×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Ritual

Provinsi

Jawa Timur

Asal Daerah

Banyuwangi

Rebo Wekasan

Tanggal 02 Aug 2014 oleh Cindy_praharasti Khoirunnisa.

Selamatan Adat Rebo Wekasan

Menjaga Kelestarian Sumber Air

 

SETIAP adat tradisi yang diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur, pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan yang dikemas melalui adat tradisi tersebut memang tidak disampaikan secara vulgar, melainkan melalui simbol-simbol tertentu yang perlu perenungan dan pemahaman lebih mendalam.

Barangkali untuk menghindarkan generasi penerus tradisi dari jebakan rutinitas yang membosankan, nenek-moyang kita sengaja menyampaikan pesan-pesan tersebut secara simbolis. Ini (mungkin) dimaksudkan agar generasi penerus tidak sekadar melaksanakan adat tradisi tanpa memahami maksud dan tujuan yang dikandungnya, tapi juga melakukan kajian-kajian lebih lanjut sehingga mampu mendalami makna yang tersirat di dalamnya.

Biasanya, setiap kandungan pesan yang disampaikan dalam sebuah adat tradisi selalu terkait dengan kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, kita bisa melihat pelaksanaan adat tradisi Rebo Wekasan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah. Tradisi yang rutin diselenggarakan setiap hari Rabu terakhir pada bulan Sapar ini adalah untuk memperingati saat pertama Nabi Hidir mensucikan air.

Secara nalar, selamatan adat Rebo Wekasan memang kurang bisa diterima oleh akal. Sebab bagaimana mungkin hanya dengan melakukan selamatan yang digelar di setiap mata air yang terdapat di sepanjang tepi sungai yang membelah Desa Adat tersebut, lantas sumber-sumber air itu tetap mengalir deras dan jernih sepanjang tahun?

Memang tidak mungkin. Tapi bila kita coba merenungi makna yang tersirat di balik adat tradisi tersebut, kita akan mendapatkan pemahaman lebih jelas tentang bagaimana cara nenek-moyang kita dulu menjaga dan merawat kelestarian sumber daya air.

Bila diterjemahkan secara bebas, adat tradisi Rebo Wekasan itu sebenarnya mengajarkan pada kita bagaimana cara menjaga dan merawat lingkungan hidup. Dengan terjaganya lingkungan yang utuh dan lestari, berarti juga menjaga kelestarian sumber air itu sendiri. Maka melalui pelaksanaan adat tradisi Rebo Wekasan yang rutin diselenggarakan setiap tahun tersebut, masyarakat di lingkungan Desa Kemiren seakan terikat oleh sebuah tanggung jawab besar terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Menurut penuturan Serad (65), seorang tokoh adat Desa Kemiren, kesetiaan warga Desa Kemiren dalam melaksanakan adat tradisi Rebo Wekasan itu karena masyarakat masih meyakini bahwa air pertama (wekasan) yang diambil dari sumber air pada hari Rabu terakhir bulan Sapar jam 13.00 wib, memiliki khasiat yang diberikan oleh Nabi Hidir. Karena khasiatnya itu, air tersebut biasanya disimpan oleh masing-masing warga sebagai sarana tolak-balak.

“Jadi mulai hari Selasa atau sehari menjelang selamatan Rebo Wekasan, seluruh warga sudah mulai ngangsu air untuk memenuhi kebutuhannya. Dan pada Rabu pagi mulai jam 06.00 – 12.00 wib, warga dilarang mengambil air dari sumber. Baru kemudian pada jam 13.00 wib, warga kembali diperbolehkan mengambil air. Pada saat itulah, seluruh warga mulai berebut untuk mendapatkan air pertama atau wekasan. Mereka percaya air pertama yang diambil setelah jam 13.00 wib itu mengandung khasiat dan bisa dijadikan sebagai tolak-balak,” tutur Serad.

Terlepas dari benar tidaknya kepercayaan masyarakat, yang jelas bahwa pelaksanaan adat tradisi Rebo Wekasan itu telah berperan banyak dalam upaya menjaga dan menyelamatkan lingkungan. Karena itu, kita tidak boleh memandang sebelah mata tentang sebuah adat tradisi. Sebab di balik pelaksanaannya yang terkadang kurang bisa diterima akal tersebut, ada sebuah kearifan lokal yang patut kita jadikan pegangan dalam mengikuti pola hidup di abad modern sekarang ini.

“Adat tradisi Rebo Wekasan ini sebenarnya perupakan perpaduan antara budaya Hindu dan Islam. Bagi masyarakat Kemiren, tradisi tersebut dianggap sakral karena menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari. Karena itu, sampai saat ini masyarakat masih setia melaksanakan adat tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun tersebut,” tambah Serad.

 

DISKUSI


TERBARU


Ogoh-Ogoh, Dari...

Oleh Dodik0707 | 28 Feb 2024.
tradisi

Ogoh-Ogoh, Dari Filosofi Hingga Eksistensinya Malang - Jelang Hari Raya Nyepi, warga Dusun Jengglong, Desa Sukodadi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Mal...

Na Nialhotan (D...

Oleh Batakologi | 06 Feb 2024.
Makanan

Dali Nihorbo atau di Pulau Samosir disebut dengan Na Nialhotan. Dibuat dari susu kerbau yang dimasak dengan garam dan bahan pengental. Ada 3 pilihan...

Pulurpulur

Oleh Batakologi | 06 Feb 2024.
Makanan

Pulurpulur Resep khas Simalungun yang bentuknya seperti bola dan disiram saus. Isinya terbuat dari cincang jantung pisang, daun bawang, bawang Batak,...

Itak Sipitu Bar...

Oleh Batakologi | 06 Feb 2024.
Makanan

Menurut Narasumber kami, Ibu Hotni br. Simbolon pada acara MERAYAKAN GASTRONOMI INDONESIA di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tanggal 03 Februari 2024,...

Dengke Na Nisor...

Oleh Batakologi | 06 Feb 2024.
Makanan

Dari sumber yang kami dapat melalui Abang Sepwan Sinaga sebagai Pegiat Budaya Batak Toba, Dengke Na Nisorbuk memiliki citarasa yang dominan pedas. Du...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...