Kabupaten Trenggalek termasuk kabupaten kecil di Jawa Timur yang ha-nya mempunyai sedikit sejarah. Dalam sebuah sumber Sejarah dari sedikit yang ada di Kabupaten Trenggalek disebutkan bahwa sebenarnya sejak jaman Raja Air-langga, sudah ada penduduk atau pedagang – pedagang Islam di Jawa. Namun pe-nyebaran Agama Islam lebih intensif sejak jaman para wali, yang didukung oleh Kerajaan / Kesultanan Demak. Agama Islam yang disebar secara halus dan hati – hati ini nampak jelas pada penyebaran Agama Islam di Trenggalek. Sayangnya, sampai saat ini tidak ada dokumen tertulis yang menyebutkan tentang penyebaran Agama Islam di Trenggalek. Yang sudah ditemukan hanya cerita rakyat yang sa- ngat terkenal di Daerah Trenggalek, yang diceritakan secara lisan dan turun temu-run. Yaitu tentang cerita dari seorang tokoh terkenal di Kabupaten Trenggalek yang bernama Menak Sopal.(-,-:111)
Sedangkan untuk menyusun Sejarah Lokal, maka cerita rakyat atau fork-lore tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Memang harus dipisahkan antara mana yang sejarah dan mana yang cerita rakyat atau dongeng. Harus diingat pula bahwa Suku Jawa khususnya dan Bangsa Indonesia pada umumnya kerap kali menggu-nakan lambang – lambang dan perumpamaan yang berhubungan dengan sejarah. Begitu pula dalam sejarah Menak Sopal ini. Banyak versi tentang cerita Menak Sopal ini, tetapi pada dasarnya isinya tetap sama. Dan biasanya cerita semacam ini dihubungkan dengan nama – nama tempat di daerah – daerah dimana cerita itu berkembang, dalam hal ini Dam Bagong di daerah Bagong, Kabupaten Treng-galek.(-,-:111)
Menurut hikayat, ada seorang yang berasal dari Mataram yang bertugas mengatur daerah di timur Ponorogo yang sekarang disebut Trenggalek, yang ber-nama Ki Ageng Galek. Seringkali jika kita berbicara tentang Mataram selalu dihu-bungkan dengan Kerajaan Mataran Islam. Sedangkan yang dimaksud Mataram dalam cerita Menak Sopal ini tidak demikian. Sebab Mataram yang dimaksud di-sini adalah Mataram milik Majapahit. Hal ini dibuktikan dari Kitab Negara Krta-gama pupuh VI bait 3, yang menyebutkan antara lain:
..... Haji raja ratw ing Mataram lwir Yang Kumara nurun ..... dalam bahasa Indonesia ..... Raja di Mataram laksana Dewa Kumara datang di bumi ..... (lihat Prof. Dr. Slamet Mulyana Nagarakretagama dan tafsir sejarahnya, Bhatara, Jakarta, 1979, halaman 276). (-,-:112)
Dalam hikayat juga disebutkan bahwa, Ki Ageng Galek (mbah Galek / mbah Kawak) yang makamnya ada di Setono – Trenggalek adalah Muballigh atau Penyiar Agama di Trenggalek yang tertua yang ada peninggalannya. Muballigh yang lebih dulu mungkin sudah ada, tetapi tidak ada bukti peninggalannya.
Ki Ageng Galek dibantu oleh 6 santri (ada sumber yang menyebutkan bah-wa santri ini adalah sahabatnya, ada juga sumber yang menyebutkan bahwa santri ini adalah putranya sendiri), yaitu:
-
Ki Joyonagoro; berkedudukan di Joyonegara atau Jonegaran.
-
Ki Sosuto; berkedudukan di Sosutan.
-
Ki Dobongso; berkedudukan di Dobangsan.
-
Ki Ardimanggala; berkedudukan di Redimenggalan.
-
Ki Surohandaka; berkedudukan di Surondakan.
-
Ki Singomanggala; berkedudukan di Singomenggalan.
Kemudian ada (datang) seorang Muballigh muda yang masih bujangan membuka perguruan (pondok) di daerah Bagong yang bernama Minak Sraba. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, datang pula seorang putri dari Keluarga Raja Majapahit yang beragama Islam yang bernama Rara Amiswati, yang menjadi anak angkat Ki Ageng Galek. (Wilis,2006:8)
Dalam cerita di babad Trenggalek disebutkan bahwa Ki Ageng Galek ditugasi untuk memelihara seorang putri yang berasal dari Majapahit yang ber-nama Dewi Amiswati atau Dewi Amisayu, sebab kaki putri tersebut berpenyakit luka – luka dan berbau amis atau busuk. Dalam cerita itu memang nama puteri ta-di tidak diketahui dengan pasti. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan bagi Suku Jawa, ingat saja akan cerita Wayang Purwa yang terdapat nama Dewi Lara-amis yang karena mempunyai penyakit badannya berbau busuk lalu oleh ayahan-da raja ditugasi menjadi penyeberang Bengawan Silugangga, yang nanti akhirnya akan ditolong oleh Palasara yang merupakan penurun keluarga Pandawa dan Kurawa.
Ki Ageng Galek merasa bingung dalam melaksanakan tugas ini, sebab semua obat telah dipergunakan guna menyembuhkan penyakit sang puteri Amisayu. Sudah berjenis – jenis obat yang digunakan tapi penyakitnya tidak bisa sembuh. Karena itu disuruhnya Dewi Amisayu mandi di Sungai Bagongan (Sungai tersebut sekarang terletak di Kelurahan Ngantru Kecamatan Trenggalek). Karena merasa malu dan sedih hati, maka Putri Amisayu bersamaan dengan menjalani ritual man-di di sungai tersebut mengucapkan sayembara bahwa siapa saja yang dapat me-nyembuhkan luka – lukanya bila wanita akan dianggap saudara dan bila pria akan dijadikan suaminya. (-,-:112)
Berita ini didengar oleh raja dari seluruh buaya yang berkedudukan di Lubuk (kedung) Bagongan, yang kulitnya berwarna putih. Karena itu disebut buaya putih. Buaya tersebut bernama Menak Sraba. Kata buaya mengandung lambang bahaya, sedangkan putih adalah lambang kesucian, yang berarti kesucian suatu agama. Sedangkan kata Menak biasa dipakai oleh golongan priyayi pada jaman Islam, utamanya dari suku Sunda yang sampai sekarang kata Menak bagi suku Sunda berarti golongan bangsawan. (-,-:112)
Jadi disini Menak Sraba adalah pimpinan umat Islam di daerah sekitar Trenggalek yang oleh Ki Ageng dan golongannya yang masih beragama Hindu dianggap musuh yang membahayakan. Sedangkan kedung atau lubuk mengan-dung makna dalam. Jadi kalau Minak Sraba berasal dari Kedung berarti pimpinan umat Islam yang berasal dari pedalaman. (-,-:112)
Akhirnya, Menak Sraba berganti wujud menjadi manusia. Disamping Me-nak Sraba berwajah tampan, juga mau merendahkan diri. Hal ini tampak di dalam cerita ketika Menak Sraba mengobati luka – luka Dewi Amisayu dengan cara menjilati luka di kaki sang dewi tadi. Disini Menak Sraba lalu berwujud seolah – olah seperti ksatria Hindu yang dengan rendah hati memuji – muji Dewi Amisayu. Akibat dari tindakan ini Ki Ageng Galek mau menerima Menak Sraba sebagai anggota keluarganya dan mengawinkannya dengan Dewi Amisayu. (-,-:112-113)
Ketika Dewi Amisayu hamil 7 bulan, Menak Sraba memberi pantangan – pantangan yang tidak boleh dilanggar, antara lain Dewi Amisayu tidak diper-kenankan membuka penutup buah dadanya (bahasa jawa: mekak) dan ikat ping-gang kain panjangnya (bahasa jawa: bengkung) pada waktu matahari tenggelam. Namun apa daya, mungkin telah menjadi kodrat Tuhan Yang Maha Esa yang ti-dak dapat dihindari, karena pada suatu hari pada waktu matahari tenggelam, Dewi Amisayu menjemur penutup buah dadanya dan membuka ikat pinggang kain pan-jangnya. Sesudah itu Dewi Amisayu masuk ke dalam rumah dan sangat terkejut ketika menemui buaya putih dalam ruang itu. Apalagi ketika buaya putih ini ber-bicara seperti manusia, yang menerangkan bahwa sebenarnya buaya putih itu ada-lah Menak Sraba yang merupakan suaminya sendiri. Buaya putih itu berkata bah-wa besok bila Dewi Amisayu berputra laki – laki hendaklah diberi nama Menak Sopal. Dari gambaran cerita ini dikandung maksud perlambang bahwa Dewi Ami-sayu tidak diperkenankan menjemur atau membuka penutup buah dadanya dan ikat pinggang kain panjangnya di waktu Maghrib. Yang dimaksud disini adalah Dewi Amisayu tidak diijinkan bertelanjang bulat pada waktu Maghrib. Karena itu Dewi Amisayu bertelanjang memasuki ruang ternyata pada waktu itu Menak Sra-ba sedang Sholat Maghrib dan ternyata tidak dapat diganggu tafakurnya terhadap Tuhan, meskipun Dewi Amisayu telah bertelanjang bulat. Sejak itulah Dewi Ami-sayu mengetahui bahwa suaminya tidak beragama Hindu tetapi sudah menjadi pe-meluk agama Islam. Guna menghindari kericuhan dalam keluarga dan rakyat Ki Ageng Galek, maka Menak Sraba kembali ke tempatnya yang semula dengan me-ninggalkan Dewi Amisayu. (-,-:113)
Beberapa bulan sepeninggalan Menak Sraba, Dewi Amisayu melahirkan puteranya yang berjenis kelamin laki – laki dan diberi nama Menak Sopal. Sing-kat cerita, ketika Menak Sopal sudah dewasa, Menak Sopal meminta keterangan kepada ibunya tentang siapa sebenarnya ayahnya, Dewi Amisayu terpaksa berkata bahwa sebenarnya ayah Menak Sopal adalah buaya putih penjaga Kedung Bago-ngan. Ketika Menak Sopal mendengar uraian ibunya ini, maka segeralah dia me-mohon diri untuk pergi mencari ayahnya. Setelah beberapa waktu melakukan per-jalanan, akhirnya Menak Sopal bisa bertemu dengan ayahnya. Disitulah Menak Sopal dididik dan diberi pelajaran Agama Islam. Sepulang Menak Sopal dari Ke-dung Bagongan menuju Trenggalek, mulailah perjaka yang telah menjadi muslim ini berfikir bagaimana cara agar rakyat Trenggalek bersedia memeluk agama Rosul. (-,-:113)
Disini Menak Sopal harus menarik hati rakyat Trenggalek. Untuk itu, rak-yat Trenggalek yang pada waktu itu sebagai petani yang daerahnya sangat keku-rangan air, maka perlu didirikan tanggul air agar pengairan bisa memberi kemak-muran di daerah tadi. Inilah salah satu alat yang dapat dijadikan pegangan agar rakyat Trenggalek mau beragama Islam. Menak Sopal berusaha membuat tanggul atau bendungan di Sungai Bagong. Berulang kali bendungan itu dibuat tetapi se-lalu gagal. Untuk itu Menak Sopal meminta petunjuk ayahnya dan diberitahu bah-wa bendungan bisa terwujud bila ditumbali kepala gajah putih. (-,-:113-114)
Untuk itu Menak Sopal mengirimkan utusannya ke tempat Randa Krandon (janda yang bertempat tinggal di Krandon) yang mempunyai gajah putih. Janda Krandon tidak keberatan untuk meminjamkan gajah putihnya asal setelah selesai tugasnya dalam membantu pembuatan bendungan hendaklah segera dikembalikan ke Krandon. Utusan Menak Sopal menyanggupinya. Akhirnya gajah putih dibawa ke Trenggalek dan di dekat Sungai Bagongan gajah putih disembelih dan daging-nya dibagi – bagikan kepada rakyat yang bekerja untuk membuat Bendungan Ba-gong, sedangkan kepalanya dijadikan tumbal disitu. Ketika sudah ditumbali de-ngan kepala gajah putih, maka bendungan itu dapat diwujudkan. Air mulai me-ngairi sawah – sawah dan dapat diatur guna keperluan sehari – hari penduduk Trenggalek. Rakyat Trenggalek bersuka ria karena sawahnya dapat ditanami padi dua kali dalam setahun, padahal dulu hanya merupakan sawah tadah hujan saja. Hasil pertanian kian melimpah ruah menambah kesenangan hidup para petani. Dari tindakan Menak Sopal inilah rakyat Trenggalek mau memeluk Agama Islam. (-,-:114)
Di dalam cerita ini diceritakan bahwa bendungan itu diberi tumbal kepala gajah putih. Yang dimaksud gajah putih adalah lambang Agama Buddha dan Hin-du. Gajah adalah lambang kebesaran, putih adalah lambang kesucian suatu agama. Jadi yang dimaksud disini adalah pimpinan – pimpinan agama Hindu Buddha di daerah itu dapat diajak kerjasama oleh Menak Sopal untuk membuat bendungan, dan setelah berhasil rakyatnya merasa lebih berbahagia bila beragama Islam, kare-na disitu dijelaskan bahwa badannya gajah itu dagingnya dibagi – bagikan kepada rakyat dan kepalanya dipenggal dan dijadikan tumbal.
Disini mengandung arti bahwa pimpinan agama Hindu dan Buddha dipi-sahkan dari rakyatnya dan dengan sendirinya gajah putih itu mati, yang berarti agama Hindu dan Buddha lenyap dan berganti dengan agama Islam. (Gajah putih adalah lambang Negara Muangthai yang memeluk agama Buddha). Di dalam ceri-ta ini juga terdapat tanda kebenaran bahwa sila ketiga dari Pancasila yang meliputi kerukunan umat beragama juga pada waktu itu telah dilaksanakan. Jadi tidak mus-tahil bila rakyat Trenggalek sekarang menganggap Menak Sopal adalah Bapak Pertanian pada jaman dahulu.
Janda Krandon sudah lama menanti kedatangan gajah putih tidak pernah dikembalikan. Karena itu janda Kradon terpaksa menyiapkan tentaranya untuk meminta kembali gajah putihnya dari tangan Menak Sopal. Untuk menghindari pertumpahan darah di daerah Trenggalek, maka Menak Sopal minta pertolongan ayahnya dan bersama – sama membuat lorong di dalam tanah yang oleh rakyat sekitar biasa disebut gangsiran dari daerah Trenggalek ke rawa Ngembel. Gang-siran atau lorong di dalam tanah mengandung perlambang penyebaran agama Islam yang dilakukan secara diam – diam. Janda Krandon yang menyiapkan ten-taranya berjaga – jaga di puncak gunung sekitar Trenggalek sambil menanti gerak gerik tentara Menak Sopal. Karena terlalu lama di daerah itu sampai tangkai tom-bak prajurit – prajuritnya dinakan bubuk, akibatnya daerah itu diberi nama Gu-nung Bubuk. Sehubungan dengan itu janda Krandon terpaksa membatalkan ke-hendaknya untuk menyerang daerah Trenggalek. (-,-:114)
Di dalam cerita itu dinyatakan bahwa tentara – tentara janda Krandon tangkai tombaknya dimakan bubuk (tombak harus mempunyai tangkai, bila tidak bertangkai maka tombak tidak dapat dipergunakan lagi. Dengan kata lain tidak berfungsi lagi). Disini yang dimaksud dengan tangkai tombak adalah rakyat Kran-don. Dan maksud dari dimakan bubuk adalah rakyat disini sudah terkena penga-ruh Menak Sraba dan Menak Sopal yang menyebarkan agama Islam secara diam – diam (gangsiran). Akibatnya rakyat Trenggalek akhirnya beragama Islam. Karena itu, ujung tombak atau pimpinan yang masih beragama Hindu tidak mampu me-rebut kembali kepemimpinannya. Dan karena itu puladisitu dikatakan bahwa pra-jurit – prajurit itu dipimpin oleh janda Kradon. Janda adalah wanita yang sudah ditinggal suaminya. Dengan kata lain yang dimaksud disini adalah pemimpin umat Hindu Buddha di daerah itu sudah kehilangan pelindungnya. Itu disebabkan karena Majapahit telah runtuh dan kesultanan Islam Demak Bintoro setelah berdiri. (-,-:114)
Minaksopal sebagai seorang muballigh dan adipati islam, telah berhasil menuntaskan penyaran Islam di Trenggalek pada waktu itu, sehingga pada waktu itu sebagian penduduk di Kabupaten Trenggalek secara kwantitas menjadi penga-nut Agama Islam. Hal tersebut terbukti di seluruh wilayah Kabupaten Trenggalek sejak masa pemerintahan Adipati Minaksopal, tidak ada lagi kuil, pura, dan candi. Yang ada ialah tumbuh berkembangnya masjid, langgar dan kemudian pondok pesantren. (-,-:114)
Kesimpulan dari cerita rakyat ini, Menak Sopal adalah tokoh penyebar Agama Islam di Trenggalek dan mampu memakmurkan rakyat disitu dengan cara membangun Bendungan Bagong. Karena itu tidak aneh bila sampai saat ini cerita Menak Sopal masih hidup di hati rakyat dan makamnya masih dikeramatkan oleh rakyat Trenggalek. (-,-:114)
Sumber: http://palupicahnggalek.blogspot.com/