Gembok rantai besi memberangus pintu gerbang sebuah bangunan rumah di Jalan Cipto Mangunkusumo No. 15 Solo. Senyap terasa seolah tiada tanda-tanda kehidupan di gedung yang terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya. Di balik pagar, pintu kayu berukir juga tertutup rapat-rapat. Demikian pula dengan jendelanya, tak terlihat ada yang dibuka.
Kelebaman hujan melengketkan dedaunan yang jatuh dari rimbunnya Pohon Tanjung dan Pohon Nagasari. Sebuah sapu lidi disandarkan terbalik di salah satu pohon di halaman gedung yang teramat sepi itu. Sebuah guci di atas kolam bundar tampak berwarna kehitaman dari kejauhan.
Aroma tua dan usang juga menguar dari relief dan pahatan di pagar tembok yang sudah mengusam. Hanya papan nama yang tertancap di depan pintu gerbang yang terlihat agak mengkilap, ditulis dengan huruf kapital warna merah menyala yang menandai rumah tersebut adalah Museum Dullah, milik pelukis yang terkenal di masa revolusi.
“Kami memang tidak membuka museum ini untuk masyarakat umum, tetapi museum ini tidak tutup,” kata Hendro, seorang lelaki yang mengaku ditugasi pemilik Museum Dullah untuk menjaganya, ketika ditanya kenapa museum tersebut tampak tak dihuni.
Menempati lahan sekitar 2000 meter persegi, rumah tinggal, studio dan sekaligus museum yang didirikan pada tahun 1981 itu sudah belasan tahun tak pernah dibuka. Tepatnya setelah Dullah meninggal dunia pada 1 Januari 1996. Hendro menyebut faktor keamanan yang membuat museum itu tak lagi dibuka seperti ketika diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan, 1 Agustus 1988.
“Kalau disebut tutup total sebenarnya juga tidak. Kami masih buka, tetapi dengan pengunjung yang terseleksi. Kami menerapkan sistem booking terlebih dahulu. Siapa yang akan masuk kami seleksi dulu, dilihat-lihat dulu apa kepentingannya. Kalau hanya mau nonton, apalagi tanya-tanya harga tidak kami perkenankan,” kata Hendro.
Sebagai orang yang ditugasi menjaga dan merawat museum itu, Hendro tak mau kecolongan. Berulang kali dia menyebut keamanan yang membuat museum itu selalu tertutup pintunya. Saking khawatirnya terhadap keamanan koleksi, semua pintu di gedung itu dikunci dengan delapan buah kunci. Tak cukup hanya itu, setiap pintu juga diberi palang besi.
“Kami tak memiliki CCTV tetapi setiap dua jam sekali ada patroli dari kepolisian yang kami minta untuk turut menjaganya. Di malam hari juga ada anggota (kepolisian) yang berjaga di depan,” kata Hendro yang mengaku sebagai murid Dullah.
Antara konflik keluarga dan alasan keamanan
Dullah mangkat di usianya yang ke-77 menyusul istrinya, Fatimah Dullah yang meninggal setahun sebelumnya. Dullah, pelukis istana semasa pemerintahan Soekarno, tak memiliki putra. Dullah mengangkat Sawarno, yang kini disebut-sebut merupakan pengusaha kaya berdomisili di Surabaya sebagai anak angkatnya. Sawarno menugasi Hendro bersama Miranto menjaga museum. “Saya yang memelihara koleksi, Mas Miranto yang merawat gedung, menjaga kebersihan dan sebagainya,” katanya.
Museum ini ditutup untuk umum konon dikarenakan terjadi konflik keluarga. Saudara Dullah, konon ingin mendapatkan bagian dari warisan Dullah yang tak beranak pinak. Padahal, secara hukum formal, Sawarno, yang merupakan anak angkat Dullah yang memiliki hak ahli waris. Namun Hendro tak mau membicarakan ini, dia hanya berdalih faktor keamanan-lah satu-satunya alasan yang membuat museum ini belum dibuka seperti ketika Dullah masih hidup. “Dulu pernah ada lukisan yang hilang. Lukisan karya Raden Saleh, tetapi sudah bisa balik,” ujarnya. Namun lukisan itu hilang ketika Dullah masih ada.
Jika Miranto tinggal di bagian belakang museum, Hendro mengaku banyak bepergian dari satu kota ke kota lain. Menurut dia, meski tidak pernah dibuka, semua koleksi Museum Dullah yang berjumlah tidak kurang dari 900 buah semua dalam kondisi terawat. “Nggak apa-apa museum diisukan sudah kosong dan sebagainya. Malah ada yang menanyakan kalau gedung ini mau dijual. Kami malah senang diisukan seperti itu,” kata Hendro.
Meski mengaku tidak tutup, namun Hendro tidak bisa menunjukkan bukti masih adanya pengunjung. Dia mengaku tidak pernah mencatat pihak-pihak yang mengunjungi museum. Dia hanya menyebut mereka yang datang dengan selalu menghubunginya terlebih dahulu itu berasal dari balai lelang atau museum lain. “Ada yang dari Singapura, mahasiswa seni rupa juga sering. Mereka biasanya ingin memastikan seperti apa sebenarnya karya-karya Pak Dullah karena banyak yang ragu karya Dullah yang di luar sekarang ini,” ujarnya.
Hendro mengaku tidak pernah menarik biaya dari mereka yang sudah “terseleksi” untuk dapat masuk ke museum. Sementara kebutuhan operasional sehari-hari, semuanya dicukupi oleh pemilik museum. Menurut Hendro, dalam sebulan dirinya menghabiskan biaya hingga Rp 12 juta. Biaya tersebut sebagian besar digunakan untuk biaya keamanan dan pembayaran listrik. “Nggak mungkin dari tiket pengunjung bakal diperoleh dana seperti itu. Padahal risikonya tidak kecil, kalau sampai ada yang hilang bagaimana,” kata Hendro.
Menurut Hendro, dari 900 lukisan tersebut, 700 di antaranya adalah karya Dullah. Sisanya koleksi Dullah, termasuk karya murid-murid Dullah. Seluruh koleksi yang terpajang dulunya dipilih sendiri oleh Dullah. Semuanya digantungkan di dinding. “Tidak menempel ke dinding, tetapi diberi jarak sehingga ada sirkulasi udara sehingga lukisan awet. Itu Pak Dullah yang mengajari,” ujarnya.
Karena sudah lama tak dibuka untuk umum, museum ini tidak lagi memiliki brosur ataupun katalog. Menurut Hendro, dirinya tengah mempersiapkan pembuatan buku katalog sebagai panduan pengunjung jika nantinya museum tersebut buka. Kapan? “Belum tahu, tetapi pasti akan dibuka,” kata dia lagi.
Desain ruangan yang cerdas dan efisien
Bagi mereka yang berhasil diperbolehkan masuk, akan melihat sebuah patung Dullah berbahan logam begitu pintu di ruang utama dibuka. Sarasvati sendiri berhasil masuk ke dalam museum melalui pintu samping setelah mengajak Dirjen Kebudayaan Kacung Marijan. “Jika tadi Anda ndak bawa pak Dirjen, nggak boleh masuk. Anda termasuk yang kewahyon (beruntung) karena bisa masuk dan melihat-lihat lukisan di dalam,” kata Miranto pada Sarasvati. Sementara Hendro langsung melarang Miranto untuk menyalakan lampu. “Jangan nyalakan lampu ya, listriknya tak kuat,” kata Hendro ketika kami masuk ke dalam.
Tanpa satu pun lampu gantung dinyalakan, sesungguhnya ruangan itu sudah teramat terang. Dullah mendesain museumnya yang teramat luas itu dengan cerdas. Di bagian tengah, atap seluruh ruang dibuat transparan dan menghasilkan pencahayaan yang sempurna. Sinar matahari tidak langsung menghujam tetapi menyebar ke samping.
Miranto menyebut, pencahayaan dari sinar matahari itu tertahan oleh genting kaca berlapis tiga yang di sela-sela kaca diberi lapisan kertas khusus. Di setiap ruangan besar, terdapat taman dengan atap terbuka yang disebut Miranto sebagai cara untuk mendapatkan sirkulasi udara yang cukup. Hasilnya, tanpa AC, memang ruangan itu terasa sejuk.
Sebagai museum yang sudah belasan tahun tak terjamah oleh pengunjung, museum ini terlihat masih dirawat. Keadaan di dalam museum terlihat kontras dengan keadaan di luar yang terlihat kusam. Dinding-dinding di dalam museum putih bersih, lantai granit masih berkilat, dan plafonnya masih bersih. Hanya diberi waktu 30 menit untuk melihat lukisan yang begitu banyaknya, sepintas terlihat bahwa koleksi yang dipajang masih tampak terjaga. Sayang sekali jika sebuah warisan sejarah ini tak bisa dinikmati khalayak umum dengan mudah.
sumber : https://sarasvati.co.id/gallery-museum/09/museum-dullah-terapkan-sistem-seleksi-bagi-pengunjung/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja