Mendengar Ayam Ciparage langsung tertuju ke sebuah desa kecil daerah pesisir Kabupaten Karawang, disinilah cerita ayam ini di mulai, pertanyaan pertama sejak kapan ayam ini mulai dikenal ?, kita coba tengok sejarah Desa Ciparage tersebut, menurut salah seorang tokoh penduduk asli Ciparage yang cukup memberikan gambaran secara umum tentang Ayam Ciparage, sebut saja Mang Marya (nama panggilan akrab orang sunda).
Dulu sekitar tahun 1200-an daerah pesisir Karawang banyak sekali rawa-rawa yang ditumbuhi pohon galing paku, tembakau dan pohon-pohon jenis lainnya, bahkan dikatakan di rawa-rawa tersebut banyak ikan-ikan rawa dan juga burung-burungseperti Manuk Hahayaman, Bango, Cangehgar Hejo, Cangehgar Beureumyang banyak ditemukan di sekitar rawa-rawa tersebut yang sekarang banyak dijadikan sebagai nama sebuah desa seperti Ciparage, Cilamya, Cicinde, Rawa Gempol, Tengkulak, Pulo Putri, Sumur Gede. Menurut sumber yang kami temukan bahwa sekarang penduduk daerah tersebut sudah mengalami migrasi, yaitu sebagian kecil daerah tersebut dihuni oleh orang-orang pendatang baru.
Sekitar abad 16-an, Karawang adalah pusat perdagangan internasional via laut yang banyak dilakukan oleh kalangan saudagar dari berbagai negara yang berlabuh di sekitar pesisir Karawang seperti dari negara Cina dan Arab yang berdatangan untuk menjual barang dagangannya seperti ; kain, minyak, rempah-rempah, bahkan tidak sedikit yang membawa hewan ternak,sapi, kambing dan ayam. Ketika itu transksi jual beli tidak semua menggunakan benggol kepeng teki (alat transaksi), ada juga sistem barter, menukar daging dengan beras, menukar minyak wangi dengan rempah-rempah, hewan ternak dan buah buahan.
“Baheula mah ceuk Uyut, kalapa 2 manggar ditukerkeun ku hayam ti arab, sabab hayamna teh cenah gede, beda jeung hayam kampung di urang, aya nu diasakan aya nu diingu, aya oge nu dipake ngadu, (tapi hese lawana kudu diingu heula hayamna gede teuing)”.
Sebelum melanjutkan tentang ayam ciparage, kita cari tahu dulu ayam jenis apa yang dibawa pedagang Arab dan Cina ini? inilah nenek moyang semua ayam laga yang asli dari Pakistan, Maroko, India, ayam Asel Pakistan, Hiberadab, Hadra Maut, sebagian jenisnya yang diketahui.
Ayam dari Pakistan ini disilang dengan ayam setempat, ada campuran ayam Cangehgar (ayam hutan) dan ayam kampung untuk memperkcil ukuran, ini lebih masuk akal karena sesuai dengan sejarah sunda, bahwa para saudagar yang berdagang dari Arab dan Cina, adanyanya makam syeikh kuro dan pesantrennya yang makamnya masih bisa ditemukan di Desa Wadas Kabupaten Karawang, ini adalah sebagai fakta sejarah.
Saat datangnya penyebar agama Islam ke Surabaya tahun 1404 (Sunan Gersik), Karawang sudah lebih dulu berdiri pesantren, jika mengikuti literatur masuknya orang Arab dan Cina ini lebih sesuai dengan fakta dan sejarah yang ada.
Ayam ciparage berdarah ayam Asel Pakistan, ayam hutan dan ayam kampung untuk memperkecil ukurannya yang terlalu besar ini bisa diterima dengan melihat bentuk rupa seperti ayam kampung, ada yang seperti ayam birma, ada juga yang seperti bangkok, tanpa melupakan ciri khas yang kuat ayam super jalu dari ayam cangehgar, istilah sunda “Jang kaleuweung ngala manuk kade peurah, kade matih, kade bintih” maksud nya kalau ke hutan harus hati-hati dari “bisa” binatang di hutan, hati-hati dari hal yang mematikan, hati-hati terkena terkaman binatang.
Menurut cerita rakyat sekitar abad 14-15 di Ciparage daerah Karawang ada lurah yang memiliki ayam jawara, singkat cerita ayam lurah ini bisa mati oleh ayam ukuran yang lebih kecil dengan taji mematikan, dengan waktu singkat ayam besar itu tumbang, semua penonton kaget dan bertanya “Jang hayam naon eta ?” (Ayam apa itu?), Meunang timana? (dapat darimana?), ti Ciparage (dari Ciparage), dari situlah awal mulanya ayam jenis ini mulai dikenal.
Mitos
Mendengar kata mitos sering kali dikaitkan dengan sesuatu hal yang diluar batas nalar kita (magic), seperti halnya tradisi cerita rakyat yang sering disampaikan kepada masyarakat yang secara turun temurun (folklore) masih dilakukan sebagai pesan hikmah yang harus diambil dari sisi kebaikannya, seperti ; cerita-cerita pawayangan, Nini Anteh, lutung kasarung, cerita-cerita tersebut memiliki pesan moral yang baik, apabila dihubungkan dengan sejarah kemungkinan besar bisa diterima kebenarannya secara nyata.
Pada zaman dahulu, karena keterbatasan intelektual dan ilmu pengetahuan dan sejalan dengan keyakinan primitif manusia yang mengkaitkan setiap gejala alam dengan kekuatan-kekuatan supranatural dan mitos-mitos, hal ini menjadi suatu kewajaran karena masyarakat zaman dulu lebih meyakini kepada hal-hal tersebut.
Begitu pula dengan keberadaan Ayam Ciparage, sebagian masyarakat Desa Ciparage menganggap bahwa ayam tersebut hanya sebuah mitos.
Mitos Pertama, di kabupaten Karawang tepatnya di Desa Ciparage Kecamatan Karawang, ada cerita cukup menarik yang bisa diterima tentang keberadaan ayam ini, sebut saja Kang Ebeng, dia menceritakan tentang Ayam Ciparage hampir mirip dengan versi sejarah, dia mengatakan saat persilangannya, ada ritual-ritual tertentu, bahkan dia mengatakan “coba saja kawinkan ke 3 ras ayam yang berbeda itu, saya jamin tidak akan jadi Ayam Ciparage”, menurutnya ada hal-hal yang berhubungan dengan magic selama proses persilangannya.
Mitos kedua, Dikatakan bahwa Ayam Ciparage sudah ada sejak zaman dulu, ketika penulis menanyakan sejak kapan ayam itu berada, sumber tidak bisa menjelaskan secara detail keberadaan Ayam Ciparage tanpa persilangan ini, kami menilai mungkin karena keterbatasan pengetahuan tentang sejarah Ayam Ciparage itu dengan alasan kurangnya tradisi dalam pemeliharaan ayam tersebut secara turun temurun.
Mitos ketiga, Diceritakan bahwa Ayam Ciparage berasal dari sebuah kisah seorang anak yang mencari kayu bakar ke hutan, tiba-tiba di sore hari dia melihat seekor anak ayam, lalu anak ayam tersebut dibawa pulang dan dipelihara, saat ayam itu dewasa itulah Ayam Ciparage, konon ayamnya berwarna jalak harupat, ada yg mengatakan jalak tulak.
Mitos keempat, diceritakan ada seorang nenek yang memelihara ayam kampung, singkat cerita ayam jantannya mati karena diserang meong congkok (kucing hutan), tersisa satu induk betina, tapi si nenek tua tetap sabar dan memeliharanya, satu minggu setelah ayam jantannya mati tiba-tiba ayam betinanya itu hilang (tepung pangjuruan) si nenek mencarinya kemana-mana, tapi ayam itu tidak ditemukan, dia mengira mungkin ayamnya sudah mati dimangsa kucing hutan, diceritakan ayamnya hilang selama 40 hari, dan ternyata di pagi harinya si nenek melihat ayam betina sudah ada di belakang rumahnya yang berdekatan dengan hutan bakau, tapi ada yang aneh ayam itu tidak sendiri, ayam itu membawa 9 ekor pitik anak ayam, konon 9 ekor ayam inilah cikal bakal Ayam Ciparage, versi lain mengatakan bahwa ayam betina itu hilang selama 9 bulan dan saat pulang waktu subuh di belakang rumahnya si nenek terdengar suara ramai kokok ayam jago, saat dilihat ternyata ayam betina itu pulang dan membawa anaknya 9 ekor jantan dewasa. [Dikutip dari buku Sejarah, Legenda dan Mitos Ayam Ciparage] Ayam Tangkas Wanayasa
Sumber: http://jatiluhuronline.blogspot.com/2015/04/mitos-ayam-tangkas-ciparage-asli.html
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja