Salah satu tradisi lisan yang masih dijaga dan dirawat oleh masyarakat di Leffo Kisu ‘Alor Kecil’ kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur adalah ritual sunna hada ‘sunat adat’. Tradisi sunna hada ‘sunat adat’adalah tradisi sunat yang dilaksanakan secara adat (masal) pada waktu tertentu oleh suku Baorae dari Leffo Kisu ‘Alor Kecil’, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Anak-anak yang disunat dalam tradisi sunnna hada adalah anak laki-laki dan juga anak perempuan yang berusia antara 4-10 tahun. Pelaksanan ritual sunna hada ini melibatkan beberapa suku yang terdapat Alor di Leffo Kisu, seperti suku Baorae, Dulolong, Manglolong, Mudiloang, Gaelai, dan Klon dari Petumbang. Adapun suku Baorae sebagai pelaksana ritual sunna hada juga masih dapat dipecah lagi atas beberapa klan (sub-suku) seperti klan Antoni, Arkiang, Kiribunga, Kossah, dan Panara. Masing-masing klan ini sangat berperan penting dalam ritual sunna hada ini.
URUTAN DALAM TRADISI LISAN SUNNA HADA
Pelaksanaan ritual sunna hada memiliki beberapa rangkaian acara yang saling berkaitan. Rangkaian pelaksanaan ritual sunna hada termasuk ritual adat yang panjang, melibatkan banyak orang, dan suku sehingga memerlukan pula biaya yang banyak yakni ratusan juta rupiah. Adapun urutan ritual sunna hada ini terdiri atas beberapa ritual pendukung yakni.
Pertama, ritual bajoapa ‘tumbuk padi’. Ritual ini biasanya dilakukan sebulan sebelum ritual puncak sunna hada dilakukan. Ritual bajoapa ini merupakan ritual menumbuk padi secara bersama oleh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Ritual bajoapa ini melambangkan semangat kebersamaan dan komunalitas masyarakat di Alor Kecil yang memperlihatkan ciri kelisanan dalam masyarakat tersebut masih kuat (Walter J. Ong (1982: 40). Ritual bajoapa dimaksudkan sebagai persiapan mengumpulkan bahan pokok untuk keperluan upacara yang akan dilaksanakan pada bulan berikutnya.
Kedua, ritual serahkire yakni penyerahan urusan sunna hada dari orang tua anakmori ‘anak-anak yang akan disunat’ kepada panitia resmi yang dibentuk dan ditentukan oleh tetua adat.
Ketiga ritual sorongdori ‘penyerahan pisau sunat’ dari ketua adat klan Panara sebagai klan yang bertanggungjawab menyimpan benda pusaka (perlengkapan perang) kepada jurumoding ‘juru sunat’. Tugas sebagai penyimpan benda pusaka ini berkaitan dengan fungsi klan ini sebagai panglima perang dalam struktur pemerintahan adat. Peran dan fungsi klan ini sesuai dengan nama fam yang mereka sandang yakni Pana [jalan] dan Ra [darah] dalam bahasa Alurung. Setiap kali tetua adat dan juru moding akan memasuki arena ritual adat biasanya didahului oleh sekelompok Jontera. Jontera adalah pasukan penyisir ranjau terutama ‘ranjau’ gaib yang dikhawatirkan dapat menghambat kelancaran ritual sunna hada. Kelompok Jontera ini akan bergerak berkeliling arena (halaman uma hada) sebanyak tiga kali sambil menarikan gerakan perang. Setelah yakni bahwa lokasi ritual sudah aman maka mereka segera melaporkan kepada ketua klan Panara dan bersiap mengiringi para tetua adat beserta juru moding untuk memasuki arena ritual. Tugas para jontera ini dapat dianalogkan sebagai paspampres di zaman modern. Demikian juga pada saat jubahdodo ‘baju kebesaran’ diturunkan dari uma Pelang Serang ‘rumah raja’ para jontera juga akan memastikan lokasi ritual aman dari gangguan dan akan menyisir arena sambil menari mengikuti musik gong dan gendang sebanyak tiga kali.
Keempat ritual penyerahan anakmori ‘anak-anak yang akan disunat’ kepada paman-bibi. Beberapa hari sebelum anakmori akan disunat maka paman dan bibi dari fihak ibu merupakan kerabat yang diberi tanggung jawab mengurus dan merawat anakmori selama mengikuti ritual sunna hada. Termasuk mengurus dan menjaga mereka sebelum dan setelah penyunatan. Setelah anakmori didandani dan diberi bekal berupa kambing, manuk, sirih pinang, dan bekal makanan lainnya dan mereka akan diantar secara beramai-ramai oleh paman-bibi masing-masing ke Uma Pelang Serang ‘rumah raja’ sebagai salah satu uma ‘rumah’ adat yang dipakai selama pelaksanaan sunna hada. Setelah dari Uma Pelang Serang mereka dipindahkan ke Kokoro Labahanji ‘balairung pertemuan adat’ dan anakmori akan diinapkan di Kokoro Labahanji selama berlangsungnya ritual sunna hada. Pengawasann dan perawatan anakmori selama itu juga berada di bawah pengawasan dan perawatan paman-bibi.
Kelima, ritual Talling Feking/Kakari Opung Anang Serufakking adalah ritual saling mengunjungi dan menghantar bekal upacara antara keturunan dari Uma Menapa Lolong, Uma Atahodi, dan Uma Sina. Orang-orang dari ketiga uma ini memiliki hubungan kekerabatan dalam suku Baorae dan juga memiliki hubungan secara adat dengan orang yang menghuni Uma Rombi dan Uma Pelang Serang.
Keenam, ritual Kualaka, pada saat ini keluarga dari suku Baorae menerima kedatangan suku-suku lain yang masih memiliki sejarah dan hubungan kekerabatan dengan suku Baorae. Suku-suku lain yang ikut membantu itu seperti, suku Manglolong, Geilae, Mudiloang, Lekaduli, dan suku Loffobeng. Waktu pelaksanaan ritual tallingfekking ini dilakukan pada tanggal 10 Juli 2016 petang. Pada tanggal 11 Juli 2016 dilanjutkan dengan suku Baorae menanti kedatangan keluarga besar dari Otvai, Pura, Kalong, Pandai, Balagar, Mauta, Dukalolong, Alor Besar, dan Petumbang. Kerabat dan anggota suku yang tersebut terakhir merupakan kerabat dan suku yang menetap di luar Alor Kecil yakni dari pulau Pantar, Pulau Pura, dan wilayah Gunung Besar seperti Petumbang.
Para kerabat dan anggota suku yang datang dari luar kampung Alor Kecil itu dinanti di Uma Pelang Serang dan kedatangan mereka biasanya juga dengan membawa bekal makanan dan sirih pinang berkarung-karung untuk keperluan ritual sunna hada tersebut. Misalnya suku Klon dari kampung Petumbang Ailelang [bambu besar], hubungan kekerabatan mereka dengan suku Baorae berasal dari hubungan perkawinan antara perempuan (nenek moyang) orang Alor Kecil dengan laki-laki (kakek moyang) orang Petumbang. Pada saat ini, keturunan orang Alor Kecil yang sudah menetap di Petumbang ini umumnya beragama Katolik. Namun, perbedaan agama dan juga bahasa itu tidak menghalangi semangat kebersamaan dan persaudaraan di antara kedua suku ini. Bahkan mereka saling bantu-membantu dalam pelaksanaan ritual sunna hada. Sekalipun berbeda agama dan keyakinan mereka masih mengindentifikasi diri mereka sebagai saudara dengan orang Alor Kecil yang mayoritas Muslim. Hubungan kekerabatan antara antara orang Petumbang dengan orang Alor Kecil itu selalu dinyanyikan dalam syair lego-lego dan pepatah mereka adat suku Baorae yang berbunyi: [ruakakangaring] ‘dua kakak adik’ atau [rua opung amang] ‘dua bapa anak’.
Urutan ketujuh dalam ritual sunna hada adalah khataman Al-Quran. Pada malam tanggal 12 Juli anak-anak yang sudah dianggap tamat belajar mengaji Al-Quran juga dilaksanakan upcara khatam Al-Quran yang bertempat di Kokoro Labahanji ‘balairung pertemuan adat’ yang berada di depan rumah adat seperti Uma Menapa Lolong, Uma Pelang Serang, dan Uma Atahodi.
Kedelapan adalah penyambutan jurumoding perempuan ‘juru sunat’ di Uma Pelang Serang dan sekaligus penyunatan anakmori perempuan yang dilaksanakan pada tanggal 12 Juli malam.
Kesembilan, penyunatan anakmori kalake (laki-laki) yang dilaksanakan pada pada tanggal 13 Juli pagi. Juru moding yang melaksanakan tugas ini adalah juru moding laki-laki. Pada malam hari setelah anakmori kalake disunat maka diadakan tarian lego-lego di halaman rumah adat. Tarian lego-lego ini menggambarkan kebersamaan antara masyarakat di Alor Kecil. Semangat kebersamaan ini terlihat dari komposisi dan gerakan tarian yakni para penari menari sambil bergandengan tangan. Bahkan di beberapa suku yang lain saling memeluk dari belakang. Formasi tarian membentuk lingkaran yang besar dan berlapis. Jumlah masyarakat yang dibolehkan ikut menari dalam tarian ini tidak dibatasi hingga dapat mencapai ratusan orang. Biasanya mereka menari mengeliling mesbah ‘batu altar persatuan’ yang selalu dimiliki oleh setiap suku di Alor. Mesbah tersebut terbuat dari batu-batu yang disusun melingkar dan di tengahnya biasanya ditanami sebatang pohon atau sebuah batu yang berbentuk phallus. Batu yang berbentuk phallus itu melambangkan sistem patrilineal yang dianut oleh kebanyakan suku di Alor.
ritual mandianakmori. Ritual ini merupakan tahapan ke sepuluh dalam ritual sunna hada. Mandi Anakmori biasanya dilakukan pada hari ketiga setelah anakmori disunat. Mereka dimandikan pada pukul 6 pagi oleh oleh juru moding dan tetua adat. Anakmori yang dimandikan didudukan berderet di atas kursi kemudian disiram satu persatu dengan air yang sudah dimantrai dan diberi sesajen berupa mayang pinang muda, daun kelapa muda, dan daun sirih yang sudah direndamkan ke dalam air mandi anakmori. Air yang digunakan pun tidak boleh sembarang air melainkan air yang diambil dari sumur tua di pinggir pantai Alor Kecil. Air dari sumur tua itu merupakan sumur yang digali pertama kali oleh utusan dari Jawa yang ikut mengembangkan ajaran Islam ke Alor Kecil.
Kegiatan memandikan anakmori ini dapat ditafsirkan sebagai upaya pembersihan diri dan pembuangan segala penyakit, serta penyembuhan bekas luka sunat. Pada saat anakmori disunat dan dimandikan terdapat tiga anak yang khusus disunat pertama dan dimandikan serta dibuka verbannya pertama kali di laut. Ketiga anakmori yang mendapat perlakuan khusus itu disebut sebagai anakoda yakni representasi dari calon nakhoda, juru kemudi, dan juru batu (juru jangkar). Ketiga anakoda ini merupakan keturunan dari Uma Rombi dan UmaMenapaLolong. Keturunan dari kedua uma ini dipersiapkan sebagai calon pemimpin dalam pemerintahan adat kelak.
Ketika anakoda dibawa ke laut untuk dibuka verbannya pertama kali, maka laut menjadi tempat ritual yang dianggap paling penting dalam ritual sunna hada. Laut dapat ditafsirkan sebagai tempat penyembuhan, dan sekaligus tempat pentasbihan bagi seorang anak laki-laki Alor Kecil yang sudah berhasil melalui ritus inisiasi baik secara adat maupun secara keagamaan. Di laut pula dilarung seperangkat sesajen ke dasar laut seperti sirih pinang, dan mayang pinang muda yang sebelumnya dipakai sebagai perlengkapan memandikan seluruh anakmori. Dengan demikian, laut dalam kosmologi orang Alor Kecil juga memiliki fungsi sebagai tempat penyembuhan, pentasbihan, dan tempat mencari nafkah. Fungsi sakral dan profan laut saling berkelindan dalam masyakarat Alor Kecil.
sumber : http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/2481/tradisi-lisan-sunna-hada-%E2%80%98sunat-adat%E2%80%99-dari-alor-kecil-ntt
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...