Berbicara tentang mitologi, pernahkah anda mendengar tentang kisah ‘Naga Erau’ dan ‘Puteri Karang Melenu’? Cerita tersebut tentu terdengar asing di telinga-telinga masyarakat modern. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika saya ingin menceritakannya kembali bukan?
Baiklah mari kita mulai dari awal…
Dahulu kala, di Pulau Kalimantan, khusunya bagian timur dan di kampung terpencil yang bernama Melanti, daerah Hulu Dusun. Terdapat sepasang suami istri. Sang suami adalah petingginya, sedangkan sang istri bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah tergolong tua dan semenjak mereka menikah, sampai saat ini mereka belum juga dikaruniai keturunan. Maka dari hal tersebut, mereka selalu memohon kepada Dewata—dewa dengan kedudukan yang lebih rendah daripada dewa-dewa utama—agar dikaruniai seorang anak sebagai penerusnya.
Suatu hari, keadaan alam menjadi buruk. Hujan turun deras selama tujuh hari dan tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh guntur dan tiupan angin yang cukup kencang. Tidak ada satupun penduduk kampung yang berniatan untuk pergi ke luar rumah. Tapi, karena cuaca yang terus buruk. Akhirnya sang petinggi memutuskan untuk mencari kayu bakar agar bisa menghangatkan tubuhnya dan sang istri. Ia mengambil salah satu kasau atap rumahnya dan dijadikannya sebagai kayu bakar.
Di saat ia sedang memotong, tanpa sengaja pandangannya tertarik pada seekor ulat kecil yang bermata halus. Tatapannya seakan-akan meminta agar ia dikasihani dan dipelihara. Lalu, sang petinggi memutuskan untuk mengambilnya. Tiba-tiba cuaca yang buruk itu lenyap bagaikan debu yang diterpa oleh angin, hilang bagaikan abu. Hari kembali cerah seperti sedia kala, tidak ada lagi hujan lebat dan guntur yang membuat mereka ketakutan tersebut. Seluruh penduduk tampak begitu bahagia dan suasana kampung menjadi kembali ramai. Sementara itu, ulat kecil yang petinggi temukan-pun ia rawat dengan sangat baik. Diberikannya makan daun-daun segar setiap harinya. Hingga, waktu pun berjalan dengan cepat… ulat itu membesar dengan ukuran yang tidak biasa.
Iya, dia berubah menjadi seekor naga.
Sang suami dan istri untuk pertama kalinya terkejut saat melihatnya. Tapi bukannya takut, mereka justru menyayanginya seperti anak mereka sendiri. Dan suatu malam, mereka bermimpi bertemu dengan seorang putri yang cantik jelita dari jelmaan naga yang mereka rawat itu.
“Ayah dan bunda tak usah takut dengan ananda.” Kata sang putri, “Meskipun ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini, izinkanlah ananda untuk pergi. Dan buatkanlah sebuah tangga agar dapat meluncur ke bawah.” Mendengar bahwa mereka berdua memiliki mimpi yang sama. Sang suami memilih untuk mempercayai setiap kalimatnya, dan akhirnya membuat tangga yang dibantu oleh istrinya juga. Setelah selesai, sang naga akhirnya turun melalui tangga yang baru saja mereka bangun.Sambil turun ia berkata dengan suara yang mirip seperti putri cantik jelita yang mereka temui di mimpi kemarin, “Bilamana ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya Ayah dan Bunda mengikuti kemana saja ananda merayap. Disamping itu, ananda minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta taburi tubuh ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan telah masuk ke dalam air, maka iringilah buih yang muncul di permukaan sungai.”
Sang naga-pun merayap menuruni tangga tersebut sampai ke tanah dan melanjutkannya dengan pergi ke sungai bersama sang petinggi dan istrinya. Setelah sampai di sungai, berenanglah sang naga berturut-turut tujuh kali ke hulu dan tujuh kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian Batu. Di tepian Batu, sang naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali, lalu diakhirinya dengan menyelam. Hal yang aneh pun terjadi. Timbul angin topan yang dahsyat di sekitar sungai tersebut, lalu diikuti oleh air bergelombang, hujan, guntur dan petir bersahut-sahutan. Kemudian perahu yang ditumpangi petinggi pun di dayung ke tepian. Setelah tiba, mereka kembali lega melihat cuaca yang membaik lagi.
Namun, mereka belum menemukan naga yang mereka rawat di sekitaran Sungai Mahakam. Beberapa menit berlalu, dan akhirnya mereka melihat sesuatu yang berubah di sekitaran sungai tersebut.Terdapat buih-buih yang timbul di permukaannya. Disusul oleh pelangi yang menumpukkan warna-warninya ke dalam buih tersebut. Sang Istri, Babu Jaruma—melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun akhirnya mendekati buih tersebut, dan sekali lagi terkaget oleh barang yang mereka temukan.
Sebuah gong. Dan setelah mereka bawa ke dalam perahu mereka, tak lama kemudia mereka membuka isinya. Seorang bayi perempuan yang sangat cantik terdapat di dalamnya. Bayi tersebut kemudian mereka pelihara dengan baik, sesuai dengan arahan mimpi yang mereka alami. Maka dari itu, mereka memberni nama bayi tersebut sebagai ‘Puteri Karang Melenu’. Bayi perempuan ini kelak akan menjadi istri raja Kutai Kartanegara yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Demikianlah cerita rakyat dari Kerajaan Kutai yang berada di Kalimantan Timur. Dan kerajaan tersebut sekarang juga dikenal sebagai Kota Tenggarong. Dan dari cerita tersebutlah kita memahami asal mula Naga Erau yang menghantarkan Putri Junjung Buih atau Putri Karang Melenu, Ibu Suri dari Raja-raja Kutai Kartanegara.
#OSKMITB2018
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...