×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Cerita Rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Maluku Utara

Asal Daerah

Maluku Utara

Negeri Kepala Buaya

Tanggal 27 Nov 2018 oleh Riani Charlina.

Di sebelah selatan Pulau Halmahera ada sebuah pulau yang dahulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Bacan. Pulau itu adalah Pulau Obi. Di zaman penjajahan Belanda, pulau ini dijual oleh Sultan Bacan kepada Pemerintah Belanda. Di depan Pulau Obi ada sebuah pulau kecil yang memanjang. Masyarakat setempat menamainya dengan Pulau Bisa. Pulau Bisa merupakan gerbang keluarmasuk ke Pulau Obi dari arah utara. Dahulu, Pulau Bisa tidak berpenghuni. Pulau ini hanya dibuat sebagai lahan perkebunan oleh masyarakat yang berada di sekitar Pulau Obi.

Di Pulau Sulawesi, tepatnya di bagian Tenggara, ada sebuah kesultanan yang dikenal dengan Kesultanan Buton. Kesultanan Buton ada ikatan persaudaraan dengan Kesultanan Temate, salah satu kerajaan di Maloko Kie Raha. Sultan Temate pemah mempersunting salah seorang putri dari Kesultanan Buton.

Orang-orang Buton sangat gemar melakukan pelayaran dengan kapal laut. Mereka adalah para pel aut yang ulung dan tangguh. Dalam melakukan pelayaran, tidak jarang mereka membawa sanak saudara, bahkan anak isterinya. Selain melakukan pemiagaan, orang-orang Buton ini juga sering mendirikan perkampungan pada tempat mereka singgah.

Karena adanya hubungan baik antara Kesultanan Buton dan Kesultanan Temate, kedatangan orang-orang Buton dalam mengadakan pemiagaan diterima dengan baik. Bahkan, ketika mereka akan membangun perkampungan di Pulau Obi Mayor yang letaknya di selatan Pulau Bacan pun mereka diterima dengan baik.

Setelah mendapat izin dari Sultan Ternate maupun Sultan Bacan, mulailah para pendatang dari Buton itu membangun rumah-rumah mereka di samping juga membuka lahan pertanian untuk bercocok tanam. Mereka sangat senang dengan alam di Pulau Obi Mayor. Tanahnya subur dan alamnya sangatindah.

Lambat laun kampung yang pada awalnya hanya diisi oleh beberapa rumah, perlahan mulai ramai karena sanak saudara mereka yang berada di Buton pun tertarik untuk pindah ke Pulau Obi. Karena penduduk perkampungan banyak dihuni oleh orang-orang Buton, kampung tersebut dinamai Desa Buton.

Kehidupan mereka jalani dengan aman dan damai. Mereka hidup dengan bercocok tanam padi dan palawija. Selain bertani, orang-orang Buton sangat mahir menangkap ikan di laut. Mereka hidup makmur dan sejahtera. Orang-orang Buton ini juga san gat taat beribadah. Walaupun san gat taat beribadah, ada satu kebiasaan mereka yang sudah menjadi budaya dari nenek moyang mereka ketika masih berada di Buton. Kebiasaan itu adalah judi dan sabung ayam. Awalnya, kebiasaan berjudi dan sabung ayam itu hanya dilakukan oleh beberapa orang. Namun, lambat laun hal itu mulai menulari hampir seluruh masyarakat Desa Buton. Keadaan ini berlangsung dengan begitu hebatnya. Hal ini tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh para pemuka agama dan sebagian masyarakat yang memang sangat menentang judi dan sabung ayam tersebut.

Mereka sering mengingatkan masyarakat Desa Buton yang gemar berjudi dan sabung ayam agar berhenti dan menjauhi hal itu. Namun, yang terjadi bukannya sadar, malah kebiasaan ini semakin menjadi. Keadaan ini berlangsung seakan tidak bisa dihentikan lagi. Beberapa orang yang mengingatkan tersebut malah ditentang oleh sebagian masyarakat.

Pada suatu saat, ketika dirasakan bahwa kehidupan yang mereka bangun dengan susah payah telah dicemari oleh perbuatan maksiat dan tercela oleh masyarakat kampung mereka, beberapa orang memutuskan untuk pergi dari desa dan mencari tempat yang baru.

"Kami rasa sudah waktunya keluar dari desa ini untuk mencari tempat yang baru untuk memulai hidup yang lebih baik." Berkata seorang penduduk kepada Pak Imam untuk memohon izin.

"Baiklah kalau itu telah menjadi pilihan kalian. Saya doakan semoga kalian temukan tempat yang sesuai dengan keinginan dan harapan kalian. Saya mohon maaf karena tidak bisa menyertai kalian. Saya tetap di kampung untuk selalu memberikan nasihat kepada warga desa." Demikian jawab Pak Imam dengan tenang.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, berangkatlah beberapa orang menggunakan dua buah perahu. Mereka terdiri dari ernpat orang yang diutus untuk rnencari ternpat yang baru. Ternpat yang dirnakudkan adalah sebuah pulau kecil yang letaknya persis di depan Pulau Obi. Masyarakat rnenyebutnya Pulau Bisa.

Pulau ini terkenal dengan nama Pulau Bisa karena di daratannya hidup sejenis ular yang sangat berbisa. Tidak ada seorang pun yang berani untuk berlarna-larna di pulau tersebut. Hal ini karena ular berbisa sejenis ular viper itu dapat rnuncul sewaktu-waktu dan rnenggigit. Bisanya sangat ganas dan mematikan. Sudah banyak warga yang menjadi korban. Oleh masyarakat, ular ini diyakini sebagai penunggu Pulau Bisa.

Dari empat orang yang diutus, mereka membagi menjadi dua kelompok. Dengan dua buah perahu, mereka membagi perjalanannya menjadi dua jalur. Perahu pertama menyusuri Pulau Bisa dari arah Barat, sedangkan perahu kedua melalui arah Tirnur. Masing-masing dipimpin oleh Ode Djiita dan Ina Pahu.

"Kita bagi jalur perjalanan ini menjadi dua, saya dari arah Barat, sedangkan Ina Pahu dari sebelah Timur." Kata Ode Djiita kepada Ina Pahu.

"Baiklah kalau begitu, kita cari daerah di Pulau Bisa yang bisa kita jadikan perkampungan. Tern pat yang nantinya kita bertemu, di situlah kita jadikan sebagai tern pat baru kita," jawab Ina Pahu dengan mantap.

Ode Djiita adalah seorang lelaki yang dijadikan sebagai anutan oleh masyarakat Desa Buton pada saat itu, sedangkan Ina Pahu adalah seorang wanita separuh bay a yang memiliki ilmu yang tinggi. Dia diutus oleh para penduduk yang sudah merasa tidak betah Iagi dengan perbuatan orang kampung mereka untuk bisa menentukan tern pat tinggal di Pulau Bisa yang terkenal penuh dengan misteri ular berbisanya.

Sejurus kemudian, dua perahu berangkat dengan arah yang berlawanan. Perahu Ode Djiita menuju arah Barat, sedangkan perahu yang ditumpangi Ina Pahu menuju arah Timur. Ketika masing-masing perahu tiba di penghujung pulau, baik di Barat maupun di Timur, mereka memeriksa tempat-tempat tersebut sekiranya bisa dijadikan sebagai permukiman.

Dari setiap tempat yang mereka singgahi sejauh ini belum ada tanda-tanda bahwa daerah itu cocok untuk mereka tempati. Kedua perahu itu tetap melanjutkan perjalanan menyusuri pantai di sekitar Pulau Bisa. Walaupun terkadang dihadang oleh cuaca yang buruk akibat gelombang laut yang tinggi, atau teriknya matahari bahkan terkadang hujan yang deras, mereka tetap dengan sabar melakukan pencarian.

Setelah sekitar satu minggu perjalanan, akhimya kedua perahu tersebut bertemu di salah satu pantai dekat dengan muara sungai kecil. Ode Djiita dan Ina Pahu memutuskan. untuk turun dan beritirahat sembari mencari tahu keadaan alam di sekitar tempat persinggahan ini. Perbekalan diturunkan dan mereka membuat gubuk darurat tidak jauh dari pantai.

Setelah malam tiba, Ina Pahu memberitahukan agar semua yang ada bisa tetap tenang. Karena di sinilahharapan satu-satunya agar mereka bisa pindah ke daerah barn ini. Hal ini karena sudah seluruh tempat mereka susuri, tetapi tidak satu pun yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal.

Pada malam itu, Ina Pahu yang dibantu oleh Ode Djiita dan yang lainnya melakukan ritual untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha kuasa agar mereka diperkenankan membuka lahan baru untuk dijadikan tern pat tinggal mereka. Di samping itu, ritual ini juga untuk meminta izin kepada penunggu Pulau Bisa agar bisa dijadikan kampung untuk ditempati manusia.

Dengan khusyuk Ina Pahu bertafakur memohon petunjuk Ilahi. Wirid dan doa mereka haturkan kepada Sang Pencipta. Akhimya, menjelang fajar Ina Pahu mendapat petunjuk bahwa tempat itu sangat cocok unuk ditempati. Selain itu, mereka pun mendapat tanda bahwa mereka diizinkan untuk tinggal di pulau itu oleh para penunggu Pulau Bisa.

Ode Djiita dan Ina Pahu beserta kedua orang yang menyertai perjalanan merasa sangat berbahagia karena telah menemukan tempat yang mereka harapkan. Mereka pun kembali ke Desa Buton di Pulau Obi Mayor untuk rnengabarkan berita gernbira ini kepada warga yang ingin pindah ke tern pat yang baru. Akhimya, Ode Djiita dan Ina Pahu rnernboyong keluarga rnereka ke tanah yang baru. Mereka juga diikuti oleh sebagian warga yang tidak rnerasa arnan lagi tinggal di Desa Buton. Berangsur-angsur rnereka rnernbawa sanak saudara rnereka dan rnulailah dengan rnernbangun perkarnpungan yang baru.

Walaupun ternpat yang baru itu sangat cocok untuk dijadikan ternpat tinggal, rnereka harus berhati-hati. Hal ini disebabkan oleh ular berbisa yang tersebar di pulau terse but sering rnenggigit warga yang berbuat salah. Sarnpai saat ini warga sangat berhati-hati dengan perkataan yang diucapkan apabila rnenyangkut ular berbisa itu.

Lambat-laun perkarnpungan baru itu rnulai rarnai. Masyarakat rnenarnakan karnpung itu Madapolo. Kata Madopolo dalarn berasal bahasa Temate berarti kepala buaya. Hal ini disesuaikan dengan bentuk Pulau Bisa yang jika dilihat dari bukit di Pulau Bacan tarnpak seperti kepala buaya. Di sarnping bentuknya seperti kepala buaya, di laut sekitar Madapolo juga banyak dijurnpai buaya. Menurut kepercayaan rnasyarakat seternpat, buaya tersebut bukan hanya rnerupakan buaya biasa, rnelainkan penunggu atau penguasa laut di sekitar perairan Madapolo. Buaya-buaya ini tidak berkeliaran dengan sernbarangan. Ternpat rnereka hanya di sekitar pulau kecil yang berada di depan Pulau Bisa yang oleh rnayarakat dinarnakan Pulau Sendiri.

Suatu saat ada tiga orang pernuda warga Madapolo yang pergi rnelaut. Mereka adalah Arwadi, Arnir, dan Idris. Ketiga orang ini rnernbawa peralatan untuk rnenangkap ikan berupa jaring. Karena di Pulau Sendiri banyak terdapat ikan, hari itu rnereka putuskan untuk rnernasang jaringnya di sekitar Pulau itu. Ketiga pemuda pun berangkat dengan sebuah perahu yang agak besar.

Setelah sampai, mereka langsung melepaskan jaringnya. Dengan sabar mereka menunggu agar jaring yang dilepaskan itu dipenuhi ikan. Sambil menunggu mereka pun tertidur di atas perahu.

"Oooi! Bangun, pelampung jaring kita sudah tenggelam." Arwadi berseru membangunkan kedua temannya karena melihat pelampung jaring mereka sudah agak turun.

"Wah, berarti ikannya pasti banyak," jawab Idris sambil mengucek matanya.

"Iya, kita panen besar hari ini," sela Amir dengan girang. Sejurus kemudian ketiga pemuda itu langsung menarik jaring mereka. Namun, alangkah terkejutnya ketiga pemuda itu karena selain ikan yang tersangkut pada jaring, temyata ada pula seekor buaya yang tidak terlalu besar ikut juga tersangkut.

"Awas! Hati-hati ada buaya, jangan sampai kita digigitnya," seru Idris dengan ketakutan.

"Iya! Tapi bagaimana caranya kita buka jaringnya?" tanya Arwadi dan Amir hampir bersamaan.

"Kita lepaskan saja dengan cara kita potongjaringnya," ucap Idris memberikan saran kepada kedua temannya.

"Kalau kita potong jaringnya berarti kita akan rugi. Apalagi buaya ini tersangkut di bagian tengah, bahkan hampir sampai ke atas jaring ini," jawab Arwadi dengan keberatan.

"Lantas bagaimana?" tanya Idris.

"Baik, aku punya usul. Kita tarik saja jaring ini ke gubuk di depan sana," usul Arwadi kemudian.

"Akan kamu apakan buaya itu, Wadi?" tanya ldris dan Amir.

"Ikuti saja apa yang aku katakan. Sepertinya aku punya ide bagus dengan buaya ini." Ucap Arwadi dengan senyum.

Tanpa dinaikkan ke atas perahu, jaring itu ditarik ke sebuah gubuk di dekat Pulau Sendiri. Banyak gubuk yang dibangun oleh masyarakat Madapolo di selat kecil antara Pulau Sendiri dan Pulau Bisa. Di tempat itu masyarakat setempat membudidayakan rumput laut sebagai penambah penghasilan mereka. Di selat itu lautnya tidak dalam.

Akhimya, mereka sampai di sebuah gubuk dan langsung menyandarkan perahu mereka. Dengan sangat hati-hati jaring itu diangkat ke dalam gubuk tersebut.

“Mari hati-hati kita lepaskan buaya ini, setelah itu kita kembalikan ke laut,” kata Idris setelah mereka berhasil menarik jaringnya ke atas.

“Kita bukan melepaskan buaya ini kembali ke laut. Seperti yang aku katakan tadi, akulah yang punya rencana terhadap buaya ini," ujar Arwadi menjawab perkataan Idris.

“Apa rencanamu dengan buaya ini?" tanya Amir dengan heran.  

“Apakah kalian belum pemah mendengar bahwa air mata buaya ini sangat berkhasiat sebagai pengasihan?" tanya balik Arwadi dengan tenang.

“Sebagai pengasihan? Apa maksudmu?" Sela Idris dengan heran.

"Jika air mata buaya ini digunakan, orang-orang akan merasa sa yang dan simpati kepada orang yang memakainya, lagi pula harganya pun sangat mahal."

"Bagaimana caranya agar air mata buaya ini kita peroleh?" tanya Amir bingung.

"ltu hal yang gampang. Kita paksa buaya ini mengeluarkan air matanya dengan cara kita ucapkan kata penghinaan dan caci maki supaya buaya ini merasa sedih sehingga dia akan mengeluarkan air matanya. Bila perlu kita siksa buaya ini agar mau mengeluarkan air matanya," jawab Arwadi kemudian dengan senyum yang licik.

"Jangan! Aku tidak setuju, itu adalah penyiksaan terhadap hewan, aku tidak mau." ldris menjawab dengan gusar.

"Terserah kalau memang kamu tidak mau, tetapi jangan harap kamu akan mendapat bagian," ujar Idris dengan tegas.

Akhimya, karena termakan bujukan Arwadi, Amir pun ikut menjalankan rencana Arwadi. Semen tara itu, Idris tetap tidak mau terlibat dengan hal tersebut karena merasa iba jika Sang Buaya harus disiksa hanya untuk mendapatkan air matanya.

Tanpa melepaskan buaya dari jaring, Arwadi dan Amir mulai melakukan aksinya setelah ikan-ikan mereka buka dari jaring terse but. Di saat mereka mulai mengeluarkan kata-kata untuk menghina bahkan mencaci maki buaya, terlihat buaya itu tidak bergeming sama sekali. Idris hanya melihat dari kejauhan di sudut gubuk dengan perasaan yang sangat iba.

Karena tidak ada reaksi dari buaya, Arwadi menjadi jengkel. Akhirnya Arwadi mengambil sepotong kayu untuk menakut-nakuti buaya itu. Karena buaya tidak juga mengeluarkan air rna tanya, Arwadi mulai memukul moncong buaya. Ketika Arwadi mengangkat kayu untuk memukul, buaya mengangkat kedua kaki depannya seperti memohon agar hal itu jangan dilakukan. Arwadi dan Amir merasa heran dan terkejut melihat hal ini. ltu terjadi berulang kali. Sepertinya sang buaya memohon belas kasihan dari kedua pemuda itu. Karena keduanya telah dikuasai oleh nafsu setan, Arwadi dan Amir menyiksa buaya itu dengan memukulkan kayu ke moncongnya.

Memang benar kata Arwadi tadi. Sang buaya mulai mengeluarkan air matanya akibat penyiksaan yang hebat. Kedua pemuda yang serakah itu merasa sangat gembira sembari memandangi Idris yang melihat kejadian dengan perasaan yang sedih.

Moncong buaya mulai mengeluarkan darah, matanya pun bengkak dan mulai menetaskan darah akibat dipukuli oleh Amir dan Arwadi. Air mata sang buaya mereka tampung di dalam sebuah botol yang ditemukan di gubuk itu. Botol itu adalah botol yang digunakan oleh pemilik gubuk sebagai tempat lampu minyak.

Karena tidak tahan dengan penyiksaan yang sangat hebat, buaya pun mati. Setelah mati dan air rna tanya diambil, bangkai buaya itu dibuang begitu saja ke laut oleh Arwadi dan Amir. Idris hanya bisa melihatnya dengan perasaan terharu. Mereka pun kembali ke rumahnya dengan perasaan gembira, tetapi tidak demikian dengan Idris. Dia merasa ada keanehan dengan buaya tadi.

Menjelang senja mereka bertiga tiba di Madapolo dan pulang ke rumah masing-masing. Arwadi dan Amir merasa sangat bergembira dengan hasil yang mereka dapatkan hari ini. Selain ikan yang banyak, mereka berhasil mendapatkan air mata buaya yang sangat berkhasiat. Namun, tidak demikian dengan Idris. Dia pulang dengan perasaan yang tidak menentu. Betapa dia menyaksikan kedua kawannya menyiksa buaya dengan begitu kejam hingga mati.

Malam itu di Madapolo kehidupan berjalan seperti biasanya. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian warga. Demikian pula dengan Idris, Arwadi, dan Amir. Setibanya di rumah masing-masing, mereka langsung membersihkan ikan yang telah dibagi tiga. Setelah itu, mereka membersihkan diri.

Menjelang tengah malam, mulai terjadi kepanikan di rumah Arwadi dan Amir. Tiba-tiba mereka berdua merasa sakit di sekujur tubuh. Terlebih lagi di bagian wajah, yang seperti dipukul benda keras. Mereka berdua berteriak meraung-raung menahan sakit yang tak terkira. Bibir mereka bengkak dan mengeluarkan darah, sedangkan bola mata mereka bengkak seperti hampir keluar dari rongga mata. Yang menjadi kepanikan keluarga dan warga sekitar terhadap kejadian yang menimpa Arwadi dan Amir itu karena mereka berdua mengalami hal yang sama.

Semakin malam keadaan kedua pemuda itu semakin parah. Berbagai obat telah diberikan. Tabib dan dukun yang diminta pertolongannya sudah tidak sanggup menghadapi penyakit yang diderita Arwadi dan Amir. Semakin mereka memberikan obat, sakit yang dialami keduanya makin menjadi. Menjelang subuh kedua pemuda itu pun menghembuskan napas terakhir. Mereka meninggal karena tidak sanggup menahan sakit yang teramat sangat.

Keesokan harinya penduduk Madapolo dihebohkan dengan kehadiran ratusan buaya yang berada di sepanjang pantai Madapolo. Para buaya itu berbaris layaknya sebuah pasukan tempur yang akan maju ke medan perang. Penduduk berkumpul menyaksikan kejadian aneh terse but. Akhirnya, warga memanggil Tetua Adat setempat.

Tetua adat pun tiba dan maju ke hadapan para buaya itu. Seekor buaya merayap ke depan. Anehnya, buaya itu berdiri dengan kedua kaki belakang layaknya manusia. Terjadilah percakapan an tara Tetua Adat dan buaya yang temyata adalah pemimpin para buaya itu.

"Wahai manusia-manusia durjana! Selama ini tak pernah sekali pun kami bangsa buaya mengganggu ketenangan dan ketentraman hidup kalian. Tapi mengapa dengan kejamnya kalian membunuh salah satu warga kami?" Berseru raja buaya itu dengan lantang karena menahan amarah.

Bahasa yang dikeluarkan sang raja buaya hanya bisa dimengerti oleh Tetua Adat, sedangkan penduduk hanya mendengamya seperti desisan.

"Maaf wahai Raja Buaya! Selama ini kami tidak pemah tahu bahwa temyata selama ini kita hidup berdampingan. Kedua pemuda yang telah membunuh salah satu dari kalian itu karena mereka tidak mengetahui sama sekali," jawab Tetua adat membela diri dengan perasaan agak takut.

"Saya bisa menerimanya jika mereka membunuhnya secara langsung. Mungkin itu adalah kesalahan kami. Akan tetapi, yang terjadi adalah kedua manusia itu membunuhnya dengan cara penyiksaan yang sangat keji," ujar Raja Buaya lagi. "Agar kalian tahu, yang kalian bunuh kemarin adalah panglima perang Kerajaan Buaya. Saya tidak bisa menerima ini walaupun kedua manusia itu telah mati menanggung perbuatannya. Apakah kalian mau menerima nasib yang sama dengan kedua Orang itu? Dengarkan baik wahai manusia-manusia kejam, hari ini kami bangsa buaya menyatakan perang dengan kalian bangsa man usia."'

"Wahai Sang Raja Buaya! Saya atas nama seluruh warga Madapolo memohon maaf yang sebesar-be$amya kepada kalian. Mohon ampunkan kesalahan kedua pemuda itu. Saat ini mereka pun telah tewas akibat perbuatannya," jawab Tetua Adat dengan sungguh-sungguh.

Akhimya setelah Tetua Adat menyampaikan permohonan maaf, Raja Buaya pun mau menerimanya dengan syarat agar Tetua Adat harus menyiapkan sesajian sebagai ganti terhadap buaya yang telah dibunuh.

Dari kejadian tersebut, sampai saat ini apabila penduduk Madapolo menemukan buaya yang kebetulan tersangkut pada jala atau pun jaringnya, mereka akan membuka dan melepaskan buaya itu kembali ke laut. Demikianlah, penduduk Madapolo hidup berdampingan dengan buaya yang banyak terdapat di laut sekitar kampung mereka dan ular berbisa yang merupakan penguasa daratan Pulau Bisa.

 

sumber: http://repositori.kemdikbud.go.id/3043/1/Kisah%20Boki%20Dehegila%20Antalogi%20Cerita%20Rakyat%20Maluku%20Utara%202011.pdf

DISKUSI


TERBARU


Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

Refleksi Realit...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Refleksi Keraton Yogyakarta Melalui Perspektif Sosiologis

Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya manusia menjadi penyebab munculnya kebudayaan. Kebudayaan sangat penting dalam k...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...