Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Sulawesi Barat Soppeng
Nenek Pakande
- 17 Maret 2018

Nenek Pakande adalah seorang nenek siluman yang sering menjadi momok bagi masyarakat Bugis di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Nenek siluman itu adalah manusia kanibal yang sakti mandraguna. Ia sangat suka makan daging manusia, terutama daging anak-anak. Itulah sebabnya, masyarakat setempat memanggilnya Nenek Pakande. Dalam bahasa Bugis, kata pakande berasal dari kata pakkanre-kanre tau yang berarti suka makan daging manusia. Suatu ketika, seorang pemuda yang cerdik bernama La Beddu berupaya untuk mengusir Nenek Pakande karena kelakuannya telah meresahkan seluruh warga. Mampukah La Beddu mengusir Nenek Pakande dari negeri itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Nenek Pakande berikut ini!

* * *

Alkisah, di daerah Sulawesi Selatan ada sebuah negeri yang bernama Soppeng. Penduduk negeri itu senantiasa hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Setiap hari mereka bekerja di sawah dengan hati tenang dan damai.

Pada suatu ketika, suasana tenang dan damai tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan sesosok siluman bernama Nenek Pakande. Ia datang ke negeri itu mencari mangsa untuk dijadikan santapannya. Nenek siluman itu sangat suka menyantap daging anak-anak. Oleh sebab itu, anak-anak selalu menjadi incarannya. Biasanya, Nenek Pakande mulai berkeliaran mencari mangsa ketika hari mulai gelap.

Pada suatu sore, di saat hari mulai gelap, Nenek Pakande melihat seorang anak kecil sedang asyik bermain di halaman rumahnya. Anak itu termasuk anak bandel. Sudah berkali-kali dinasehati oleh orang tuanya agar segera masuk ke dalam, namun ia tetap saja asyik bermain seorang diri. Ketika suasana di sekitarnya lengah, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nenek Pakande. Ia segera menangkap anak itu lalu membawanya pergi.

Beberapa saat kemudian, sang ibu kebingungan mencari anaknya. Ia sudah mencari di sekitar rumah namun tidak juga menemukannya.

“Tolooong... tolooong.... anakku hilang!” teriak ibu itu panik.

Mendengar suara teriakan itu, para tetangga serentak berhamburan keluar rumah dan mengerumuni ibu itu.

“Apa yang terjadi dengan anak Ibu?” tanya salah seorang warga.

“Anakku..., anakku..., anakku hilang,” jawab ibu itu dengan sedih.

“Hilang ke mana anak Ibu?” tanya lagi warga itu.

“Entahlah, Pak!” jawab ibu itu dengan bingung, “Dia tiba-tiba saja hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tadi, aku meninggalkannya sebentar ke dalam rumah saat dia sedang asyik bermain sendiri di halaman rumah. Ketika aku kembali untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah, dia sudah tidak ada,” jelasnya.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, para warga beramai-ramai mencari anak itu. Mereka sudah mencari hingga ke mana-mana, namun belum juga menemukannya. Karena malam sudah larut, akhirnya para warga menghentikan pencarian. Pada keesokan harinya, saat matahari mulai tampak di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan pencarian, namun hasilnya tetap nihil.

Pada malam berikutnya, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini, seorang bayi yang menjadi korban. Bayi itu hilang di saat kedua orang tuanya sedang tertidur lelap. Kedua peristiwa tersebut benar-benar membuat resah seluruh warga. Para orang tua tidak dapat tidur pada malam hari karena harus menjaga anak-anak mereka.

Melihat keadaan tersebut, para dukun di Negeri Soppeng segera mencari tahu siapa penculik yang misterius itu. Dengan ilmu yang dimiliki, akhirnya mereka berhasil mengetahuinya. Berita tersebut kemudian mereka sampaikan kepada seluruh warga bahwa pelaku penculikan itu adalah Nenek Pakande. Betapa terkejutnya seluruh warga mendengar kabar tersebut karena mereka sangat mengenal watak atau perilaku Nenek Pakande.

“Hai, bukankah Nenek Pakande itu seorang siluman yang sakti mandraguna?” tanya seorang warga.

“Ya, benar. Dia sangat sakti dan tak seorang pun manusia biasa yang mampu mengalahkannya. Dia hanya takut kepada sesosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Namun, raksasa itu sudah tidak pernah lagi terdengar kabar keberadaannya,” jelas salah seorang dukun.

“Lantas, apa yang dapat kita lakukan?” tanya pula seorang warga lainnya dengan bingung.

Tak seorang pun warga yang menjawab. Mereka kebingungan menghadapi masalah itu. Di tengah-tengah kebingungan tersebut, seorang pemuda yang duduk paling belakang tiba-tiba angkat bicara. Pemuda itu bernama La Beddu. Ia pemuda yang cerdik.

“Maaf, para hadirin! Perkenankanlah saya untuk menyampaikan sesuatu. Saya mempunyai sebuah cara untuk membinasakan Nenek Pakande,” kata pemuda itu.

Sejenak, suasana pertemuan itu menjadi hening. Semua pandangan tertuju kepada pemuda itu. Sebagian dari warga memandangnya dengan penuh harapan. Namun, tak sedikit dari mereka yang memandangnya dengan pandangan yang merendahkan.

“Hai, La Beddu. Bagaimana caramu bisa mengalahkan Nenek Pakande? Bukankah dia sangat sakti, sementara kamu sendiri hanya pemuda biasa yang tidak mempunyai kesaktian sama sekali?” tanya salah seorang warga.

La Beddu hanya tersenyum, lalu menjawab pertanyaan itu dengan tenang.

“Tidak selamanya kesaktian itu harus dilawan dengan kesaktian pula,” kata La Beddu.

Semua warga tercengang. Setelah itu, La Beddu menjelaskan bahwa satu-satu cara untuk mengalahkan Nenek Pakande adalah kecerdikan.

“Begini, saudara-saudara,” lanjutnya, “Kita semua sudah tahu bahwa Nenek Pakande hanya takut kepada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Oleh karena itu, saya akan mengelabui Nenek Pakande dengan berpura-pura menjadi seperti raksasa itu,” jelas La Beddu.

Mendengar penjelasan itu, para warga semakin bingung. Apalagi ketika La Beddu meminta kepada warga untuk menyiapkan masing-masing satu buah salaga (garu), satu ember busa sabun, satu ekor kura-kura dan belut, satu lembar kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar.

“Untuk apa salaga itu La Beddu? Bukankah sekarang belum musim tanam?” tanya seorang warga dengan bingung.

“Sudahlah, Pak. Bapak tidak usah terlalu banyak tanya. Kita lihat saja nanti hasilnya. Yang penting sekarang adalah mencari semua benda dan binatang yang saya sebutkan tadi lalu mengumpulkannya di rumah saya. Nantilah saya jelaskan semuanya,” ujar La Beddu.

Tanpa banyak tanya lagi, para warga segera melaksanakan permintaan La Beddu. Ada yang pergi mencari belut di sawah, ada pula yang mencari kura-kura di sungai. Sebagian yang lain sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember, sebuah batu besar, serta kulit rebung. Setelah memperoleh segala yang diperlukan, para warga segera membawanya ke rumah La Beddu.

“Hai, La Beddu! Jelaskanlah kepada kami mengenai maksud dan tujuan dari semua benda dan binatang ini!” desak pemuka masyarakat.

La Beddu pun kemudian menjelaskan bahwa salaga yang bentuknya menyerupai sisir, busa sabun yang menyerupai air ludah, dan kura-kura yang menyerupai kutu manusia itu akan digunakan untuk mengelabui Nenek Pakande. Dengan menunjukkan benda-benda tersebut, Nenek Pakande akan mengira itu semua adalah milik Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Sementara itu, kulit rebung yang bentuknya mirip terompet itu akan digunakan untuk menggelegarkan suaranya sehingga menyerupai suara raksasa itu. Adapun belut dan batu besar tersebut masing-masing akan diletakkan di depan pintu dan di depan tangga.

Setelah itu, La Beddu bersama para warga segera menyusun siasat. Dua orang warga ditunjuk yang masing-masing akan bertugas meletakkan belut di depan pintu dan batu besar di depan tangga.

Ketika hari mulai gelap, La Beddu segera naik ke atas loteng Sao Raja[1] untuk bersembunyi sambil membawa salaga, busa sabun, kura-kura, dan kulit rebung. Sementara itu, kedua warga yang telah diberi tugas bersembunyi di bawah kolong Sao Raja. Setelah semuanya siap, para warga mulai menjebak Nenek Pakande dengan cara mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat tanpa penerangan sedikit pun. Kecuali Sao Raja, pintunya dibuka lebar dan di dalamnya dinyalakan sebuah pelita. Selain itu, seorang bayi juga diletakkan di dalam kamar sebagai umpan untuk menjebak Nenek Pakande agar masuk ke dalam Sao Raja tersebut.

Tak berapa lama kemudian, Nenek Pakande pun mendatangi Sao Raja tersebut. Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun, ia melangkah perlahan-lahan menaiki anak tangga Sao Raja satu per satu. Saat berada di depan pintu, indra penciumannya langsung merasakan bau bayi yang sangat menyengat. Nenek siluman itu pun langsung masuk ke dalam Sao Raja. Pada saat itulah, kedua warga yang bersembunyi di bawah kolong Sao Raja segera melaksanakan tugas mereka lalu kembali ke tempat persembunyianya tanpa sepengetahuan Nenek Pakande.

Ketika Nenek Pakande hendak mendekati bayi yang ada di dalam kamar, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara keras yang menegurnya.

“Hai, Nenek Pakande! Mau apa kamu datang kemari, ha?”

Suara itu tidak lain adalah suara La Beddu yang menggunakan kulit rebung di atas loteng. Namun, Nenek Pakande tidak mengetahui hal itu.

“Suara siapa itu?” tanya Nenek Pakande dengan terkejut.

“Aku adalah raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Ha... ha... ha... !” jawab suara itu seraya tertawa terbahak-bahak.

Mendengar jawaban itu, Nenek Pakande mulai ketakutan. Namun, ia belum yakin jika itu adalah suara raksasa tersebut.

“Apa buktinya jika engkau adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale?”

La Beddu yang berada di atas loteng segera menumpahkan busa sabun dari embernya tepat di depan Nenek Pakande. Alangkah terkejutnya perempuan siluman itu karena mengira busa sabun tersebut adalah air ludah raksasa itu.

“Bagaimana, Nenek Pakande? Apakah kamu masih meragukan diriku?” tanya suara itu.

“Bukti apa lagi bukti yang bisa kamu tunjukkan padaku?” Nenek Pakande balik bertanya.

Mendengar pertanyaan itu, La Beddu segera menjatuhkan salaga dan kura-kuranya secara beruntun. Melihat kedua benda tersebut, Nenek Pakande langsung lari tunggang langgang karena ketakutan. Ia mengira kedua benda tersebut adalah sisir dan kutu milik raksasa itu. Begitu ia melewati pintu Sao Raja, kakinya menginjak belut yang diletakkan di tempat itu hingga terpeleset dan akhirnya terjatuh berguling-guling di tangga. Saat sampai di tanah, kepalanya terbentur pada batu besar yang sudah disiapkan di depan tangga.

Meskipun terluka parah, Nenek Pakande masih mampu berdiri dan melarikan diri entah ke mana. Namun, sebelum meninggalkan negeri itu, ia sempat berpesan kepada seluruh warga bahwa kelak ia akan kembali untuk memangsa anak-anak mereka. Oleh sebab itulah, hingga kini, masyarakat Soppeng sering menggunakan cerita ini untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak berkeliaran di luar di rumah ketika hari sudah gelap.

* * *

Demikian cerita Nenek Pakande dari daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan menggunakan akal sehat. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku La Beddu. Berkat kecerdikannya, ia dengan dibantu oleh para warga berhasil mengusir Nenek Pakande dari Negeri Soppeng. Sifat cerdik pandai ini digambarkan dalam pepatah Bugis berikut ini:

“Naia riyasennge’ pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adae’....”

Artinya: Cerdik pandai (pannawanawa) adalah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari cara sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi.

Sumber : http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/231-Nenek-Pakande

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Jembatan Plunyon Kalikuning
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...

avatar
Bernadetta Alice Caroline