Produk Arsitektur
Produk Arsitektur
Bangunan Sumatera Barat Payakumbuh
Menhir di Kabupaten 50 Koto

Kabupaten Lima Puluh Koto adalah salah satu diantara Sembilan belas kabupaten di Provinsi Sumatera Barat. Sebuah kawasan berpanorama indah, dikelilingi bukit, lembah  dan gunung, bagian dari Bukit Barisan nan permai, yang seakan-akan menyimpan banyak rahasia, menghimbau tangan-tangan ahli untuk menyibaknya, membuka tabir sejarah Minangkabau yang penuh misteri. Istilah Lima Puluh Koto mengandung pengertian sebuah kawasan yang terdiri dari lima puluh koto. Kata “koto” bukan dimaksudkan kata kota dalam bahasa Indonesia, melainkan sebagai istilah untuk menyebutkan luasnya wilayah yang didiami oleh sejumlah penduduk dalam batas-batas tertentu. Bermula dari istilah “Taratak”. Akibat perkembangan penduduk maka “Taratak” berubah menjadi Dusun. Dusun berkembang menjadi Nagari dengan pucuk pimpinan seorang yang disebut penghulu. Nagari dan penghulu senantiasa menjadi urat nadi kehidupan kemasyarakatan Minangkabau.

Megalitik secara harfiah berasal dari dua kata, yakni mega (besar) dan lithos (batu), sehingga paduan dua kata itu digunakan untuk menyebut artefak batu besar, yang menjadi salah satu hasil budaya prasejarah. Tradisi megalitik adalah kebiasaan mendirikan bangunan dari batu besar, yang dikaitkan dengan pemujaan leluhur (ancestor worship). Bangunan-bangunan megalitik ini meliputi : (1) bangunan batu besar yang digunakan untuk upacara pemujaan dan/atau kubur dan (2) bangunan untuk keperluan lain, seperti batas tanah, altar atau tempat permusyawaratan, dan tanda-tanda satuan masyarakat.

Bentuk dan jenis hasil budaya ini beragam, antara lain punden berundak, menhir, dolmen, sarkofagus, peti kubur batu, batu dakon, lumpang batu, dan waruga. Kepercayaan akan adanya hubungan antara yang masih hidup dengan yang mati, selalu merupakan dasar dari pendirian bangunan megalitik. Terutama kepercayaan akan adanya pengaruh yang kuat dari si mati terhadap kesejahteraan kehidupan masyarakat dan kesuburan tanah. Bangunan megalitik tidak selalu diartikan sebagai bangunan batu besar saja, tetapi batu-batu kecilpun apabila jelas kegunaannya untuk tujuan sakral sebagaimana halnya pemujaan arwah nenek moyang, juga diklasifikasikan sebagai benda-benda megalitik. Menurut Dr. R.P.Soejono, dari adanya pemujaan itu, masyarakat mengharapkan kesejahteraan kehidupan di dunia bertambah. Sikap manusia selalu berkisar pada persoalan-persoalan manusia, binatang, bumi, dan batu. Antara gerak profane dan sacral tidak mempunyai batas-batas yang jelas sehingga setiap karya yang diciptakan senantiasa bernafaskan pemujaan arwah nenek moyang. Penciptaan suatu karya selalu disertai perasaan karya yang mengagumkan yang mencapai puncaknya ketika masyarakat telah berkembang dan pola berfikir mereka beralih dari kehidupan berpindah-pindah ke kehidupan menetap. Terciptalah rumah-rumah tempat tinggal, ladang-ladang pertanian, dan peternakan, bercocok tanam, dan lain sebaginya.

Salah satu hasil budaya megalitik adalah menhir. Menhir berasal dari bahasa Breton, “men” berarti batu dan “hir” berarti tegak (berdiri). Jadi, menhir berarti batu tegak, yaitu sebuah batu panjang yang didirikan tegak, berfungsi sebagai batu peringatan dalam hubungan dengan pemujaan arwah leluhur. Dalam pengertian vademekum, menhir adalah batu tegak berlatar tradisi megalitik yang merupakan objek pemujaan. Umumnya ditancapkan dalam posisi tegak, namun demikian ada pula yang terlentang. (Junus Satrio Atmodjo, 1999 : 25).

Menhir merupakan tinggalan tradisi megalitik yang sangat banyak ditemukan di berbagai situs dan berbagai masa setelah periode neolitik (bercocok tanam). Bahkan sampai pada masa-masa pengaruh Hindu maupun pengaruh Islam di Indonesia, menhir sebagai salah satu objek tradisi megalitik masih memegang peranan penting, bahkan berkembang sampai sekarang. Dengan adanya peranan menhir yang meliputi kurun waktu cukup lama tersebut, maka tidak mengherankan jika terjadi perkembangan-perkembangan pada bentuk-bentuk dan fungsi menhir itu sendiri. (Sukendar, 1983 : 92, Budi Wiyana, 2008 : 311). Menhir atau batu tegak secara umum mempunyai tiga fungsi, yaitu batu tegak yang berfungsi dalam upacara penguburan, batu tegak yang berfungsi dalam upacara pemujaan, dan batu tegak yang tidak mempunyai fungsi religius (Sukendar, 1983 : 100, Budi Wiyana, 2008 : 311). Fungsi Menhir atau batu tegak dalam upacara penguburan sebagai pertanda adanya penguburan dapat dilihat di berbagai daerah.

Kehidupan tradisi megalitik ini berlangsung dalam kurun waktu yang panjang dan tersebar merata di seluruh Indonesia, antara lain Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, Nias, dan beberapa daerah lain di Indonesia bagian timur. Bahkan sampai sekarang kehidupan tradisi megalitik masih terus berkembang di beberapa wilayah Indonesia. Berdasarkan lokasinya, peninggalan tradisi megalitik pada umumnya ditemukan atau terletak di daerah dataran tinggi, meskipun ada juga beberapa diantaranya terdapat di dataran rendah. Di Sumatera Barat banyak daerah yang masih kita lihat peninggalan Menhir seperti Kabupaten 50 koto, Agam. Tanah Datar dan Kabupaten Solok.  Di Kabupaten 50 Koto paling banyak kita temui menhir. Kabupaten 50 Koto sering disebut nagari dengan seribu menhir.  Menhir-menhir ini bisa kita temui di Situs Bawah Parit, Belubus, Ampang Gadang,Talempong Batu, Balai Adaik, Sungai Talang dan sebagainya.

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline