Beraneka ragam permainan rakyat tersebar di seluruh pelosok tanah air, beraneka ragam pula bentuk dan caranya. Di antara permainan rakyat tersebut ada satu yang cukup menarik untuk kita kenal namanya Massempek.
Massempek adalah permainan rakyat yang berasal dari Sulawesi Selatan. Permainan ini dapat kita jumpai hampir di setiap kabupaten dan kotamadya yang berada di propinsi tersebut, namun dengan nama atau istilah yang berbeda-beda. Umpamanya di daerah Makassar permainan ini dikenal dengan nama a'sempak atau a'batte dengan kata dasar batte yang berarti adu atau laga, namun pada masyarakat Bugis di Kabupaten Bone permainan rakyat ini disebut dengan nama Massempek seperti judul tersebut di atas. Istilah Massempek di daerah ini berasal dari kata sempek yang berarti menendang/menyepak ditambah dengan awalan ma sehingga berarti melakukan tendangan/menyepak. Lain lagi di daerah Tana Toraja, mereka menyebut permainan ini dengan istilah Massemba, sedangkan orang-orang Mandar biasa menggunakan istilah Malanja.
Perbedaan nama atau istilah dalam permainan rakyat yang telah saya sebutkan tadi tidak menyebabkan cara bermainnya berbeda, sebab permainan ini semuanya memiliki kesamaan yaitu saling menyepak atau menendang ke arah badan lawan dengan menggunakan kaki. Dalam hal ini hanya kedua kaki yang boleh digunakan untuk berlaga, sedangkan kedua tangan tidak boleh digunakan untuk bermain.
Menurut cerita yang dikenal masyarakat secara turun temurun, dahulu keberadaan Massempek berawal dari keisengan kalangan keluarga bangsawan (raja-raja), sebab pada masa itu sarana olahraga maupun hiburan tidak seperti saat ini. Oleh karena itu, mereka mencari cara untuk mendapatkan kesenangan atau hiburan bagi keluarga di kalangan bangsawan. Apalagi jika ada pesta maupun upacara-upacara adat, seperti perkawinan, pelantikan raja maka keberadaan hiburan mutlak diperlukan. Akhirnya mereka membuat suatu atraksi hiburan tersendiri yang berkaitan dengan permainan adu ketangkasan yang kemudian mereka sebut dengan istilah Massempek.
Pada masa dahulu permainan rakyat Massempek yang dimaksudkan hanya untuk menghibur keluarga bangsawan (raja-raja) ini hanya dimainkan oleh golongan hamba sahaya yang berada di lingkungan istana raja saja. Seiring dengan berjalannya waktu, lama kelamaan permainan ini terus berkembang dan tidak hanya dilakukan di lingkungan keluarga bangsawan saja, namun juga oleh masyarakat umum, sehingga permainan ini pun dapat dimainkan oleh semua lapisan masyarakat di daerah itu.
Permainan rakyat Massempek ini dapat dilaksanakan setiap waktu, baik pagi, sore, bahkan pada malam hari terutama saat munculnya bulan purnama, sesuai dengan kesepakatan waktu yang telah disetujui oleh semua pihak.
Untuk menyelenggarakan permainan ini dibutuhkan suatu tempat yang agak luas agar permainan dapat berlangsung dengan lancar. Setelah tempat penyelenggaraan permainan diperoleh, pertama-tama dibuatlah suatu arena atau gelanggang dengan mempergunakan kapur bubuk sebagai garis arena dan juga pijakan kaki para pemain. Arena tersebut dapat dibentuk seperti lingkaran atau bujur sangkar. Maksud dibentuknya arena berbentuk lingkaran atau bujur sangkar ini agar terdapat pemisahan antara pemain dan penonton, pemain di dalam arena sedangkan penonton harus berada di luar arena.
Pemain yang akan berlaga di dalam arena terdiri dari dua orang laki-laki dewasa. Di antara dua orang yang akan berlaga tersebut ada seseorang yang bertindak sebagai penengah atau wasit yang disebut dengan istilah Pallape dalam bahasa Bugis. Pallape ini haruslah orang yang disegani agar para pemain dan penonton tidak melakukan tindakan yang merugikan kedua belah pihak. Pallape menyebutkan beberapa peraturan yang harus ditaati. Di antara beberapa peraturan itu disebutkan peraturan mengenai pakaian yang harus dikenakan dalam permainan yaitu kedua pemain hanya diperkenankan mengenakan baju dan celana pendek, serta sarung yang dililitkan dengan kencang di pinggangnya, kemudian bagian bawah sarung diselempangkan pada kunci paha dan diselipkan pada gulungan sarung di pinggang sedemikian rupa jangan sampai lepas. Peraturan lain menyebutkan bahwa dalam melakukan permainan tidak boleh menyentakkan kaki dan yang paling penting gerakan kaki hanya boleh mengenai bagian pusat ke atas, selain itu tidak boleh. Nilai yang tertinggi akan diperoleh apabila seorang pemain mampu mengarahkan tendangannya ke arah leher lawan.
Sebelum permainan dimulai Pallape mempersilakan pemain yang akan berlaga untuk memasuki arena permainan, namun pemain tersebut juga dapat memasuki arena tanpa dipersilakan terlebih dahulu, misalnya seorang pemain dengan kemauan sendiri masuk ke dalam arena dan langsung mengambil sikap mengembangkan kedua tangan sambil mengepak-ngepakkannya dan sekali-kali menepuk-nepukkan kedua pahanya sebagai tanda siap untuk berlaga diselingi dengan suara-suara bernada tantangan yang keluar dari mulutnya sendiri. Gerakan-gerakan ini selintas mirip dengan ayam jantan yang siap berlaga. Setelah itu biasanya ada seseorang yang berada di luar arena menjawab tantangan itu sambil menempelkan tangan melompat ke dalam arena. Pemain yang baru masuk itu tidak begitu saja dapat langsung bermain, karena Pallape akan mempertimbangkan apakah lawan yang masuk seimbang. Bila Pallape menilai seimbang permainan akan dilangsungkan, namun bila tidak akan dicari penantang yang lain.
Setelah diperoleh pasangan pemain yang seimbang, kedua Pallape berpegangan tangan dan di atas tangan kedua Pallape, kedua pemain berjabatan tangan. Kemudian Pallape memberikan aba-aba tanda permainan dapat dimulai. Para pemain melakukan gerakan seakan-akan melayang dengan manja, berlari-lari kecil, lalu melompat-lompat dan menepuk kedua pahanya. Kedua pemain mencoba mencari peluang untuk menyerang dan akhirnya mereka saling menyepak dan menangkis hingga Pallape mengatakan "ki" yang berarti babak pertama selesai.
Babak kedua dimulai dengan mengubah posisi pemain. Babak ini merupakan babak untuk menentukan siapa pemenangnya. Tapi kadang-kadang tidak sampai babak kedua ada seorang pemain yang tidak sanggup meneruskan permainan karena menghadapi lawan yang dianggapnya terlalu berat, maka pemain itu melompat mundur dan melakukan mappale, yaitu menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas sebagai tanda mengalah, dan Pallape menyatakan bahwa pemain itu kalah. Dengan berakhirnya babak kedua maka berakhir pulalah permainan rakyat Massempek ini.
Permainan Massempek ini termasuk permainan yang cukup menegangkan, sehingga para penonton yang berada di luar arena ramai memberikan dukungan dan sorak-sorai kepada para pemain yang sedang berlaga. Apalagi permainan ini biasanya berlangsung dalam beberapa partai.
Sampai saat ini permainan Massempek masih dapat kita jumpai di Sulawesi Selatan, namun hanya di daerah-daerah tertentu saja seperti di Tana Toraja, Bone dan Jeneponto dan hanya dimainkan pada acara-acara tertentu saja sekedar atraksi dalam suatu upacara, pesta-pesta besar untuk menghibur dan menghormati tamu yang datang ke daerah tersebut.
Memang permainan ini merupakan permainan yang memiliki resiko yang cukup besar, sehingga langkah selanjutnya dapat dikembangkan untuk membina fisik dan mental para remaja, karena sesungguhnya permainan ini mengandung nilai-nilai sportivitas yang tinggi.
Sumber: www.hupelita.com
Ismi Hadriati (Direktorat Tradisi dan Kepercayaan/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja