Rempeyek Laron
Usai hujan, kita seringkali melihat serangga kecil beterbangan mengerumuni lampu di rumah kita. Hewan tersebut ialah Macrotermes Gilvus alias "Laron". Ketika melihat hewan tersebut, reaksi yang biasa timbul adalah kaget, jijik, apalagi jika laron tersebut meninggalkan banyak sisa-sisa sayap di rumah kita. Sudah pasti kita kesal dengan makhluk yang satu ini.
Menariknya, hewan ini justru malah dijadikan sumber panganan oleh masyarakat Jogjakarta, Wonogiri, dan daerah di Jawa Tengah lainnya, khususnya di daerah pedesaan. Mereka memasak hewan ini dengan berbagai cara, mulai dari sekedar sangrai, goreng dengan telur, dijadikan bothok, hingga yang cukup dikenal adalah dijadikan rempeyek. Proses pembuatannya sederhana, sama seperti membuat rempeyek kacang hanya saja kacangnya diganti dengan laron. Jika anda belum mengetahui apa itu rempeyek, rempeyek adalah sejenis makanan pelengkap khas Jawa berupa gorengan. Umumnya, rempeyek terdiri dari tepung beras yang dicampur dengan air, kemudian diberi bumbu (biasanya garam, bawang putih, daun jeruk), dan terakhir diberi bahan pengisi yang khas seperti kacang, teri, dan sebagainya. Khusus untuk rempeyek laron, maka bahan pengisinya adalah laron. Rempeyek ini digoreng kering hingga akhirnya berwujud seperti keripik.
Asal usulnya? Inilah yang patut dikaji, bagaimana orang Indonesia dapat tertarik mengonsumsi makanan yang tergolong "ekstrem" seperti ini. Dari beberapa referensi, makanan ekstrem semacam ini kelihatannya terkait dengan penjajahan Jepang di Indonesia. Jepang menguras segala sumber daya di Indonesia, sehingga orang Indonesia pun melakukan segala cara untuk memperoleh makanan. Segala bagian tumbuhan, hewan, hingga serangga semacam laron pun mereka olah menjadi panganan pengganti yang telah dirampas Jepang.
Bagaimana orang-orang mengumpulkan laron untuk dimakan? Sederhana saja. Secara tradisional, biasa orang-orang akan meletakkan "dhian" alias lampu teplok di tengah baskom yang kosong maupun di samping baskom yang berisi air (meskipun zaman sekarang juga banyak yang sudah menggunakan lampu listrik). Penerangan lain dimatikan supaya laron hanya berkumpul di satu lampu tersebut saja. Setelah laron-laron terkumpul, barulah laron-laron dipisahkan dari sayapnya kemudian diinteri (diletakkan di atas tampah, diputar-putar) dan setelah bersih laron tersebut dimasak.
Apa sih rasanya? Untuk orang pedesaan yang terbiasa mengonsumsi makanan ini pasti akan mengatakan kalau rasanya lezat dan gurih. Tapi, bagi kita yang belum terbiasa memakannya mungkin kita akan merasa jijik, tidak tega melihat tubuh lunaknya, atau bahkan tidak tahan dengan bau amis khas laron.
Lebih menarik lagi, ternyata laron dipercaya bergizi tinggi untuk tubuh. Dan memang hal tersebut adalah fakta. Laron memiliki kandungan protein tinggi, mencapai 65%. Kandungan asam aminonya pun komplet, disertai dengan vitamin B, asam olet, asam linoleat, dan lemak 31%. Ratu laron pun dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Anda boleh saja mencoba makanan ini bila tertarik.
Sumber :
- https://www.kaskus.co.id/thread/5b17cdd89252339c4f8b4567/dari-singkong-sampai-tanah-inilah-makanan-masyarakat-pada-zaman-penjajahan/
- https://www.pemburuombak.com/berita/nasional/item/2006-kuliner-aneh-nan-ekstrim-di-indonesia
- https://adoc.site/download/sejarah-kuliner-betawi_pdf
- http://makananunick.blogspot.com/2012/11/rempeyek-laron.html
#OSKMITB2018
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja