Nenek Pakande adalah seorang nenek siluman yang sering menjadi momok bagi masyarakat Bugis di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Nenek siluman itu adalah manusia kanibal yang sakti mandraguna. Ia sangat suka makan daging manusia, terutama daging anak-anak. Itulah sebabnya, masyarakat setempat memanggilnya Nenek Pakande. Dalam bahasa Bugis, kata pakande berasal dari kata pakkanre-kanre tau yang berarti suka makan daging manusia. Suatu ketika, seorang pemuda yang cerdik bernama La Beddu berupaya untuk mengusir Nenek Pakande karena kelakuannya telah meresahkan seluruh warga. Mampukah La Beddu mengusir Nenek Pakande dari negeri itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Nenek Pakande berikut ini!
* * *
Alkisah, di daerah Sulawesi Selatan ada sebuah negeri yang bernama Soppeng. Penduduk negeri itu senantiasa hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Setiap hari mereka bekerja di sawah dengan hati tenang dan damai.
Pada suatu ketika, suasana tenang dan damai tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan sesosok siluman bernama Nenek Pakande. Ia datang ke negeri itu mencari mangsa untuk dijadikan santapannya. Nenek siluman itu sangat suka menyantap daging anak-anak. Oleh sebab itu, anak-anak selalu menjadi incarannya. Biasanya, Nenek Pakande mulai berkeliaran mencari mangsa ketika hari mulai gelap.
Pada suatu sore, di saat hari mulai gelap, Nenek Pakande melihat seorang anak kecil sedang asyik bermain di halaman rumahnya. Anak itu termasuk anak bandel. Sudah berkali-kali dinasehati oleh orang tuanya agar segera masuk ke dalam, namun ia tetap saja asyik bermain seorang diri. Ketika suasana di sekitarnya lengah, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nenek Pakande. Ia segera menangkap anak itu lalu membawanya pergi.
Beberapa saat kemudian, sang ibu kebingungan mencari anaknya. Ia sudah mencari di sekitar rumah namun tidak juga menemukannya.
“Tolooong... tolooong.... anakku hilang!” teriak ibu itu panik.
Mendengar suara teriakan itu, para tetangga serentak berhamburan keluar rumah dan mengerumuni ibu itu.
“Apa yang terjadi dengan anak Ibu?” tanya salah seorang warga.
“Anakku..., anakku..., anakku hilang,” jawab ibu itu dengan sedih.
“Hilang ke mana anak Ibu?” tanya lagi warga itu.
“Entahlah, Pak!” jawab ibu itu dengan bingung, “Dia tiba-tiba saja hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tadi, aku meninggalkannya sebentar ke dalam rumah saat dia sedang asyik bermain sendiri di halaman rumah. Ketika aku kembali untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah, dia sudah tidak ada,” jelasnya.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, para warga beramai-ramai mencari anak itu. Mereka sudah mencari hingga ke mana-mana, namun belum juga menemukannya. Karena malam sudah larut, akhirnya para warga menghentikan pencarian. Pada keesokan harinya, saat matahari mulai tampak di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan pencarian, namun hasilnya tetap nihil.
Pada malam berikutnya, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini, seorang bayi yang menjadi korban. Bayi itu hilang di saat kedua orang tuanya sedang tertidur lelap. Kedua peristiwa tersebut benar-benar membuat resah seluruh warga. Para orang tua tidak dapat tidur pada malam hari karena harus menjaga anak-anak mereka.
Melihat keadaan tersebut, para dukun di Negeri Soppeng segera mencari tahu siapa penculik yang misterius itu. Dengan ilmu yang dimiliki, akhirnya mereka berhasil mengetahuinya. Berita tersebut kemudian mereka sampaikan kepada seluruh warga bahwa pelaku penculikan itu adalah Nenek Pakande. Betapa terkejutnya seluruh warga mendengar kabar tersebut karena mereka sangat mengenal watak atau perilaku Nenek Pakande.
“Hai, bukankah Nenek Pakande itu seorang siluman yang sakti mandraguna?” tanya seorang warga.
“Ya, benar. Dia sangat sakti dan tak seorang pun manusia biasa yang mampu mengalahkannya. Dia hanya takut kepada sesosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Namun, raksasa itu sudah tidak pernah lagi terdengar kabar keberadaannya,” jelas salah seorang dukun.
“Lantas, apa yang dapat kita lakukan?” tanya pula seorang warga lainnya dengan bingung.
Tak seorang pun warga yang menjawab. Mereka kebingungan menghadapi masalah itu. Di tengah-tengah kebingungan tersebut, seorang pemuda yang duduk paling belakang tiba-tiba angkat bicara. Pemuda itu bernama La Beddu. Ia pemuda yang cerdik.
“Maaf, para hadirin! Perkenankanlah saya untuk menyampaikan sesuatu. Saya mempunyai sebuah cara untuk membinasakan Nenek Pakande,” kata pemuda itu.
Sejenak, suasana pertemuan itu menjadi hening. Semua pandangan tertuju kepada pemuda itu. Sebagian dari warga memandangnya dengan penuh harapan. Namun, tak sedikit dari mereka yang memandangnya dengan pandangan yang merendahkan.
“Hai, La Beddu. Bagaimana caramu bisa mengalahkan Nenek Pakande? Bukankah dia sangat sakti, sementara kamu sendiri hanya pemuda biasa yang tidak mempunyai kesaktian sama sekali?” tanya salah seorang warga.
La Beddu hanya tersenyum, lalu menjawab pertanyaan itu dengan tenang.
“Tidak selamanya kesaktian itu harus dilawan dengan kesaktian pula,” kata La Beddu.
Semua warga tercengang. Setelah itu, La Beddu menjelaskan bahwa satu-satu cara untuk mengalahkan Nenek Pakande adalah kecerdikan.
“Begini, saudara-saudara,” lanjutnya, “Kita semua sudah tahu bahwa Nenek Pakande hanya takut kepada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Oleh karena itu, saya akan mengelabui Nenek Pakande dengan berpura-pura menjadi seperti raksasa itu,” jelas La Beddu.
Mendengar penjelasan itu, para warga semakin bingung. Apalagi ketika La Beddu meminta kepada warga untuk menyiapkan masing-masing satu buah salaga (garu), satu ember busa sabun, satu ekor kura-kura dan belut, satu lembar kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar.
“Untuk apa salaga itu La Beddu? Bukankah sekarang belum musim tanam?” tanya seorang warga dengan bingung.
“Sudahlah, Pak. Bapak tidak usah terlalu banyak tanya. Kita lihat saja nanti hasilnya. Yang penting sekarang adalah mencari semua benda dan binatang yang saya sebutkan tadi lalu mengumpulkannya di rumah saya. Nantilah saya jelaskan semuanya,” ujar La Beddu.
Tanpa banyak tanya lagi, para warga segera melaksanakan permintaan La Beddu. Ada yang pergi mencari belut di sawah, ada pula yang mencari kura-kura di sungai. Sebagian yang lain sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember, sebuah batu besar, serta kulit rebung. Setelah memperoleh segala yang diperlukan, para warga segera membawanya ke rumah La Beddu.
“Hai, La Beddu! Jelaskanlah kepada kami mengenai maksud dan tujuan dari semua benda dan binatang ini!” desak pemuka masyarakat.
La Beddu pun kemudian menjelaskan bahwa salaga yang bentuknya menyerupai sisir, busa sabun yang menyerupai air ludah, dan kura-kura yang menyerupai kutu manusia itu akan digunakan untuk mengelabui Nenek Pakande. Dengan menunjukkan benda-benda tersebut, Nenek Pakande akan mengira itu semua adalah milik Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Sementara itu, kulit rebung yang bentuknya mirip terompet itu akan digunakan untuk menggelegarkan suaranya sehingga menyerupai suara raksasa itu. Adapun belut dan batu besar tersebut masing-masing akan diletakkan di depan pintu dan di depan tangga.
Setelah itu, La Beddu bersama para warga segera menyusun siasat. Dua orang warga ditunjuk yang masing-masing akan bertugas meletakkan belut di depan pintu dan batu besar di depan tangga.
Ketika hari mulai gelap, La Beddu segera naik ke atas loteng Sao Raja[1] untuk bersembunyi sambil membawa salaga, busa sabun, kura-kura, dan kulit rebung. Sementara itu, kedua warga yang telah diberi tugas bersembunyi di bawah kolong Sao Raja. Setelah semuanya siap, para warga mulai menjebak Nenek Pakande dengan cara mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat tanpa penerangan sedikit pun. Kecuali Sao Raja, pintunya dibuka lebar dan di dalamnya dinyalakan sebuah pelita. Selain itu, seorang bayi juga diletakkan di dalam kamar sebagai umpan untuk menjebak Nenek Pakande agar masuk ke dalam Sao Raja tersebut.
Tak berapa lama kemudian, Nenek Pakande pun mendatangi Sao Raja tersebut. Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun, ia melangkah perlahan-lahan menaiki anak tangga Sao Raja satu per satu. Saat berada di depan pintu, indra penciumannya langsung merasakan bau bayi yang sangat menyengat. Nenek siluman itu pun langsung masuk ke dalam Sao Raja. Pada saat itulah, kedua warga yang bersembunyi di bawah kolong Sao Raja segera melaksanakan tugas mereka lalu kembali ke tempat persembunyianya tanpa sepengetahuan Nenek Pakande.
Ketika Nenek Pakande hendak mendekati bayi yang ada di dalam kamar, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara keras yang menegurnya.
“Hai, Nenek Pakande! Mau apa kamu datang kemari, ha?”
Suara itu tidak lain adalah suara La Beddu yang menggunakan kulit rebung di atas loteng. Namun, Nenek Pakande tidak mengetahui hal itu.
“Suara siapa itu?” tanya Nenek Pakande dengan terkejut.
“Aku adalah raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Ha... ha... ha... !” jawab suara itu seraya tertawa terbahak-bahak.
Mendengar jawaban itu, Nenek Pakande mulai ketakutan. Namun, ia belum yakin jika itu adalah suara raksasa tersebut.
“Apa buktinya jika engkau adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale?”
La Beddu yang berada di atas loteng segera menumpahkan busa sabun dari embernya tepat di depan Nenek Pakande. Alangkah terkejutnya perempuan siluman itu karena mengira busa sabun tersebut adalah air ludah raksasa itu.
“Bagaimana, Nenek Pakande? Apakah kamu masih meragukan diriku?” tanya suara itu.
“Bukti apa lagi bukti yang bisa kamu tunjukkan padaku?” Nenek Pakande balik bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, La Beddu segera menjatuhkan salaga dan kura-kuranya secara beruntun. Melihat kedua benda tersebut, Nenek Pakande langsung lari tunggang langgang karena ketakutan. Ia mengira kedua benda tersebut adalah sisir dan kutu milik raksasa itu. Begitu ia melewati pintu Sao Raja, kakinya menginjak belut yang diletakkan di tempat itu hingga terpeleset dan akhirnya terjatuh berguling-guling di tangga. Saat sampai di tanah, kepalanya terbentur pada batu besar yang sudah disiapkan di depan tangga.
Meskipun terluka parah, Nenek Pakande masih mampu berdiri dan melarikan diri entah ke mana. Namun, sebelum meninggalkan negeri itu, ia sempat berpesan kepada seluruh warga bahwa kelak ia akan kembali untuk memangsa anak-anak mereka. Oleh sebab itulah, hingga kini, masyarakat Soppeng sering menggunakan cerita ini untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak berkeliaran di luar di rumah ketika hari sudah gelap.
* * *
Demikian cerita Nenek Pakande dari daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan menggunakan akal sehat. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku La Beddu. Berkat kecerdikannya, ia dengan dibantu oleh para warga berhasil mengusir Nenek Pakande dari Negeri Soppeng. Sifat cerdik pandai ini digambarkan dalam pepatah Bugis berikut ini:
“Naia riyasennge’ pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adae’....”
Artinya: Cerdik pandai (pannawanawa) adalah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari cara sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi.
Sumber : http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/231-Nenek-Pakande
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...