|
|
|
|
Ritual Mengayau dalam budaya Minahasa Tanggal 23 Jul 2018 oleh Deni Andrian. |
Minahasa walaupun adalah suku di Sulawesi Utara, namun ternyata memiliki beberapa kesamaan dalam hal budaya dengan Suku Dayak – mungkin karena kita memang adalah rumpun ras yang sama sehingga tidak heran jika kita melihat beberapa kesamaan tapi tentu juga ada perbedaan. Salah satu yang akan kita share adalah ritual Mengayau (potong kepala) dalam budaya Minahasa – ini adalah hasil sharing dengan Tonaas Rinto Taroreh dan Bang Roy Pudihang salah satu pembuat Santi khas Minahasa.
Mungkin bagi sebagian orang Dayak sah hari ini, ritual ini dianggap sebagai sejarah yang memalukan dan penuh penistaan, tapi kita akan share ritual ini dalam tata cara Minahasa. Orang Minahasa pada jaman dahulu melakukan proses mengayau ini bertujuan untuk pemakaman tokoh masyarakat dimana kepala korban akan ditanamkan didepan Waruga (kubur batu Minahasa) atau ketika kemarau yang panjang atau sumber mata air menjadi kering maka supaya mengatasi kekeringan ini diperlukan korban kepala atau untuk panen yang bagus atau pada masa peperangan – menurut bang Roy dan Tonaas Rinto ritual ini terakhir dilakukan sekitar abad ke-18, ketika Warumbengan mengalami kekeringan.
Sebelum prosesi Mengayau dilakukan prosesi “Semayau”, para waraney sebelum melakukan ekspedisi mengayau mereka akan menggunakan cawat hitam – ini mirip dengan kebudayaan Dayak di Gunung Tabur yang disebut dengan “Erau Cancut Hitam” ini pernah kita posting apada tulisan lainnya. Sebelum eskpedisi pengayauan ini ada sebuah doa yang akan diucapkan “Silabi Suman Simawuri” yang artinya hanya yang layak yang akan kembali. Biasanya penyerangan ini dilakukan pada saat musuh lengah, misal tengah malam para Mamuis / Waraney ini akan menyerang. Pantang bagi para Mamuis ini pulang dengan tangan hampa, seandainyapun jika para Mamuis ini tidak mendapatkan kepala, mereka harus membuang sial dengan cara pergi ke tempat bamboo tui’I (sejenis bamboo kecil) kemudian ia memotong bamboo itu dan dia membanting-bantingkan tubuhnya kebambu yang tajam itu sampai rata, baru ia boleh kembali kerumah dan harus dilakukan acara “rummages” yaitu menyembelih hewan kurban dan mereka meminum darahnya, jika ini tidak dilakukan maka akan membawa sial atau kematian bagi keluarga dirumah.
Senjata yang digunakan untuk berperang mengayau ini disebut Santi Tinampuri – jika sekitaran Filipina dan Sabah disebut sebagai Kampilan. Ada tiga jenis santi yang digunakan Santi Kowit (santi kecil), Lolambut (sejenis pedang panjang untuk berperang) dan Taradu. Santi ini secara morfologis sangat mirip dengan Mandau, bagian gagang melambangkan Burung Enggang atau disebut Uwak, dimana burung Enggangpun adalah binatang yang sakral bagi orang Dayak. Pada bagian gagang juga akan diberi hiasan rambut yang merupakan rambut korban hasil mengayaunya.
Tulisan ini tentu banyak kekurangan atau kesalahannya – mohon dikoreksi jika ada yang salah. Tapi ini sebagai suatu pembanding akan kebudayaan suku-suku serumpun kita, sehingga wawasan kebudayaan kita semakin luas. Tabe
Sumber: https://folksofdayak.wordpress.com/2018/06/28/ritual-mengayau-dalam-budaya-minahasa/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |