|
|
|
|
Raja Ilato (Ju Ponggola) Tanggal 27 Dec 2018 oleh Admin Budaya . |
Kira-kira pada tahun 1525, yang menjadi Raja di Limboto adalah Pilohibuta namanya. Kemudian Raja Pilohibuta memperoleh putra yang bernama Boibudu, putra tersebut pernah menjadi Wedono Limboto dalam riwayat hidupnya.
Oleh karena topik cerita ini adalah Raja Ilato, yang bermaksud ingin menceritakan/memperkenalkan bahkan bagaimana sebenarnya sang Raja tersebut, khususnya menyangkut perangai perilaku beliau dalam masyarakat, maka baiklah secara silsilah perlulah kiranya diperkenalkan terlebih dahulu bahwa, Boibudu memperoleh seorang putra yang bernama Ilato, dan dialah yang bergelar Si Ju Panggola atau Si Du Panggola (Ju adalah penggilan penghormatan kepada seseorang, sedangkan Panggola artinya orang tua).
sumber gambar : bunggo.ung.ac.id
Kira-kira pada tahun 1663, Hato menjadi Raja di Limboto atas persetujuan dan permufakatan masyarakat. Bagaimana perangai dan perilaku beliau dalam masyarakat sejak menjadi Raja sungguh sangat positif untuk menjadi teladan bagi generasi selanjutnya. Raja Ilato banyak memberikan nasehat-nasehat yang baik kepada masyarakat, mendamaikan segala macam perselisihan, pertengkaran dan perkara, baik perkara kecil maupun besar yang menyangkut orang banyak, sehingga masyarakat umumnya sudah mengetahui akan perangai dan perilaku beliau yang seindah itu.
Jenis nasehat yang pernah diberikan antara lain, dengan mengambil kesan, ibarat dan gambaran dari kelakuan binatang yang tidak berakal budi, berupa kelakuan Kucing maupun ayam.
Ayam itu kata beliau satu ibu ada yang sampai bersaudara dua belas ekor, namun mereka sama sekali tidak mengenal ayah, bibi dan pamannya, bahkan sampai pada hubungan persaudaraan mereka pun tidaklah terjalin secara wajar. Masing-masing menurut kehendak dan kemauannya dan tidak ada unsur persatuan dan kesatuan. Dalam persaudaraan mereka yang dua belas ekor itu, jika ada misalnya tiga atau empat ekor yang jantan, serta cantik kelihatan paduan warna bulu-bulunya, maka pasti ia akan menjadi pilihan atau rebutan orang dengan maksud dijadikan ayam laga. Nanti pada suatu waktu mereka akan bertemu di medan laga, sekaligus dengan perlengkapannya (taji buatan) saling diadu justru karena hanya menuruti hawa nafsu dan kemauan dari tuannya untuk merebut keuntungan dari taruhan masing-masing.
Selesai memberikan kesan dan gambaran yang berhikmah nasehat itu seraya beliau berkata lagi bahwa kelakuan semacam itu tidak baik untuk ditiru dan dilakukan sebagai manusia yang berakal budi, bahkan harus disadari bahwa dalam satu masyarakat adalah bersaudara sebaiknya memberi ingat serta nasehat-menasehati satu kepada lainnya akan hal-hal yang baik dan benar sambil beliau mengusap-usap dengan penuh kasih sayang punggung dari orang-orang yang diberikan nasehat pada saat itu.
Lebih lanjut beliau berpesan, "Sebaiknya seandainya kamu berkumpul dan hidup satu rumah, berkasih sayanglah kamu, janganlah bertindak dan berperilaku seperti persaudaraan dari pada kucing. Karena persaudaraan dari kucing yang sampai 4 (empat) ekor misalnya walaupun berasal dari satu kandungnya (ibunya) sampai pada waktu tidur mereka saling berpelukan satu dengan lainnya, namun bila satu waktu kelak ada seseorang yang membuang sisa makanan kepada mereka, berupa tulang misalnya, maka mereka pun segera bangkit dan bangun secara bersama-sama dan langsung bercakaran, berebutan dengan maksud masing-masing ingin memiliki lebih banyak dari yang lainnya.
Dan sekalipun sudah memperoleh bagiannya masing-masing namun mereka masih tidak tinggal diam, tenang diwaktu menikmati makanan tersebut, malahan mereka tetap mengeong dengan suaranya yang keras dengan maksud agar haknya jangan direbut lagi oleh yang lainnya, dengan kata lain suasana persaudaraan mereka tidak aman, malahan selalu ribut. Jadi janganlah kamu mengikuti tindakan dan perilaku yang tidak baik semacam itu, sekaligus dianjurkan agar tetap menjamin hubungan yang harmonis, dan rasa persataun yang kokoh dan sehat.
Bagi raja Ilato sendiri memelihara seekor kerbau yang berwarna putih bulunya dan digunakannya sebagai kendaraan sewaktu mengadakan perjalanan keliling wilayahnya di sekitar danau Limboto. Binatang yang digunakannya tidak pernah merasakan pukulan selama ia berjalan atau pun menuntun kemana kerbau itu harus berjalan malahan dibiarkannya kerbau itu berjalan semuanya kadang-kadang berhenti istirahat sebentar.
Raja Ilato hanya mengikuti kehendak kerbau itu dan apabila selesai beristirahat baru meneruskan lagi perjalanannya sambil duduk di atas punggung kerbau itu. Ternyata kemana saja arah perginya kerbau tersebut dianggap mempunyai hikmah, dan pasti akan tiba disuatu tempat yang memerlukan penanganan serta penyelesaian dari pihak sang Raja.
Kedatangan sang Raja di setiap tempat persengketaan selalu disambut dengan gembira oleh mereka yang bersengketa dengan keyakinan apa yang menjadi bahan sengketa akan terselesaikan dengan penuh kebijaksanaan oleh sang Raja seraya mengharapkan nasehat dari Raja. Adapun nasehatnya sesudah ada penyelesaian, umumnya berupa penegasan dan penjelasan ulangan dari ibarat-ibarat kucing dan ayam dan sekaligus mendoakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar negeri dan Masyarakat selalu di dalam bimbingan Tuhan, aman tentram serta selalu memperoleh rezeki yang melimpah.
Suatu saat ketika Raja Ilato, mengadakan perjalanan kembali mengelilingi wilayah kerajaannya di bagian selatan. Danau Limboto dan tiba di suatu tempat yang bernama Pentadio, sekarang beliau menemui dua orang nelayan yang baru saja kembali dari pencahariannya. Kedua orang tersebut sedang memasak air untuk menawar rasa dingin mereka dengan membuat kopi dikala fajar mulai menyingsing. Dalam suasana demikian sang Raja tidak merasa segan meminta air panas walau hanya seteguk pada kedua orang tersebut. Saking dinginnya pada saat itu langsung dijawab oleh salah satu di antara keduanya dengan nada yang agak kasar demikian, "Apa yang kami kerjakan ini sesungguhnya hanya untuk memenuhi keperluan kami sendiri bukan semata-mata untuk orang lain."
Mendengar jawaban yang demikian nadanya, sang Raja itu sedikitpun tidak merasa marah atau pun dendam kesumat. Dari tempat itu ia beralih ke tempat yang lain di sekitar tempat itu seraya memohonkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga perjalanan berikutnya akan mendapatkan air panas di tempat itu yang tidak perlu lagi dipanaskan oleh tangan manusia.
Pada saat itu juga jawaban tadi yang bernada marah sempat didengar oleh saudaranya yang lain langsung menegurnya, "Hai apakah engkau tidak tahu bahwa orang itu adalah orang tua berwibawa lagi mempunyai berkah, dan kemudian engkau sudah bentak-bentak dengan kasar, sedang yang beliau kehendaki dan mintakan hanyalah air seteguk saja?"
Mendengar tutur kata dari kakaknya, si jejaka itu pun sudah merasa menyesal bercampur takut, dan terus mengambil sejenis kendi yang lazim dipergunakan oleh para nelayan itu tempurung yang sudah dibersihkan dan dikikis halus bersama air yang sudah di masak dituangkan ke dalamnya, sambil berlari-lari mengejar orang tua itu. Oleh karena orang tua itu tidak dikenal siapa namanya, maka si jejaka itu terus menerus memanggilnya. "JU PONGGOLA" (Hai orang tua), JU PONGGOLA, Ju Ponggola inilah air panas yang bapak mintakan tadi dari kami."
Sesuai perangai dan perilaku dari sang Raja yang sangat baik, tidak sedikitpun menanam benih dendam kesumat kepada siapa saja, air itu pun diterima lalu diminumnya, seraya memberikan nasehat kepada kedua orang itu, katanya, "Sifat dan perilaku yang demikian, yang layak kita pakai sebagai manusia yang berakal budi. Seandainya masih ada barang sesuatu yang boleh dibagi, sebaiknya bagikanlah itu walaupun hanya memperoleh sedikit-sedikit bagian.
Dan ibarat kamu sekarang ini baru kembali dari mencari nafkah di Danau, bukankah kamu dahulu tidak pernah melepaskan ikan-ikan itu disana, melainkan hanya Tuhan Yang Maha Kuasalah yang menciptakan semuanya itu, dan kini kenyataannya sebagian sudah diberikan untuk menjadi rezeki yang lezatnya dapat kamu mensyukuri nikmat Tuhan tersebut."
Demikianlah dialog serta kisah pertemuan antara sang Raja (Ilato) dengan kedua orang tua itu, yang melahirkan penggunaan istilah dan panggilan Ju Ponggola terhadap raja Ilato dan seraya panggilan tersebut telah menjadi resmi pemakaiannya sampai sekarang. Setelah mereka selesai berdialog, lalu masing-masing segera meneruskan perjalanannya.
Dalam perjalanan berikut dari sang Raja (Ju Ponggola), mulai dari ILUTA mengelilingi wilayah kerajaannya, tiba-tiba sampailah beliau di tempat bekas kedua nelayan tadi memasak air, seraya melihat suatu keanehan bahwa di situ sudah ada mata air panas. Melihat hal yang ajaib ini Raja Ilato langsung mengucap syukur ke hadirat Allah atas perkenan-Nya terhadap doa beliau.
Lama kelamaan hal yang ajaib ini mulai dikenal orang banyak di sekitar tempat itu dan mulailah mereka berkumpul dan mandi-mandi disana, karena mereka beranggapan bahwa tempat mandi itu penuh makna dan berkah. Berdasarkan pandangan dan pendapat ini pula mereka bertengkar untuk saling mempertahankan yang mana dari hulu wilayahnya begitu sebaliknya. Demikianlah ceritanya sehingga berkobarlah pertengkaran besar. Hanya karena ingin memiliki lokasi air panas tersebut.
Suasana pertengkaran makin lama, makin meruncing dan memuncak, sekonyong-konyong dikala fajar mulai menyingsing datang dan tibalah di tempat itu Sang Raja Ilato (Ju Ponggola) dan sempat melihat beberapa orang diantaranya sudah mulai bergumul, sehingga Sang Raja memintakan agar sebidang tanah tempat mereka bergumul itu disebut dan diberi nama saja "HUTU'O" (HUTU'O berasal dari kata HUTU'A yang artinya bergumul).
Adapun sebab pergumulan mereka itu hanyalah menyangkut penentuan batas tanah antara Hulu dan Hilir yang keduanya bertenden ingin memiliki air panas, dimana pada saat itu Ju Ponggola berada di dalam posisi berdiri di tengah-tengah diantara mereka yang bertengkar maka terus keadaan dan suasana itulah yang diambil menjadi keputusan beliau, sambil memintakan agar di tempat itu ditanamkan satu pohon kayu yang tidak lekang oleh panas dan tidak akan lapuk oleh hujan. Mereka yang mendengar permintaan sang Raja itu mulai bertanya-tanya, katanya, Kayu apa itu namanya, tuan Raja?" Jawab sang Raja" Kayu Lolo namanya, dan supaya segera ditanam di tempat ini untuk dijadikan tanda batas tanah antara Hulu dan Hilir yang sudah menjadi pertengkaran saat ini." Sampai saat sekarang ini tempat itu bernama DEHUWALOLO.
Dehuwalolo berasal dari kata :
Dehuilo yang berarti tanamilah, dan
Lolo adalah sejenis kayu, yang tak lekang oleh panas dan tak akan lapuk oleh hujan.
Jadi Dehuwalolo berarti kayu lolo yang ditanam untuk dipakai sebagai tanda yang membatasi tanah Hulu dan Hilir yang menjadi pertengkaran.
Mendengar keputusan sang Raja dalam hal batas tanah demikian, ada beberapa orang diantara mereka yang kurang merasa puas dan terus menyingkir ke suatu bukit untuk meneruskan pertengkaran mereka disana, dimana dalam suasana pertengkaran mereka sudah makin meruncing, sekonyong-konyong tibalah kembali sang Raja di sana seraya menanyakan, kata beliau, "Apa lagi yang kau pertengkarkan disini. Bukankah soal batas tanah sudah ku selesaikan dengan baik."
Dan karena mereka bertengkar di pagi hari, maka suasana, situasi dan kondisi semacam itu diabadikan oleh sang Raja (JU PONGGOLA) menjadi nama tempat itu yaitu "NGANGO LOWUWABU."
Ngango lo wuwabu berasal dari kata-kata :
Ngango berarti mulut dan lowuwabu berarti rasa ngantuk sambil membuka mulut. Jadi ngango lowuwabu berarti mulut yang dibuka karena rasa ngantuk, terutama di waktu pagi hari di saat mereka bertengkar tentang penentuan batas tanah tersebut. Auliya berarti keramat.
Kuburan tersebut terdapat di kampung Dembe Kotamadya Dati II Gorontalo, yang dewasa ini telah dipugar oleh pemerintah bersama-sama masyarakat setempat. Dewasa ini hampir tidak putus-putusnya orang-orang pergi berziarah, melalui perantaraan seorang tua ataupun Syekh yang bertugas membersihkan, memelihara dan menjaga makam kramat. Berhubung raja Ilato (Ju Ponggola) sangat baik perangai serta perilaku yang sangat terpuji dalam masyarakat, sehingga waktu beliau meninggal diberikan gelar, TA LO'O BAYA TO LIPU, oleh penduduk Gorontalo yang artinya orang yang penuh pengabdian kepada Nusa dan Bangsa.
sumber:
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |