Produk Arsitektur
Produk Arsitektur
Rumah Tradisional Nusa Tenggara Timur Flores Timur
Rumah Adat Koke Bale
- 17 November 2018

Setahun sekali masyarakat adat Demon Pagong mendatangi Koke Bale, rumah adat Lewo atau Kampung di Desa Lewokluok. Rumah adat dibersihkan karena digelar berbagai ritual adat di tempat yang dianggap sakral ini. 

Sepintas bangunan ini nampak biasa saja, tak ada yang istimewa bagi orang kebanyakan yang pertama melihatanya. Namun jika ditelesuri lebih jauh, bangunan panggung beratap empat air ini memiliki makna penting dan dianggap sebagai identitas suku Demon Pagong.

Areal Korke atau Koke Bale terdiri atas beberapa bagian dimulai dari bagian terluar yang terdiri dari susunan batu–batu pipih sebagai pembatas. Untuk sampai ke pelatataran, harus melewati beberapa buah tangga.

Yoseph Ike Kabelen, mantan Ketua Lembaga Pemangku Adat Desa Lewok Luok saat disambagi Cendana News, Sabtu (18/6/2016) menerangkan,di bagian tengah terdapat sebuah pelataran yang ukurannya lebih besar dari pelataran pertama yang dianamakan Namang

Tempat ini dipakai sebagai tempat dilasanakan ritual seperti penyembelihan hewan kurban. Sementara bagian akhir yang lebih tinggi tingkatannya merupakan ruangan di atas Koke Bale.

Tempat lapang ini dipakai untuk duduk kepala-kepala suku dan perwakilan suku saat ritual adat dan menjadi pusat penyembahan kepada Lera Wulan Tanah Ekan Kaum perempuan sejak jaman dahulu pantang duduk di atas tempat ini.

“Koke Bale ini barusan tahun 2014 dibangun baru. Setiap tiang yang ada dilukis oleh masing-masing suku sesuai motif miliknya “ sebutnya.
Orang Pintar
Di waktu bersamaan, menjumpai Petrus Kerowe Lein selaku Kepala Desa Lewokluok sekaligus kepala Suku Lewolein. Petrus Kerowe mengisahkan, dahulunya kampung Lewokluok didiami oleh Suku Kabelen, Beribe dan Suku Nedabang.
 
Karena masyarakat terserang wabah penyakit, kepala Suku Kabelen mencari orang pintar dari luar kampung dari suku Lein. Setelah mendatangi kampung Lewokluok pertama–tama, membuat dua buah rumah tinggal yang lokasinya tidak jauh dari rumah adat Korke di Lewokluok lalu memulai proses ritual.

Proses ritual diawali dengan pembuatan Nama. Dalam proses ritual ini Suku Lein mengumpulkan seluruh masyarakat di kampung Lewokluok di pelataran nama dan memeriksa satu per satu masyarakat Lewokluok yang diduga memiliki roh jahat, yang menyebabkan terjadinya wabah penyakit.

“Orang yang diketahui  memiliki roh jahat, pada saat ritual langsung dibunuh di Nama, “  tuturnya.

Petrus menjelaskan, setelah ritual pertama selesai dukun tersebut kembali membuat pelataran yang lebih besar di teras kedua yang disebut Namang.

Proses ritual di pelataran ini dilakukan dengan menanam  jangkar kapal laut dari emas dengan tujuan agar kampung ini dapat memiliki poros yang kuat tidak terombang ambing oleh pengaruh-pengaruh dari luar dan menjadi tenang, aman dan sejahtera. 

Proses ritual selanjutnya yakni membuat Korke yang berdiri sekarang ini. Suku Lein  menyerahkan kapak keramat dan alat ukur kepada Suku Beribe untuk menyiapkan bahan membangun rumah adat yang diawali dengan memilih hari yang baik dan proses ritual untuk pemilihan bahan serta melakukan pengukuran untuk pembuatan Korke. 
“Peralatan untuk membuat Korke tersebut yang dinamai Laba Dolu sampai sekarang masih disimpan dan setiap ritual adat di Korke, benda tersebut diberi makan,“ ungkapnya.

Tiang Suku

Dalam dokumentasi Studi Teknis Rumah Adat Lewokluwok yang dilakukan 11 anggota tim dengan Dra. Ida Ayu Agung Indrayani selaku koordinator serta pengumpul data sejarah dan arkeologi tahun 2013 disebutkan, rumah adat dalam istilah lokal disebut Korke.

Korke  merupakan sebuah bangunan yang berbentuk rumah panggung tidak berdinding yang ditopang dengan 6 buah tiang utama dan 18 buah tiang bantu (penyanga). 

Rumah adat Korke dibangun melalui proses yang panjang, yakni harus melalui serangkaian upacara ritual dimulai dari pemilihan bahan dan penebangan pohon sampai rumah adat tersebut selesai.
Rumah adat milik suku yang dibangun mengelilingi Koke Bale di Desa Lewokluok.

Di siang hari proses pengerjaan bangunan dilaksanakan dan di malam harinya masyarakat menjaganya sambil menari dan bernyanyi, mengisahkan asal usul dan kisah mitologinya.

Rumah adat ini memiliki 6 buah tiang utama yang disebut Ri’e dan  18 buah tiang penyangga dengan sebutan Bledan yang mewakili setiap suku yang ada di persekutuan masyarakat adat Demon Pagong.
Enam tiang utama mewakili suku-suku induk yakni Suku Kabelen, Nedabang, Lewati atau kumanireng, Lubur, Lewolein dan Soge Kun.
Sementara 18 tiang penyangga ditempati suku Kab?len 2 Bledan (Kabelen Koten Kelen dan Kabelen Amatukan dan Tuhuwutun),suku Lewotobi Blolo’n,Suku Soge Kun,Lewotobi Suban Pulo, Lewolein 2 Bledan serta suku Umbaya (Lewogora ), Juga terdapat Bleden milik suku Lewogoran, 2 Bledan, Kumanireng, Lewati, Lewohera, Nedabang serta Beribe 2 Bledan.
Sepasang Pohon
Persis di depan Koke Bale terdapat pohon Keluang dimana untuk membedakan jantan dan betina ditentukan dari buahnya dimana pohon jantan tidak berbuah.Di bawah kedua pohon ini dikelilingi batu ceper dan batu kerikil yang diyakini akan bertambah dan berkurang disesuaikan dengan jumlah penduduk komunitas adat.
Selain itu juga terdapat sebuah pohon Tuak (Enau) yang saban hari diiris Suku Nedabang dan sebuah pohon Kesambi.
“Pohon Keluang tidak boleh diambil daunnya atau ditebang dan yang boleh iris tuak cuma suku Beribe dan Nedabang,“ sebut Teheodorus Leinsalah, satu tokoh adat.
Dahulu, rumah adat milik suku beratap ilalang mengelilingi Korke, tapi saat ini hanya ada 4 rumh adat saja yang masih asli sementara yang lainnya sudah beratap seng dan berdinding tembok.
Ruang di dalam Korke sesuai data Studi Teknis Rumah Adat Lewokluwok dibawah pipinan Ida Ayu Agung Indrayani i tahun 2013 disebutkan dibagi menjadi 10 petak. 
Dua petak ditengah-tengah dengan ukuran 2,96 kali 2,16 meter dan 8 petak disisi luar berukuran lebih kecil, 2,76 kali 1,50 meter. Petak yang berukuran lebih kecil berfungsi sebagai tempat duduk dari suku-suku pendukung.
Sedangkan 2 petak yang ukurannya lebih besar berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesajen (berupa tumpeng atau Rengki) untuk sarana ritual dan sebagai  tempat duduk bagi tetua adat apabila kekurangan tempat pada petak yang lebih kecil. (Ebed de Rosary)
Rumah adat Koke Bale di Desa Lewokluok, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur.

sumber: https://www.cendananews.com/2016/06/rumah-adat-koke-bale-identitas-suku-demon-pagong.html
#SBJ

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Bobor Kangkung
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Tengah

BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung

avatar
Deni Andrian
Gambar Entri
Ikan Tongkol Sambal Dabu Dabu Terasi
Makanan Minuman Makanan Minuman
Sulawesi Utara

Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu

avatar
Deni Andrian
Gambar Entri
Peda bakar sambal dabu-dabu
Makanan Minuman Makanan Minuman
Sulawesi Selatan

Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar

avatar
Deni Andrian
Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline