Minahasa walaupun adalah suku di Sulawesi Utara, namun ternyata memiliki beberapa kesamaan dalam hal budaya dengan Suku Dayak – mungkin karena kita memang adalah rumpun ras yang sama sehingga tidak heran jika kita melihat beberapa kesamaan tapi tentu juga ada perbedaan. Salah satu yang akan kita share adalah ritual Mengayau (potong kepala) dalam budaya Minahasa – ini adalah hasil sharing dengan Tonaas Rinto Taroreh dan Bang Roy Pudihang salah satu pembuat Santi khas Minahasa.
Mungkin bagi sebagian orang Dayak sah hari ini, ritual ini dianggap sebagai sejarah yang memalukan dan penuh penistaan, tapi kita akan share ritual ini dalam tata cara Minahasa. Orang Minahasa pada jaman dahulu melakukan proses mengayau ini bertujuan untuk pemakaman tokoh masyarakat dimana kepala korban akan ditanamkan didepan Waruga (kubur batu Minahasa) atau ketika kemarau yang panjang atau sumber mata air menjadi kering maka supaya mengatasi kekeringan ini diperlukan korban kepala atau untuk panen yang bagus atau pada masa peperangan – menurut bang Roy dan Tonaas Rinto ritual ini terakhir dilakukan sekitar abad ke-18, ketika Warumbengan mengalami kekeringan.
Waruga di Sawangan
Sebelum prosesi Mengayau dilakukan prosesi “Semayau”, para waraney sebelum melakukan ekspedisi mengayau mereka akan menggunakan cawat hitam – ini mirip dengan kebudayaan Dayak di Gunung Tabur yang disebut dengan “Erau Cancut Hitam” ini pernah kita posting apada tulisan lainnya. Sebelum eskpedisi pengayauan ini ada sebuah doa yang akan diucapkan “Silabi Suman Simawuri” yang artinya hanya yang layak yang akan kembali. Biasanya penyerangan ini dilakukan pada saat musuh lengah, misal tengah malam para Mamuis / Waraney ini akan menyerang. Pantang bagi para Mamuis ini pulang dengan tangan hampa, seandainyapun jika para Mamuis ini tidak mendapatkan kepala, mereka harus membuang sial dengan cara pergi ke tempat bamboo tui’I (sejenis bamboo kecil) kemudian ia memotong bamboo itu dan dia membanting-bantingkan tubuhnya kebambu yang tajam itu sampai rata, baru ia boleh kembali kerumah dan harus dilakukan acara “rummages” yaitu menyembelih hewan kurban dan mereka meminum darahnya, jika ini tidak dilakukan maka akan membawa sial atau kematian bagi keluarga dirumah.
Senjata yang digunakan untuk berperang mengayau ini disebut Santi Tinampuri – jika sekitaran Filipina dan Sabah disebut sebagai Kampilan. Ada tiga jenis santi yang digunakan Santi Kowit (santi kecil), Lolambut (sejenis pedang panjang untuk berperang) dan Taradu. Santi ini secara morfologis sangat mirip dengan Mandau, bagian gagang melambangkan Burung Enggang atau disebut Uwak, dimana burung Enggangpun adalah binatang yang sakral bagi orang Dayak. Pada bagian gagang juga akan diberi hiasan rambut yang merupakan rambut korban hasil mengayaunya.
Santi / Kampilan
Taradu
Tulisan ini tentu banyak kekurangan atau kesalahannya – mohon dikoreksi jika ada yang salah. Tapi ini sebagai suatu pembanding akan kebudayaan suku-suku serumpun kita, sehingga wawasan kebudayaan kita semakin luas. Tabe
Sumber: https://folksofdayak.wordpress.com/2018/06/28/ritual-mengayau-dalam-budaya-minahasa/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja