Tarian Pakarena merupakan tarian tradisional dari Sulawesi Selatan yang sangat populer. Tarian ini dipentaskan oleh 4 orang penari wanita dengan kostum berupa baju khas Sulawesi, baju bodo, sarung khas Makassar, Mahkota , dan gelang di lengan. Tarian ini pun disertai dengan property utama berupa kipas, dan dipentaskan dalam jangka waktu yang cukup lama (sekitar 2 jam). Setiap tarian memiliki makna masing masing, begitu pula tarian Pakarena. Masyarakat daerah Sulawesi Selatan pun juga mengerti makna filosofis dibalik gerakan tersebut. Tarian Pakarena terdiri dari berbagai macam jenis (sekitar 12 macam dan tidak akan dipaparkan disini karena bukan focus dari artikel ini), dan setiap jenis memiliki makna tersendiri yang unik.
Gerakan dari tarian pakarena sangat artistik dan sarat makna, halus bahkan sangat sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam, menunjukkan siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Interpretasi masyarakat secara umum terkait dengan gerakan ini memiliki hubungan dengan sebuah mitos yang dinamakan mitos Tumanurung. Tumanurung terdiri dari dua kata “Tu” dan “Manurung”. Secara bahasa, kata “Tu” berarti orang dan “Manurung” berasal dari “Ma” dan “Turung” yang berarti yang turun (dari atas). Jadi, jika kita ubah ke bahasa kita, kata tersebut memiliki makna “orang yang turun dari langit”. Sekarang kita akan masuk ke focus dari artikel ini.
Alur cerita dari mitos Tumanurung ini adalah seperti berikut. Pada suatu saat, yaitu masa kerajaan Gantarang, keadaan masyarakat di saat itu bisa dikatakan berada dalam kekacauan. Pada saat itu, masyarakat sedang dilanda kelaparan, karena tanaman merka tidak mau tumbuh, juga ternak banyak yang mati, dan negeri pada kekeringan. Karena keadaan yang demikian, maka sang dewa menurunkan suatu sosok yang tak dikenal namanya. Sosok inilah yang dipanggil masyarakat sebagai Tumanurung. Sosok ini mengajarkan kepada masyarakat, jalan jalan kehidupan yang harus mereka lalui jika mereka ingin sejahtera. Pada akhirnya, masyarakat pun menjalankan ajaran sang Tumanurung dan kehidupan mereka pun menjadi penuh nikmat. Perlu dikatakan juga bahwa ada beberapa versi terkait mitos ini. Salah satunya adalah yang telah terpaparkan. Ada versi dimana sang Tumanurung memohon kepada sang dewa agar masyarakat tersebut diberi kesejahteraan. Ada juga dimana sang Tumanurung menggunakan seluruh kekuatannya untuk mensejahterakan masyarakat tersebut seorang diri.
Meski demikian, saya mohon jangan membingungkan diri anda dalam hal tersebut. Intinya adalah, saat sosok Tumanurung ini datang, sosok ini berhasil menyejahterakan masyarakat disana.
Berdasarkan kerabat saya, beberapa orang menginterpretasikan gerakan tersebut sebagai rasa terimakasih yang dipersembahkan oleh masyarakat kepada sang Tumanurung atas jasanya yang mulia. Ada juga yang menginterpretasikan gerakan gerakan itu merupakan sebuah symbol jalan kehidupan yang diajarkan oleh sang Tumanurung.
Di sisi lain, para sejarahwan menginterpretasikan mitos Tumanurung ini sebagai sebuah solusi. Pada saat itu, keadaan masyarakat adalah kacau. Mereka berkelahi untuk mendapatkan kekuasaan. Maka, agar hal itu berhenti, maka dikeluarkanlah mitos tersebut. Jadi tidak salah jika mitos tersebut dianggap seperti sebuah nubuat, demi kelangsungan hidup masyarakat yang harmonis. Interpretasi lain mengatakan juga bahwa mitos ini dikeluarkan sebagai suatu legitimasi agar pemerintahan sang raja waktu itu yang bernama Tumanurung bisa terus berlangsung, agar masyarakat juga sepakat untuk menjadikan keturunannya raja juga di daerah tersebut, dikarenakan, meski pemerintahaannya kerajaan, musyawarah mufakat juga ada di saat itu namun hanya oleh sekelompok orang tertentu. Sehingga mitos ini dijadikan untuk meyakinkan masyarakat.
Berbagai macam interpretasi ini mungkin dapat membuat kepala anda pusing (karena saya sendiri juga), namun coba kita ambil sisi baiknya. Pada zaman tersebut, pada masa peradaban kuno, Mitos adalah cara manusia menjawab kejadian kejadian yang terjadi di sekitar mereka. Wajar saja, kita tidak mengetahui apa apa waktu itu, sehingga kita mengimajinasikan suatu sosok berkekuatan lebih yang mengendalikan kejadian itu. Sebab itulah kita dihadapkan dengan berbagai macam dewa dari masa lalu. Kedengarannya lucu, namun, tentunya salah bagi kita untuk mentertawakan mereka akan hal tersebut karena terkadang pemikiran seperti itulah yang dapat menghasilkan sesuatu yang indah dipandang berupa tidak hanya gerakan tarian namun juga, makanan, seni rupa, dan bahkan arsitektur yang tentunya dapat kita nikmati sebagai salah satu budaya yang tiada duanya di negeri kita, dan bahkan di dunia. Hal itu pantas menerima appresiasi yang besar.
#OSKMITB2018
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja