Pakaian balahadada merupakan pakaian kebesaran yang dikenakan oleh kaum laki-laki buton baik bagi seorang bangsawan maupun bukan bangsawan. Pakaian dengan warna dasar hitam ini dijadikan sebagai perlambang keterbukaan pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan masyarakat demi pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan dengan jalan musyawarah untuk mufakat. Kelengkapan pakaian balahada terdiri atas destar, baju, celana, sarung, ikat pinggang, keris, dan bio ogena atau sarung besar yang dihiasi dengan pasamani diseluruh pinggirannya. Bukan hanya balahadada saja yang diketahui sebagai pakaian adat suku buton dan diketahui juga ada beberapa macam pakaian adat suku buton misalnya pakaian ajo bantea, ajo tandaki, pakeana syara, kambowa, kaboroko, dan kombo.
Pakaian balahadada merupakan pakaian kebesaran bagi seorang laki-laki suku buton baik bagi seorang bangsawan maupun bukan bangsawan. Hal ini disebabkan karena pada masa lampau pakaian ini merupakan pakaian para pejabat-pejabat kesultanan buton. Pakaian ini juga, pada masa masih jayanya masa pemerintahan kesultanan buton yang berakhir pada sultan ke 38 la ode muhammad falihi isa qaimuddin (oputa moko baadianai) hingga tahun 1963 adalah digunakan oleh pejabat dari golongan bangsawan (la ode) yang dilkengkapi dengan berbagai macam kelengkapan pakaian baik untuk jabatan lakina, bobato, bonto ogena, kapitalao, syahabandara, dan jabatan-jabatan lain yang khusus dijabat oleh golongan bangsawan.
Pakaian balahadada dapat diartikan sebagai pakaian belah dada. Dikatakan demikian karena pakaian tersebut tidak memiliki kancing sehingga sipemakai dapat terlihat dadanya. Pakaian ini baik dari kepala sampai pada kaki terdiri dari :
(1) Destar
Dalam bahasa wolio (buton) destar dikenal dengan nama kampurui. Kampurui terdiri dari beberapa jenis antara lain kampurui bewe patawala, kampurui bewe palangi, kampurui tumpa dan kampurui bewe poporoki berdasarkan bentuk dan warnanya. Keempat kampurui ini pada bahagian sekelilingnya dijahitkan benang emas atau perak yang disebut ”Jai” Atau ”Pasamani”.
(2) Baju
Baju yang digunakan adalah baju balahadada yang bahan dasarnya sesuai dengan aslinya terbuat dari beludru berwarna hitam. Sekujur bagian baju dipenuhi dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari emas atau perak. Hiasannya merupakan bundaran-bundaran kecil yang bertaburan secara teratur dan dinamakan sebagai buka-buka. Pada pinggiran baju terdapat hiasan pasamani. Pada leher baju hiasan pasamani lebih besar dan mencolok dan ditempelkan ake yang terbuat dari emas atau perak. Pada masing-masing belahan belahan dada baju dilekatkan sebuah ake besar yang berpangkal dari bawah leher baju langsung turun sampai perut baju. Di atas ake baik yang ada pada leher maupun belahan dada, disebelah kanan masing-masing dilekatkan enam sampai tujuh buah kancing kerucut segi lima pada ujung kengan baju yang hanya berfungsi sebagai hiasan.
(3) Celana
Celana yang digunakan disebut dengan sala arabu atau dapat diartikan sebagai celana panjang arab. Warna dan motif yang terdapat pada celana sala arabu ini sama dengan motif yang ada pada baju balahadada. Pada bagian kaki celana terdapat belahan sedikit, pada pinggir belahan ini dilekatkan pula masing-masing tujuah buah kancing.
(4) Sarung
Disamping memakai celana, pakaian balahadada juga dilengkapi oleh sarung samasili kumbaea, yaitu berdasar warna hitam serta motif kotak-kotak putih. Benang putih yang dijadikan kotak-kotak tersebut adalah benang perak yang dalam bahasa buton disebut sebagai kumbaea.
(5) Ikat Pinggang
Ikat pinggang dalam bahasa buton disebut sebagai sulepe. Ikat pinggang yang digunakan dalam pakaian balahadada terbuat dari kain warna hitam dengan kepala ikat pinggang terbuat dari emas atau perak. Bentuk kepala ikat pinggang lonjong telur atau empat persegi panjang dengan ukiran kalimat tauhid dan motif bunga-bunga dengan nama bunga rongo pada sekeliling pinggirnya. Ikat pinggang ini dikenakan pada bagian atas baju dengan sebelumnya pada bagian bawah baju dilekatkan sarung.
(6) Keris
Keris dalam bahasa buton disebut sebagai tobo (baca: Tobho) atau puu salaka atau puu taga bergantung dari asal bahan hulu keris.
(7) Bia Ogena
Bia ogena berarti sarung besar. Tetapi bukan bentuknya yang besar tetapi lebih merupakan sebagai sarung kebesaran yang hanya digunakan oleh pejabat atau anak keturunan bangsawan (la ode). Bentuk bia ogena lebih cenderung menyerupai selendang yang terbuat dari kain sutera berwarna polos dan tidak berjahit. Pemakaiannya dililitkan pada pinggang sedang kedua bagian ujungnya terselip pada hulu keris. Bia ogena dihiasi pula oleh pasamani diseluruh pinggirannya.
Makna:
“destar atau kampurui dalam bahasa buton berarti ikat kepala. Yang mengandung makna kebesaran. Kampurui bagi seorang pejabat kesultanan buton sangatlah penting. Ini dikaitkan dengan kebijakan atau keputusan yang diambil berhubungan dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang ditandai dengan adanya tundu pada bahagian tengah lilitan kampurui yang bermakana sebagai penjelmaan dari matahari yang berarti memberikan pencerahan.
Balahadada adalah baju yang tidak memiliki kancing yang mengandung arti sebagai perlambangan keterbukaan sikap pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu khususnya urusan masyarakat demi pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan dengan jalan musyawarah untuk mufakat. Baju balahadada memiliki dasar warna hitam yang mengandung arti kebenaran yang tak dapat diubah-ubah, warna putih yang ditampilkan pada hiasan-hiasannya mengandung kesucian.
Bia ogena pada baju balahadada bermakna kebesaran dan keagungan. Tetapi dibalut oleh ikat pinggang (sulepe) bertuliskan kalimat tauhid sebagai perlambangan dari pengukuhan atau pengikat hukum agama dan adat yang harus ditaati oleh orang buton. Keris yang diselipkan pada bahagian pinggang memiliki makna sebagai perlambangan keberanian yang dibalut dengan sikap lembut dan bijaksana . Akhirnya celana sala arabu memiliki makna filosofis yang sama dengan baju balahadada”.
Balahadada adalah baju dengan dasar warna hitam yang memiliki makna sebagai perlambangan keterbukaan sikap seorang pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu khususnya urusan masyarakat demi pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan dengan jalan musyawarah untuk mufakat.
“kampurui melambangkan kebesaran, kebaikan, kebijakan, kebenaran, ketepatan, kelembutan (fleksibilitas dalam hal tertentu) yang dipancarkan oleh seorang sultan atau stafnya dalam menangani urusan pemerintahan dan untuk kemaslahatan/kesejahteraan masyarakat buton pada masa lampau. Ini dapat dilihat dari bentuk kampurui yang diikat sedemikian rupa sehinga tampak seperti memancarkan cahaya.
Baju balahadada warna aslinya hitam kalau ada warna lain pada baju balahadada maka hanya untuk memberikan variasi warna dan sama sekali tidak mengurangi makna yang terdapat di dalamnya.
Balahadada ini terdiri dari satu pasang (baju dan celana) dengan warna dan motif yang sama pula. Belahan baju menandakan sikap keterbukaan pemakainya dalam bermusyawarah untuk mencapai mufakat dengan dasar hukum adat maupun agama demi kepentingan bersama.
Keris adalah lambang kejantanan tetapi digunakan secara bijak dan sesuai fungsinya (waktu dan tempat) jika tidak maka keris lebih bermakna sebagai kelembutan sikap pemakainya dimana hal ini sesuai dengan yang terdapat pada hulu keris. Sulepe sebagai pengikat, atau pengukuh aturan-aturan adat artinya bahwa orang yang memakainya harus dikukuhkan dengan ajaran maupun aturan agama islam”.
Kampurui yang digunakan sebagai penutup kepala/ikat kepala bagi masyarakat buton mengandung lambang kebesaran. Dimana kepala adalah bagian teratas dari badan manusia yang dipandang sebagai penjelmaan dari lapisan langit yang dipancarkan keseluruh alam jagad raya. Kiranya kampurui ini dapat disamakan dengan nimbus, prabha, aureul seperti yang terdapat pada lukisan-lukisan orang suci atau lukisan-lukisan pada patung dengan lingkaran cahaya di bagian kepala.
Baju balahadada dari warnanya yang hitam mengandung arti ketegasan sikap dalam setiap pengambilan keputusan, sedang sarung bia ogena dan keris adalah perlambangan sikap kebesaran dan keagungan serta keberanian pemakainya tetapi tetap pada ikatan aturan-aturan adat yang berpangkal pada ajaran agama islam sehingga digunakan secara bijaksana. Sedang motif dan berbagai hiasan lainnya lebih merupakan penambah keindahan dari tampilan pakaian tersebut.
Kesimpulan makna yang terdapat pada pakaian balahadada ini adalah terlepas dari status kebangsawan masyarakat buton baik golongan kaomu (la ode / (wa ode) maupun golongan walaka (pejabat penyelenggara adat dan masyarakat buton secara umum) karena kenyataan pada saat ini bahwa semua unsur-unsur tradisional (adat, pakaian dan lainnya) sudah digunakan secara keseluruhan oleh masyarakat. Hanya saja dalam pemakaiannya tentu saja masih terdapat perbedaan-perbedaan antara golongan bangsawan maupun bukan bangsawan khususnya pada kelengkapan-kelengkapan pakaian. Karena sampai saat ini masyarakat buton baik yang berada di daerah maupun di luar daerah masih memegang teguh sistem peradatannya.
Sumber:
1] Http://tradisi-tradisional.blogspot.co.id/2015/09/kebudayaan-suku-buton.html
2] Https://fitinline.com/article/read/7-ragam-pakaian-adat-buton/
3] Http://wolio-molagi.blogspot.co.id/2012/11/makna-pakaian-adat-tradisional-buton.html
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja