|
|
|
|
Putri Buruti Siraso Tanggal 16 Aug 2014 oleh Oase . |
Mite dunia dewata ini dikenal masyarakat Nias, baik yang tinggal di Kabupaten Nias maupun Kabupaten Nias Selatan. Menurut kepercayaan tradisional orang-orang Nias, pada salah satu dari sembilan lapisan langit terdapat Kerajaan Teteholi Ana’a dengan raja keturunan dewa, Bulugu Silaride Ana’a. Menurut ceritanya, setelah bertahun-tahun tidak mempunyai anak, permaisuri melahirkan anak kembar, yang laki-laki diberi nama Silogu Mbana dan yang perempuan bernama Buruti Siraso.
Suka cita Raja Bulugu Silaride berubah jadi duka cita. Sebab, menurut kepercayaannya, anak kembar berlainan jenis pertanda akan datang malapetaka dan aib besar bagi kedua orang tuanya. Mereka memercayai bahwa sejak dalam rahim kedua anak berlainan jenis kelamin itu sudah dijodohkan oleh maha dewa Sihai, dan keduanya merupakan Salakha, haram jadah. Walaupun begitu, mereka tetap memelihara kedua anak itu dengan penuh kasih sayang. Setelah Silogu Mbana dan Putri Buruti Siraso meningkat dewasa, tampak kesaktian masing-masing. Apabila Silogu Mbana menghadiri upacara panen maka tanaman yang dipanen petani berlipat ganda hasilnya. Oleh karena itu, para petani selalu meminta agar putra raja tersebut bersedia menghadiri upacara panen mereka. Sementara itu, pada waktu para petani akan menanam bibit, mereka selalu memohon kepada Putri Buruti Siraso agar sudi memegang bibit yang akan mereka tanam. Sebab, apabila bibit yang akan ditanam itu terlebih dahulu dipegang oleh Putri Buruti Siraso, hasilnya kelak pasti berlimpah ruah. Demikianlah kesaktian Silogu Mbana dan Putri Buruti Siraso.
Kebahagiaan para petani atas kehadiran si kembar tidak setara dengan kekhawatiran orang tuanya. Melihat keakraban kedua anak kembar itu, raja dan permaisuri khawatir mereka melakukan perbuatan tak senonoh. Untuk menghindarkan hal itu, Raja Bulugu Silarade menganjurkan Silogu Mbana mencari calon istri. Maka, pergilah Silogu mencari calon istri yang mirip dengan adiknya, Putri Buruti Siraso. Setelah pergi, Putri Buruti Siraso bersedih hati sehingga bertambah yakinlah raja bahwa putrinya sudah jatuh cinta kepada abang kandungnya sendiri.
Untuk menghindarkan perbuatan yang memalukan, raja dan permaisuri membujuk Putri Buruti Siraso untuk turun ke Tano Niha. Di sana kesaktian sang putri diperlukan para petani yang sengsara akibat bibit yang ditanam tidak mau tumbuh. Turunlah Putri Buruti Siraso ke Tano Niha membagi-bagikan bibit yang sengaja dibawanya dari khayangan. Setelah bibit itu ditanam, ternyata pada waktu panen memberi hasil berlimpah ruah sehingga penduduk Tano Niha menyebutnya sebagai Putri Bibit. Konon, Putri Buruti Siraso berdiam dekat muara sungai Oyo, sebelah barat Nias. Ia juga bertani dan berternak dengan sebagian hasilnya dibagi-bagikan kepada petani untuk dijadikan bibit dan ternak mereka.
Sementara itu, keadaan Putri Buruti Siraso tidak diberitahukan kepada Silogu Mbana yang pulang ke istana khayangan setelah sekian lama mengembara ke sana ke mari mencari gadis yang mirip dengan adiknya, namun tidak menemukannya. Menghadapi hal itu, Raja Bulugu Silaride dan permaisuri telah menyiapkan diri apabila Silogu Mbana menanyakan adiknya. Benar saja, Silogu Mbana ingin melepas rindu pada adiknya dan menanyakan kepada orang tuanya.
Untuk menghindarkan kejadian yang melanggar adat, Raja Bulugu Silaride dan permaisuri menyatakan Putri Buruti Siraso telah meninggal dunia dan mengajak anaknya melihat kuburan adiknya. Silogu Mbana kelihatan sangat berduka cita. Padahal kuburan yang diperlihatkan kedua orang tuanya kepada Silogu Mbana adalah kuburan palsu. Orang tuanya tetap merahasiakan keadaan yang sebenarnya sehingga Silogu Mbana tidak mengetahui bahwa Putri Buruti Siraso masih hidup dan bertempat tinggal di muara sungai Oya, Tano Niha.Si Boru Deak Parujar
Menurut cerita orang-orang tua di tanah Batak, dunia yang disebut orang Batak dengan benua atau banua ini terbagi tiga, yakni benua atas (banua ginjang), benua tengah (banua tonga), dan benua bawah (banua toru). Benua atas menjadi tempat bersemayam Tuhan yang disebut Mulajadi Na Bolon. Menurut kepercayaan tradisional, Mulajadi Na Bolon yang menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Dalam mitos Batak disebutkan Debata Mulajadi Na Bolon dapat menjelma sebagai Dewa Benua Atas yang mengatur hidup dan maut, Dewa Benua Tengah yang menganugerahkan anak (keturunan) pada manusia, dan Dewa Benua Bawah yang mengirimkan cahaya, guruh, hujan, ombak, dan kesuburan tanah.
Dewa penguasa tiga benua itu dikenal orang Batak dengan sebutan Debata Na Tolu, yakni Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru adalah dewa kebijaksanaan, sebagai guru tempat bertanya soal adat, hukum, dan segala peraturan. Soripada atau Balasori adalah dewa pelindung bumi, penjaga sawah dan ladang, pelindung anak-anak, dan pelaksana hukum yang jujur. Mangala Bulan adalah dewa bencana yang buas dan kejam sehingga orang berdoa kepadanya untuk memohon berkat agar diberi kesehatan, kerukunan, dan umur panjang.
Selain ketiga dewa itu, masih ada dewa lain dalam mitos orang Batak. Di antaranya adalah Debata Asasi sebagai dewa pengasih, Debata Idup sebagai dewa kehidupan yang memberi dan mengabulkan keturunan kepada manusia, Boraspati Ni Tano sebagai dewa kesuburan yang bertempat tinggal di dalam tanah. Kemudian, terdapat dewi yang dipuja, yakni Boru Saniang Naga yang tinggal di pusaran air Danau Toba. Orang Batak zaman dahulu memohon perlindungan dan berkat kepada dewi ini ketika hendak mengairi sawah, membersihkan mata air, dan mendapat ikan yang banyak.
Dari Batara Guru sebagai dewa kebijaksanaan lahir keturunannya bernama Siboru Deak Parujar yang ditetapkan oleh Debata Mulajadi Na Bolon menjadi nenek moyang orang Batak. Si Boru Deak Parujar oleh Debata Mulajadi Na Bolon dikawinkan dengan raja Odap-odap yang sama-sama berasal dari surga dan menjalani kehidupan sebagai manusia di benua bawah. Perkawinan mereka harus melalui berbagai rintangan karena Si Boru Deak Parujar semula enggan menikah dengan Raja Odap-odap. Namun, nasib mereka sudah tertulis pada hariara sundung di langit, sebatang pohon yang menjulang dari benua bawah sampai ke benua atas yang berisi catatan nasib yang akan dijalani manusia selama hidupnya.
Dari hasil perkawinan mereka, lahir sepasang anak kembar bernama Raja Ihot Manisia dan Boru Ihot Manisia. Waktu itu hanya merekalah penghuni benua bawah ini sehingga kedua saudara kembar anak Si Boru Deak Parujar ini menikah antarsesama saudara kandung. Dari hasil pernikahan itu lahirlah tiga orang anak, yaitu Raja Miok-miok, Patundal Na Begu, dan Siaji Lapas-lapas.
Dari seorang cucu Si Boru Deak Parujar, yakni Raja Miok-miok mempunyai anak bernama Eng Banua. Namun, kedua saudara Raja Miok-miok yang lain tidak diketahui nasibnya. Entah mengapa, orang-orang tua di tanah Batak tidak mau menceritakan kabar kedua saudara Raja Miok-miok itu. Mitos asal mula orang Batak hanya dapat diambil dari anak Raja Miok-Miok, yakni Eng Banua.
Eng Banua mempunyai tiga orang anak, yakni Raja Bonang-bonang, Si Raja Atseh, dan Si Raja Jau. Tarombo leluhur ini pun hanya dapat diketahui orang Batak dari keturunan Raja Bonang-bonang. Kedua saudaranya itu tidak diketahui nasibnya. Mungkin, masih dugaan orang-orang Batak, Si Raja Atseh menurunkan orang Aceh dan Si Raja Jau menurunkan orang Minangkabau atau orang Jawa karena orang Batak sering melafalkan Jawa dengan lafal Jau. Tetapi, bagi orang Batak hal itu tidak jelas sebab yang penting bagi orang Batak adalah menelusuri leluhur kebatakannya.
Berdasarkan cerita orang-orang tua di Tanah Batak ini, Si Raja Bonang-bonang ternyata hanya mempunyai satu putra bernama Guru Tantan Debata. Guru Tantan Debata mempunyai satu orang anak juga yang bernama Si Raja Batak. Dari Si Raja Batak inilah lahir marga-marga orang Batak yang dikenal sekarang. Marga-marga itu berasal dari dua orang anak Si Raja Batak, yaitu Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon.
Secara umum, dari keturunan Guru Tatea Bulan lahir kelompok marga-marga Lontung dan dari Raja Isumbaon lahir kelompok marga-marga Sumba. Menurut versi yang diakui kebenarannya, Guru Tatea Bulan menurunkan kelompok marga Sariburaja, Limbong, Sagala, dan Malau yang dikenal sebagai kelompok marga-marga Borbor dan Lontung. Kemudian, Raja Isumbaon menurunkan Sorimangaraja yang menurunkan Naimbaton, Narasaon, Naisuanon (Tuan Sorbadibanua) yang dikenal sebagai kelompok marga-marga Sumba.
Sumber:http://balaibahasa-sumut.com/index.php/produk/ensiklopedia-sastra/cerita-rakyat.html
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |