Tersebutlah kisah, ada dua orang raja yaitu raja di Hulu sungai dan raja di Hilir sungai yang berselisih paham kerena kerbau mereka beranak. Raja di Hulu sungai mempunyai seekor kerbau jantan, sedangakan Raja di Hilir sungai mempunyai seekor kerbau betina.
Kedua kerbau tersebut sama-sama mandi disatu sungai di waktu yang sama. Lama kelamaan kerbau betina milik Raja di Hilir Sungai bunting dan kemudian melahirkan anak. Peristiwa kerbau tersebut beranak, diketahui oleh Raja di Hulu Sungai . Raja di Hilir Sungai dinamakan juga raja Kedo Agona, merasa pasti bahwa anak kerbau itu adalah miliknya, sedangkan sebaliknya Raja di Hulu Sungai mengaku bahwa anak kerbau itu adalah miliknya. Karena tak mungkin kerbau betina itu akan beranak tanpa kerbau jantan miliknya. Sedangkan di sungai itu tak ada kerbau lain, kecuali kedua kerbau itu. Karena keduanya sama-sama bersikeras mempertahankan pendapatnya dan masing-masing merasa berhak memiliki anak kerbau itu, akhirnya kedua raja itu berperang.
Setelah selesai berperang, maka raja-aja dari daerah lain berkumpul untuk memusyawarahkan dan menentukan siapakah diantara kedua mereka yang benar-benar berhak atas anak kerbau itu. Kedua raja itu bersengketa, meminta pertimbangan kepada Humpu Serunting. Jawab Humpu Serunting, "Saya tidak bisa memutuskannya. Hanya saja saya dapat memberi jalan penyelesaiannya, yaitu kita semua ini ke laut Tungku Tiga. Disana nanti kita berkumpul dan memeriksa perkara kalian berdua." "Tidak bisa, kalau ke sana," kata kedua raja itu.
Kemudian mereka bermusyawarah, mengumpulkan semua raja-raja. Yang bertindak sebagai jaksa ialah Humpu Serunting tadi. Tuang Pakngapuluh atau seluruh raja-raja yang berkumpul itu, mempertimbangkan dengan bermacam-macam argumentasi mereka masing-masing untuk menentukan yang mana diantara kedua raja yang bersengketa itu yang berhak atas anak kerbau tadi. Mereka mengalami kesulitan dan tidak ada keputusan.
Raja di Hilir Sungai, pemilik kerbau betina menyatakan bahwa, anak kerbau itu adalah miliknya dan sebaliknya Raja di Hulu Sungai berkeras menyatakan bahwa anak kerbau itu adalah miliknya, dengan alasan-alasan tidak akan kerbau betina milik Raja di Hilir Sungai dapat beranak, tanpa ada kerbau jantannya.
Ketika musyawarah mereka sedang hangat, tiba-tiba mereka terkejut oleh suara dari pinggir sesaat tempat mereka musyawarah yang meneriakkan, "Kumpulkan anjing, kumpulkan anjing, kumpulkan anjing!. Merekapun semua menoleh ke arah datangnya suara tadi Ternyata yang berteriak adalah seekor kancil sedang mengejek mereka.
Kancil terus bertanya, "Mengapa tuan-tusan berkumpul di sini? Jawab mereka. "Kami berkumpul di sini karena sedang memusyawarahkan persengketaan antara Raja di Hilir dan Raja di Hulu sungai.
Raja di hulu sungai yang mempunyai kerbau betina. Kedua kerbau itu mandi di Hilir Sungai sama-sama. Lama-kelamaan kerbau betina beranak. Raja di Hilir Sungai merasa kerbau itu adalah miliknya, karena tidak ada kerbau jantan yang beranak. Memang benar. Sebaliknya Raja di Hulu Sungai merasa lebih berhak atas anak kerbau itu, karena katanya mustahil kerbau betina dapat beranak kalau tak ada kerbau jantannya."
Kalau demikian, ada cara menyelesaikannya," kata Kancil. "Bagaimana" kata mereka tak sabar. "Tunggu dalam jangka waktu satu minggu ini., kata Kancil. "Hanya tuan-tuan sekalian harus berjanji, kalau sudah tujuh hari nanti, kumpulkan anjing yang banyak." "Jadi". jawab Humpu Serunting.
Ketika sampai pada hari yang ditentukan, semua mereka berkumpul semua. Tuan Pakngapuluh, Humpu tujuh orang, semuanya berkumpul sesaat semula, untuk mendengarkan janji Kancil yang akan memberikan cara penyelesaian perkara itu. Anjing-anjing telah dikumpulkan mereka semua.
lama mereka menunggu, tetapi si Kancil tak kunjung datang. Kiranya si Kancil sedang mencari air, karena dia ingin mandi. Agak lama Kancil berputar-putar, kemudian bertemu air tempat orang mencelup kain, empat orang merebus sepang. Sang Kancil pun tanpa berpikir panjang langsung terjun ke dalam air sepang itu dan badannya pun menjadi merah karena air sirih pinang itupun digosokkannya ke badannya. Sekarang badan Kancil menjadi merah. Selesai mandi dan menggosokkan badannya dengan air sirih pinang, kancil meneruskan perjalanannya menuju tempat musyawarah.
Berkatalah Humpu Serunting, "Kancil apa halanganmu, begini siang baru sampai? Kami semua sudah lama menunggu kamu" "Hai Humpu Serunting." jawab Kancil. "Kalian tidak tahu kesusahan hamba. Tadi malam hamba tak dapat tidur memikirkan mengapa bapak beranak." Humpu Serunting terkejut mendengar itu. Kemudian dia marah dan membentak, "kurang ajar kamu Kancil, mana ada laki-laki beranak, sejak kapan laki-laki beranak?" Nah, itulah keputusannya."
Kata Kancil "Laki-laki tak bisa beranak, melainkan perempuanlah yang bisa beranak." "Bagaimana pendapat tuan-tuan sekalian.?" "Tepat," jawab hadirin. Tuan Pakngapuluh serempak menjawab, "tepat!", tak mungkin laki-laki dapat beranak, melainkan perempuanlah yang dapat beranak." "Cukup'" kata Humpu Serunting.
Mendengar keputusan itu, Raja di Hulu Sungai menjadi murka dan berkata. "Kubunuh kamu nanti. Kancil." "Tunggu dulu." Kata kancil. "Hamba jangan dulu dibunuh, sebab hamba sekarang sedang ada yang ditunggu." "Apa yang kau tunggu?" kata Raja di Hulu Sungai. "kalau hamba bohong, silakan tuan Raja menyatakan sendiri apa sebabnya bapak dapat beranak. Silakan lihat dulu barang yang hamba tunggu." kata Kancil.
Kancil pun berjalan dan Raja di Hulu Sungai mengikutinya. Tiba di suatu tempat, Kancil berkata. "Di situlah tempat bapak beranak”, Kata Kancil. "Kubunuh kamu nanti ! Kamu membohongi saya." Kata Raja di Hulu Sungai. "Jangan, kata Kancil, "Benar itulah tempat bapak beranak. Hanya hamba sekarang disuruh orang menjaga ikat pinggang besar ini." Ikat pinggang apa?" kata Raja di Hulu Sungai. "Ikat pinggang Raja di Hilir Sungai," jawab Kancil. "Mana ikat pinggang itu?" kata Raja di hulu Sungai. Kancil pun menunjuk ke arah tempat tumpukan ikat pinggang.
Sebenarnya tumpukan itu bukan tumpukan ikat pinggang melainkan tumpukan ular sawah. Melihat ikat pinggang yang mengkilat dan indah itu, Raja di hulu Sungai menjadi terpesona dan berkata,..... "Oh, Kancil, berikan saja pada saya ikat pinggang itu. saya ingin memakainya. Saya sudah salah, lalu tidak memiliki ikat pinggang seindah ini," kata Raja di Hulu Sungai. "Baiklah," kata Kancil. "Silakan tuan mengambilnya dan tinggalkan ikat pinggang tuan. Tetapi jangan dulu diambil, sebelum saya jauh dari sini, karena Raja di Hilir Sungai pasti tahu dan saya akan disiksanya. Kalau nanti tuan Raja akan memakainya, kepala ikat pinggang itu harus dipasang tepat pada pusar tuan." "Ya", kata Raja di Hulu Sungai.
Kancil pun pergi meninggalkan tempat itu dan setelah jauh. Kancil menyaksikan apa yang dikerjakan Raja di Hulu Sungai. Kepala ikat pinggang itu dipasang oleh sang raja dan dipasangnya tepat dipusarnya yang ternyata kiranya mulut ular sawah itu telah menganga untuk mematuk Raja di Hulu Sungai. Sampai dipusarnya, ular itu dengan cepat dan tangkas mematuk pusar Raja di Hulu Sungai dan kemudian melilit pinggangnya dengan erat sekali, sehingga Raja di Hulu Sungai mati seketika.
Sumber : Cerita Rakyat (Mite dan Legende) Daerah Lampung, Depdikbud
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja