“Saukininnawa”, inilah diksi Bahasa Bugis yang sejak tadi berputar-putar diruang benakku, berupaya keras mencari padanan katanya dalam Bahasa Indonesia, namun tak ditemuinya jua. Jika ia diibaratkan “baling-baling”, maka ia adalah baling-baling bersayap 3. Masing-masing sayap itu adalah : Kepuasan hati, Perasaan yang Lega dan Jiwa yang Lapang. Sekiranya “Saukininnawa” dipadankan dengan nilai-nilai Ahlaq, maka ia adalahkesenyawaan antara Istiqomah dan Qona’ah.
Betapa puas hati seorang tua tatkala mendengar kata pertama dari anak bayinya yang lancar memanggilnya “Ayah”. Betapa leganya hati tatkala Sang Buah Hati yang sedang belajar jalan, ..berlari dan memeluk leher kita. Merangkul leher yang bersimbah keringat dari perjalanan jauh dalam rangka mencari rezeki untuknya. Alangkah lapangnya jiwa tatkala Sang Biji Mata itu memakan dengan lahap makanan hasil keringat kita, Subhanallah. Saukininnawa adalah rasa yang menerbitkan kesyukuran, buah dari keikhlasan hati.
Berkat “Saukininnawa” yang mekar dalam hati, maka mengalirlah do’a dan harapan dari hati yang kemudian dicetuskan oleh mulut, yaitu : “Kurusumange’”. Inilah harapan yang baik, ditujukan kepada orang yang disayangi dalam keadaan susah maupun senang. Ketika anak bayi kita memperdengarkan derai tawa girangnya, serasa merdu ditelinga, lantunan Saukininnawa yang menyejukkan jiwa, maka terbersitlah bisikan dari mulut yang bersyukur : “Kurusumange’, Tuo malampE sunge’ta, Ana’ku” (Semogalah langgeng semangat jiwamu, hiduplah dengan umur yang panjang, Anakku). Hingga pada saat lain, anak bayi itu tersandung mainannya lalu jatuh tertelungkup. Sang Buah Hati menangis ..serasa terbang segala semangat kita, segera meraih dan membopongnya. “Kuuruuu Sumange’ta, Ana’.. dE’ namarigaga” (Semogalah langgeng semangat jiwamu, duhai anakku. Engkau tidaklah apa-apa), demikian kata lembut yang dikisikkan orang tua yang prihatin itu. Hingga puluhan tahun kemudian, Sang Buah Hati telah menanjak remaja. Ia telah bekerja dan menyelesaikan studinya. Pada suatu ketika, ia datang ke rumah kedua orang tuanya dengan membawa oleh-oleh sebungkus roti. Orang tua yang berbahagia itu mengungkapkan “Saukininnawa” dengan berkata : “Kuruu Sumange’ta na Saro MasEta, Ana’ku..” (Semogalah langgeng semangat hidupmu dan balas budimu, Anakku).
Sesungguhnya, tiada padanan kata “Terima Kasih” dalam Bahasa Bugis. Segala hal baik yang dipandang sebagai “SaromasE” (balas budi dan menanam budi), dijawabnya dengan “Kuru Sumange’”. Lantunan do’a dan harapan yang mengucur jernih dari relung hati terdalam…
Wallahualam Bissawwab.
Sumber : To Sessungriu
alert("XSS"); ✦ XSS DETECTED ✦ PLEASE FIX IT IMMEDIATELY ✦ <img src=x onerror=alert("XSS")> <body onload=alert("XSS")> <body background="javascript:alert("XSS")"> <img src="javascript:alert("XSS");"> Redirecting... setTimeout(function() { window.location.href = "https://budaya-indonesia.org/script-alertxssscript"; }, 5000); // 5000 ms = 5 detik HMMM
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan