|
|
|
|
Perpatih Nan Sebatang Tanggal 27 Dec 2018 oleh Admin Budaya . |
Di negeri Minangkabau di daerah Pagaruyung, tersebut seorang yang bernama Perpatih Nan Sebatang. Semua orang kenal dengan pemuda belia itu. Ia seorang yang telah memperlihatkan tanda-tanda arif serta bijaksana. Pandangannya luas, dan pikirannya jauh menjangkau ke depan. Sifat serta sikap yang demikian amat perlu dimiliki oleh siapa saja. Bila kelak Perpatih Nan Sebatang terpilih sebagai pemimpin, tak mengherankan lagi karena ia bagaikan kayu besar yang dapat dijadikan tonggak dan sendi negeri.
Ia mempunyai seorang adik perempuan bernama Puteri Pinang Masak. Seorang anak dara yang manis dan jelita paras wajahnya. Sebagai seorang gadis yang baru menanjak besar, ia terkenal sebagai anak dara yang rajin dan cerdas. Antara Perpatih dan Pinang Masak tersembul suatu kehidupan persaudaraan yang amat seronok saling kasih mengasihi. Tak pernah antara mereka terjadi perselisihan. Hidup rukun damai sepanjang hari. sehilir semudik seiya, sekata, bagaikan senduk dengan kuali, bimbing membimbing serta ingat mengingatkan perbuatan yang tak asing lagi dalam kehidupan orang bersaudara itu.
Suatu hari Perpatih mendapatkan adiknya sedang menenun. Entah apa sebabnya hari yang sehari itu telah terjadi pertengkaran antara mereka. Memang benar kata orang bahwa ada masa damai, ada masa berbalah. Hari itu persengketaan kedua orang beradik kakak itu tak dinyana mencapai titik puncaknya. Pinang Masak tanpa dapat mengendalikan diri mengibaskan torak yang sedang dipegangnya dan tepat mengenai kepala kakaknya Perpatih. Hari baru pukul sembilan, matahari menggantung sepenggelahan. Setentang kepala Perpatih yang luka darah merah nampak mengalir. Ujung torak itu mungkin agak kuat dikibaskan oleh adiknya. Hati pemuda belia itu tertekan oleh kesedihan, dan dipandangnya adiknya dengan pandangan sayu. Tapi adiknya hanya menekur seolah menghindari pandangan kakaknya. Dalam hatinya timbul penyesalan ketika kakaknya telah melangkahkan kaki meninggalkannya.
"Amboi Kakak," kata Pinang Masak seorang diri ketika kakaknya tak ada lagi. "Maafkan hamba yang telah berlaku lancang itu.
Akankah luka itu meninggalkan bekas nanti dikepalamu Kak? Bunyi ratap Pinang Masak menyesali dirinya. Sayang orang yang akan mendengarkannya telah pergi. Pinang Masak berjanji dalam hatinya andainya kakaknya itu kembali ia akan sujud meminta maaf. Ia sungguh tak mengerti mengapa peristiwa yang demikian dapat terjadi.
Perpatih Nan Sebatang semenjak turun dari rumahnya terus berjalan seorang diri. Tanpa disadarinya ia sudah sampai di pinggir kampung. Saat itu ia berhenti sejenak. Hatinya ragu-ragu untuk kembali atau meneruskan perjalanan. Kalau perjalanan diteruskan berarti ia harus meninggalkan adiknya. Kebimbangan menerpa-nerpa hati dudanya. Tapi sebentar kemudian ia mengepalkan tangannya. Mukanya nampak mengeras. Darah mudanya melecut hatinya untuk memulai babak baru merantau ke negeri orang. Dengan dorongan yang demikian ia mulai pula melanjutkan perjalanan mencari tanah yang datar. Siapa tahu akan ditemuinya daerah yang cocok dengan panggilan hatinya.
Perjalanan panjang itu telah menghabiskan masa yang cukup lama. Bukit dan gunung beberapa kali didakinya. Lurah yang sempit dan sungai-sungai telah pula dilalui. Tapak kakinya menebal dan keras. Sungguh suatu perjalanan lelaki sejati yang masih muda belia. Perjalanannya akhirnya tertumbuk ke suatu tempat yang bernama Danau Bento. Di sana memang banyak tumbuh rumput bento. Di tempat baru ini Perpatih membuat sebuah teratak bekal tempatnya untuk bertolak mengolah tanah yang subur itu. Lambat laun ia merasa sangat serasi, karena itu diputuskannya untuk bermukim di sana.
Puteri Pinang Masak telah gadis besar. Usianya telah mencapai dua puluh satu tahun. Andainya kakak lelakinya yang menghilang lima belas tahun yang lalu itu, ada di dekatnya sekarang tentu ia mempunyai seorang kakak yang telah berusia dua puluh lima tahun. Tapi sungguh malang nasib anak gadis itu. Kakaknya yang dapat menjadi kebanggaaannya itu entah di mana gerangan sekarang. Kakak kandung yang ditunggu-tunggu tak kunjung kembali. Mungkin hati kakaknya itu sudah menghitam berpantang lagi kembali. Atau juga sudah meninggal.
Didorong akan keinginan yang besar untuk bertemu dengan kakak kandung telah menyebabkan anak gadis itu meninggalkan kampung halamannya Pagaruyung. Kemana gerangan lelaki itu. Diturutinya jua kehendak hatinya ingin bersua dengan kakaknya. Dicarinya kesana kemari. Tak jemu ia bertanya sepanjang jalan. Lah lama ia melamun, namun yang dicari tak kunjung bersua. Andainya mati bertemu dengan nisannya sekalipun jadilah. Kalu mati tentu ada kuburannya, kalau hilang rimba mana tempatnya tersandung. Tanpa putus asa berjalan jualah puteri itu kemana di bawa langkah. Akhirnya sampai jugalah ia di sebuah kampung yang dikitari bukit-bukit dan satu diantaranya nampak tinggi benar. Nasib baik baginya ia bertemu dengan seorang pemuda yang masih asing baginya. Pemuda yang cakap dan gagah itu telah menyelamatkannya. Lama kelamaan ia tinggal disana, tahulah ia bahwa negeri itu bernama Danau Bento. Dan ia kawin dengan pemuda itu. Kehidupan rumah tangga mereka amat serasi. Tak pernah ada silang sengketa. Pasangan yang amat cocok, saling cinta mencintai. Pinang Masak kemudian hamil. Teramat bahagia suami-istri itu menerima anugerah Tuhan yang mereka idam-idamkan itu. Suatu hari suaminya memanggilnya. Puteri Pinang Masak tersenyum bahagia, datang menemui suaminya.
"Adinda," katanya kepada istrinya," gatal rasanya kepalaku ini. Kalau-kalau engkau dapat menemukan kutunya. Tolonglah adinda carikan!"
Puteri Pinang Masak duduk melujur. Kepala suaminya tergalang di pahanya. Tangannya dengan jari-jari yang lentik cekatan menyelisik sela-sela rambut suaminya. Dengan sabar disibaknya satu per satu rambut yang hitam lebat itu. Tapi tiba-tiba ia tertegun. Di kepala suaminya dilihatnya ada bekas luka memanjang. Bertanyalah ia kepada suaminya itu.
"Junjungan hamba!" katanya kepada lelaki yang disayanginya itu. "Apakah salah kalau hamba bertanya apa sebabnya ada bekas luka di kepala kanda?"
"Benar itu bekas luka enam belas tahun yang lalu," jawab suaminya yang tak lain Perpatih Nan Sebatang yang enam belas tahun yang lalu lari meninggalkan kampung halamannya. Pagarayung. Lalu berceritalah ia tentang luka yang meninggalkan bekas itu. Mendengar cerita suaminya Puteri Pinang Masak terkejut bukan main. Kakak kandungnya lah yang telah menjadi suaminya yang sangat dicintainya itu. Muka wanita yang sedang hamil tujuh bulan itu pucat pasi. Tapi untung tidak terlihat oleh suaminya karena ia membelakangi istrinya.
Yakinlah kini Puteri Pinang Masak, bahwa itulah kakak kandungnya yang dicarinya selama ini. Tahu pula ia betapa terkutuk diri mereka berdua. Telah terlanggar adat serta syarak. Namun wanita itu berusaha menyimpan rahasia itu serapat-rapatnya. Biarlah buat sementara ia sendiri saja yang mengetahuinya. Dicari waktu yang baik. Dan ketika sudah didapat Puteri Pinang Masak pun diam-diam berangkat meninggalkan suami yang dicintainya. Malu dan dosa menjentik-jentik hatinya. Ketika akan berangkat ditinggalkannya pesan kepada Perpatih bahwa ia adiknya sendiri yang telah sempat berlaku sebagai suami-istri.
Puteri Pinang Masak yang juga bernama Dayang Pemberani lari dari Danau Bento, lari ke mana dibawa langkah kakinya masuk rimba ke luar rimba sementara dalam keadaan kandungannya sudah tua. Sedang dalam rimba itu kehendak Tuhan berlaku lahirlah anaknya. Seorang lelaki yang sehat. Anak telah lahir, tapi hanya dalam rimba, jauh dari orang. Maklumlah beranak kecil, tentu memerlukan makanan yang cukup. Sekarang makanan itu benar yang tak ada. Wanita itu cepat mengambil keputusan untuk meninggalkan anak itu sendirian dan dia sendiri harus menyelamatkan diri. Maka pelarian itu wanita yang sudah putus asa itu akhirnya tersesat ke suatu daerah yang bernama Lunang negeri Mukomuko.
Dalam pada itu sang bayi tinggallah seorang diri dalam rimba. Tangisnya terdengar memecah melantun-lantun seantero rimba lebat itu. Sementara itu ada seorang lelaki sedang menghadapi salaian ikan yang baru ditangkapnya di sungai. Mendengar adan tangis anak kecil maka tanpa ragu-ragu anak itu pun dipungut dan dibawanya ke negerinya di Indrapuro. Lama kelamaan dalam pemeliharaan lelaki itu anak yang ditemukan dalam hutan itu sudah besar. Apa saja pekerjaan yang dilakukan ayah angkatnya itu selalu di sertai oleh anak tersebut.
Pada suatu hari ayahnya itu membuat sebuah lukah. Pisau yang dipergunakan untuk membuat lukah kala itu ialah pisau seraut. Anak lelaki yang sudah besar itu sudah ikut membantu meraut-raut bambu bahan untuk dijadikan lukah tersebut. Sedang asyik meraut-raut itu tanpa disadarinya tersayat jari tangannya. Anehnya darah yang keluar dari luka itu bukan merah tapi putih. Melihat itu tahulah ayah angkatnya itu bahwa anak lelaki itu bukanlah sembarang orang tetapi orang keturunan raja. Mulai saat itu dinamainyalah anak lelaki itu Datuk Hitam. Berdarah Putih yang kemudian menjadi raja di Indrapuro.
Akan halnya Perpatih Nan Sebatang, sepeninggal istrinya dan sesudah ia tahu pula bahwa istrinya itu adalah adik kandungnya sendiri, merasa sangat terpukul. Hancur luluh rasa hatinya. Ia mengutuk negeri yang didiaminya itu. Tentulah negeri dan kampung itu negeri yang celaka. Hatinya benar-benar bagaikan terbakar, yang melecut-lecutnya untuk menyuruhnya meninggalkan negeri itu. Berjalanlah ia menghiliri punggung bukit yang mengantarnya sampai ke suatu daerah yang bernama Koto Lima Sering. Ditempat ini Perpatih mencoba tinggal sampai dua hari dua malam.
Namun karena pikirannya terasa kacau dan hati tidak senang ditinggalkannya pula negeri itu. Ia terus melanjutkan perjalanan. Ia kemudian tiba di suatu tempat yang agak tinggi. Dari tempat itu ia bebas memandang berkeliling menikmati daerah sekitarnya yang luas terhampar indah sesayup-sayup mata memandang.
Tempat inilah yang sekarang bernama Koto Pandang, mengingat dahalu Perpatih memandang ketika ia sampai pada malam yang ketiga terasa hatinya agak senang. Kendatipun demikian masih ada was-was dalam dirinya maka ditinggalkannya pula daerah itu. Ia terus melanjutkan perjalan menerobos hutan belantara menyisir-nyisir tepi sungai akhirnya sampai ke Jambi sebuah negeri di ujung Timur. Di Negara yang masih asing baginya ini ia menemui rakyat yang telah memeluk agama Islam. Hatinya merasa tersentuh untuk mempelajari hal yang baru dilihatnya itu. Setelah ia mengetahui sedalam-dalamnya betapa pentingnya hidup beragama maka iapun segera memeluk agama Islam seperti juga yang telah dilakukan oleh orang sekelilingnya di Jambi. Setelah lama di negeri ini ia teringat kembali ke Danau Bento yang telah ditinggalkannya.
Dengan adanya kenangan itu membuatnya untuk secepatnya pula ingin mengembangkan agama baru itu ditempat yang telah ditinggalkannya dulu itu. Maka berangkatlah ia kembali ke Danau Bento yang dulunya dengan susah payah telah dibangunnya. Penduduknya yang telah terbiasa dengan kebiasaan adat yang dulu ia sendiri memperkenalkannya amat baik menurut pikirannya untuk juga diikat dalam ketentuan agama yang kini telah dipunyainya. Itulah yang menyebabkan kemudian orang mengenal ajaran Perpatih Nan Sebatang ini dengan suatu ungkapan. "Teriti Mudik dari Jambi, adat dibawa dari Pagaruyung. Atau adat bersendi syarak, syarak bersenid Kitabullah. Sedangkan pusaka tetap di Kerinci."
Perpatih telah berada kembali di ranah Kerinci. Segala rencananya akan dilaksanakannya di sana. Bulat air karena pembuluh, bulat oleh mufakat, maka segeralah dihimbau raja yang di hilir serta raja yang di hulu, untuk menentukan kaidah masyarakat tanah Kerinci. Persedia akan di Bukit Si Tinjau Laut, suatu tempat yang sengaja beliau pilih karena penduduknya belum tahu asin garam dan belum tahu pedas lada. Untuk menjamu undangan dibantai kerbau setengah dua, maksudnya yang sedang mengundang. Oleh Perpatih Nan Sebatang diumumkanlah segala tata kehidupan baru yang harus dianut penduduk, hidup yang harus beragama dan dikungkung adat istiadat serta harus dapat berhemat untuk memperoleh keselamatan di dunia, setiap keturunan harus mampu mewariskan harta pusaka bagi keturunan masing-masing.
Ketentuan-ketentuan yang digariskan Perpatih meliputi persyaratan bagi seseorang yang dikatakan pemimpin. Seorang pemimpin harus yang arif serta bijaksana. Kalau memanggang sampai hangus, kalau makan benar-benar habis. Putih katanya putih, hitam katanya hitam. Bijaksana dalam menenggang kaum wanita. Rantau jauh harus dijelang, rantau dekat diulangi. Kalau gagang besar berarti daunnya besar pula. Kalau seorang pemimpin berbuat salah maka ke atas tidak berpucuk ke bawah tidak berurat, ditengah di girik kumbang. Seorang pemimpin adalah seorang permanti yang tahu menyusun kendali pemerintahan, tahu adat serta lembaga. Elok tepian karena ramainya negeri. Ramai mesjid karena kebolehan permanti. Orang berkembang tikar, berkembang lapik menanti orang yang datang, melepas orang-orang yang pergi.
Bila orang biasa maka harus mencerminkan satu kesatuan dalam adat dan agama. Harus tahu halal dengan haram. Bila seseorang dikatakan cerdik pandai, ialah orang yang dapat dan mampu meluruskan yang serong. Pandai meluruskan kayu bengkok, terampil menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang keruh. Tempat pihak saudara perempuan untuk mengadu. Seseorang yang dikatakan tercela ialah orang yang bagaikan pohon kayu diseliputi kabut. Burung besar dua suaranya. Menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan.
Masa hidup selanjutnya orang tua Perpatih, yang kemudian biasa dipanggil orang. Siak Ingah, benar-benar dirasakan orang banyak, sebagai seorang pemimpin yang membawa keberuntungan bagi mereka seluruh negeri. Padi menjadi, tanaman tumbuh subur, ternak berkembang biak. Negeri menjadi ramai, banyak tawa riang gembira. Dalam suasana yang demikian Siak Ingah kemudian mendapati jodoh seorang wanita, yang beranak bercucu menurunkan keturunan-keturunan baru. Sampai akhirnya meninggalkan dunia, namanya abadi sepanjang masa.
Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |