|
|
|
|
Rumah Adat Sasak Tanggal 12 Jun 2012 oleh Burhanuddin Yusuf. |
Bagi masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan (duniawi). Artinya, rumah adat Sasak di samping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (Papuq Baloq) bale (penunggu rumah), dan sebagainya.
Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5 x 2 meter dari pemukaan tanah. Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu, hanya mempunyai satu pintu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk) yang meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan. Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Selain itu, ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem geser.
Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau atau kuda, getah, dan abu jerami. Undak-undak (tangga), digunakan sebagai penghubung antara bale luar dan bale dalem. Hal ini yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk memnuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok.
Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat. Bentuk rumah tradisional Lombok berkembang saat pemerintahan Kerajaan Karangasem (abad 17), dimana arsitektur Lombok dikawinkan dengan arsitektur Bali. Selain tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan kehidupan sedernaha para penduduk pada masa lampau yang mengandalkan sumber daya alam sebagai tambang nafkah harian, seklaigus sebagai bahan pembangunan rumah.
Lantai rumah itu adalah campuran dari tanah, getah pohon kayu banten dan banjur (istilah lokal), dicampur dengan batu bara yang ada dalam batu baterai, abu jerami yang dibakar, kemudian diolesi dengan kotoran kerbau atau kuda di bagian permukaan lantai. Materi membuat lantai rumah itu berfungsi sebagai zat perekat, juga guna menghindari lantai tidak lembab. Bahan lantai itu digunakan oleh warga di dusun Sade, mengingat kotoran kerbau atau sapi tidak bisa bersenyawa dengan tanah liat yang merupakan jenis tanah di dusun itu.
Konstruksi rumah tradisional Sasak agaknya terkai pula dengan perspektif Islam. Anak tangga sebanyak tiga buah tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir, berkembang, dan mati sebagai lambang keluarga (ayah, ibu, dan anak), atau berugak bertiang empat simbol syariat Islam: Al-Quran, Hadist, Ijma', Qiyas. Anak yang lebih kecil dan yang lebih besar dalam usia ditentukan lokasi rumahnya. Rumah orang tua berada di tingkat paling tinggi disusul anak sulung dan anak bungsu berada ditingkat paling bawah.
Ini sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya menjadi panutan si Adik. Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih kuat juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia berharap mendapat ridho Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa pintu rumanya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari terbenam (barat/kiblat).
Tamu pun harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Posisi membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud penghormatan kepada tuan rumah dari sang Tamu. Kemudian lumbung mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu, misalnya sekali sebulan.
Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis, melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, seperti mengantisipasi gagal panen akibat cuaca dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan selamatan jika ada salah satu anggota keluarga meniggal.
Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada yang duduk di berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan kebun, mungkin dia sakit. Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau isteri diutamakan. Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala isteri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh isteri. Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan secara gotong-royong meski makan-minum, berikut bahan bangunan, disediakan tuan rumah.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |