan binantang kemudian diganti lagi dengan Sajen berupa ketupat jenis bebatung kambing, salah satu jenis ketupat dari 16 jenis ketupat sangihe.(wawancara : Makamea 2006) Ketupat kemudian diganti lagi dengan nasi kuning yang disajikan diatas piring besar yang disebut dulang. Populasi pelaku musik lide asli dan medenden tinggal satu orang.
Mĕtaggongong identik dengan mĕbawalasĕ sambo.
Alat musik yang digunakan dalam permainan musik “mÄ•tagonggong” adalah gendang.
Dimasa lalu, permainan musik tagonggong dijadikan sebagai pengiring kegiatan “me’sambo” atau mÄ•bawalasÄ• sambo, tari gunde dan upacara adat. Pengaruh kebudayaan import dan saling berpengaruhnya budaya sendiri menjadi bagian dari perjalanan panjang budaya mebawalase kantari.
Dari cerita lisan dan beberapa folklore sangihe tentang Makaampo, memberikan gambaran kemahiran leluhur orang sangihe dalam berpuisi dan berpantun. Berpantun adalah bagian umum dari budaya nusantara yaitu mengucapkan syair – syair dalam bentuk percakapan yang memiliki arti dan harus dibalas sesuai permintaan syair sebelumnya. Pantun dilakukan secara berbalas-balasan antar dua orang atau dua kelompok.
Pantun,mantera,tinggung-tinggung adalah sastera lisan tertua di sangihe yang diajarkan secara turun temurun. Mantera mengalami perubahan isi sejak masuknya Islam dikepulauan sangihe. Pantun tidak mengalami perubahan isi melainkan mengalami perubahan cara penyajian. Tinggung-tinggung atau teka-teki pertama kali mendapat respons masyarakat di Istana kerajaan tabukan. Dikemudian hari kegiatan berbalas syair muncul dalam bentuk berbeda yaitu disajikan dengan iringan musik tagonggong. Syair lalu dilantukan “bernada” penthatonik dan dibalas oleh orang lain. Sambil melantunkan sambo setiap orang harus memukul tagonggong sesuai irama yang diinginkan.
Ada tiga unsur penting dalam mĕbawalasĕ sambo yaitu : mĕtagonggong, mĕsambo,mĕbawalasĕ. Inti dari kesenian ini adalah mĕbawalasĕ. Setiap lawan sambo harus mampu menjawab atau membalas syair yang disambokan. Kalau tidak maka akan dianggap kalah. Berdasarkan cerita dari kampung dagho, kalamadagho dan pananaru bahwa pulau sambo yang ada di pantai kalamadago terlempar akibat permainan tagonggong dan sasambo seorang yang sakti. Sampai saat ini, pulau tersebut dinamakan pulau sambo. Dimasa lalu, setiap sambo yang dilantunkan memiliki kekuatan magic yang dapat membunuh orang.Bentuk lagu sambo terdiri dari : lagung balang,lagung sonda, lagung sasahola,lagung duruhang, dan lagung bawine.
Setelah masuknya bangsa eropa, kesenian mĕbawalasĕ melahirkan bentuk baru yaitu saling berbalas lagu atau mĕbawalasĕ kantari. Lagu-lagu yang dinyanyikan mendapat sentuhan diatonis eropa yaitu nada do,re,mi,fa,sol,la,si.
Pada awalnya, kesenian mÄ•bawalasÄ• kantari dilaksanakan pada kumpulan keramaian sebagai pertunjukan rakyat dalam acara-acara hayatan, pernikahan dan kematian. Proses mÄ•bawalasÄ• kantari mula-mula adalah seseorang berdiri sambil menyanyi lalu diikuti oleh peserta yang hadir sambil menunjuk satu demi satu orang yang hadir ketika lagu berhenti, dengan sendirinya orang yang tertunjuk bersamaan dengan akhir lagu harus berdiri menggantikan orang yang sedang berdiri. Kesenian ini kemudian disebut “tunjuk”.
Kesenian mĕbawalasĕ kantari menemui persimpangan sejak masuknya injil di tanah sangihe. Pada saat itu lahir bentuk paduan suara gereja yang disebut Zangvereeninging yang diambil dari kata dasar zang (bahasa belanda) yang berarti nyanyian. Di manganitu kelompok paduan suara ini berkembang sejak akhir tahun 1800 dengan sebutan sampregening. Diawal tahun 1900 Nn. C.W.S. Steller menawarkan diri menjadi pelatih sampregening jemaat kristen Paghulu.
Lambat laun kesenian eropa ini terinkulturasi dengan kesenian “tunjuk”. Kemudian muncul kesenian masamper yang merupakan persilangan antara paduan suara gereja dan kesenian tradisional. Pengistilahan sampri sebagai paduan suara masih digunakan sampai tahun 1960-an. Bersamaan dengan itu sudah muncul istilah samperÄ› yang menggantikan istilah tunjuk pada kegiatan mebawalasÄ› kantari.
Kesenian tradisional adalah seni budaya yang sudah sejak lama temurun,telah hidup dan berkembang pada suatu daerah tertentu ( Okka A.Yati dalam M.M.Bawelle, Pengaruh Partisipasi Sponsor terhadap pengembangan seni masamper di kecamatan malalayang kotamadya manado, Skripsi,1998)
Masamper mula-mula berasal dari bahasa belanda Zang sfeer yang artinya menyanyi bersama dalam suasana tertentu. Masyarakat sangihe menyebutnya Samper dan mendapat pengaruh imbuhan “me” menjadi mesamper. ( Taman Budaya, Rumusan hasil sarasehan masamper, 15 0ktober 1992 dalam M.M.Bawelle, Pengaruh Partisipasi Sponsor terhadap pengembangan seni masamper di kecamatan malalayang kotamadya manado, Skripsi,1998)
Unsur utama Masamper adalah : unsur musik vokal,unsur gerak,unsur mebawalase atau berbalas-balasan. Menggunakan nada diatonik dan dinyanyikan seperti paduan suara / koor. ( M.M.Bawelle, Pengaruh Partisipasi Sponsor terhadap pengembangan seni masamper di kecamatan malalayang kotamadya manado, Skripsi,1998)
Di Indonesia hanya ada dua bentuk paduan suara tradisional yaitu paduan suara tradisional batak dan masamper dari sangihe. Masamper terbentuk dari beberapa babakan berdasarkan jenis lagu yang dinyanyikan.
Pada jenis lagu ini hanya dapat dinyanyikan lagu yang bertemakan perjumpaan dalam suatu acara hayatan seperti perkawinan dan kematian. Jenis lagu ini mengalami perubahan dengan tema lagu perjumpaan secara umum.
Pada jenis lagu ini hanya dapat dinyanyikan lagu yang bertemakan rohani. Termasuk aktifitas religius agama sangihe maupun agam kristen.
Pada jenis lagu ini hanya dapat dinyanyikan lagu yang bertemakan kepahlawanan pahlawan sangihe. Tetapi kemudian seiring dengan perkembangan muncul tema kepahlawanan nasional.
Pada jenis ini hanya dapat dinyanyikan lagu yang bermakna dan bernilai sastera tinggi, tidak boleh menggunakan kosa kata bahasa sangihe sehari-hari.
Pada jenis lagu ini mengambil tema cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak, anak kepada orang tua, kepada sesama,kepada teman dan sahabat, kepada orang dewasa yang akan dan saling bercinta (pacaran), problema cinta muda-mudi,problem rumah tangga.
Babakan ini adalah babakan yang paling terakhir dimana acara mêsamperê sudah selesai.Berakhirnya mêsamperê ditandai dengan tidak ada lagi kelompok yang mampu membalas lagu terakhir.
Dimasa lalu kegiatan mêsamperê dapat diselenggarakan selama 24 sampai 48 jam. Hal ini bisa terjadi apabila kelompok yang ikut dalam mêsamperê memiliki banyak perbendaharaan lagu. Hal yang menarik dimasa lalu, karena kehabisan lagu seorang pangataseng (pemimpin mêsamperê) dapat menciptakan lagu pada saat kegiatan mêsamperê sementara berlangsung.
Meskipun lagu – lagu masamper banyak menggunakan lagu – lagu tahlil dan mazmur, tetapi ditahun 1800, budaya masamper adalah budaya umum sangihe. Hal ini terbukti dengan banyaknya kaum muslim yang ikut dalam kegiatan “tunjuk”. Mereka mengetahui banyak lagu-lagu kristen. (penjelasan bpk. Luqman Makapuas dan beberapa tua kampung di Tabukan Utara) Sejak munculnya sampregening maka kebudayaan masamper lebih identik dengan kristen.
Tahun 1980-an, masamper mulai dilombakan dalam berbagai kegiatan. Menjelang tahun 1990-an nilai-nilai asli masamper berubah dengan munculnya grup-grup masamper modern yang tujuannya mengarah kepada kegiatan komersial.. Nilai positif dari munculnya grup masamper komersial adalah semakin meluasnya pengenalan akan budaya sangihe ke seluruh Indonesia.
Selain beberapa seni musik yang sudah dijelaskan, Masayarakat sangihe juga mengenal beberapa permainan musik lain seperti: musik tunta, musik bambu melulu, musik puhe dan music orkes. Musik orkes adalah satu bentuk ansambel music yang diwariskan sejak masa Spanyol.
Masyarakat sangihe telah mengenal tari sejak zaman pra sejarah. Dimulai dengan lahirnya tari lide dalam upacara sundeng. Tari lide kemudian berubah karakternya menjadi mêsalai (salai dalam bahasa sangihe artinya menari). Konseptual tari sangihe pada awalnya dilakukan dalam upacara sundeng yang merupakan bagian dari keutuhan teatrical upacara dimana terdapat berbagai macam kesenian yang ditampilkan dan setiap orang melakukannya berdasar peran masing-masing. Mêsalai memasuki bentuk baru yaitu : pementasan secara spontan dalam acara-acara keramaian. Mêsalai yang berakar dari tari lide ditarikan oleh sekelompok orang dengan peran tunggal disertai gerakan dan ekspresi spontan, tanpa dibentuk sebelumnya. Konsep utama tari ini adalah gerakan bebas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Tari ini mengalami perubahan-perubahan sampai muncul tarian Gunde.
Berdasarkan fungsi dan perannya dalam kehidupan sosial, tari - tarian sangihe dikelompokan dalam dua bagian yaitu ; Tarian Istana dan Tarian Rakyat.
Pada awalnya tarian gunde ditarikan secara perorangan dikampung-kampung oleh para wanita yang masih perawan pada upacara perkawinan yang menggambarkan kesucian seorang wanita sangihe. Gunde dalam bahasa sangihe berarti lambat. ( A. Takaonselang-Manganitu,wawancara. 2006).
Pada suatu masa masuklah kesenian ini menjadi bagian dari kesenian Istana dikerajaan Manganitu. Penari dipilih dari penari-penari terbaik di tiap kampung. Gerak dasar tari gunde teradaptasi dari tari lide. Mulanya tarian ini dipentaskan sebagai tarian hiburan untuk raja, kemudian berubah fungsinya menjadi tarian penjemput tamu penting kerajaan yang dilakukan di depan istana. Seiring perkembangan waktu, ada beberapa penari gunde istana lalu menjadi selir raja. Persebaran penari gunde meliputi semua wilayah kerajaan Manganitu.
Tari ransa / rangsang sahabe atau dangsang sahabe adalah tari yang tercipta dari sebuah sayembara. Tarian ini lahir dari lingkungan istana kerajaan tabukan tahun 1700.Pada saat itu terjadi kefakuman jabatan raja setelah Raja Don Fransiskus Yuda – I mengakhiri jabatannya. Untuk mengisi kekosongan jabatan maka di persiapkanlah satu lomba khusus kepada dua orang calon pengganti raja. Dua orang tersebut adalah Dalero dan Pandialang. Lomba yang disiapkan adalah lomba dayung (dorehe) . Jalur yang ditempuh mulai dari Salimahe sampai ke Punge ( pulau beng laut).
Kompetisi itu terjadi kira-kira tahun 1720 dan dimenangkan oleh Dalero dengan kecurangan. Dari kemenangan itu dalero berhak menduduki tahta kerajaan. Nama lain dari dalero adalah Markus Jakobus Dalero. Untuk memperingati kemenangan tersebut, dalero menciptakan tari yang dinamakan tari Alabadiri. Pandialang hanya menduduki jabatan Jogugu di Sahabe. Pandialang yang kecewa, lalu menciptakan satu tarian tandingan yang disebut Rangsang Sahabe. Secara umum tari alabadiri dan ransang sahabe memiliki kesamaan.
Tari alabadiri, dapat dikelompokam sebagai bentuk tarian teatrikal. Penari membawakan peran dari sebuah cerita dalam bentuk gerak tari. Tari alabadiri terbentuk dari 10 tahapan dengan konsep tari dan cerita yang berbeda. Tari alabadiri menggunakan beberapa properti pendukung tari seperti ; kulubalang,kaliau,tokoting,sinsing,sondang. Tarian ini khusu dimainkan oleh laki-laki diiringi “tambor” (bukan tagonggong) dan dipimpin oleh seorang pangataseng dan dua kapita.
Tahapan tari alabadiri adalah :
Filosofi utama tarian ini bermakna “tunduk dan patuh pada penguasa.
Tari Upase, adalah tarian yang menggambarkan kesiapan pengawalan raja dalam setiap peperangan. Tarian ini disebut juga Opase.
Tari Běngko, adalah tari yang diadaptasi dari peran prajurit kerajaan Tabukan dalam mengawal raja. Tari ini menggambarkan kesiapan pasukan perang dalam menghadapi musuh. Dalam bahasa sangihe, bengko berarti tombak.
Tari Kabasaran Tambor. Tarian ini menggambarkan semangat perang, yang disampaikan melalui pukulan-pukulan tambor. Diperkirakan bentuk kesenian ini teradaptasi dari kesenian eropa. Tarian ini sudah punah dan tidak pernah lagi dimainkan.
Salo berarti mengamuk. Tari salo adalah bentuk tarian purba yang dilakukan dalam upacara sundeng sampai masuknya bangsa eropa di Sangihe. Prosesi salo dilakukan dengan cara mengelilingi korban persembahan berupa babi. Diiringi bunyi-bunyian musik etnik sangihe sambil menikam babi yang tergantung di pohon. Tari salo lahir sebagai ekspresi perang antara kebaikan dan kejahatan dalam kepercayaan sundeng (G, Makamea,dan masyarakat disekitar tempat upacara, wawancara, 2006) Tari salo yang dulunya bagian dari kegiatan ritual adat kemudian menjadi bagian dari tari pertunjukan rakyat. Biasanya tari ini diperagakan saat ada kunjungan tamu terhormat atau dalam acara tuludÄ›. Selain salo terdapat juga tari upase,tari bengko,tari alabadiri dan dangsang sahabe yang menggambarkan semangat, dalam bentuk tari theater. Tari salo adalah tarian rakyat sedangkan tari upase,tari bengko,tari alabadiri dan dangsang sahabe adalah tarian istana
Di era tahun 1940 – an, lahir sebuah kesenian rakyat baru,yang disebut “ampa wayer”. Kesenian ini adalah kesenian rakyat yang muncul dari kepulauan Siau. Kesenian ini merupakan adaptasi dan perpaduan dari kesenian eropa dengan kesenian setempat. Tarian ini sudah berkembang sejak masa penguasaan spanyol di kerajaan Siau dan menemukan identitasnya menjelang berakhirnya perang dunia ke - II. Ampa wayer adalah gerak tari kelompok yang dipimpin oleh seorang kapel. Gerakan tari terbentuk berdasarkan irama musik pengiring . Pada dasarnya, inti dari kesenian ini adalah tarian muda-mudi yang ditarikan secara spontan dalam kumpulan keramaian sebagai bentuk ekspresi kebebasan dan kemerdekaan.
Tari ini berkisah tentang latar belakang lahirnya pulau siau. Sepintas, cerita dalam tari ini mirip dengan kisah Tumatenden dari Minahasa Utara dan kisah Joko Tarub dari jawa. Cerita dalam tari ini mengisahkan perjodohan antara seorang laki-laki bernama Mědunde dengan seorang bidadari dari khayangan. Awal kisah, medunde seorang yang pintar berpuisi suatu ketika memasuki hutan untuk mencari burung. Tetapi dia justru bertemu dengan seorang bidadari yang sedang mandi bersama 9 orang saudaranya.Salah satu dari bidadari itu yang kemudian menjadi isterinya. Dari pernikahan itu lahir dua orang anak bernama pahawon sulugě dan kanawoeng (kanawoeng bergelar pahawontoka). Siau diambil dari kata sio (sembilan) dari kisah sembilan bidadari dan Mědunde (buku toponimi,............sudin kebudayaan dinas diknas, 2006)
Tari ini berkembang sejak masa kekuasaan VOC di sangihe yang dipadukan dengan aktifitas masyarakat. Latar belakang ceritanya adalah : Ternate sebagai perpanjangan tangan VOC mengklaim kekuasan atas sangihe, sehingga rakyat sangihe harus memberikan upeti kepada kesultanan ternate.
Upeti yang diberikan berupa minyak kelapa. Dari kegiatan mencukur kelapa inilah lahir kesenian Měkakalumpang. Tari kakalumpang juga mendapat sentuhan maluku dengan tari gaba-gaba.
Masih banyak kesenian sangihe yang tidak dapat dikembangkan seperti : Seni mebowo dan seni meganding.Seni mebowo, adalah bentuk seni yang dilakukan dalam bentuk nyanyi untuk menidurkan bayi dalam ayunan.
Pengungkapan lagu hanya dengan syair yang bermakna
puitis.
Selain beberapa kesenian yang sudah dipaparkan sebelumnya,juga terdapat kesenian Islam asli sangihe yaitu : Hadrah mangut, Samrah dan Turunan. Semua jenis kesenian Islam sangihe, pada awalnya lahir dan berkembang di Tabukan kemudian menyebar ke seluruh daerah yang berpenduduk muslim.
SENI RUPA SANGIHE
Seni rupa adalah ungkapan gagasan atau perasaan yang estetis dan bermakna yang diwujudkan melalui media, titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan gelap terang yang ditata dengan prinsip-prinsip tertentu. Ekspresi karya sani rupa disangihe sudah dilakukan dari saman pra sejarah seperti lukisan didinding goa, gerabah dll. Penciptaan karya seni rupa di dominasi oleh karya seni pakai dalam bentuk kerajinan. Yang termasuk karya seni rupa sangihe diantaranya : Pembuatan tekstil termasuk didalamnya busana atau pakaian orang sangihe,kerajianan anyam,arsitektur bangunan, ragam hias,pembuatan perahu. Semua aspek penciptaan karya seni rupa sangihe didasari oleh aktifitas tradisi.
Sejak masa prasejarah, suku sangihe sudah mengenal dan menggunakan ragam hias. Ragam hias tertua ditemukan pada gerabah atau perlengkapan dapur manusia purba yang oleh para ahli diperkirakan berumur 5000 tahun.
Dibawah ini adalah ragam hias yang dimodifikasi dari ornamen dengan teknik cukil dan tekan (membutsir) pada gerabah.
Persebaran gerabah terbanyak dengan motif seperti ini di temukan di Talaud,juga di temukan dibeberapa gua karang di sangihe.
Ragam hias ini di kelompokan dalam tipe Raramenusa.
Selain ragam hias tipe raramenusa terdapat juga ragam hias lain berdasarkan desain dari K.G.F Steller. Ragam hias sangihe digunakan untuk berbagai macam kerajinan seperti pada pembuatan tikar (sapie/tepihê), kain pembatas ruangan ,kain alas tempat tidur,ukiran kawila (tempat sirih).
Kerajinan yang berhubungan dengan tekstil di kepulauan sangihe sudah diproduksi sejak lama, seperti pembuatan kain,tirai pembatas ruangan,alas meja, kain untuk alas tempat tidur dan pakaian.
Tenunan masuk kewilayah Nusantara bersamaan dengan masuknya bangsa-bangsa yang sudah mengenal perunggu dan besi.Mereka memperkenalkan alat tenun sederhana yang diikatkan pada tubuh dengan nama Gedogan.Tenunan ini menggunakan susunan benang lungsi yang berkesinambungan. Jenis - jenis serat yang ditemukan di Indonesia sebagai bahan dasar tenun adalah : serat rami, lontar,raffia,abaca dan serat nenas.
Di Sangihe, benang tenun terbuat dari serat Abaca (musa textilis atau musa mindanesis ) sejenis pisang pisangan dalam bahasa sangihe disebut koffo atau hote. Tanaman hote ini dikenal juga dengan nama Manila Hemp. (Cut Kamaril Wardhani,Ratna Panggabean,Tekstil,2005).
Motif - motif hiasan tenun di Indonesia mendapat pengaruh dari china, india dan arab. Selain sebagai busana, kain digunakan dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia seperti upacara keagamaan dan mas kawin. (Ensiklopedi Indonesia)
Suku sangihe mengenal beberapa teknik pewarnaan kain menggunakan bahan alam sekitar. Warna merah, ungu, kecoklatan menggunakan kulit batang bakau ( Mangrove) dan Seha atau mengkudu ( Morinda citrifoia) Tanaman bakau dan mengkudu tersebar di seluruh desa di pulau sangihe besar.Warna merah dari kesumba. Dari bukti kain yang ditemukan melalui efek warna yang tersisa dari kain – kain tua tidak ditemukan teknik pewarnaan menggunakan warna kuning. Warna-warna yang nampak pada kahiwu tua adalah merah,ungu,kecoklatan, coklat muda yaitu warna asli hote.
Aktifitas tenun sangihe mengalami kemunduran mulai dari tahun 1889. Pada saat itu pohon – pohon pisang abaca dipotong atas perintah pemerintahan colonial belanda dan diganti dengan kapas, tebu dan tembakau. Kerajiann tenun bertahan sampai tahun 1994 dengan dikirimnya seorang pengrajin asal kampung Lenganeng ke Jakarta. Meskipun demikian, sampai saat ini disetiap desa masih memiliki satu sampai tiga orang yang boleh menenun kain koffo. Alat - alat tenun masa lalu masih dimiliki oleh pengrajin dibeberapa desa seperti, Manumpitaeng, Lenganeng Batunderang.
Tahun 1898, kerajaan Tabukan mengirim kain koffo di Manado atas pesanan para orang kaya.Tahun 1924 kerajaan Tabukan mengadakan pameran kain koffo di Pekalongan dan mendapatkan penghargaan Erediploma. Tahun 1926 raja Tabukan berpameran di Manado mendapatkan penghargaan tembaga. Ditahun yang sama kain koffo di pamerkan di Jogyakarta.
Selain memproduksi kain tenun (kahiwu), suku sangihe juga mampu membuat busana atau pakaian. Secara umum pakaian laki-laki disebut balí’, pakaian perempuan disebut laku tepu, kemeja disebut ( baniang ). Alat yang digunakan untuk menenun kain disebut Kahiwuang.
Dalam kehidupan sehari hari suku sangihe dimasa lalu, pakaian dapat menenunjukan perbedaan status social. Ada pakaian yang digunakan di kalangan istana dan para bangsawan dan ada juga yang digunakan oleh masyarakat biasa. Secara umum model pakaian bangsawan dan pakaian rakyat biasa tidak jauh berbeda. Yang membedakan adalah teknik pewarnaan dan atribut atau asesoris yang digunakan. Sejak masuknya bangsa eropa di kepulauan sangihe, pakaian dan asesoris mengalami perubahan model dan fungsi dalam kehidupan bermasyarakat.
|
Konde dalam bahasa sangihe disebut boto. Model Konde yang digunakan oleh perempuan sangihe pada umunya berbentuk boto pusige. Bentuk konde terdiri dari dua macam yaitu : konde untuk ampuang di rangkai tepat di ubun-ubun dan konde umum berada dipusar kepala.
Dalam bahasa sangihe, penutup kepala adalah poporong.Penutup kepala telah memberikan batas pada kedudukan orang sangihe dalam pergaulan sehari-hari, karena status social dan kedudukan orang sangihe tergambar pada penggunaan dan bentuk poporong.
Kerajinan rakyat yang mendominasi pekerjaan rumah tangga masa lalu adalah pembuatan anyaman. Anyaman sangihe memiliki cirri khas khusus dibandingkan dengan daerah lain di Sulawesi utara. Tidak diketahui kapan orang sangihe mulai menganyam. Anyaman sudah menjadi bagian sehari-hari dalam kehidupan orang sangihe. Kebanyakan dari hasil kerajinan anyam dibuat untuk benda pakai, seperti tikar, bika,tempat buah,keranjang,perangkap ikan dan lain-lain.
Selain anyaman, orang sangihe juga memproduksi gerabah atau tembikar (dari bahan tanah) dan alat-alat yang dibuat oleh pandai besi. Aktifitas pekerjaan pandai besi sudah dilakukan sejak masa Makaampo. Pendapat lain juga mengatakan bahwa produksi pandai besi dimulai abad ke 15. Alat yang dihasilkan oleh pandai besi tujuannya sebagai benda pakai yang digunakan di rumah,perkebunan maupun untuk berperang. Orang yang ahli dalam menempah besi disebut “kipung”.
Masyarakat sangihe juga mengenal seni teatrikal. Kesenian ini berkembang di daerah kuma yang dinamakan Gagaweang. Kesenian ini ditampilkan setahun sekali setiap akhir tahun. Teknik pergelarannya dalam bentuk parade keliling kampung dengan pakaian dan atribut kerajaan. Komposisi barisan berdasarkan peran sebagai berikut : Barisan terdepan adalah Raja yang diikuti oleh bawahannya mulai dari Bobato,Jogugu,Kapiten laut,Mayore,Hukum Mayore,Sadaha, Kapita,Kumelaha,Sawehi (dukun),Mihinu ( Tukang palakat). Setelah selesai berkeliling kampung para peserta makan bersama di rumah tua adat atau kapitalaung, sebelum makanan ini dimakan bersama, harus dicicipi oleh orang yang berperan sebagai sadaha. Dengan maksud mengetahui apakah makanan tersebut beracun atau tidak.
( Informasi, Bpk. Derek Lahunduitan,Kuma – November 2009)
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Orang sangihe adalah satu-satunya suku pelaut di utara Indonesia. Nenek moyang orang sangihe sudah mengarungi lautan luas ke timur sampai ke halmahera dan papua, keselatan sampai ke pulau jawa dan sampai ke luar nusantara yaitu ke china.
“ Yang pasti, pulau-pulau ini sudah sejak penemuan Ferdinand Magelhaes dalam tahun 1512, telah berhubungan dengan dunia barat ,juga oleh penangkap ikan paus dari amerika.Orang china dan orang arab sudah sejak dahulu mulai berdagang dengan penduduk dan kawin dengan wanita pribumi. Sebagai pelaut yang berani penduduk pulau ini sejak berabad – abad lalu merantau dengan perahu-perahu mereka ke berbagai bagian kepulauan hindia. Pieter Alstein dan David Haak dalam laporan kunjungannya ke Talaud menulis bahwa penduduk dengan perahu-perahu sendiri berlayar ke Batavia,Malaka,manila dan Siam. (D.Brillman,Zending dikepulauan sangi, dan talaud.terjemahan GMIST)
Kemampuan membuat atau merancang berbagai perahu sudah dimiliki sejak nenek moyang. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh suku lain di Sulawesi utara. Bahkan sampai saat ini, beberapa kapal yang digunakan sebagai angkutan laut pada jalur pelayaran philiphin,talaud,manado,bitung, halmahera diproduksi oleh orang sangihe yang bukan ahli perkapalan secara akademisi.
Perahu merupakan sarana vital yang menghubungkan beberapa pulau di kepulauan sangihe. Tanpa perahu, perekonomian sangihe akan menjadi pincang. Setiap kampong pesisir memiliki ahli membuat prahu. Kegiatan ini sudah menjadi bagian dari adat sangihe. Dari budaya membuat perahu kemudian muncul ritual tua menondo sakaeng atau menurunkan perahu.
Perahu sangihe sudah dikenal secara luas sejak masuknya spanyol di Sangihe. Perahu sangihe sering digunakan sebagai armada perang diantaranya sebagai armada perang laut antara portugis dan voc di tondano. Perahu tertua sangihe adalah bininta atau tumbilung, kemudian muncul perahu kora-kora,konteng,londe dan bolotu, termasuk diantaranya perahu untuk lomba dayung.
Penggunaan perahu dalam aktifitas sehari hari berbeda fungsinya. Perahu sangihe digunakan untuk manangkap ikan,berlayar antar pulau dekat,antar pulau yang jauh,armada perang,sebagai tumpangan raja,sebagai perahu raja,perahu pengawal raja,perahu tempur,perahu tambangan (bolotu) perahu ini digunakan apabila perahu kora-kora tidak bisa merapat kepantai dan perahu lomba. Sealain perahu pakai terdapat juga miniature perahu yang digunakan dalam upacara menahulending banua yang disebut lapasi. Perahu tersebut berguna untuk membawa penyakit dan semua kesialan manusia didarat dan dibuang bersama dengan miniature perahu kelaut.
Beberapa model perahu berdasarkan desain K.G.F. Steller dalam buku “ Sangirees– nedherlands woordenboek ” dari model yang sebenarnya dan di modifikasi untuk disesuaikan oleh Alffian Walukow.
Grafland dalam buku Minahasa masa lalu dan masa kini (terjemahan Jost Kulit) menulis bahwa sudah ada perahu sangihe yang berlabuh di pelabuhan manado tahun 1800 dengan nama perahu Kora-kora dan tumbilung. Perahu tumbilung sama dengan bininta tetapi tumbilung menggunakan tiga bahateng.
Perahu ini adalah perahu yang digunakan raja dalam kunjungannya ke daerah bawahan
Nenek moyang orang sangihe sudah menggunakan teknologi dan mengenal ilmu pengetahun sejak lama diantaranya, pembuatan berbagai macam perahu,mengenal sistim perbintangan, peredaran bulan di langit dan penanggalan kalender. Tidak diketahui sejak kapan kemampuan akan pengetahuan dan teknologi dimulai tetapi sudah sejak lama digunakan.
NAMA MATA ANGIN
Mata angin indonesia |
Nama sangihe |
Utara |
Sawenahe |
Utara timur laut |
Laesuiki sawenahe |
Timur laut |
Laesuiki |
Timur timur laut |
Laesuiki dahi |
Timur |
Dahi |
Timur tenggara |
Mahaing dahi |
Tenggara |
Mahai |
Selatan tenggara |
Mahaing timuhe |
Selatan |
Timuhe |
Selatan barat daya |
Tahanging timuhe |
Barat daya |
Tahanging |
Barat, barat daya |
Tahanging bahe |
Barat |
Bahe |
Barat, barat laut |
Poloeng bahe |
Barat laut |
Poloeng |
Utara barat laut |
Poloeng sawenahe |
NAMA HARI
Nama hari Indonesia |
Nama Sangihe |
Senin |
Mandake |
Selasa |
Salasa |
Rabu |
Areba |
Kamis |
Hamise |
Jumat |
Sambayang |
Sabtu |
Kaehe |
Minggu |
Misa |
NAMA BULAN KALENDER MASEHI
DALAM BAHASA SANGIHE
Nama bulan Indonesia |
Nama Sangihe |
Januari |
Hiabe |
Pebruari |
Kateluang |
Maret |
Pahuru |
April |
Kaemba |
Mei |
Hampuge |
Juni |
Hente |
Juli |
Bulawa kadodo |
Agustus |
Bulawa geguwa |
September |
Bewene |
Oktober |
Liwuge |
Nopember |
Lurange |
Desember |
Lurangu tambaru |
DAFTAR NAMA BULAN DI LANGIT BERDASARKAN HARI
Hari |
Nama bulan |
30 |
Tĕkalĕ |
1 |
Kahumata – PakÄ•sa |
2 |
Kahumata – karuane |
3 |
Kahumata - katelune |
4 |
Sebangu – harese |
5 |
Batangengu - harese |
6 |
Likud’u - harese |
7 |
Sehangu - letu |
8 |
Batangu – letu |
9 |
Likud’u - letu |
10 |
Arang |
11 |
Sehangu pangumpia |
12 |
Batangnegu pangumpia |
13 |
Umpause |
14 |
Limangu bulang |
15 |
Teping |
16 |
Sai pakesa |
17 |
Sai karuane |
18 |
Sai katelune |
19 |
Sehangu harese |
20 |
Batangengu harese |
21 |
Likudu harese |
22 |
Sehangu letu |
23 |
Batangengu letu |
24 |
Likud,u letu |
25 |
Awang |
26 |
Sehangu pangumpia |
27 |
Batangengu pangumpia |
28 |
Umpause |
29 |
Limangung basa |
Berdasarkan temuan ahli, tempat tinggal manusia sangihe saman pra sejarah adalah di goa – goa karang. Dalam legenda, tempat tinggal manusia sangihe purba adalah di dahan pohon besar dan di pohon - pohon yang roboh. Seiring perkembangan waktu dan dikenalnya teknologi, mereka mulai membuat rumah – rumah sederhana.
Pada awalnya bentuk rumah sangat sederhana. Berdasarkan pemahaman beberapa budayawan sangihe bahwa rumah orang sangihe adalah pamangkonang. (wawancara. M. Madonsa.2007). Kemudian berkembang menjadi rumah ikat. Dikatakan rumah ikat karena tidak menggunakan paku tetapi diikat dengan rotan.
Rumah suku sangihe tidak memiliki bilik atau kamar. Sejak masuknya spanyol di kepulauan sangihe, orang sangihe sudah mulai mendirikan rumah dengan konstruksi beton menggunakann semen dari karang yang dibakar. Di masa awal kolonial belanda akhir 1700 sampai awal thn 1800 orang sangihe sudah mulai menggunakan bilik pada konstruksi rumah. Rumah ikat terakhir ditemukan di kampung Lehupu.
Konstruksi rumah kayu orang sangihe adalah rumah panggung. Diantara rumah yang dibangun terdapat rumah umum dimana rumah tersebut adalah tempat berkumpul komunitas adat dari setiap persekutuan hukum adat terkecil banua yang dikemudian hari menjadi rumah raja atau istana. Rumah tersebut dinamakan Bale Lawo.
Menjelang berakhirnya pemerintahan kolonial belanda, bale lawo mendapat sentuhan eropa dari segi kekuatan konstruksi tetapi tetap mempertahankan keaslian model. Rumah sangihe berdasarkan catatan D.Brilman adalah : Rumah-rumah dibangun diatas tiang tinggi, memiliki tangga masuk kerumah yang diangkat pada waktu malam hari. Terdapat satu serambi umum yang luas dan satu bilik tinggal yang sama luasnya dengan serambi umum.Disebelah kiri dan kana terdapat bilik tidur yang dipisahkan oleh dinding kayu,bamboo atau tirai. Jika salah satu anggota keluarga menikah maka rumah akan disambung dibagian belakang. Semakin banyak yang menikah maka akan semakin panjang rumahnya. Rumah seperti ini ditempati oleh 25 sampai 30 rumah tangga. Konstruksi rumah sperti ini terakhir ditemukan di pulau-pulau Nanusa. Banyak rumah asli orang sangihe mengalami pemusnahan akibat letusan gunung api.
Bale lawo atau istana adalah rumah untuk banyak orang. Rumah ini didirikan sebagai tempat pertemuan masyarakat umum pada satu kesatuan hukum dalam komunitas adat sangihe dengan sang raja sekaligus sebagai tempat tinggal raja. Balelawo pertama kali didirikan oleh Balango di sahabe.
Makanan utama suku sangihe adalah sagu, yang diproduksi dari jenis pohon palm. Di pulau sangihe terdapat berbagai jenis palm diantaranya adalah : Arena tau enau ( Arenga pinnata ), pinang sirih (asal philiphina), Pinang kelapa ( Actinorhytis calapparia),Sagu rumbia (Metroxylan sagu), Kelapa (cocos nucifera), rotan sega (calamus caesius), sarai raja (caryota no), Sarai midi (caryota maxima), palm kuning dan merah endemic sangihe. Melihat bentuknya, pohon yang memproduksi sagu disangihe adalah Sagu (Metroxylan sagu), sarai raja (caryota no) dan Sarai midi (caryota maxima).
Selain mengkonsumsi sagu, masyarakat sangihe juga mengenal adanya beras yang diproduksi dari ladang kering. Selain sagu dan beras, makanan khas sangihe adalah singkong (sangihe = bungkahe),umbi jalar (sangihe ; ima atau batata) dan talas (sangihe = kole ). Setiap hari orang sangihe memproduksi sagu dalam jumlah yang banyak. Tempat untuk memproduksi sagu disebut pamangkonang. Sayuran utama orang sangihe adalah Sakede (daun melinjo), sayur paku,sayur gedi dan sayur wori. Ikan laut merupakan lauk utama ditambah daging babi (untuk yang Kristen) dan daging kambing (untuk yang muslim).
Pada awalnya orang sangihe tidak memakan daging tikus,anjing,kelelawar,ular dan biawak, tetapi sejak masuknya orang Minahasa di kelp. Sangihe maka mulailah orang sangihe mengkonsumsinya. Diantara makanan yang sering dikonsumsi, resep tertua adalah ketupat kuning, ikan laut bakar,sagu bakar dan kuah sasi ( kuah yang di campur dengan ikan laut bakar). Resep makanan yang dominan sampai saat ini adalah Sagu bakar,ubi rebus, dipadu dengan sayur santan dan ikan laut bakar. Untuk pesta atau acara yang menghadirkan banyak orang selalu disiapkan ketupat.
Orang sangihe mengenal nasi yang dibungkus sejak berakhir masa kepercayan sundeng. Pada awalnya, ketupat atau empihise menjadi bagian dari sesajen dalam upacara persembahan yang menggantikan kedudukan manusia dan hewan sebagai korban. Ketupat yang diwajibkan dalam sajen adalah ketupat dengan nama bebatung kambing.
Orang sangihe mengenal 16 jenis ketupat berdasarkan teknik anyaman yaitu : bawatung, muntia, dokongmanu, buang tariang, kaemba, bituing,bebatun kambing, kasumbure, bininta, pikang, sawaku, mehisa, waliung, batung kapese dan kalemba. Ketupat kalemba adalah ketupat yang paling penting dalam upacara keagamaan masa lalu.
Berdasarkan cerita lisan, Tamo pertama kali dibuat pada pesta perkawinan Mangulundagho dengan Bangsang peliang di Bongko lumenehe (Kampung dagho sekarang) tamo dibuat dari bermacam macam makanan yang kemudian disebut Golopung (Gideon Makamea,prospek budaya dan tradisi-tradisi historis daerah kab.kepl. sangihe dan talaud-2008).
Pembuatan Tamo kedua oleh Talongkati (bibi dari Makaampo) pada acara perkawinan Makaampo. (Toponimi,cerita dan…….2006). Tamo adalah makanan tradisional khas sangihe yang tidak dapat ditemukan ditempat lain. Tamo adalah makanan yang memiliki filosofi khusus yang berhubungan dengan kehidupan orang sangihe sejak nenek moyang. Filosofi utama dari Tamo adalah “Jawaban dan kehormatan” dalam adat sangihe. Tamo adalah bentuk makanan yang memiliki latar belakang cerita kehidupan mula-mula disangihe.
Berdasarkan sastera lisan umum di beberapa wilayah sangihe, tamo pertama kali digunakan bersamaan dengan keberadaan kerajaan Tabukan raya yaitu pada pesta perkawinan mangulundagho dengan wangsang peliang di dagho. (kampung dagho sekarang). Biasanya, tamo hanya disajikan dalam acara yang menghadirkan banyak orang. Karena berdasarkan tradisi bahwa tamo yang dibuat harus habis dimakan. Tamo juga sebagai perlambang undangan. Jika sebuah pesta sudah diletakan tamo pada posisinya maka semua warga boleh hadir dan memasuki pesta tersebut. Dari latar cerita ini maka tamo adalah bagian dari kebersamaan. Kehadiran tamo dalam satu acara mewakili semua makanan yang ada. Tamo adalah makanan yang paling istimewah diantara makanan yang ada, untuk itu tamo harus diletakkan di tempat yang sangat khusus. Dengan syarat dapat dilihat oleh semua orang yang hadir dalam acara.
Resep tamo tua adalah campuran dari beras,umbi-umbian,gula, minyak kelapa, tetapi resep ini tidak bertahan lama karena mudah basi. Pada saat ini resep tamo terdiri dari beras,gula dan minyak kelapa. Untuk membuat tamo harus melewati beberapa ketentuan adat diantaranya, orang yang akan memasak tidak sedang dalam keadaan bertengkar sebelum sampai ke dapur, tempat untuk meletakan kuwali harus menggunakan 3 batu sebagai tungku. Karena sakralnya kue ini maka minyak yang menetes dari cetakan tamo selalu disimpan sebagai minyak yg berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit.
Bagian terpenting dalam pembuatan tamo adalah ritual “memoto tamo” (memotong tamo). Sebelum memotong tamo, orang yang ditugaskan untuk memotong tamo harus menyampaikan sasalamate yang dinamakan sasalamate tamo. Isi dari sasalamate tamo adalah berkisah tentang tamo itu sendiri dan pesan atau nasehat tentang kebaikan kepada banyak orang. Sebagai sebuah makanan yang istimewah maka dimasa lalu tamo harus dibungkus dan tidak terlihat.
Tamo, pertama kali dikenal dalam satu pesta perkawinan putri seorang raja dikerajaan Tabukan Tua. Pesta perkawinan itu terjadi sesudah berdirinya Kerajaan Tampungang Lawo, 400 tahun silam atau sesudah keruntuhan Majapahit. Pada masa lalu Tamo memiliki dua spesifikasi dari bentuk dan kegunaannya yaitu Tamo Boki berwarna putih dan Tamo Coklat seperti yang masih dibuat sampai saat ini ( Drs. Bahagia Diamanis Sarjana Sejarah IKIP Negeri Manado,wawancara 2006)
Filosofi terpenting dari Tamo adalah Mengundang masyarakat banyak untuk datang dalam satu pertemuan. Masyarakat dari kalangan manapun boleh datang dalam satu hajatan atau acara syukuran tanpa diundang apabila didalam acara tersebut sudah terlihat Tamo.( Pernyataan Bapak Manossoh Ketua Dewan adat Sangihe dan bapak Mehare dalam satu percakapan menjelang pembuatan Tamo Raksasa di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sangihe, 2006)
Tamo bukanlah status sosial tetapi pada akhirnya Tamo berubah kedudukan dan penggunaannya dalam acara-acara hajatan atau syukuran. Dikemudian hari Tamo menjadi bagian dari status sosial masyarakat. Hal ini terbukti dengan ditempatkannya Tamo pada acara-acara yang sangat khusus seperti acara-acara yang diadakan oleh pimpinan daerah atau acara-acara lain yang sangat khusus seperti pesta pernikahan adat dan modern. Sampai saat ini belum pernah masyarakat sangihe membuat Kue Tamo sebagai jualan dipasar atau sebagai makanan harian. Begitu sakralnya kue adat Tamo sehingga terungkap satu pernyataan lain yang mengatakan bahwa kue adat Tamo harus dibungkus dengan penutup yang tidak tembus pandang, karena berdasarkan kebiasaan bahwa kue Tamo itu Laksana seorang wanita cantik yang sangat terhormat.( pernyataan Hengky Natingkase S.Ip. Tokoh pemuda,2006 )
Berdasarkan kesepakatan antara pemuka adat Sangihe dalam dewan adat bahwa tidak boleh lagi menggunakan bendera pada pucuk Tamo. Dengan alasan bahwa tidak ada semangat bendera merah putih dalam kue adat Tamo karena Tamo sudah ada ratusan tahun sebelum Indonesia Merdeka. ( pernyataan bapak Mehare,anggota dewan adat dalam pembicaraan tentang Tamo Raksasa di Kantor Disparbud Sangihe,2006)
Setelah selesai diolah maka tamo siap di cetak dalam sebuah cetakan dari bahan alami yaitu bulu.
Tamo memiliki unsur utama yaitu badan tamo, ditambah asesoris pada badan tamo berupa udang (dimasa lalu) dibagian dasar diletakan bermacam – macam makanan khas sangihe.Pada mulanya dibagian pucuk tamo diletakan telur yang melambangkan kehidupan baru (sesuai dengan cerita manusia mula-mula dalam cerita gumansalangi) Sesudah perang kemerdekaan maka symbol telur diganti dengan bendera negara merah putih, tahun 20006 tidak lagi menggunakan bendera pada pucuk tetapi bunga atau telur.
BAHASA DAN SASTERA SANGIHE
Penggalian bahasa sangihe pernah dilakukan oleh J.N.Snedon dalam buku Proto Sangiric and the sangiric languages. Bahasa sangihe termasuk rumpun bahasa Austronesia atau Melayu Polynesia dan tergolong dalam bahasa-bahasa Philliphina. Ahli tata bahasa sangihe yang terkenal adalah Dr. N. Adriani dengan karyanya Sangirische sprakunts. Kosa kata bahasa sangihe yang telah dibukukan dapat ditemui dalam buku karya dari Mr.K.G.F. Steller dan W.E. Aerbersol dengan judul Sangirische Nederlands woerdenbock. ( Decroly Juda,Spd.Tata Bahasa Sangihe,2004).
Bahasa sangihe tidak mempunyai aksara, karena suku sangihe tidak mengenal sistim tulisan sendiri. Sejak masuknya bangsa Eropa, orang sangihe sudah mulai menggunakan huruf latin sebagai bentuk tulisan. Pengguna bahasa sangihe meliputi Pulau Sangihe besar dan pulau-pulau kecil disekitarnya,Pulau siau dan sekitarnya,Pulau Taghulandang dan sekitarnya,Pulau Talaud dan pulau – pulau diperbatasan utara Indonesia. Beberapa daerah disekitar Minahasa seperti Belang, Bantik,Manado tua, Bunaken, Naenk, Siladeng, Mentehage, Gangga, Bangka, Talise, Likupang, Lembe, Sebagian Bitung, daerah dikaki Gunung klabat. Pulau balut dan Pulau saranggani di Philliphina ( H. Kern dalam Tata bahasa Sangihe, Decroly Juda,2004)
Bahasa sangihe dan bahasa lain di Sulawesi utara memiliki kesamaan tipe yaitu Aglutinered ( bahasa yang berafiks ).
Afiks adalah unsur yang ditambahkan pada kata dasar atau bentuk asal ( Daryanto, S.S, Kamus bahasa Indonesia lengkap,1997)
Bahasa Sangihe terbagi dalam 8 dialek yaitu :
(Bawolle, 1981 dalam Prof. A.B.G.Ratu - Bahasa di Minahasa,Profil Kebudayaan Minahasa)
Secara umum, bahasa sangihe hanya memiliki tiga dialek yaitu dialek Sangihe di Pulau Sangihe,dialek Siau di Pulau Siau dan dialek Taghulandang di Pulau Taghulandang. Pengguna bahasa Sangihe di Minahasa diperkirakan berjumlah seratus ribu orang ( Profil Kebudayaan Minahasa 1997). Di Bolaang Mongondow, pengguna bahasa sangihe meliputi beberapa daerah seperti Pedukuhan Dodap kecamatan Kotabunan, Poigar, Kecamatan Lolak, Pangi kec. Sang Tombolang, Bintauna, Mokoditek kec Bolangintang. ( Sastera Lisan Bolaang Mongondow 1984)
Dalam ilmu Bahasa, huruf adalah perlambang bunyi, untuk menulis aksara sangihe terdiri dari 18 aksara latin yaitu :
(Decroly Juda,S.Pd,tata bahasa Sangihe,2004).
Suku Sangihe dimasa lalu tidak mengenal sastra dalam bentuk tulisan tetapi memiliki banyak sastra lisan. Sastera dalam kehidupan orang sangihe memiliki makna yang sangat mendalam. Boleh dikata bahwa hidup orang sangihe mengalir bersamaan dengan sastra lisan, menjadi bagian dari jiwa,dan menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat. Satra sangihe di masa lalu telah melahirkan aturan terhadap tatanan hidup.
Sastra lisan Sangihe sudah ditulis oleh beberapa orang dari Belanda terutama para Zending dan pekerja gereja, tapi sampai saat ini buku-buku tersebut tidak pernah ditemukan. Sastra lisan sangihe memiliki fungsi masing – masing berdasarkan bentuknya. Dalam penulisan ini, penulis mencoba memaparkan secara singkat beberapa bentuk sastra dan hasil karya sastra dari beberapa penggalian yang sudah terinfentarisasi.
Salah satu hal yang mempersulit penginfentarisasian dan pengembangan sastra lisan sangihe adalah ;
Hal-hal yang memperkuat tradisi lisan disangihe sehingga mampu bertahan adalah keutuhan bahasa sangihe, dan merupakan bagian dari adat istiadat. Bahasa sangihe digunakan oleh suku sangihe yang hanya menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Sangihe. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Sangihe mengenal stratifikasi dalam penggunaannya yaitu pembedaan usia lawan bicara. Bahasa sangihe terbagi dari dua bagian berdasarkan penggunaannya dalam aktifitas berbudaya dan bermasyrakat yaitu : Bahasa sangihe sehari-hari dan Bahasa Sangihe sastra yang disebut bahasa sasahara.
Sastra lisan sangihe digolongkan dalam beberapa bentuk yaitu :
Sejak masa lalu di Sangihe telah berkembang sastera lisan yang menceritakan kehidupan raja-raja sangihe seperti :
Gumansalangi adalah laki-laki yang datang dari luar kepulauan sangihe yang kemudian bertemu dengan Putri Konda asa atau Sangiang Konda Wulaeng. Dari pertemuan dua tokoh tersebut melahirkan sistim kerajaan di kepulauan sangihe.
Disamping cerita tentang raja-raja terdapat juga cerita kepahlawanan para pemberani Sangihe yang disebut Bahaning Beo’e. Dari sekian banyak cerita kepahlawanan terdapat beberapa cerita yang melegenda didaerah dimana cerita itu diceritakan seperti : Cerita tentang Panglima laut Hengkeng’u naung dari kerajaan Siau. Cerita tentang Ambala pemberani dari Tamako.
Ada beberapa cerita rakyat dan dongeng yang sering diceritakan seperti :
Sastera lisan sangihe yag di golongkan sebagai prosa adalah Sasalamate. Prosa adalah suatu bentuk penulisan cerita yang disusun dengan bahasa puisi.
Sasalamate adalah : puisi bebas yang disusun dari bahasa sastra sangihe dan ungkapan-ungkapan sasahara yang biasanya dibawakan pada upacara adat tertentu,guna keselamatan bagi orang yang berkepentingan dengan acara itu. (Gideon Makamea,Mempelajari ungkapan dan sastera daerah, Sangihe I kekendage,2003)
Kesusastraan Indonesia membagi puisi dalam dua jenis yaitu puisi lama dan puisi baru. Karya sastra lisan Sangihe yang digolongkan sebagai puisi termasuk dalam puisi lama yaitu : Pantun (papantung,medenden), Teka-teki (tinggung-tinggung atau tatinggung) dan mantra ( orang yang ber mantera disebut makalanto). Dari tiga bentuk puisi sangihe yang paling banyak perbendaharaannya adalah Mantra.
Sampai saat ini masih banyak mantra yang dapat diinfentarisir dari penduduk sangihe. Perkembangan mantera di kepl. Sangihe melalui dua periode yaitu Penggunaan mantra dimasa sebelum Islam dan di masa sesudah Islam. Salah satu kata inti pada mantra sebelum masuknya Islam adalah kata ruata, sesudah islam masuk muncul penggunaan kata bismillah.
Mantera sangihe digolongkan menjadi beberapa bagian berdasarkan fungsinya yaitu :
Dari sekian banyak sastera lisan di sangihe terdapat satu bentuk sastera lisan tertua yang disebut Me,bowo atau Bawowo. Bawowo adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh orang tua menggunakan syair-sayir indah, bernada seperti nyanyian. Bentuk sastera ini disajikan pada saat menidurkan anak. Isi bawowo terdiri dari satu kalimat.
Contoh bawowo :
kawowo inang kawowo,ana nitendengi lawo,suhiwang takahalaweng,takaendengangu apa.
Artinya : Sayang si manis saying anak dimanja orang banyak, di pangkuan yang dibentengi tidak akan mengapa.
(Gideon Makamea,Mempelajari ungkapan dan sastera daerah, Sangihe I kekendage,2003)
Ungkapan sangihe memiliki kedudukan penting dalam
semua satera lisan sangihe. Hampir semua bentuk
sastera lisan sangihe memuat ungkapan. Pada umunya
Ungkapan sangihe berfungsi sebagai nasehat, peraturan
dan motifasi hidup.
Contoh ungkapan sangihe yang paling dikenal yaitu :
KERAJAAN DI SANGIHE
Sangihe sudah mengenal sistim pemerintahan dalam kehidupan bermasyarakat dengan bentuk pemerintahan kerajaan. Sistim pemerintahan kerajaan yang dianut oleh kerajaan-kerajaan di sangihe merupakan bawaan dari sistim pemerintahan kesultanan yang ada di Philiphina. Kerajaan mula-mula di bangun atas dasar kemonarkian atau wangsa, monarki artinya dipimpim oleh satu orang. Kepemimpinan kerajaan dilakukan oleh satu keluarga yang menurun keanak cucu, berdasarkan garis keturunan laki-laki.
Diakhir kekuasaan kerajaan Tampungag Lawo, muncullah para kulano dan Bahaning. Sejak saat itu kedudukan raja diambil alih oleh pemberani, dalam bahasa sangihe di sebut Kulano atau Bahaning beo’ e. (di kepulauan Maluku, Kulano adalah raja).
Jika dilihat dari kata “Tampungang Lawo” secara luas berarti tempat dimana terhimpun banyak orang, menunjukkan sebuah demokratisasi telah dibangun sejak kerajaan tua. Meskipun kekuasaan raja-raja berdasarkan wangsa tetapi harus menghadirkan banyak orang dalam setiap keputusan. Perubahan sistim sosial kekerabatan masyarakat sangihe mengalami beberapa perubahan mulai dari sistim Patrilineal sejak Gumansalangi Sampai ke Makaampo, sistim bilateral sejak awal kerajaan Tabukan sampai masa kolonial belanda awal tahun 1800.Tetapi ada satu masa bersamaan dengan pengaruh kuasa ampuang – ampuang perempuan, sangihe pernah menganut sistim kekerabatan Matrilineal yang mengikuti garis keturunan Ibu. Meskipun sistim kekerabatan pernah berubah-ubah tetapi tanggung jawab setiap keluarga batih ada pada gaghurang (orang tua) dimana suami ataupun isteri bertanggungjawab bersama dalam keluarga. Diperkirakan sistim kekerabatan dengan mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) mulai berlaku sejak ada pengaruh eropa di sangihe.
Penggunaan marga atau fam mulai berlaku sejak diberlakukannya hukum atas tanah. Banyak tanah disangihe yang tidak bertuan. Hal ini dipengaruh olah sistim perbudakan dan kekuasaan raja yang mutlak dimasa lalu sampai kemudian muncul tanah-tanah family. (di Minahasa dikenal dengan tanah Kalakeran). Masyarakat sangihe hanya mengenal tanah family berdasarkan marga keturunan, tanah family kerajaan dan tanah – tanah bebas (tidak bertuan).
Tingkatan sosial masyarakat sangihe menurut D. Brillman adalah :
Keturunan raja termasuk dalam golongan hokowalumpulo, keturunan bangsawan termasuk dalam golongan hokolimampulo, rakyat biasa termasuk dalam golongan hokotalumpulo, budak digolongkan sebagai allangga. Struktur pemerintahan kerajan sangihe adalah :Tingkatan paling tinggi raja yang disebut datu.Tingkatan kedua adalah bobato pimpinan daerah dibawah kerajaan atau setingkat dengan adipati. (adipati adalah jabatan setingkat bupati dalam tradisi jawa). Tingakatan ke tiga Opo Lao atau Kapiten Laut (ensiklopedia Indonesia)
Struktur pemerintahan kerajaan di sangihe pada masa VOC, mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah.
( A. Horohiung dalam buku Santiago melawan VOC,1990)
Kekuasaan raja – raja di sangihe mengalami beberapa bentuk pemerintahan yaitu : pemerintahan raja-raja asli sangihe berdasarkan wangsa/ keturunan yang terwaris dalam keluarga, pemerintahan raja-raja sangihe berdasarkan pengaruh Spanyol dan portugis, pemerintahan raja-raja sangihe berdasarkan pengaruh VOC dan pemerintahan colonial hindia belanda, pemerintahan raja-raja sangihe berdasarkan pengangkatan penguasa jepang.
Sebelum pengistilahan raja digunakan dalam sistim pemerintahan kerajaan sangihe, sudah didahului penggunaan kata datu’ untuk kedudukan raja. Pengistilahan ini hadir bersamaan waktunya dengan kerajaan mula-mula di wilayah kepulauan sangihe yang disebut Kedatuan.Wilayah kepulauan sangihe mulai dari pulau-pulau di sekitar Kepulauan Saranggani Philiphina,kepulauan Talaud,kepulauan Sangihe,kepulauan Siau dan Taghulandang, dan pulau-pulau yang ada disekitar jazirah Minahasa. Kerajaan sangihe melewati masa pemerintahan panjang mulai dari kekuasaan dinasty Gumansalangi yang berakhir pada masa VOC.
Kerajaan yang mula- mula berdiri di wilayah teritorial sangihe dikelompokan dalam masa kedatuan, karena pada saat itu istilah Datu digunakan untuk pimpinan tertinggi kerajaan.Kedatuan tua yang berdiri mula – mula adalah sebagai berikut.
Bowontehu diambil dari bahasa sangihe Bowongkehu yang
secara harafiah berarti diatas atau dipuncak hutan. Wilayah
kerajaan ini adalah salah satu dari 10 lanskap (kerajaan kecil)
yang diserahkan oleh sultan Ternate kepada VOC bersama
dengan kerajaan Tubuguo (Tabukan) tahun 1609. (Sejarah
Minahasa, Kontrak 10 Januari 1679, hal.61). Berdasarkan sastera
lisan sangihe, kerajaan ini didirikan oleh datu Mokodoludugh
yang oleh orang Mongondow disebut Mokoduluduth pada
abad ke - X. Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan tertua
yang menjadi bagian dari wilayah territorial sangihe.
Mokodoludugh memperisteri Baunia dan memperanakan
Lokongbanua, Yayukbongkai, Uringsangiang dan Sinangiang.
Lokongbanua kemudian menjadi Raja kerajaan Siau Pertama.
Bowontehu pada masa kekuasaan raja Pasibori (sultan dari
ternate), ditaklukan oleh raja dari kerajaan Bolaang bernama
Damopolii (kinalang). (sejarah kerajaan Mongondow,Tabloid
Media Edukasi, Nov.2009)Kedatuan Tampungang
lawo.Didirikan pada kurun waktu tahun 1300 M (dijelaskan
dalam sejarah kerajaan tampungan lawo).
Kedatuan Tampungan Lawo sudah melegenda karena diceritakan secara turun-temurun oleh orang sangihe sebagai sastera lisan, baik itu melalui sasalamate,papantung,tatinggung ataupun lagu-lagu masamper. Tampungang lawo merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah sangihe, meskipun belum ditemukan bukti berupa benda sejarah yang berhubungan dengan kerajaan Tampungang Lawo.
Kedatuan Tampungang Lawo pertama
Konon, Kedatuan Tampungang Lawo didirikan oleh Gumansalangi pada tahun 1300 sampai 1400 yang berpusat di Manuwo ,kini disebut kampung Salurang. Diperkirakan masa Gumansalangi dimulai akhir tahun 1200 sampai awal tahun 1300. Pada masa ini dimulailah sistim pemerintahan monarkih kerajaan pertama Sangihe. Gumansalangi yang memperisteri Sangiang Konda Wulaeng memperanakan Melintangnusa dan Melikunusa. (D.B. Adrian “Renungan kisah Sangihe Talaud” dalam Toponimi,cerita rakyat dan sejarah dari kawasan Nusa utara,Diknas Tahuna).
Wilayah kekuasaan kerajaan Tampungang Lawo membentang dari Mindanao sampai ke Bolaang Mongondow. Panglima perang kerajaan Tampungan lawo adalah Melintangnusa yang memperisteri Sangiang Hiabe puteri Abubakar (seorang pemberani dari Tugis, Philliphina). Melikunusa berlayar ke wilayah Mongondow dan mempersunting Menong Sangiang.
Gumansalangi mewariskan kerajaan pada anaknya Melintangnusa tahun 1350. Menjelang akhir hidup Melintangnusa berlayar ke Mindanao dan meninggal disana. Sejak meninggalnya Melintangnusa, kerajan diserahkan kepada anaknya Bulegalangi dan Pahawonseke. Sejak saat itu pusat kerajaan terbagi dua.
Kekuasaan kerajaan yang berpusat di Salurang diserahkan kepada anaknya bernama Bulegalangi. Dalam menjalankan pemerintaha Bulegalangi dibantu oleh anaknya bernama Matandatu. Saudara laki-laki Bulegalangi bernama Pahawongseke pindah ke Sahabe (Tabukan Utara sekarang), dan membentuk pemerintahan baru. Pemerintahan dibantu oleh anaknya Pangatorehe. Setelah raja Bulegalangi meninggal, puterinya bernama Sitti Bai dipersunting oleh Balanaung sedangkan Puteri Aholiba dipersunting oleh Mengkangbanua dan berpindah tempat tinggal ke Tariang tebe (sekarang kampung Tariang Lama).
Kedatuan Tampungan Lawo di Sahabe (1400-1530).
Kerajaan Tampungan lawo di Sahabe didirikan oleh Kulano Pahawongseke (putra dari Melintangnusa). Pusat kerajaan adalah Limu (dekat kedang atau sahabe behu). Kerajaan Tampungan lawo di sahabe kemudian dikenal dengan nama kerajaan sahabe, juga dinamakan kerajaan limu. Wilayah kekuasaannya dari tanjung salimahe sampai ke tanjung lehe,termasuk pulau nusa,bukide, dan buang (sekarang Tabukan tengah). Pahawongseke diganti oleh puteranya Pangalorelu. Pangalorelu diganti oleh Mamatanusa. Mamatanusa kemudian menjadi raja terakhir di kerajaan sahabe. Mamatanusa memperisteri Neneukonda dan memperanakan dua orang puteri bernama Somposehiwu dan Timbangsehiwu. ( Dari sumber cerita lisan lain, Raja terakhir kerajaan Sahabe adalah Pontowuisang, yang memperisteri Belisehiwu. Pontowuisang adalah raja siau yang menyuruh Hengkengunaung untuk membunuh Makaampo).
Kedatuan Tampungang lawo di Salurang
(1400 – 1500 an )
Kerajaan ini didirikan oleh Kulano Bulegalangi (putra dari Melintangnusa), yang berpusat di Salurang. Wilayah kekuasan kerajaan Tampungang lawo di salurang mulai dari tanjung lehe ke pungu watu, termasuk pulau-pulau marore, kawio, kemboleng, memanu, matutuang, dan dumarehe. Pemerintahan Bulegalangi dibantu oleh anaknya bernama Matandatu yang juga sebagai panglima perang.Setelah wafatnya Bulegalangi, kekuasaan raja diganti oleh puteranya Matandatu . Pemerintahan Matandatu dibantu oleh anak-anaknya, Makalupa, Ansiga, Tangkaliwutang dan saudara perempuan mereka Talongkati. Talongkati adalah anak yang paling berani sehingga mendapat gelar Bawu Mahaeng.
Salah satu anak dari Matandatu bernama Tangkuliwutang kemudian memperanakan Makaampo Wewengehe. Makaampo lahir pada tahun 1510 di Rainis (Talaud) dari ayah bernama Tangkuliwutang dan ibu bernama Nabuisang (dari Talaud). Nabuisang adalah anak dari Saselabe (di taghulandang) dengan isterinya Putri Din (perempuan dari bangsa jin). Makaampo dilahirkan kembar, dan kembarannya adalah seekor ular bernama Uri Makaampo. Isteri pertama Makaampo adalah Marinsai.( H.Juda “ Manga wÄ•keng Asaļ ‘u Tau SangihÄ• “).
Setelah dewasa makaampo memperisteri Marinsai orang Bowongkalumpang anak dari Bolinsangiang, Makaampo meninggalkan perempuan tersebut karena kedapatan berselingkuh dengan laki-laki lain. Seterusnya Makaampo memperisteri Rampeluseke seorang perempuan dari Salurang, kemudian memperisteri dua orang kakak beradik Somposehiwu dan Timbangsehiwu. Sejak memperisteri Somposehiwu dan Timbangsehiwu berakhir pula kerajaan Tampungan lawo di salurang.
Latar belakang meluasnya wilayah kerajan Tampungang lawo di salurang adalah sebagai berikut :
Kedatuan Tampungan Lawo kedua
(lahirnya Kerajaan Tabukan besar yang disebut Rimpulaeng ) .
Kedatuan Tampungang lawo yang dulunya terpisah kemudian lenyap, dipersatukan lagi menjadi sebuah kedatuan besar. Kedatuan ini didirikan pada tahun 1530 oleh Makaampo Wewengehe yang berpusat di limu atau sahabe Behu di daerah bekas pusat kedatuan Tampungan lawo Sahabe.
Wilayah kekuasaan kedatuan Tampungan lawo kedua meliputi Tanjung Salimahe ke Pendarehokang sampai ke pulau Marore, Mahengetang dan kepulauan Talaud. Pada masa pemerintahan Makaampo Wewengehe di Sahabe Behe, dia didampingi oleh permaisuri Sompo sehiwu. Sedangkan permaisuri Sompo Sehiwu tinggal di Salurang.
Makaampo Wewengehe dikenal sebagai raja perkasa, yang memerintah dengan kejam. Akibat kekejamannya itu dia dibunuh oleh seorang pemberani dari Tamako bernama Ambala yang bersekutu dengan panglima laut kerajaan Siau bernama Hengkeng u’ naung di pantai Batu keti’ pada tahun 1575. Leher Makaampo dipotong dan kepalanya di antar ke pehe - siau.Lalu kemudian di ambil oleh Ansiga dan Makalupa dan dikuburkan di salurang. Makaampo adalah datu terakhir kedatuan Tampungang Lawo yang mendirikan dasar atas kerajaan Tampungang lawo baru dengan nama Tabukan. Setelah Makaampo meninggal, kedudukan datu diganti oleh anaknya Wuateng Sembah. Sejak saat itu mulai dikenal kerajaan Tabukan yang berpusat di Salurang.
Pada masa ini semakain nyata keberadaan bangsa Eropa di daerah utara Nusantara. Kerajaan - kerajaan di sangihe pada waktu itu mengalami berbagai situasi dan tekanan akibat perebutan wilayah kekuasaan oleh Kerajaan – kerajaan dari Eropa.
Tahun 1563, Raja Siau bernama Possuma dibaptis di Manado oleh Pater Diego de Magelhaes dari Portugis. Sejak saat itu terbukalah hubungan portugis dengan Kepl. Sangihe Talaud.
Hubungan Spanyol dengan Kepulauan Sangihe sudah dimulai tahun 1521. Gugusan kepulauan Philliphina yang bertetangga telah diduduki Spanyol tahun 1565, pada saat itu raja yang berkuasa di kerajaan Siau adalah Raja Jeronimo.
Pada tanggal 1 November 1677, Raja Amsterdam dari Ternate ( Kaitjil Sibori ) merebut benteng Spanyol “Sancta Rosa” di Siau dan menyerahkannya pada Gubernur Jenderal Robertus Paddbrugge atas nama VOC. Pada saat itu pula ditandatangani perjanjian antara VOC dengan Raja Siau Franciscus Xaverius Batahi. Perjanjian yang sama juga berlaku terhadap kerajaan Tabukan,Tahuna dan Kendahe dan Taghulandang.
Dari penjelasan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa sejak tahun 1563, kerajaan – kerajaan disangihe sudah berhubungan dengan Portugis,Spanyol dan VOC. Sejak tahun 1821 kekuasaan kerajaan disangihe mulai di pengaruhi oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1821, sistim pemerintahan kerajaan tidak lagi berdasarkan wangsa tetapi berdasarkan kehendak Pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa itu di wilayah teritorial Sangihe sudah ada keraajaan-kerajaan yang dipengaruhi oleh Eropa. Kerajaan - kerajaan tersebut adalah :
Periode Pertama :
Manarou bukanlah Minahasa. (sejarah Minahasa-Kontrak
19 Januari 1679). Manarou diambil dari kata bahasa
sangihe Mararau,marau yang berarti jauh. Kerajaan ini
berpusat di Pulau Menado Tua tepatnya di tempat yang
bernama negeri (desa menado tua – I, sekarang). Kerajaan
Manarou didirikan oleh Daloda Loloda Mokoagow pada
kurun waktu tahun 1644-1674. Penduduk kerajaan ini
adalah orang sangihe (Graafland, Minahasa masa lalu dan
masa kini, terjemahan Joost Kulit.) Menurut Catatan
Robertus Padburgge,1867, Kerajaan ini hancur akibat
perang berkepanjangan dengan Kerajaan Bolaang.
Kerajaan ini menggantikan kedudukan kedatuan
Mangsohoang. Diawal kedatangan Eropa, kerajaan ini
Diperintah oleh raja Pontoralage pada pertengahan tahun
1500.
Diawal kedatangan Bangsa Eropa, Kerajaan ini Dibawah
kekuasaan Raja Passuma. Masa pemerintahan Pasumah
tahun 1540-1575. Raja Passuma meninggal tahun
1587,dan diganti oleh anaknya Don Jeronimo
(Pontowuisang / Betewiwihe)Tanggal 16 Agustus 1593,
Don Jeronimo mengucapkan sumpah setia kepada
pemerintah Spanyol di Manila melalui gubernur Spanyol
Gomez Perez Dasmarinas. Don Jeronimo memperanakan
Winsulangi. Tahun 1619, Raja Winsulangi dibaptis di
Paseng dan menjadi Don Jeronimo Winsulangi.
(D.Brillman,Zending di Kepl.Sangi dan Talaud). Don
jeronimo Winsulangi diganti oleh anaknya Batahi, 1642-
1678. Pusat kerajaan dipindahkan dari Paseng ke Pehe.
Raja yang memerintah kerajaan tabukan dimasa awal kedatangan bangsa Eropa adalah raja Wuateng sembah (Pahawuateng). Kerajaan ini berpusat di Sahabe. Wuateng memperisteri Tasikoa,putri Ratu Lohoraung dari Taghulandang. Wuateng sembah diganti oleh anaknya Markus Vasco da Gama. (Gamang Banua). Raja ini memerintah disaat Spanyol masuk di Tabukan.
Periode ke dua
Berpusat di bukide Tahuna. Kerajaan Tahuna didirikan oleh raja Tatehewoba (Ansawuwo) putra raja Pontoralage tahun 1580 – 1625. Tatehe memperisteri Doloweli anak dari Makaampo dengan isteri Timbangsehiwu. Tatehewoba diganti oleh anaknya Buntuang, lau diganti lagi oleh anaknya Don Marthin Tatandangnusa.
Sejak Tompoliu meninggal, kekuasaan raja di ganti oleh Bataha Santiagho. Santiago adalah raja sangihe pertama yang menentang VOC dimasa akhir kekuasaan VOC. Sejak di bunuhnya Santiago oleh VOC, kekuasaan raja tidak lagi berdasarkan kemonarkian keluarga raja tetapi berdasarkan keinginan VOC dan berlangsung terus sampai masa Kolonialisme bahkan sampai pada masa pendudukan Jepang. Pada masa pemerintahan Willem Manuel Pandensolang Mokodompis, raja ini berkuasa atas tiga wilayah yaitu kerajaan Tahuna, Kerajaan Manganitu di Karatung soa dan Kerajaan Manganitu di Tamako. Hal ini terjadi karena pengaruh kekuasan Belanda.
Sistem Monarki kerajaan-kerajaan Sangihe berakhir sejak dimulainya Pemerintahan Kolonial Belanda. Kekuasaan belanda mulai menguat di Sangihe setelah beberapa Raja menandatangani perjanjian persahabatan (Lange Verklaring Contrac) mulai dari tahun 1677. Raja – raja yang tunduk adalah : Fransiscus Makaampo Juda – I Raja Tabukan, Don Marthin Tatandangnusa raja Tahuna, Takaengetang (Djoutulung) Raja Manganitu. Wuisan Raja Kendahe, Philips Anthoni Aralungnusa Raja Taghulandang, Don Jeronimo Winsulangi Raja Siau. Sejak saat itu pengangkatan raja dilakukan tidak lagi berdasarkan garis keturunan waris raja kepada anak laki-laki tertua tetapi diangkat berdasarkan kepentingan Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
1 |
A.Horohiung, Santiago melawan VOC |
2 |
Abay D. Subarna dan Tim, Sistim Tulisan dan Kaligrafi, Lembaga Pendidikan Seni Nusantara2006 |
3 |
Ayip Rosidi, Puisi Indonesia - I, 1969 |
4 |
Bustanuddin Agus,Agama dalam kehidupan manusia,pengantar antropologi agama.PT. Raja Grafindo Perkasa.2006 |
5 |
Cut Kamaril Wardani,Ratna Panggabean,Tekstil,Lembaga Pendidikan Seni Nusantara,2005 |
6 |
D.Brillman, Zending di Kepulauan Sangi dan Talaud.(terjemahan)BPH Sinode GMIST,1986 |
7 |
D.J. Walandungo, Tesis, Islam Tua, terpasung dan merana. |
8 |
Dr. H. Berkhof, Dr. I.H. Enklaar,Sejarah Gereja,BPK Gunung Mulia, 1987 |
9 |
Dr. Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil,BPK Gunung Mulia, 2006 |
10 |
Dr. Harun Hadiwijono,Religi Suku Murba, BPK Gunung Mulia, 2006 |
11 |
Drs. Bakar Hatta, Sastra Nusantara,1982 |
12 |
Esther L. Siagian, GONG,Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 2006 |
13 |
Gideon Makamea, Tulisan lepas tema sejarah dan budaya sangihe. |
14 |
Gideon Makamea, Mempelajari Ungkapan Dan Sastera Daerah, 2003 |
15 |
Gideon Makamea, Prospek Budaya Dan Tradisi-tradisi historis daerah Kepulauan Sangihe dan Talaud. 2008 |
16 |
Hasil Sarasehan Budaya Sangihe Talaud,Tahuna,1994 |
17 |
I Wayan Dibia, Tari Komunal, Lembaga Pendidikan Seni Nusantara,2006 |
18 |
Irwansyah Harahap, Alat Musik Dawai, Lembaga Pendidikan Seni Nusantara,2005 |
19 |
Jhon Rahasia, Penemuan Kembali Tagaroa.Yayasan Tagaroa,1975 |
20 |
Johanis Saul.M.Hum. Ragam Hias Sangihe |
21 |
Decroly Juda,S.Pd, Tata Bahasa Sangihe |
22 |
L. Bons, Kamus Bahasa Belanda,Inggris,Indonesia.1954 |
23 |
Kenneth R. Maryott,Hamerson Juda. Manga wÄ•keng Asaļ ‘u Tau SangihÄ• |
24 |
Laporan kunjungan Gubernur Jendral Belanda di Kerajaan Tabukan 1927 |
25 |
Makalah Seminar, Budaya Bahari Dalam Tradisi Lisan Daerah Satal,Paul Nebath,Tahuna,2004 |
26 |
Martoji, Sejarah Untuk SMP kelas VII,Erlangga2004 |
27 |
Materi pelatihan terintegrasi,Ilmu Pengetahuan Sosial,2005 |
28 |
Muhamad Yamin, Atlas Sedjarah,Djambatan 1956 |
29 |
N. Graafland, Minahasa Masa lalu dan Masa kini |
30 |
Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa,Cheng HO,2005 |
31 |
Prof.Dr.J.Turang,dkk. Profil Kebudayaan Minahasa. Majelsi Kebudayaan Minahasa,1997 |
32 |
Putu Wijaya, Teater, |
33 |
Sastra lisan Bolaang Mongondow |
34 |
Sosiologi dan Anthropologi SMA,1987 |
35 |
Tarian Alabadiri, Tim Kesenian Kab Satal,1995 |
36 |
Tatimu, hasil sarasehan budya,musik oli’. |
37 |
Toponimi,cerita rakyat dan data sejarah dari kawasan perbatasan nusa utara,Diknas Kab.Kepl.Sangihe. |
38 |
Wiyoso Yudoseputro, Pengantar wawasan Seni Budaya,Dep P & K, 1993. |
39 |
Metty M. Bawelle, Pengaruh sponsor Terhadap Pengembangan seni Masamper di Kecamatan Malalayang Kotamadya Manado |
DAFTAR NARA SUMBER
NO |
NAMA NARA SUMBER |
ALAMAT |
INFORMASI YANG DITERIMA |
1 |
Gidion Makamea |
Tahuna |
Cerita Gumansalangi
|
2 |
Bpk Mahare |
Biru |
Tamo |
3 |
M. Madonsa |
Tahuna |
Sejarah Kerajaan |
4 |
R. Radangkilat (alm) |
|
Cerita Apapuhang |
5 |
Bahagia Diamanis |
Tahuna |
Cerita Santiago dan Tamo |
6 |
Bpk Barahama |
Karatung I |
Cerita Santiago |
7 |
Bpk Letunggamu |
Pananaru |
Cerita Dumpaeng |
8 |
Ibu Antarani |
Pananaru |
Tari Gunde |
9 |
Ibu Antarani |
Kauhis |
Tamo |
10 |
Bpk. A. Sinadia |
Kauhis |
Silsilah Sinadia |
11 |
Bpk. Makansing (alm) |
|
Perahu Sangihe |
12 |
H. Galangbulaeng |
Karatung II |
Perahu Sangihe |
13 |
K. Mare |
Karatung I |
Masamper |
14 |
Wawu Mawira |
Manganitu |
Kehidupan Istana |
15 |
Bpk Ulis (alm) |
Manganitu |
Silsilah Raja-raja Manganitu |
16. |
R. Sianaeng |
Tahuna |
Rumah Ikat Lehupu |
17 |
Umbure Kalengghihang |
Manumpitaeng |
Musik Oli dan Tenun Sangihe |
18 |
Bpk Malemboris |
Manumpitaeng |
Upacara Sundeng |
PROFIL PENULIS.
Nama : Alffian W.P. Walukow.
Ttl : Wiau Lapi, 28 Mei 1972
Pekerjaan : Guru di SMP Negeri 5
Tabukan Utara,
Kab. Kepulauan Sangihe
Pendidikan : S-1 / Seni Rupa UNIMA
Alamat : Kampung Lenganeng,
Kec. Tabut
Kab. Kepl. Sangihe
Nama Isteri : Metty. M. Bawelle, S.Pd
Nama anak : Theabella Natasha Walukow
Theovinci Nathanael Walukow
1992-1995 : Aktif berpameran karya study
Dan pergelaran seni mahasiswa seni rupa.
Tahun 1994 : Aktif menulis puisi dan sudah diterbitkan
± 70 -an judul dalam berbagai edisi di
beberapa surat kabar Manado.
Tahun 1994 sampai 2001 : Merancang dan membuat Taman
sebanyak ± 150 taman rumah tinggal
yang tersebar di kota Manado.
Tahun 1996 sampai 1998 : Menjadi Salah satu penata Ruang
pertemuan di Aula Kantor Wali Kota Manado dan acara-acara Dharma
wanita / PKK Kotamadya Manado Dibawah
pengawasan Ir. Ny.V.Rorong Raung (sebagai sekretaris PKK Kodya Manado. Merancang Pohon Natal Tertinggi Indonesia ( tinggi 16 meter ) dan
Patung Santa Claus ( tinggi 5 meter )
pada acara Ibadah Natal Bersama Propinsi
Sulawesi Utara yang dilaksanakan
dilapangan Tikala. Merancang dan
membuat Lampion Artistik Natal dan Idul
Fitri di tempat-tempat strategis Kota
Manado.
Bidang pengembangan, Souvenir,
Sablon,keterampilan dan kerajinan daerah.
Tahun 2004 :
Tahun 2005 – sekarang : Aktif menulis artikel tema sejarah dan
budaya dibeberapa surat kabar Manado. Diantaranya Santiago Pahlawan Indonesia yang dilupakan,Sejarah Sam Ratulangi, Sejarah Walanda Maramis.
Tahun 2006 : Menciptakan rekor baru MURI. Merancang
Pembuatan Kue adat Sangihe “TAMO” sebagai Kue
adat terbesar sepanjang Sejarah Indonesia dan
tercatat dalam Buku Recor Indonesia di Museum
Record Indonesia.Dokumentasi kue adat ini sudah di pajang di Candi Borobudur,sebagai Rekor terbaru dan paling lain pada jenisnya.
Tahun 2007 : Mengikuti sayembara logo Kabupaten
Sitaro.
Tahun 2008 : Merancang kurikulum Mulok Potensi
daerah. Tingkat SD-SMP-SMA.
Tahun 2009 : - Pemenang I lomba karya nyata
tingkat Propinsi. Judul Karya “ Kursus souvenir
besi kampung Lenganeng”.
Yang sudah dikerjakan di
Sangihe adalah : Menata halaman Gereja GMIST ULU Siau,Menata
halaman Gereja GMIST PETRA Manganitu, Pembuatan kolam Hias Kantor Dinas Diknas Kab.Kepl.Sangihe.
KUE ULANG TAHUN TRADISIONAL
PERTAMA DAN TERTINGGI
Bupati Minahasa Selatan, Ramoy Luntungan dengan latar belakang kue ulang tahun. Karya Alffian Walukow. Terbuat dari kue-kue khas Minahasa, sejumlah 10.000 bungkusan kue tradisional. ( Guntingan Koran Manado Post, Edisi Selasa 10 Agustus 2004 )
DODOL TERPANJANG DIDUNIA
PANJANG 12 METER, BERAT ± 800 Kg, Garis tengah, bagian tengah kue 50 cm.Pelengkap Pameran dalam rangka HUT - 1 Kab. Minahasa Selatan di Amurang.Pada pembukaan pameran telah dibeli oleh Gubernur J.A.Sondakh sepanjang 2 meter dengan harga Rp. 2.000.000,-
( Guntingan Koran Manado Post, Edisi Selasa 10 Agustus 2004 )
|
|
Tentang penemuan sarung guling 1889 di Sangihe izin bertanya kepada penulis, saya menemukan gambar sebuah sarung guling 1889 yang terbuat dari kain koffo. saya sedang membuat skripsi tetapi saya tidak tahu bahan apa yang terbuat dari sebuah guling? , bukan sarungnya di daerah Sangihe. terimakasih penulis semoga dapat menjawab :) Diskusi oleh Ucokskuy . 20 Sep 2023, 05:14:33. |
|
|
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |