|
|
|
|
Piilu Le Lahilote Tanggal 23 Apr 2015 oleh Rizkianazahra . |
Pada zaman dahulu di suatu tempat di tanah U Duluo lo’u Limo lo Pohite, hiduplah seorang pemuda bernama Lahilote. Perawakannya tegap, badan tinggi besar dan mempunyai kegemaran berburu. Dari hasil buruan itulah ia hidup. Dengan pekerjaan mengejar binatang buruan itu memaksa ia sering moleleyangi (mengembara masuk hutan keluar hutan). Angan-angannya tinggi, hatinya keras, kemauannya kuat, tekadnya kuat sehingga tidak ada sesuatu yang tidak dapat dilaksanakannya.Di suatu pagi Lahilote seperti biasanya keluar, mengembara mencari binatang buruan. Ia tiba-tiba dikejutkan oleh suara rebut-ribut. Suara itu kadang-kadang lemah, kadang-kadang keras. “Suara apakah gerangan itu?” demikian pertanyaan Lahilote dalam hatinya. Dengan hati yang berdebar-debar, perlahan-lahan ia menuju ke tempat asal suara tersebut. Dalam perjalanan menuju asal suara itu, nampak terdengar olehnya suara itu seperti suara manusia, tetapi siapakah manusia tersebut, belum diketahuinya.Setelah tiba di tempat suara itu Lahilote mengintip dari tempat yang cukup jauh. Ia melihat tujuh orang wanita sedang mandi di kolam. Semuanya cantik-cantik. Selesai mandi para wanita tersebut kemudian memakai pakaiannya dan tak lama kemudian terbang dan menghilang ke angkasa. Semua kejadian itu tak lepas dari penglihatan Lahilote. Nyatalah baginya bahwa wanita-wanita tersebut adalah Putri lo Owabu (putri kayangan/bidadari) yang turun ke bumi untuk mandi di kolam itu. Memang di hutan itu terdapat sebuah kolam yang airnya jernih dan bening, tetapi tak disangka bahwa kolam itu ternyata digunakan oleh putri kayangan sebagai tempat pemandian mereka.
Setelah mengetahui bahwa putri-putri kayangan sering berdatangan mandi di kolam itu, Lahilote kemudian berusaha selalu datang dan mengintip untuk mencari tahu kapan lagi mereka datang ke tempat itu. Tepat pada hari ke tujuh tibalah nampak oleh Lahilote dari angkasa tujuh buah titik hitam yang melayang-layang di udara. Titik-titik itu makin lama makin jelas, akhirnya turun menuju kolam. Mereka sama-sama menanggalkan sayapnya dan masing-masing terjun ke dalam kolam. Dengan riang gembira sambil bercanda ria mereka timbul tenggelam mandi di kolam itu. Lahilote pun belum menampakkan dirinya dari tempat persembunyian dirinya. Ia masih tetap mengintip dari balik semak-semak. Ia khawatir jangan sampai kepergok oleh mereka dan menyebabkan mereka takut Lahilote tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia berupaya mencari akal untuk menahan salah seorang gadis itu sekaligus mempersuntingnya sebagai isteri. Setelah menemukan akal, Lahilote dengan kesaktiannya kemudian mengubah diri menjadi seekor ayam hutan jantan kemudian berjalan mengais-ngaiskan kakinya mendekati tempat tumpukkan pakaian dan sayap para putri kayangan kemudian mencuri salah satu dari tujuh sayap itu. Dengan tanpa diketahui oleh putri-putri kayangan ayam yang tadinya sedang mengais-ngais di dekat kolam itu tiba-tiba menghilang dan membawa pulang salah satu sayap mereka.
Setelah mendapatkan pakaian itu Lahilote segera kembali ke rumahnya dan menyembunyikan pakaian tadi di dalam lumbung padi di bagian bawah rumahnya. Kemudian Lahilote kembali ke kolam untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya.
Dilihatnya para gadis itu sudah berkemas naik ke darat dengan berebutan mengambil pakaian masing-masing. Alangkah terkejutnya salah seorang di antara gadis itu ketika menyaksikan pakaiannya tidak ada lagi di tempatnya, sementara temannya satu demi satu berangkat melayang meninggalkannya karena takut ketahuan oleh manusia. Sang gadis dengan hati sedih kemudian mulai mencari pakaiannya. Hampir semua batu dan semak dijelajahinya namun hasilnya nihil, pakaiannya tidak kunjung ditemukannya.
Betapa sedihnya gadis itu ditinggal sendirian, sementara teman-temannya terpaksa pergi meninggalkannya terbang ke angkasa. Ia menangis tersedu-sedu hatinya risau mengenang nasibnya yang malang itu. Kejadian itu tak luput dari perhatian Lahilote. Setelah melihat gadis itu sendirian ia kemudian keluar dari persembunyiannya mendekati sang gadis. Ia mulai mencoba merayu dan memikat hati gadis itu dan bertanya “Mengapa Dinda sesedih ini?” Gadis itu tak menjawab, menolehpun tidak, bahkan tangisnya semakin menjadi-jadi. Lahilote kemudian menghibur dan melanjutkan pertanyaannya “Wahai Dinda siapakah namamu, dan dari manakah engkau datang?”. Gadis yang ditanya membisu dan tiada berkata sepatah pun. Ia terus menangis dan menangis. Hatinya sedih memikirkan bagaimana nasibnya kelak.
Lahilote tiada berputus asa, ia tetap menyampaikan kata-kata rayuannya, “Wahai Dinda! Mungkin sudah kehendak Tuhan engkau akan bernasib seperti ini. Tuhan Yang Maha Kuasa telah melaksanakan apa yang telah dikehendaki-Nya. Tidaklah Dinda ridha atas kehendak Tuhan? Kehendak-Nya telah berlaku, mengapa Adinda bersedih dan menyesali diri?” Rupanya kata-kata Lahilote yang terakhir ini termakan di hati sang gadis. Ia menyesal telah menolak kehendak Tuhan yang mungkin sebagai ujian bagi dirinya. Dengan menyadari itu semua, ia kemudian mencoba tersenyum dan secara perlahan menoleh ke arah Lahilote dengan memperlihatkan ekspresi wajah memohon pertolongan. Betapa gembiranya Lahilote, ketika menyaksikan sang gadis tersenyum dan menoleh kepadanya. Lahilote pun seakan mengerti arti pandangan tersebut, dan kemudian tanpa sungkan-sungkan selanjutnya melontarkan pertanyaan, “Siapakah Adinda? Darimana Adinda datang?” Gadis itu kemudian menjawab, “Nama saya Boilode Hulawa, berasal dari kayangan”. Dengan nada menghibur Lahilote pun selanjutnya berkata, “ Wahai Boilode Hulawa, putri kayangan engkau tidak perlu merasa bersedih tinggal di bumi, negeri ini bukan negeri terasing bagimu, aku Lahilote dengan senang hati akan menghibur dan menolong dirimu”. Boilode menjawab, “Wahai Kanda, sesungguhnya negeri ini sangat asing bagiku, aku di sini tidak mempunyai sanak dan tidak mempunyai saudara, tidak beribu, dan tidak berbapak. Aku tidak berkeluarga dan oleh karenanya aku sedih sekali. Tetapi aku cukup mengerti dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, aku pasrah pada nasibku oleh karenanya aku sangat berterima kasih kalau Kanda mau menolongku”. Keduanya pun kemudian berangkat menuju rumah Lahilote. Saat menuju ke rumahnya, Lahilote kemudian menyampaikan keinginannya untuk melamar dan menikahi Boilode Hulawa. Setelah mendengar kata Lahilote itu maka menjawablah Boilode, “Wahai Kanda, tidak beralasan Dinda menolak keinginan Kanda sebab menurut Dinda, mungkin inipun suatu ketentuan yang digariskan Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa hamba akan berjodohkan Kanda. Di negeri yang asing ini aku tidak menemukan seseorang yang dapat mempertanggung jawabkan nasib hidupku ini selain diri Kanda”. Sambil berkata-kata itu tanpa terasa sampailah mereka ke tempat tujuannya.
Atas persetujuan kedua belah pihak, terjalinlah perkawinan yang bahagia dari dua insan yang berasal dari dua negeri yang berjauhan yakni pemuda Lahilote dari Bumi dengan Boilode Hulawa dari kayangan. Mereka mendayung bahtera rumah tangga baru dengan rukun dan damai. Lahilote setiap hari melaksanakan tugasnya sebagai petani dan berburu. Boilode Hulawa pekerjaannya memasak, mencuci pakaian dan urusan rumah tangga lainnya.
Lahilote berusaha agar usaha pertaniannya kian bertambah maka ia bekerja sepanjang hari. Menyaksikan dan merasakan hal itu Boilode mulai berfikir betapa berat hidup di bumi, semua harus dikerjakan sendiri, harus mencari nafkah sendiri jika tidak demikian akan kelaparan. Setelah hidup di dunia ia pun sebagai putri kayangan turut terlibat dalam melaksanakan tugas-tugas yang berat itu. Kadang kala ia terkenang pada negeri asalnya, di sana ia tidak perlu bersusah-susah semuanya serba tersedia. Sedangkan disini ia harus bekerja keras, menyapu halaman, mencuci piring, dan lain-lain yang hal tersebut tidak pernah dilakukannya di negeri kayangan. Hal-hal seperti inilah yang sering terlintas dalam pikiran Boilode Hulawa. Dengan memikirkan kesusahan di bumi ini, Boilode tak henti-hentinya merindukan negeri kayangan, kampung halamannya yang dicintainya, tetapi bagaimana cara untuk kembali masih sulit untuk dipecahkannya, sementara itu kolam untuk pemandian mereka tak pernah dikunjungi lagi oleh saudara-saudaranya. Terpaksalah Boilode harus melaksanakan pekerjaan itu walau bagaimana pun beratnya. Ia telah rela kawin dengan orang bumi dan harus mengabdikan diri sebagai seorang isteri dari suaminya itu, bukankah keadaannya ini adalah sudah merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Menyadari akan hal itu maka Boilode pun berusaha membantu dan meringankan beban suaminya. Dengan kesaktiannya sebagai putri kayangan ia pun dapat dengan satu butir beras saja bisa memasak untuk mencukupi makan dia dan suaminya, tanpa diketahui oleh sang suami.
Pada suatu hari sang suami berfikir, “Beberapa bulan telah berlalu, aku diberi makan dengan secukupnya, tetapi apa sebabnya padi di lumbung tidak berkurang? Dan mengapa pula isteriku tidak pernah menumbuk padi ketika akan memasak, seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang di bumi? Jika seandainya ia menumbuk dengan tanpa aku ketahui, mana dedak sisa hasil menumbuk padi tersebut?” Demikian tanya Lahilote dalam hatinya. Oleh karenanya timbullah niatnya untuk mengamati keadaan isterinya sehari-hari.
Pada suatu hari sebagaimana biasa Boilode menjerangkan periuk ke atas tungku untuk memasak nasi, sang suami bermaksud untuk mencari tahu rahasia yang menyelimuti isterinya itu. Ke dalam periuk itu ditaruh oleh Boilode sebutir padi kemudian ditutupinya rapat-rapat. Selanjutnya sambil menunggu nasi masak Boilode pergi ke sumur untuk mencuci pakaian. Beberapa saat kemudian ketika isterinya berada di sumur, Lahilote masuk ke dapur seraya memeriksa isi periuk tersebut. Alangkah terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa isinya hanyalah sebutir padi terendam dalam air di periuk itu. Tahulah ia akan rahasia isterinya, “Pantas padi dalam lumbungnya seperti tidak berkurang sedikitpun, karena memang hanya dimasak sebutir-butir. Tetapi mengapa hal seperti itu dirahasiakannya kepadaku?” demikian pikir Lahilote. Kemudian periuk itu ditutupnya kembali sebagaimana biasa.
Selesai mencuci pakaian, Boilode masuk ke dapur memeriksa nasi yang dijerangnya. “ Wuih, celaka masih tetap sebutir padi?” katanya. Ditunggunya beberapa saat juga tidak berubah. “Ah … mungkinkah suamiku sudah melihat isi periuk ini?” pikirnya. Memang sudah lama Boilode Hulawa melakukan pekerjaan itu, bahwa dengan kesaktiannya jika ia memasak cukup dengan sebutir padi saja setelah masak akan berubah jadi satu periuk, dan ini bisa menjamin kehidupan keduanya bahkan bagi tamu-tamu yang datang bertamu di rumah mereka. Dengan cara seperti itu Boilode akan bisa menghemat tenaga untuk menumbuk padi dan menghemat beras yang ada di dalam lumbung padi di rumah mereka. Akan tetapi rahasia dibalik itu adalah bahwa kesaktian ini akan hilang jika dilihat oleh orang lain. Sambil termenung Boilode menyesali nasibnya, kini rahasianya telah terbuka, berarti mulai dari saat itu ia harus bekerja keras.
Sejak peristiwa itu terjadi, Boilode mulai meningkat cara kerjanya. Ia harus menumbuk padi setiap hari untuk dimasak. Dengan demikian makin lama padi di dalam lumbung itu semakin berkurang. Akhirnya masa setahun telah berlalu, habislah padi di dalam lumbung. Saat Boilode mengambil padi yang terakhir untuk ditumbuk, di bawah lapisan padi di dalam lumbung itu tampaklah olehnya sayapnya yang dulu hilang. Dengan melihat sayap yang tersembunyi di lumbung padi itu tahulah ia bahwa suaminya Lahilotelah yang menyembunyikan sayapnya. Sedih ia melihat sayap dan pakaiannya yang sudah koyak dan beberapa bagiannya telah sobek. Tetapi ia bersyukur bahwa pakaiannya itu akhirnya diperolehnya kembali. Dan iapun tidak dapat menyembunyikan kegembiraan hatinya, segala macam kesulitan yang dirasakannya selama ini sepertinya tidak terasa olehnya. Demikian pula kemauannya untuk kembali ke negeri asalnya semakin meluap-luap, tetapi hal itu tetap dirahasiakannya kepada suaminya.
Diperiksanya kembali sayapnya itu, terutama pada bagian yang sobek. “Ini perlu dijahit” katanya dalam hati. Tetapi bagaimana? Untuk mengambilnya saja penuh perhitungan, jangan sampai ketahuan suaminya apalagi jika menjahitnya. Boilode Hulawa kemudian mencari akal, ia mengatakan kepada suaminya bahwa ia sekarang ini sedang mengandung. Ia merasa sering kurang enak badan, kepalanya pusing, perasaan mual dan lain-lain alasan. Betapa gembiranya hati Lahilote, karena dengan demikian keinginannya untuk memperoleh anak dari putri kayangan akan segera terwujud. Demikianlah Lahilote semakin meningkatkan gairah kerjanya dan semakin sering memperhatikan Boilode dan berusaha untuk memenuhi segala keinginan isterinya itu.
Pada satu waktu Boilode Hulawa berkata kepada suaminya, “Kanda, Dinda ingin makan ikan laut, terasa mual rasanya perut ini sebab sering memakan hasil buruan Kanda saja setiap hari, maukah Kanda meluluskan permintaan Dinda ini?”. Lahilote berkata, “Dinda, sebenarnya sekarang musim surutnya ikan di laut. Namun demikian, untuk menyenangkan hati Dinda, Kanda akan pergi juga mencari ikan itu, doakanlah semoga Kanda berhasil”. Demikian perkataan Lahilote menyahuti keinginan isterinya. Isterinyapun kembali berkata, “Terima kasih Kanda, mudah-mudahan lagkah mujur akan menyertai Kanda. Sungguh Adinda ingin sekali makan ikan laut. Mati rasanya Dinda kalau tidak dapat memenuhi selera ini”.
“Baiklah, Kanda akan berkemas ke laut dan Adinda baik-baik saja di rumah sepeninggal Kanda, jangan sekali-kali Adinda keluar rumah karena sebentar lagi angin darat bertiup”, kata Lahilote sambil pamit kepada isterinya untuk berangkat ke laut. Selama dalam perjalanan, tak terlintas sedikit pun dalam diri Lahilote bahwa kata-kata isterinya itu adalah siasatnya untuk mencari jalan kembali ke kampung halamannya. Boilode sengaja melakukan hal itu untuk mencari kesempatan memperbaiki sayapnya yang rusak dan selanjutnya akan kembali dan berkumpul dengan saudara-saudaranya di kayangan.
Sepeninggal suaminya ke laut, Boilode mengambil sayapnya itu dan tidak melakukan pekerjaan yang lain, keesokkan harinya ia mulai mencoba sayapnya itu, tapi tingginya baru bisa mencapai loteng rumah mereka. Setelah itu diperbaikinya lagi, lalu dicobanya, hasilnya pun lebih meningkat dari semula sudah berada di bumbungan rumah. Menyaksikan itu harapan untuk kembali ke kayangan pun sudah makin menjadi-jadi. Setelah dicobanya untuk ketiga kalinya, ia sudah mencapai pohon kelapa. Dan hal itu sudah semakin memantapkan hatinya, ia yakin benar bahwa sayapnya telah kembali utuh seperti semula dan dapat digunakan untuk kembali ke kayangan. Akhirnya dengan berketetapan hati ia memutuskan untuk kembali ke kayangan saat itu juga.
Sebelum berangkat, Boilode menemui lumbung padi dan selanjutnya berkata, “Wahai Lumbung! Bila suamiku pergi janganlah sekali-kali engkau memberitahu bahwa pakaian (sayap) yang engkau simpan telah aku ambil. Jangan pula engkau beritahu kini bahwa aku telah kembali ke kayangan”. Kemudian ia menemui pintu dan berpesan, “Wahai pintu! Aku akan berangkat meninggalkanmu ke negeri asalku, aku berpesan kepadamu jangan engkau beritahukan kepada suamiku jika ia kembali dari laut”. Seterusnya ia menemui jendela, dapur, belanga dan setiap perabot rumah tangga lainnya sambil berpesan agar kepergiannya tidak diberitahukan kepada suaminya setelah yang bersangkutan tiba di rumah. Ketika akan meninggalkan rumah setelah berada di tangga ia berkata, “Wahai Tangga! Aku akan meninggalkan negeri ini, aku akan pulang ke kayangan, rahasiakanlah hal ini kepada suamiku”. Selanjutnya ia menemui tumbuh-tumbuhan, rumput-rumputan, pohon-pohonan untuk maksud yang sama. Kecuali diantara tumbuh-tumbuhan itu Hutia Mala yang tidak dihubunginya, karena konon rotan termasuk satu-satunya tumbuhan yang tidak mau dipengaruhi siapa pun. Ia tetap berkata sesuai kenyataan, atau apa yang sebenarnya.
Setelah Boilode Hulawa berpesan kepada semua yang ada di sekitarnya, lalu berangkatlah ia terbang ke angkasa terlebih dahulu ia mengintip keadaan suaminya di pantai. Didapatnya Lahilote tengah tidur nyenyak terlentang di pantai. Ia kemudian meludahi suaminya itu dengan luwa lo pomama (air sirih pinang) yang kebetulan sedang dikunyahnya, sebelum berangkat, kemudian ia melanjutkan perjalanan menuju ke pintu langit. Luwa tersebut persis jatuh ke dada Lahilote. Lahilote terbangun dan merasakan adanya air hangat di atas dadanya. Diperiksanya ternyata air tersebut adalah luwa lo pomama. Ia kemudian berfikir, “Apakah gerangan yang terjadi?”. Timbul kecurigaannya, ketika diteliti lagi dan diciumnya ternyata baunya harum, seperti luwa yang biasanya keluar dari mulut isterinya. Setelah meyakini hal tersebut tepatlah seperti yang dipikirkannya, ternyata bahwa isterinya telah menemukan sayapnya dan pergi meninggalkan dirinya. Lemaslah sekujur tubuh Lahilote.
Setelah beberapa lama termenung dan meyakini bahwa isterinya telah berangkat ke kayangan, Lahilote bergegas kembali ke rumahnya. Selama dalam perjalanan, Lahilote bertanya kepada batu, “Wahai Batu! Tidakkah kau melihat isteriku, kemana ia pergi?”. Batu menjawab sebagaimana yang dipesankan oleh Boilode Hulawa. “Wahai Lahilote, aku tidak pernah melihat isterimu, dan belum pernah mendengar kabar beritanya”. Lahilote pun meneruskan perjalanannya. Ia menemui segala makhluk dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sepanjang jalan untuk ditanyainya, tetapi semua menjawab tidak pernah melihat dan mendengar kabarnya. Ketika ia berada di depan rumahnya ia bertanya kepada tangga, “Wahai Tangga! Kemanakah isteriku Boilode Hulawa pergi?” Tangga menjawab, “Wahai Lahilote yang aku ketahui selama ini isterimu sering berada di rumah, lain dari itu aku tidak pernah ingin tahu kemana ia pergi?”.
Dengan hati kecewa Lahilote terus mencari jejak isterinya, ia bertanya kepada pintu, namun ia pun tidak memperoleh jawaban yang menggembirakan. Ia masuk ke dalam rumah bertanya kepada jendela dan semua perkakas yang ada dalam rumahnya tak satu pun memberi jawaban yang menggembirakan hatinya. Jawaban yang diperoleh semuanya sama bahwa mereka tidak tahu menahu tentang kepergian isterinya. Kemudian Lahilote masuk ke dalam lumbung, memeriksa tempat persembunyian sayap Boilode, ia terkejut melihat bahwa sayap itu sudah tidak berada di tempatnya lagi. Selanjutnya ia bertanya kepada lumbung, “Wahai Lumbung! Masih ingatkah engkau pada waktu yang lalu aku telah menyerahkan kepadamu selembar gaun untuk kau simpan dan kau jaga. Kemanakah sekarang gaun tersebut, aku tidak melihat berada di tempatmu lagi? Siapakah yang telah mengambilnya?” Lumbung pun menjawab, “Wahai Lahiote! Telah sekian lama aku menyimpan berton-ton padi dan padi yang menindih gaun itu setiap hari diambil untuk makanan kalian sedikit demi sedikit, aku sudah tidak lagi memperhatikan keadaan gaun itu apakah sudah dimakan anai-anai ataukah dimakan tikus, entahlah!”.
Mendengar jawaban lumbung seperti itu Lahilote bertambah risau, meskipun demikian ia tetap melontarkan pertanyaan kepada lumbung, “Wahai Lumbung! Tidakkah engkau mengetahui kemana perginya Boilode Hulawa, isteriku?”. Lumbung menjawab, “Wahai Lahilote! Aku tak dapat memberikan keterangan terhadap sesuatu yang bukan menjadi tugasku. Bukankah tugasku hanya menyimpan padi yang engkau masukkan kepadaku!”. Setelah mendengar jawaban lumbung demikian, Lahilote dengan hati kesal langsung turun dari rumahnya untuk mencari informasi tentang keberadaan isterinya menuju tempat lain. Dalam hati ia berkata, “Mengapa semua mereka yang aku tanyai tentang isteriku tak satupun yang mengetahuinya?”. Selama dalam perjalanan masuk hutan keluar hutan ia terus memikirkan keberadaan isterinya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, ia terus mencari isterinya tak kenal siang ataupun malam.
Pada suatu hari Lahilote tak sanggup lagi meneruskan perjalanannya mencari isterinya, ia merasa lelah dan harus melepaskan lelahnya itu dan mencari tempat duduk berteduh. Di bawah sebuah pohon kayu yang rindang ia duduk dan bersandar untuk beristirahat memulihkan tenaga. Tanpa terasa akhirnya ia tertidur pulas. Dalam tidurnya ia bermimpi sedang melihat seseorang yang sudah tua datang kepadanya dan berkata, “Wahai Lahilote! Tidak jauh dari tempatmu ini ada sebatang pohon yang dapat menolongmu, pohon itu adalah sebatang pohon rotan yang tunggal dan sangat panjang, namanya Hutia Mala. Pergilah engkau ke sana!”.
Setelah mimpinya habis, terjagalah Lahilote dari tidurnya dan segera bangun sambil mengusap-usap matanya dan mengingat-ingat mimpinya tadi. Tak berapa lama Lahilote pun berdiri dan berjalan mencari pohon Hutia Mala yang disebut-sebut dalam mimpinya itu. Tidak jauh ia berjalan, hanya beberapa puluh meter dari tempat ia beristirahat terlihatlah olehnya sebuah garis hitam menjulang jauh ke atas langit. Sambil berjalan ia memperhatikan terus garis hitam itu. “Mungkin inilah Hutia Mala yang ditunjukkan oleh mimpiku tadi” pikirnya. Ternyata dugaannya benar bahwa yang tinggi menjulang ke angkasa itu adalah rotan yang luar biasa panjangnya, berdiri menghempas-hempaskan diri di angkasa.
Lahilote selanjutnya mendekati rotan tersebut sambil bertanya, “Hai Hutia Mala! Apakah engkau melihat isteriku Boilode Hulawa?” Hutia Mala menjawab, “Benar aku telah melihat isterimu Boilode Hulawa, ia telah terbang pulang ke angkasa. Sekarang mungkin ia sudah berada di langit. Sebelum berangkat ia meninggalkan pesan kepada seluruh penghuni bumi ini untuk merahasiakan kepergiannya, kecuali aku tidak didatanginya?” Lalu Lahilote berkata, “Kalau demikian apakah engkau sanggup menolongku?” “Engkau minta pertolongan dalam hal apa?” tanya Hutia Mala. “Sanggupkah engkau mengantarkan aku ke pintu langit?” tanya Lahilote pula. Hutia Mala menjawab, “Aku dapat mengantarmu ke pintu langit, asalkan engkau memenuhi segala persyaratan yang aku ajukan”. “Syarat apakah yang engkau minta?”, bertanya lagi Lahilote. Menjawab Hutia Mala, “Persyaratan yang harus engkau sanggupi ialah (1) Motiluntu to buto’o, motita’e to eungo (naik di atas busur melengkung ke bawah dan naik di atas busur yang melengkung ke atas. (2) Pomala-malabi’u ode Pakusina, wau Dakusina, ode Masariku, wawu Magaribu (aku hempas-hempaskan ke negeri Palestina, ke Damaskus, ke Timur, ke Barat, dan ke seluruh alam empat penjuru)”.
Karena didorong oleh keyakinan segera bertemu dengan isterinya, Lahilote menyatakan kesanggupannya memenuhi persyaratan yang diajukan Hutia Mala. Di samping persyaratan itu Hutia Mala mengemukakan syarat yang ke tiga yakni Lahilote disuruh menyediakan minyak kelapa sawit tujuh tempayan. Dan syarat keempat adalah Lahilote diminta menyediakan tujuh buah kelapa yang kulitnya keras bila dikupasi (bongo pi’ita). Demikianlah syarat yang harus dipenuhi oleh Lahilote. Berhari-hari ia mencari tujuh tempayan minyak kelapa sawit, dan tujuh biji kelapa sawit, dan tujuh biji kelapa yang keras kulitnya, akhirnya diperolehnya juga meskipun dengan susah payah.
Setelah semua bahan tersebut sudah tersedia, memberitahulah dia kepada Hutia Mala dan berkata: “Inilah minyak kelapa sawit tujuh tempayan dan tujuh biji kelapa yang engkau minta kepadaku”. “Siramkan sebagian ke pangkal tubuhku, dan sebagian gosokanlah pada bagian itu juga, setelah itu memanjatlah engkau ke atas. Dan bila engkau tak dapat memanjat lagi karena minyak sudah habis, ambillah lagi satu tempayan kemudian lakukan pekerjaan sebagaimana engkau menggunakan minyak pada tempayan pertama. Demikian yang engkau lakukan sampai engkau selamat pada tujuanmu”. Setelah menerima petunjuk itu Lahilote pun segera mengambil minyak kelapa sawit tersebut dan menyiramkan sebagian pada pangkal rotan itu dan sebagian lagi digosokkan pada batangnya. Lahilote pun mulai naik. Ia memanjat pohon Hutia Mala sambil menggosokkan minyak kelapa pada batang rotan tersebut. Demikian seterusnya dilakukan apabila minyak tersebut habis. Setiap kali ia mengambil minyak setempayan, panjatannya makin lama makin tinggi. Pada saat ia mengambil tempayan yang keenam, perjalanannya telah melewati pertengahan jarak ke pintu langit. Minyak kelapa pun habis dan ia tidak dapat meneruskan perjalanannya, ia kembali meluncur ke bawah untuk mengambil minyak satu tempayan. Seketika ia berada di bawah dan mengambil tempayan yang terakhir, saat itu Hutia Mala berkata: “Hai Lahilote! Sebelum engkau menggunakan minyak kelapa pada tempayan yang ketujuh carikan olehmu dahulu seekor kucing yang dicintai nabi. Kucing itu sebentar akan menjaga pangkal pohonku agar tidak dimakan tikus. Apabila kucing itu telah engkau dapati belahlah tujuh buah kelapa dan buatlah menjadi tujuh tumpukan. Daging kelapa itu sebagai makanan kucing tadi”. Mendengar perintah seperti itu, betapa sulitnya yang harus oleh Lahilote. Tetapi demi keselamatan dirinya untuk mencapai tujuannya maka ia pergilah mencari kucing tersebut. Ketika bertemu seekor kucing ia bertanya: “Apakah engkau termasuk kucing yang dicintai oleh nabi?”. Kucing itupun menjawab, “Tidak, aku bukan kucing yang dicintai nabi” Lahilote pun segera meninggalkannya dan pergi mencari kucing yang lain. Setiap berpapasan dengan kucing selalu ditanyakannya kalau kucing-kucing tersebut dicintai nabi. Namun tak satupun kucing yang dijumpai menyatakan bahwa ia tergolong yang dicintai nabi. Lahilote pun meneruskan perjalanannya mencari kucing yang lain. Pada suatu hari Lahilote sedang duduk termenung melepas lelahnya sambil mengenang nasibnya yang malang itu. Tiba-tiba melompatlah seekor kucing belang dari arah samping melewati tempat ia duduk. Melihat kucing itu Lahilote terkejut karena kucing itu badannya besar dan tegap, tangkas lagi cekatan dan memiliki belang seperti permadani dari Arab.
Segeralah Lahilote menegur kucing itu, tapi tidak dihiraukannya. Lahilote pun dengan sabar membujuk kucing itu agar mau berbicara dengannya. Setelah lama mendiamkan teguran Lahilote, akhirnya kucing itu berkata, “Aku tidak mempunyai waktu yang banyak berbicara dengan engkau. Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan waktu di dunia ini hanya sedikit, maka waktu itu jangan hanya terbuang sia-sia, apalagi hanya digunakan untuk mengobrol. Aku terbiasa menggunakan waktuku untuk bertapa dan beramal”. Lahilote pun kembali berkata, “Hai Kucing! Tegakah engkau sebagai pertapa meninggalkan amal besar yang bakal engkau peroleh dari aku?”, “Amal besar apakah yang aku peroleh dari seorang pelamun seperti engkau?”. “Aku seorang yang dirundung kesedihan dan kesusahan. Bukankah menolong seseorang yang ditimpa kesusahan termasuk amal yang besar?” lanjut Lahilote. Sang kucing kembali bertanya, “Apakah kesusahanmu? Utarakan kepadaku, semoga aku bisa membantumu”. Lahilote pun kemudian mengutarakan kesulitan yang dihadapinya, “Wahai Kucing! Aku adalah seorang yang kehilangan isteri, ia telah terbang ke langit. Aku bermaksud menyusulnya dan telah menerima pertolongan Hutia Mala. Aku diantarkannya ke pintu langit, tetapi Hutia Mala meminta seekor kucing kecintaan nabi untuk menjaga pokok batangnya agar jangan dimakan tikus”. Kucing pun bertanya, “Apakah engkau mengetahui tanda-tanda kucing itu?”. “Aku tidak tahu!” jawab Lahilote. Mendengar jawaban Lahilote seperti itu, akhirnya sang kucing itu berkata, “Kalau engkau ingin bertemu kucing seperti yang dimaksud Hutia Mala, amatilah pinggulnya terutama di sekitar pantatnya, tidak berbulu, kedua kaki depannya tegap dan kuat karena ia selalu bertelekan dengan kedua kaki depannya. Bagian belakang kakinya tidak berbulu karena ia selalu duduk dengan kedua betis kaki belakangnya. Jika engkau bertemu dengan kucing seperti itu maka ialah kucing kecintaan nabi seperti yang engkau maksudkan”.
Setelah mengamati kucing yang berada di depannya tertegunlah Lahilote, sebab semua apa yang dikemukakan oleh kucing itu adalah benar-benar wujud keadaan diri sang kucing sendiri. Dengan tak segan-segan Lahilote pun berkata, “Telah banyak rumah yang aku masuki dan banyak pula desa yang aku datangi, namun tak ada satupun kucing memiliki tanda seperti yang engkau sebutkan itu kecuali engkau sendiri”. Setelah rahasianya mampu ditebak oleh Lahilote, maka berkatalah kucing itu, “Benar apa yang engkau katakan itu, aku bersedia membantumu tetapi apakah jaminan hidupku untuk menjaga pokok batang Hutia Mala itu?” Lahilote menjawab, “Telah aku siapkan untukmu tujuh buah kelapa yang akan menjadi makananmu selama menjaga pokok rotan itu”.
Setelah memperoleh persetujuan, maka berangkatlah keduanya menuju ke pokok Hutia Mala. Hutia Mala selanjutnya berkata: “Laksanakanlah apa yang menjadi tugasmu!” Lahilote pun segera membelah tujuh buah kelapa yang telah disediakan sebelumnya satu per satu. Ditumpukkannya menjadi tujuh tumpukan. Kepada kucing ia berkata: “Inilah makananmu, jangan sekali-kali engkau tinggalkan pohon Hutia Mala ini, agar tikus tidak datang menggigit pokoknya”. Selanjutnya Lahilote mengambil tempayan minyak kelapa yang terakhir, dan disiramkannya sebagian kepada pokok pohon Hutia Mala, dan sebagian dibawa-serta untuk digosokkan pada batang pohonnya pada saat ia memanjat.
Ketika Lahilote berada di atas, ia dihempaskan secepat kilat ke Palestina (Utara), kemudian Hutia Mala bangun kembali, menghempaskannya ke arah Damaskus (Selatan). Betapa ngeri perasaan Lahilote. Ia mengira saat itulah merupakan cobaan yang paling dahsyat yang dihadapinya dibanding dengan cobaan-cobaan sebelumnya yang pernah ia alami. Sesaat kemudian Lahilote dihempaskan lagi ke Masrik (Timur) secepat kilat, kemudian ke arah Maghrib (Barat). Kemudian Hutia Mala berdiri tegak lurus ke arah langit dan tidak bergerak sedikitpun. Lahilote mengira bahwa pekerjaan itu sudah selesai, ia tidak akan dihempaskan lagi dan sekarang ia akan menuju ke pintu langit. Akan tetapi tiba-tiba dia dihempaskan lagi ke semua arah mata angin. Lahilote pun berpegang kuat, lalu rotan itu pun berdiri lagi dengan tegaknya dan diam tanpa gerakan sedikitpun.
Setelah keadaan berangsur aman dan tenang, Lahilote meneruskan perjalanannya, hingga tiada berada lama sampailah ia ke pintu langit dan kemudian masuklah ia ke dalamnya. Betapa gembiranya Lahilote setelah selamat berada di negeri kayangan, negeri isterinya. Putri-putri kayangan pun mulai mencium bau manusia. Boilode Hulawa dan saudara-saudaranya keluar ingin melihat siapa manusia bumi yang telah datang ke negeri Kerajaan Langit ini. Begitu keluar terlihat oleh Boilode seorang lelaki yang perawakannya tinggi, tegap tengah berjalan-jalan jauh di hadapannya. Boilode akhirnya kenal benar dengan perawakan itu, yang tidak lain adalah Lahilote suaminya. Setelah saling mendekat dan berhadapan masing-masing seperti tidak saling mengenal. Boilode Hulawa bersikap seolah-olah tidak mengetahui siapa lelaki di depannya. Sementara itu Lahilote pun bingung menentukan mana diantara tujuh wanita cantik di hadapannya yang diketahuinya sebagai isterinya. Sebab semua wanita di hadapannya, sama parasnya, bahkan sama cantiknya.
Yang lebih merisaukan Lahilote ia sudah seharian itu belum menyentuh makanan apapun dan ia enggan untuk memohon kepada tujuh bidadari itu. Oleh karena itu ia ingin selekasnya bertemu isterinya untuk bisa membantunya memberikan makanan. Ia akan mati kelaparan kalau tidak bisa menemukan isterinya di antara tujuh bidadari yang nampaknya diam seribu bahasa dan sewaktu akan didekati mereka lari, terbang menghindari Lahilote. Lahilote pun bersedih dan tanpa terasa akibat menahan penderitaan itu menangislah ia dengan tersedu-sedu. Dalam keadaan yang demikian itu, tiba-tiba datanglah seorang tua menghampirinya kemudian bertanya: “Apakah yang engkau risaukan wahai manusia? Dari manakah engkau datang?” Lahilote pun menjawab dengan hati yang sedih: “Aku adalah manusia yang datang dari kerajaan Bumi. Aku mencari isteriku bernama Boilode Hulawa yang tinggal di negeri kayangan ini. Aku telah menemukan tujuh orang putri yang sama wajahnya. Sulit bagiku untuk menentukan mana di antara mereka itu isteriku”. Orang tua itu kemudian berkata, “Kalau hanya itu yang engkau risaukan, mudah saja bagiku untuk menolongmu. Pergilah engkau sekali lagi kepada mereka dan perhatikan siapa di antara mereka bertujuh yang akan dihinggapi kunang-kunang di antara garis kening matanya, maka dia itulah isterimu.
Mendengar petunjuk dari orang itu, segeralah Lahilote menemui puteri-puteri tersebut. Begitu bertemu, datanglah seekor kunang-kunang hinggap di salah seorang dari tujuh puteri kayangan tersebut. Lahilote pun lari dan memeluknya dengan penuh keyakinan bahwa orang yang didekapnya adalah isterinya yang dirinduinya. Boilode Hulawa pun mengelak dan meronta-ronta dan mengatakan bahwa ia bukan isteri Lahilote. Namun Lahilote tetap memeluknya dan mendekapnya dan ia tidak mau melepaskannya. Mengingat kembali penderitaannya ketika masih berada di bumi Boilode Hulawa sebenarnya tidak ingin lagi bersuamikan seorang manusia bumi yang penuh derita. Di langit tidak perlu bersusah payah, apa saja yag diingnkan telah tersedia, tidak perlu bekerja dan mencari. Hal itulah yang rasanya ingin ia keluhkan kepada Lahilote. Tetapi apa boleh buat Lahilote tidak mau melepaskannya. Akhirnya Boilode Hulawa menyerah saja, dan berkata: “Baiklah akulah isterimu, tetapi kalau engkau masih mau beristerikan aku, maka ada empat syarat yang harus engkau penuhi”. Katakanlah syarat apa itu”,kata Lahilote.
Boilode Hulawa kemudian memberikan kepada Lahilote sebilah pisau kemudian berkata “Ambilah pisau ini, gunakan untuk menebang kayu besar yang ada diepanmu. Engkau harus menggunakan pisau itu untuk menebang pohon itu, jangan menggunakan peralatan lain”. Lahilote bersedih hati menerima tugas itu. Ia berkata dalam hati, “untuk apa pisau sekecil ini, sedang pohon yang di tebang sangat besar” Ia menangis berhadapan dengan pohon besar itu. Tiba-tiba datanglah seekor burung belatuk dan berkata: “Mengapa engkau menangis melaksanakan pekerjaan ini?”. “Aku disuruh menebang kayu yang besar ini oleh isteriku dengan pisau sekecil ini”, jawab Lahilote. “Mudah saja mengerjakan itu, tunggu kami sebentar!”, kata burung belatuk. Tak lama kemudian, burung belatuk itu pun secara beriringan datang mematuk batang pohon itu, sehingga pohon tersebut tumbang. Lahilote melaporkan hasil pekerjaannya kepada isterinya. Isterinya berkata: “Bawalah kayu itu ke ujung sana!” demikian kata Boilode Hulawa sambil menunjuk suatu tempat, “ Akan tetapi tak ada setangkai pun yang ketinggalan” lanjutnya.
“Wah berat juga pekerjaan ini”, pikir Lahilote dalam hatinya. Sambil termenung ia memikirkan pekerjaan yang baru itu. Tiba-tiba datang seekor ular yang besar dan berkata: “Apa yang engkau renungkan disini?” Lahilote menjawab “Aku disuruh Boilode Hulawa mengangkat kayu yang sebesar ini sekaligus dengan daun-daunnya, untuk dibawa ke tempat dekat perapian di istana, dan takkan ada yang tertinggal”. “Sudalah, mari aku tolong membawanya”, kata ular itu, sambil melilit batang pohon tadi dan mengangkat ke Boilode Hulawa yang sedang menunggu di perapian itu, sekaligus dengan daun-daunnya , dan tak ada sehelai daun pun yang tertinggal. Tugas yang kedua ini pun di selesai dilaksanakan dengan bantuan sang ular itu. Dalam tugas selanjutnya Lahilote diperintahkan untuk menjemur padi selumbung di halaman, dan untuk mengangkatnya kembali ke dalam lumbung harus dibawa sebutir-sebutir. Lahilote dengan segera menangkat padi tersebut dari lumbung ke halaman, dipaparkannya di atas tikar. Setelah pekerjaan itu selesai dilakukannya, sekonyong-konyong langit mulai mendung tanda akan turun hujan. Lahilote bersedih memikirkan bagaimana caranya mengangkat padi selumbung itu sebutir-sebutir. Tak lama kemudian datanglah seekor semut besar menanyakan kesusahannya. Kepada semut dikatakannya tentang kesulitannya membawa padi selumbung yang harus diangkat sebutir-sebutir. Oleh semut hal itu dijawabnya dengan mudah saja bahwa ia sanggup menolong Lahilote. Kemudian dipanggilnya semua kawannya, dan tidak lama kemudian datanglah iring-iringan semut dan langsung membawa padi tersebut ke dalam lumbung.
Seusai pekerjaan itu, Lahilote merenung sejenak, “Tugas apalagi yang akan aku jalani selanjutnya?” Tiba-tiba Boilode Hulawa muncul dan berkata, “Isilah bak tempat mandi kami hingga penuh dengan air sungai, dengan menggunakan keranjang ini” kata Boilode sambil memberikan sebuah keranjang kepada Lahilote. Lahilote terkesima menerima perintah itu. “Bagaimana mungkin mengisi bak mandi dengan keranjang, ini hal yang tidak masuk akal“ keluhnya. Bukan main sedihnya hati Lahilote memikirkan tugas tersebut dan dengan perlahan ia mendekati sungai dan duduk termenung di tepi sungai itu. Saat ia bersedih seperti itu, tiba-tiba ia dikagetkan oleh satu suara yang tidak diketahui dari mana datangnya, “Apa yang membuat engkau sedih hai anak manusia?” demikian bunyi suara itu. Setelah mencri-cari sekian lama akhirnya Lahilote pun mengetahui asal suara itu yakni suara seekor belut yang ada di sungai didepannya. Kemudian Lhilote pun menjawab suara itu, “Aku sangat sedih dengar pekerjaan yang diberiakan oleh isteriku kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa mengisi bak mandi para puteri kayangan dengan keranjang yang bolong ini. Siapapun dia pasti akan mengalami kesulitan dengan pekerjaan yang tidak masuk akal ini”. “Oh hanya hal itu yang membuat engkau sedih, jika demikian tunggulah sebentar” kata belut, sambil menyelam. Tidak berapa lama sesudah itu, datanglah bebetrapa ekor belut. Satu persatu belut itu masuk ke dalam keranjang melumuri tubuhnya dengan lendir kemudian menggosok-gosokkan badannya pada dinding-dinding keranjang itu, sehingga menutuplah lubang-lubang keranjang itu dengan lendir sang belut. Sambil mengucapkan terima kasih kepada belut-belut itu denagn penuh kegembiraan Lahilote dapat melaksanakan tugasnya mengisi bak mandi dengan tanpa mengalami kesulitan sedikit pun.
Ketika Lahilote selesai melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya dengan baik maka Boilode Hulawa pun tidak mengingkari janjinya untuk menerima kembali Lahilote sebagai suaminya setelah memenuhi semua persyaratan yang diajukannya. Ia telah sudi membina kembali hubungan rumah tangganya dengan suaminya di kayangan. Dan Lahilote pun menikmati kehidupan yang gemerlapan dan bahagia bersama isterinya di kayangan, dan menerima perlakuan seperti pangeran. Kemesraan rumah tangga itu terjalin dengan baik dan damai. Lahilote tidak perlu bersusah payah bekerja seperti yang sering dirasakannya selama ini di bumi. Apa yang diinginkannya semuanya serba tersedia. Waktunya hanya digunakan untuk bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan isterinya sambil menikmati keindahan dalam yang indah seperti yang terbayang di negeri nirwana. Mereka menikmati kebahagiaan selama bertahun-tahun.
Suatu ketika Lahilote sedang tidur, terlihat oleh isterinya ada uban (rambut putih) terdapat di kepala Lahilote. Dengan serta merta isterinya membangunkannya, hal itu tidak biasa dilakukan oleh Boilode Hulawa, membangunkan suaminya saat tidur. Lahilote seraya terbangun kaget sambil bertanya, “Ada apa yang terjadi?” Boilode menjawab, “Ada kabar penting yang harus aku sampaikan kepada Kanda!”. “Kabar apa gerangan itu dinda?” tanya Lahilote penasaran. Boilode kemudian berkata, “Menurut cerita orang tuaku bahwa Tuhan menciptakan penghuninya di kayangan ini tidak boleh beruban sebab uban adalah pertanda ketuaan, dan orang yang mengalami ketuaan pada saatnya akan mati. Kami di kayangan ini menjalani kehidupan abadi jadi tidak boleh ada yang beruban. Hal itu yang terjadi pada Kanda, ketika dinda tadi mencari kutu di kepala Kanda, Dinda telah menemukan bahwa di kepala Kanda telah tumbuh uban. Dan hal itu membuat Dinda cemas. Jangan sampai seisi istana mengetahui keadaan itu maka akan celakalah kita terutama Kakanda. Kakanda akan di usir dari negri ini, rakyat negeri ini akan mengejar-ngejar Kanda untuk mereka lemparkan kembali ke bumi”.
Lahilote menjawab : “Itu mudah saja, cabut saja uban itu dan bakarlah ia dengan api”. Isterinya menjawab : “Malah itu lebih berbahaya lagi Kanda, bukankah rambut itu akan tumbuh kembali, dan akan dilihat oleh kawan-kawan Adinda. Juga bau anyir rambut yang dibakar itu akan tercium oleh keluarga Adinda”. Kata Lahilote : “Jika demikian, bagaimana pendapat Adinda, dimana pun Kanda akan bersembunyi, lama kelamaan pun pasti akan tertangkap juga”. Jalan keluarnya adalah kita harus segera pindah dari negeri ini, kita berangkat lagi ke bumi” demikian kata Boilode. “Terserahlah kepadamu wahai Dindaku, jika demikian kehendakmu”, kata Lahilote dengan nada menyerah.
Setelah termenung beberapa lama, sesaat kemudian Boilode Hulawa berkata kepada suaminya : “Wahai Kakanda, bagi Dinda turun ke bumi mudah saja sebab Dinda menggunakan sayap, tetapi bagaimana caranya?” Lahilote menjawab, “Kakanda akan turun ke bumi melalui Hutia Mala yang dulu Kakanda pakai untuk naik ke negeri ini. Untuk itu sekarang juga Kakanda akan mengeceknya ke pintu langit untuk melihatnya apakah pohon itu masih utuh”. ”Baiklah kalau demikian, mudah-mudahan masih utuh”, kata Boilode.
Setelah Lahilote tiba di pintu langit, ternyata Hutia Mala tadi sudah lapuk, sudah tidak bisa digunakan lagi. Lahilote berfikir, mungkin sudah dimakan tikus, kucing yang menjaga pun sudah pergi karena sudah kehabisan makanan yang disediakannya pada waktu ia ke kayangan. Lahilote bersedih dan cepat-cepat ia kembali kepada Boilode Hulawa untuk menyampaikan berita sialnya itu.
Pada suatu ketika dilihat kembali oleh Boilode bahwa uban di kepala Lahilote semakin bertambah berarti malapetaka bagi suaminya pun akan semakin dekat. Lalu ia berkata kepada Lahilote : “Wahai Kakanda, Adinda mempunyai suatu cara yakni kita harus segera turun, tetapi tidak boleh sekaligus. Kakanda akan Adinda turunkan melalui rambut kepala Adinda yang akan disambung-sambungkan sampai ke bumi. Apabila Kakanda telah sampai di bumi, Adinda akan menyusul terbang dengan sayap Adinda. Hanya inilah cara yang sebaik-baiknya untuk bisa mengatasi kesulitan kita”. Selanjutnya Lahilote menjawab,”Jika tidak ada jalan lagi, baiklah saya setuju saja dengan usulmu itu”. Maka mulailah Boilode Hulawa mencabut rambutnya satu per satu. Lahilote disuruhnya berpegang pada satu ujung rambut dan kemudian disuruh turun dengan cara bergantungan pada salah satu ujung rambut tersebut. Penyambungan rambut berlangsung terus menerus dan akhirya rambut Boilode Hulawa telah habis, kepalanya telah gundul. Sementara Lahilote pun belum sampai di bumi, ia masih melayang-layang di antara langit dan bumi, dihempas-hempaskan oleh angin ke seluruh penjuru arah mata angin.
Pada suatu saat rupanya cuaca berubah, langit kini mendung, tiba-tiba kilat memancarkan sinarnya, petir dan halilintar saling menyambar, angin sejuk berubah menjadi taupan dan menghempaskannya ke semua penjuru. Dalam keadaan demikian, rambut tempat ia bergantung putus dan akhirnya Lahilote jatuh hancur terbelah di angkasa akibat terpaan petir dan angin topan. Ia terbelah dua, tubuh kanannya jatuh di Kelurahan Pohe, sehingga telapak kakinya berbekas di atas batu yang ada di pinggir pantai kampung tersebut. Sedangkan tubuh sebelah kirinya jatuh di Pulau Boalemo Sulawesi Tengah dan meninggalkan bekas telapak kakinya di sana. Bekas tapak kaki pada batu yang terdapat di dua tempat inilah yang disebut oleh orang Gorontalo dengan nama Botu Liodu.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |