Sejak berabad-abad lalu, suku Bugis mengenal 2 metode dalam melestarikan kebudayaannya, yakni: tradisi tulis, catatan yang dikenal dengan lontara, dan tradisi lisan Massureq, yaitu membacakan lontara dengan cara melagu dan tidak menggunakan musik. Massureq adalah salah satu mahakarya yang sangat vital dalam penyebaran ajaran-ajaran orang Bugis dulu yang tercatat dalam naskah lontara.
Mulanya pertunjukan tradisi lisan massureq dijadikan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat daerah Wajo. Pelaksanaan kegiatan massureq sebenarnya tidak memerlukan usaha yang besar, karena untuk membacanya hanya memerlukan sureq itu sendiri, penyangga untuk alat bantu membaca, serta pakaian tradisional untuk mendukung nuansa tradisionalnya. Manakala ada acara massureq, orang beramai-ramai mengunjungi karena tertarik mendengar lagoq (nada, irama). Dalam kondisi seperti itu tradisi massureq berperan sebagai sarana jumpa sehingga momentum itu dapat digunakan untuk menggalang massa. Lewat massureq dapat memberikan informasi pembangunan, agama, dan nasihat-nasihat. Bagi pemuda dan pemudi mempunyai kesempatan untuk memperluas pergaulan. Lebih dari itu, dapat pula digunakannya sebagai langkah awal untuk memilih pasangan hidup.
Massureq adalah satu dari tiga kompenen inti yang sering digunakan dalam berbagai upacara suci dan sakral. Massureq bisa dijumpai saat, Mappano bine (upacara menidurkan benih padi), Maccera’ tasi’ (persembahan untuk laut), Menre’ bola (naik rumah baru), Mattemu taung (menziarahi kuburan leluhur), dan masih banyak lainnya. Upacara-upacara suci dan sakral tersebut selalu dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yakni: Bissu atau pendeta Bugis yang memiliki tugas memimpin upacara ritual, Sanro yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara serta Passureq, penembang lontara Bugis.
Berdasarkan literatur The Heroic Fall of Bone (1990), saat membacakan atau Massureq Lontara La Galigo, selalu akan diadakan sebuah ritual dan persembahan yang sakral, berupa: dupa serta pemotongan ayam atau kambing. Pada tahun tahun 1951–1965 saat gerakan Tentara Islam Indonesia atau DI/TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, praktik-praktik kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam saat itu dibumi-hanguskan. Peran para komponen penjaga Sureq La Galigo seperti Bissu, Sanro dan Passureq pun perlahan memudar karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Pada tahun 1960, Abdul Kahar Muzakkar (44 tahun) yang saat itu menjadi komandan gerakan DI/TII di Sulawesi, dinyatakan ditembak mati oleh pasukan TNI dalam operasi Tumpas di Lasolo. Kabar kematian komandan gerakan itu menyebar hingga mengakibatkan gerakan-gerakan Tentara Islam Indonesia perlahan hilang. Praktik-praktir ritual kebudayaan yang dulunya dianggap menyimpang dari syariat Islam berlahan kembali bermunculan.
Sumber: Buku Penetapan WBTB 2018
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.