Ritual
Ritual
Ritual Adat Nusa Tenggara Timur Kabupaten Alor
Ritual Sunna Hada ‘Sunat Adat’
- 26 Desember 2018

Salah satu tradisi lisan yang masih dijaga dan dirawat oleh masyarakat di Leffo Kisu  ‘Alor Kecil’ kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur adalah ritual sunna hada ‘sunat adat’. Tradisi  sunna hada ‘sunat adat’adalah tradisi sunat yang dilaksanakan secara adat (masal) pada waktu tertentu oleh suku Baorae dari Leffo Kisu ‘Alor Kecil’, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Anak-anak yang disunat dalam tradisi sunnna hada adalah anak laki-laki dan juga anak perempuan yang berusia antara 4-10 tahun. Pelaksanan ritual sunna hada ini melibatkan beberapa suku yang terdapat Alor di Leffo Kisu, seperti suku Baorae, Dulolong, Manglolong, Mudiloang, Gaelai, dan Klon dari  Petumbang. Adapun suku Baorae sebagai pelaksana ritual sunna hada juga masih dapat dipecah lagi atas beberapa klan (sub-suku) seperti klan Antoni, Arkiang, Kiribunga, Kossah, dan Panara. Masing-masing klan ini sangat berperan penting dalam ritual sunna hada ini.

URUTAN DALAM TRADISI LISAN SUNNA HADA

Pelaksanaan ritual sunna hada memiliki beberapa rangkaian acara yang saling berkaitan. Rangkaian pelaksanaan ritual sunna hada termasuk ritual adat yang panjang, melibatkan banyak orang, dan suku sehingga memerlukan pula biaya yang banyak yakni ratusan juta rupiah. Adapun urutan ritual sunna hada ini terdiri atas beberapa ritual pendukung yakni.

Pertama, ritual bajoapa ‘tumbuk padi’. Ritual ini biasanya dilakukan sebulan sebelum ritual puncak sunna hada dilakukan. Ritual bajoapa ini merupakan ritual menumbuk padi secara bersama oleh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Ritual bajoapa ini melambangkan semangat kebersamaan dan komunalitas masyarakat di Alor Kecil yang memperlihatkan ciri kelisanan dalam masyarakat tersebut masih kuat (Walter J. Ong (1982: 40). Ritual bajoapa dimaksudkan sebagai persiapan mengumpulkan bahan pokok untuk keperluan upacara yang akan dilaksanakan pada bulan berikutnya.

Kedua, ritual   serahkire yakni penyerahan urusan sunna hada dari orang tua anakmori ‘anak-anak yang akan disunat’ kepada panitia resmi yang dibentuk dan ditentukan oleh tetua adat.

Ketiga ritual sorongdori ‘penyerahan pisau sunat’ dari ketua adat klan Panara sebagai klan yang bertanggungjawab menyimpan benda pusaka (perlengkapan perang) kepada jurumoding ‘juru sunat’. Tugas sebagai penyimpan benda pusaka ini berkaitan dengan fungsi klan ini sebagai panglima perang dalam struktur pemerintahan adat. Peran dan fungsi klan ini sesuai dengan nama fam yang mereka sandang yakni Pana [jalan] dan Ra [darah] dalam bahasa Alurung. Setiap kali tetua adat dan juru moding akan memasuki arena ritual adat biasanya didahului oleh sekelompok Jontera. Jontera adalah pasukan penyisir ranjau terutama ‘ranjau’ gaib yang dikhawatirkan dapat menghambat kelancaran ritual sunna hada. Kelompok Jontera ini akan bergerak berkeliling arena (halaman uma hada) sebanyak tiga kali sambil menarikan gerakan perang. Setelah yakni bahwa lokasi ritual sudah aman maka mereka segera melaporkan kepada ketua klan Panara dan bersiap mengiringi para tetua adat beserta juru moding untuk memasuki arena ritual. Tugas para jontera ini dapat dianalogkan sebagai paspampres di zaman modern. Demikian juga pada saat jubahdodo ‘baju kebesaran’ diturunkan dari uma Pelang Serang ‘rumah raja’  para jontera juga akan memastikan lokasi ritual aman dari gangguan dan akan menyisir arena sambil menari mengikuti musik gong dan gendang sebanyak tiga kali.

Keempat ritual penyerahan anakmori ‘anak-anak yang akan disunat’ kepada paman-bibi. Beberapa hari sebelum anakmori akan disunat maka paman dan bibi dari fihak ibu merupakan kerabat yang diberi tanggung jawab mengurus dan merawat anakmori selama mengikuti ritual sunna hada. Termasuk mengurus dan menjaga mereka sebelum dan setelah  penyunatan. Setelah anakmori didandani dan diberi bekal berupa kambing, manuk, sirih pinang, dan bekal makanan lainnya dan mereka akan diantar secara beramai-ramai oleh paman-bibi masing-masing ke Uma Pelang Serang ‘rumah raja’ sebagai salah satu uma ‘rumah’ adat yang dipakai selama pelaksanaan sunna hada. Setelah dari Uma Pelang Serang mereka dipindahkan ke Kokoro Labahanji ‘balairung pertemuan adat’ dan anakmori akan diinapkan di Kokoro Labahanji selama berlangsungnya ritual sunna hada. Pengawasann dan perawatan anakmori selama itu juga berada di bawah pengawasan dan perawatan paman-bibi.

Kelima, ritual Talling Feking/Kakari Opung Anang Serufakking adalah ritual saling mengunjungi dan menghantar bekal upacara antara keturunan dari Uma Menapa Lolong, Uma Atahodi, dan Uma Sina. Orang-orang dari ketiga uma ini memiliki hubungan kekerabatan dalam suku Baorae dan juga memiliki hubungan secara adat dengan orang yang menghuni Uma Rombi dan Uma Pelang Serang.

Keenam, ritual Kualaka, pada saat ini keluarga dari suku Baorae menerima kedatangan suku-suku lain yang masih memiliki sejarah dan hubungan kekerabatan dengan suku Baorae. Suku-suku lain yang ikut membantu itu seperti, suku Manglolong, Geilae, Mudiloang, Lekaduli, dan suku Loffobeng. Waktu pelaksanaan ritual tallingfekking ini dilakukan pada tanggal 10 Juli 2016 petang. Pada tanggal 11 Juli 2016 dilanjutkan dengan suku Baorae menanti kedatangan keluarga besar dari  Otvai, Pura, Kalong, Pandai, Balagar, Mauta, Dukalolong, Alor Besar, dan Petumbang. Kerabat dan anggota suku yang tersebut terakhir merupakan kerabat dan suku yang menetap di luar Alor Kecil yakni dari pulau Pantar, Pulau Pura, dan wilayah Gunung Besar seperti Petumbang.

 Para kerabat dan anggota suku yang datang dari luar kampung Alor Kecil itu dinanti di Uma Pelang Serang dan kedatangan mereka biasanya juga dengan membawa bekal makanan dan sirih pinang berkarung-karung untuk keperluan ritual sunna hada tersebut. Misalnya suku Klon dari kampung Petumbang Ailelang [bambu besar], hubungan kekerabatan mereka dengan suku Baorae berasal dari hubungan perkawinan antara perempuan (nenek moyang)  orang Alor Kecil dengan laki-laki (kakek moyang) orang Petumbang. Pada saat ini, keturunan orang Alor Kecil yang sudah menetap di Petumbang ini umumnya beragama Katolik. Namun, perbedaan agama dan juga bahasa itu tidak menghalangi semangat kebersamaan dan persaudaraan di antara kedua suku ini. Bahkan mereka saling bantu-membantu dalam pelaksanaan ritual sunna hada. Sekalipun berbeda agama dan keyakinan mereka masih mengindentifikasi diri mereka sebagai saudara dengan orang Alor Kecil yang mayoritas Muslim. Hubungan kekerabatan antara antara orang Petumbang dengan orang Alor Kecil itu selalu dinyanyikan dalam syair lego-lego dan pepatah mereka adat suku Baorae yang berbunyi: [ruakakangaring] ‘dua kakak adik’ atau [rua opung amang] ‘dua bapa anak’.

Urutan ketujuh dalam ritual sunna hada adalah khataman Al-Quran. Pada malam tanggal 12 Juli anak-anak yang sudah dianggap tamat belajar mengaji Al-Quran juga dilaksanakan upcara khatam Al-Quran  yang bertempat di Kokoro Labahanji ‘balairung pertemuan adat’ yang berada di depan rumah adat seperti Uma Menapa Lolong, Uma Pelang Serang, dan Uma Atahodi.

Kedelapan adalah penyambutan jurumoding perempuan ‘juru sunat’ di Uma Pelang Serang dan sekaligus penyunatan anakmori perempuan yang dilaksanakan pada tanggal 12 Juli malam.

Kesembilan, penyunatan anakmori kalake (laki-laki) yang dilaksanakan pada pada tanggal 13 Juli pagi. Juru moding yang melaksanakan tugas ini adalah juru moding laki-laki. Pada malam hari setelah anakmori kalake disunat maka diadakan tarian lego-lego di halaman rumah adat. Tarian lego-lego ini menggambarkan kebersamaan antara masyarakat di Alor Kecil. Semangat kebersamaan ini terlihat dari komposisi dan gerakan tarian yakni para penari menari sambil bergandengan tangan. Bahkan di beberapa suku yang lain saling memeluk dari belakang. Formasi tarian membentuk lingkaran yang besar dan berlapis. Jumlah masyarakat yang dibolehkan ikut menari dalam tarian ini tidak dibatasi hingga dapat mencapai ratusan orang. Biasanya mereka menari mengeliling mesbah  ‘batu altar persatuan’ yang selalu dimiliki oleh setiap suku di Alor. Mesbah tersebut terbuat dari batu-batu yang disusun melingkar dan di tengahnya biasanya ditanami sebatang pohon atau sebuah batu yang berbentuk phallus. Batu yang berbentuk phallus itu melambangkan sistem patrilineal yang dianut oleh kebanyakan suku di Alor.

ritual mandianakmori. Ritual ini merupakan tahapan ke sepuluh dalam ritual sunna hada. Mandi Anakmori biasanya dilakukan pada hari ketiga setelah anakmori disunat. Mereka dimandikan pada pukul 6 pagi oleh oleh juru moding dan tetua adat. Anakmori yang dimandikan didudukan berderet di atas kursi kemudian disiram satu persatu dengan air yang sudah dimantrai dan diberi sesajen berupa mayang pinang muda, daun kelapa muda, dan daun sirih yang sudah direndamkan ke dalam air mandi anakmori. Air yang digunakan pun tidak boleh sembarang air melainkan air yang diambil dari sumur tua di pinggir pantai Alor Kecil. Air dari sumur tua itu merupakan sumur yang digali pertama kali oleh utusan dari Jawa yang ikut mengembangkan ajaran Islam ke Alor Kecil.

Kegiatan memandikan anakmori ini dapat ditafsirkan sebagai upaya pembersihan diri dan pembuangan segala penyakit, serta penyembuhan bekas luka sunat. Pada saat anakmori disunat dan dimandikan terdapat tiga anak yang khusus disunat pertama dan dimandikan serta dibuka verbannya pertama kali di laut. Ketiga anakmori yang mendapat perlakuan khusus itu disebut sebagai anakoda yakni representasi dari calon nakhoda, juru kemudi, dan juru batu (juru jangkar). Ketiga anakoda ini merupakan keturunan dari Uma Rombi dan UmaMenapaLolong. Keturunan dari kedua uma ini dipersiapkan sebagai calon pemimpin dalam pemerintahan adat kelak.

Ketika anakoda dibawa ke laut untuk dibuka verbannya pertama kali, maka laut menjadi tempat ritual yang dianggap paling penting dalam ritual sunna hada. Laut dapat ditafsirkan sebagai tempat penyembuhan, dan sekaligus tempat pentasbihan bagi seorang anak laki-laki Alor Kecil yang sudah berhasil melalui ritus inisiasi baik secara adat maupun secara keagamaan. Di laut pula dilarung seperangkat sesajen ke dasar laut seperti sirih pinang, dan mayang pinang muda yang sebelumnya dipakai sebagai perlengkapan memandikan seluruh anakmori. Dengan demikian, laut dalam kosmologi orang Alor Kecil juga memiliki fungsi sebagai tempat penyembuhan, pentasbihan, dan tempat mencari nafkah. Fungsi sakral dan profan laut saling berkelindan dalam masyakarat Alor Kecil.

sumber : http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/2481/tradisi-lisan-sunna-hada-%E2%80%98sunat-adat%E2%80%99-dari-alor-kecil-ntt

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline