Konon kisahnya, putera Mahkota Raja Bima ingin melakukan petualangan. Diawali dari arah barat, menuju ke arah selatan dan berakhir di arah utara. Namun ia belum berhenti sampai di situ. Sekembalinya di istana, ia memohon restu kepada ayahandanya.
“ Anakda ingin berpetualangan lagi.” Katanya “ Berikanlah restu kepada anakda untuk yang terakhir kali.”
“ Aku restui permintaanmu anakda, tetapi kamu harus berhati-hati dan bawalah bekal serta pengawal yang agak banyak.”
“ Terima kasih ayahanda. Segala titah akan anakda laksanakan.”
“ Ke arah mana lagi yang ingin kau telusuri?” Sang Raja ingin tahu.
“ Ke arah timur ayahanda. Saya ingin melihat matahari terbit, setelah di barat saya sudah melihat matahari terbenam.” Jawabnya sambil berpamitan pada ayahandanya.
Pada suatu pagi yang cerah, rombongan putera Mahkota mulai melakukan petualangan. Rombongan itu kelihatannya lebih banyak dari sebelumnya. Pengawal dan dayang-dayang yang mengikutinya cukup banyak. Bekal yang mereka bawapun cukup banyak. Namun jalan yang akan mereka tempuh sepertinya sangat sulit. Banyak bukit-bukit terjal yang harus mereka lewati. Sungai-sungai yang besar harus mereka lewati. Belum lagi ancaman binatang buas di malam harinya.
Sebelum menuju ke arah timur, mereka terlebih dahulu melintas ke arah tenggara. Di sana banyak gunung-gunung yang tinggi menjulang yang harus didaki. Karena sang Putera Mahkota sangat penasaran ingin melihat matahari terbit. Setelah sekian lama mereka mendaki, tibalah mereka di sebuah puncak. Puncak gunung itu bernama puncak La Mbitu. Sebuah gugusan pegunungan yang tertinggi yang bearda di sebelah tenggara tanah Bima.
Di puncak gunung itu mereka bermalam sambil menunggu matahari terbit. Karena lapar dan haus, maka seluruh perbekalan mereka habiskan di tempat itu juga.
“ Ampun yang mulia, Seluruh perbekalan sudah tidak ada.” Salah seorang pengawal datang melapor.
“ Biarlah. Nanti kita akan dapatkan bahan makanan di tengah jalan.” Sang Putera Mahkota menjawab enteng.
Seakan masalah makanan dan minuman tidak menjadi beban baginya. Lalu pengawal itu pun kembali ke tempatnya.
Ketika sinar keputih putihan bergulir di langit timur, Sang Putera Mahkota bersama seluruh pengawal dan dayang terbangun. Mereka mengamati gejala alam yang terjadi dari waktu ke waktu. Tak lama kemudian merahlah laut. Dan muncullah mata hari seperti sebuah bola besar yang menggelinding. Semakin lama semakin meninggi. Tak lama kemudian berubah cerah diiringi kicau burung yang semakin riang.
Setelah melihat matahari terbit, rombongan itu turun dari puncak La Mbitu. Mereka meluncur ke arah utara. Mereka terus berjalan menuruni bukit dan lembah yang terjal.Banyak sekali binatang buas yang lalu lalang di hadapan mereka. Namun binatang-binatang itu tidak mengganggu perjalanan mereka berkat kesaktian yang dimiliki oleh Sang Putera Mahkota.
Menjelang sore hari rombongan itu tiba di sebuah tempat yang agak landai. Tempat itu dikelilingi oleh pepohonan yang besar dan berbagai jenis buah-buahan. Suasana sejuk dan nyaman tampak terasa di tempat itu. Sang Putera Mahkota memerintahkan seluruh rombongan untuk beristirahat.
Namun sebuah persoalan menghadang. Mereka dilanda kelaparan dan kehausan yang hebat. Seluruh rombongan lemas tak bertenaga. Mereka tergeletak di akar-akar pepohonan yang lebat. Sang Putera Mahkota mulai kebingungan. Dengan sisa tenaga yang ada ia mulai bangkit. Lalu ia memetik buah-buahan dan pucuk dedaunan di sekitar tempat itu. Ia membagikan kepada seluruh rombongan. Mereka makan dengan lahap. Namun rasa haus yang belum dapat terobati.
“ Ampun baginda, setetes air akan sangat berharga bagi kerongkongan kami.’ Salah seorang pengawal berkata pasrah.
“ Tenang ! Tenang !. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.” Demikian Sang Putera Mahkota meyakinkan.
“ Bagaimana caranya Baginda ?” Salah seorang pengawal ingin tahu.
“ Ambilkan Wobo itu( Wobo adalah sejenis tongkat atau cambuk yang digunakan untuk memukul Kuda atau binatang lainnya).” Sang Putera Mahkota menyuruh salah seorang pengawal untuk mengambilnya.
Tak lama kemudian Sang Putera Mahkota memukulkan Wobo itu ke arah bebatuan dan akar pepohonan di sekitar tempat itu. Lalu keluarlah air yang segar dan jernih.
“ Minumlah air ini sepuas hati kalian.” Sang Putera Mahkota memerintahkan.
Lalu seluruh rombongan meminum air itu termasuk Putera Mahkota. Sejak saat itu Putera Mahkota bersama rombongan tidak beranjak dari tempat itu. Seiring waktu berlalu mereka mendirikan perkampungan di sekitar tempat itu. Dan jadilah perkampungan yang besar yang bernama Wawo yang berarti di atas. Dan mata air yang keluar itu diberi nama dengan OI WOBO. Kini tempat itu menjadi tempat rekreasi yang sangat menarik. Dan banyak dikunjungi oleh wisatawan terutama yang menyenangi udara pegunungan.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja