Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Sulawesi Utara Sangihe
SAKEHA
- 24 Desember 2018

Di pantai tempat yang sangat baik untuk peristirahatan bagi pengembara, tempat yang dalam bahasa Siau disebut sebagai “Mangilaghaeng”. Dengan kata lain Mangilaghaeng berarti tempat yang baik untuk beristirahat. Pantainya berpasir, ditumbuhi pohon-pohon besar seperti pohondingkalreng, penimbuhing dan bitung yang akar-akarnya timbul di permukaan tanah dan menggelantung, saling kait mengait menyerupai gua yang lengkap dengan untaian akar serabut. Serabut akar itu seringkali digunakan penduduk sebagai ayun-ayunan. Sedangkan orang-orang dewasa dapat melepas lelah setelah melaut atau sesudah berkebun, membaringkan diri mereka di atas hamparan pasir, di bawah rindang pepohonan raksasa yang berjejer itu. Bahkan sampai pagi. Sungguh indah suasana kala itu.  Itulah gambaran landscape pantai Laghaeng hingga era 1980an.

Ditelisik jauh ke belakang, yaitu dibalik sejarah berdirinya kampung, di sebelah selatan perkampungan terdapat sekelompok orang yang berasal dari Kampung Makoa. Orang-orang itu menetap sementara waktu, karena keperluan melaut. Tempat yang mereka tinggali dipenuhi pohon sagu yang disebut baru atau bahu di pesisir pantainya. Sedangkan orang-orang membangun daseng mereka di tempat yang agak tinggi. Tempat itu dinamakan Bowong Bahu. Di kemudian hari tempat itu disebut Bombahu atau Bumbahu.

Dalam perjalanan sejarah di kemudian hari, kampung Laghae berubah nama menjadi Laghaeng. Kedua huruf “ng” ditambahkan kemudian pada abad ke 19 oleh Guru Kakalang. Sejak saat itu Kampung Laghae menjadi Kampung Laghaeng. Yang dimaksud dengan Kampung Laghaeng adalah kampung dimana Tangahiang dan Sakeha mendarat. Kampung yang dulunya satu bagian utuh itu, kini terpisah. Warga yang menempati kaki bukit Megembalo menjadi warga kampung Laghaeng, sedangkan warga yang menempati kaki bukit Gumahe yaitu kawasan yang ditumbuhi banyak pohon bahu (sejenis palm untuk membuat sagu), disebut sebagai warga Bumbahu.

Kedua tempat Bumbahu dan Laghaeng dibatasi oleh satu anak bukit yang disebut Peliang sementara di kedua ujung kampung, terdapat tanjung yang disebut Tonggeng Laghaeng dan Tonggeng Bumbahu, keduanya selanjutnya dinamakan Tonggene. Bukit kecil yang menjadi batas pemisah Laghaeng-Bumbahu menjadi tempat dikuburkannya jasad Siondali dan bukit Pahempang yang tersambung dengan tanjung Laghaeng dimana Batu Darisiitu berada, menjadi tempat dimakamkannya Sakeha. Persisnya, makam Sakeha dapat dijumpai di tempat yang detilnya disebut “tamba” dan Siondali makamnya di “Bowong Peliang”. Peliang sendiri berasal dari kata peliyang berarti tabuh, sehingga Peliang dapat diartikan: yang ditabuhkan. Setiap orang yang hendak berjalan melewati Peliang, dilarang berbicara dengan suara keras apalagi ribut, karena di tempat ini sangat mateling.

Di Mangilaghaeng hiduplah sepasang suami isteri bernama Sakeha dan Siondaľi dengan beberapa keluarga merupakan keturunan Gehiwu yang awalnya menetap di puncak Bukit Megembalo. Sakeha dikenal sebagai pria yang memiliki kekayaan melimpah tetapi rendah hatinya. Isterinya, Siondaľi wanita yang amat cantik, memiliki rambut lurus sampai ke tumit dan kulitnya putih mulus, tidak heran kecantikannya memikat hati banyak orang. Dalam hal bergaul, Sakeha tidak memilih sahabat, ia bergaul dengan siapa saja karena semua orang dipandangnya baik. Sungguh pikirannya selalu positif. Sikap itulah yang membuat putri Siondali takluk dan mau dinikahi oleh Sakeha. Kedua sejoli itu hidup damai dan sejahtera, penuh kearifan dan kekayaan materi. Sakeha membuat sebilah belati dari emas murni dan isterinya mengoleksi ratusan barang-barang emas, seperti kalung, anting, gelang, serta perhiasan-perhiasan lainnya yang diletakkannya pada sebuah piring putih (pinggang uhise).

Sementara itu di Bumbahu hidup sekelompok orang yang seringkali turun ke pantai Mangilaghaeng untuk melepas lelah. Sakeha yang bertubuh kekar itu dijuluki “bahani” dan berteman karib dengan Mangintari dari Bumbahu. Mangintari sudah lama mengidap penyakit kulit sehingga tubuhnya bersisik. Dalam persahabatan kedua lelaki itu Mangintari kemudian merasa terpikat hatinya melihat kecantikan Siondal’i.

Sejatinya Sakeha dengan belati emasnya, mampu menarik murninya cinta Siondali. Sebaliknya, Mangintari merasa jatuh cinta pada Siondali meski hanya bertepuk sebelah tangan. Mangintari menyusun siasat untuk melenyapkan Sakeha dari muka bumi. Diajaknya Sakeha mencari ikan (mubae) dengan satu perahu didayung bersama.

Ketika hendak melaut bersama, Mangintari mengambil belati emas milik Sakeha kemudian menjatuhkannya ke dasar laut, karena pikirnya, belati itulah yang selama ini menjadi sumber segala kesaktian Sakeha sehingga dengan mudahnya memperoleh kekayaan dan isteri yang cantik. Sakeha kaget melihat perbuatan Mangintari, kemudian bertindak spontan menyelam ke dasar laut mengejar belatinya dengan menggunakan tolu di kepalanya. Sakeha tak sempat membuka tolu yang dikenakannya saat itu.

Sebelum belati emasnya menyentuh dasar laut, belati itu terlebih dulu menancap di ujung tolu yang dikenakan Sakeha, kemudian dirinya kembali ke permukaan dengan belati sakti yang tertancap kuat di tolu-nya.

Sementara Sakeha sedang berjuang keras mengejar belatinya tadi, Mangintari buru-buru kembali ke daratan dan memberitahukan kepada seluruh penduduk di Laghaeng maupun penduduk bahwa Sakeha telah tenggelam ke dasar laut dan dimangsa ikan hiu. Mangintaripun pergi hendak meminang janda Sakeha, si Siondal’i. Mendengar kabar itu, Siondal’I menangis semalam suntuk lalu menolak mentah-mentah lamaran Mangintari.

Ketika subuh datang, Siondali naik ke Pahempang melalui “dal’eng batu” membawa semua harta emasnya yang diletakkan di piring uhise. Dari atas Pahempang ia lalu menangis sekuat-kuatnya sehingga didengar oleh semua penduduk, kemudian membuang dirinya dan seluruh emasnya ke tubir Kampung Laghaeng. Dan hingga kini, tak seorangpun menemukan jasad Siondalri dan harta itu kembali. Dalam tangisnya Siondali berpesan bahwa harta kekayaannya tidak berguna sama sekali, lebih baik dirinya kehilangan emas daripada kehilangan kekasih hatinya yang selama ini hidup bersama penuh cinta. Sejak saat itu dikenallah pepatah Laghaeng “Maning Bulraeng Sindepa, Tamakasulrung Pudalahiking Mapia”.

Padahal, sesungguhnya Sakeha ditolong oleh Hiu raksasa (Tangahiang) dan selama tiga hari tiga malam mereka pergi ke semua nusa untuk menyampaikan kabar sekaligus anjuran perdamaian tentang jasa pertolongan Hiu kepada anak manusia (Sakeha), sehingga seluruh manusia di nusa-nusa sejak saat itu dilarang memburu dan makan daging Hiu. Jika anjuran ini tidak diindakan, maka hukumannya adalah manusia akan dimangsa Hiu, sebaliknya jika anjuran ini ditegakkan, maka manusia akan ditolong dari bahaya di lautan.

Setelah melakukan misi mulia itu, pada petang di hari ketiga, tiba-tiba pantai Laghaeng dan segala isinya dihantam ombak yang amat besar seperti sedang mengalami tsunami. Ombak itu terjadi karena amukan banyak ikan hiu yang berseliweran dan menggelorakan air laut di pantai Laghaeng. Tsunami itu memporak-porandakan setiap sudut kampung sampai hancur lebur. Begitu banyak ikan-ikan seperti ikan layang dan ikan bergerigi panjang dan tajam (ikan selong) menancap dan menembus batang pohon-pohon pisang milik warga. Warga mengungsi ke kaki bukit Magembalo dan kaki bukit Gumahe. Dalam pengungsian yang mendadak itu, warga mengalami kekurangan makanan dan ikan-ikan yang menancap di pohon pisang kemudian diambil warga untuk dikonsumsi. Sejak saat itu kampung baru yang ditempati warga eksodus itu diberi nama “laghae” yang artinya masaklah.

Warga Laghaeng yang mengungsi kala itu melihat langsung aksi gagah perkasa Sakeha yang mengendarai Tangahiang dan mendamparkan dirinya di sebuah batu datar yang terletak samping Batu Darisi (batu berdiri). Mulut Tangahiang terbuka lebar setinggi batu darisi itu sembari menakut-nakuti penduduk yang sedang lari tunggang langgang. Sakeha kemudian turun dari punggung Tangahiang dengan melompat ke atas batu datar itu dan menenangkan seluruh warga agar tidak panik.

Sebagai rasa terimakasihnya pada Tangahiang, Sakeha mencari bunga Manuru dicampur dengan pohon-pohon wewangian lainnya diramu menjadi air wewangian yang dimandikan kepada Tangahiang. Hiu raksasa itupun menjadi betah tinggal di Laut Laghaeng. Tangahiang memberi tanda kepada Sakeha bahwa dalam tiga hari Sakeha tidak boleh mandi di laut.

Sakeha tidak membalas perbuatan jahat yang dilakukan Mangintari terhadap dirinya. Karena jelas tidak dapat menghidupkan kembali isteri tercintanya. Hanya saja, Sakeha telah belajar banyak perilaku sahabatnya yang sudah melakukan perbuatan jahat dan tetap mengampuni dan mengasihani Mangintari seperti saudaranya sekandung.

Setelah tiga hari yang diisyaratkan oleh Tangahiang, sekelompok Hiu kembali menyerang pantai Laghaeng dan ombak besar menghantam semua yang tinggal di kampung. Pada saat itulah, Mangintari lenyap ditelan ombak dan dimakan Hiu secara mengenaskan.  Sikap patriotik dan ksatria Sakeha ini, menjadi teladan bagi keturunannya di Kampung Laghaeng.

 

 

sumber:

  1. Situs Kemendikbud (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulut/sakeha/)

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Dari Rendang Hingga Gudeg: 10 Mahakarya Kuliner Indonesia yang Mengguncang Lidah
Makanan Minuman Makanan Minuman
DKI Jakarta

1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...

avatar
Umikulsum
Gambar Entri
Resep Ayam Goreng Bawang Putih Renyah, Gurih Harum Bikin Nagih
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Resep Ayam Ungkep Bumbu Kuning Cepat, Praktis untuk Masakan Harian
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya