Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Hikayat Kalimantan Selatan Kotabaru
Mencari Putri Papu dari Kerajaan Bajau
- 14 November 2018

 Putri Papu sedang merana, sedih dan berduka. Putri tunggal raja di Kerajaan Bajau yang berwajah hitam manis itu sedang kesal dan tidak mau makan. Pelayan dan dayang-dayang kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan.
            Bagaimana hatinya tidak sedih? Baginda raja, ayahandanya, marah besar saat  mengetahui hubungannya dengan Maruni. Padahal mereka sudah mengikat janji setia, sehidup semati.
            “Nelayan miskin sepertimu tidak pantas mendampingi putriku! Aku sudah menjodohkannya dengan saudagar kaya dari negeri seberang!”
            Kata-kata ayahandanya itulah yang membuat hati Putri Papu sedih dan pilu, bagai disayat sembilu.
            Dikawal para punggawa dan prajuritnya, dengan bertolak pinggang Raja Bajau mengumpat dan menuding-nuding Maruni yang berlutut di hadapannya. Putri Papu mendengar semua itu dari balik pintu.
            Putri Papu mengenal Maruni di perkampungan nelayan.
            Sebagai putri raja, ia tidak menyukai aturan istana yang ketat. Di kala  senggang, di saat jenuh menenun, merancang pakaian atau menata perabotan, didampingi seorang pelayan, ia sering meninggalkan istana dan bergaul dengan rakyat jelata. Karena sifatnya itu, rakyat Kerajaan Bajau mencintainya.
            Pada suatu hari, di kampung nelayan yang sepi, ia bertemu Maruni. Pemuda itu tengah memperbaiki sampan di pantai. Matahari menyorot dadanya yang bidang dan wajahnya yang tampan.
            Karena tengah asyik bekerja menambal buritan sampannya yang bocor, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di sekitarnya.
            “Kenapa sampanmu bocor? Apakah menabrak karang?” tanya Putri Papu. Itu pertanyaan yang biasa diajukannya untuk mengetahui masalah yang dihadapi warga.
            “Tidak. Ditabrak sampan prajurit kerajaan, gara-gara aku tak mau membayar pajak ikan yang jumlahnya keterlaluan!” Maruni menyahut tanpa menoleh.
            “Mengapa tidak dilaporkan langsung kepada raja? Mungkin itu ulah prajurit rakus saja. Setahuku, Raja tidak pernah mengeluarkan peraturan yang memberatkan rakyatnya.”
            Mendengar jawaban lantang itu, Maruni menoleh.
            Ia menatap tajam mata perempuan di depannya. Perempuan itu balas menatapnya. Mereka bertatapan sekian lama. “Engkau siapa?” tanya Maruni dengan suara tercekat di tenggorokan, terpukau oleh kecantikan perempuan itu.
            “Kau tidak tahu? Ini junjunganmu, Putri Papu. Putri Raja!” sahut pelayan. Ia heran, mengapa pemuda itu tidak menunjukkan sikap hormat. Kalau tahu sedang berhadapan dengan putri bangsawan kerajaan, biasanya orang-orang akan berlutut.
            Jantung Putri Papu berdebar-debar saat beradu pandang dengan Maruni. Ia tersipu-sipu. Salah tingkah. Ia suka dengan sikap pemuda yang memperlakukannya seperti perempuan biasa itu. Ia bosan dengan pemuda-pemuda bangsawan yang menghormatinya secara berlebihan dan penuh kepura-puraan.
            Sejak itu, ditemani pelayannya, Putri Papu sering bertemu Maruni di desanya. Kadangkala mereka bertemu di pesisir pantai, di antara karang dan bebatuan. Mereka bermain, mencari kepiting, kerang dan lokan, merangkainya jadi perhiasan mainan. Berenang dan menyelam bersama. Memadu kasih. Bersumpah setia.
            Atas laporan aparatnya, suatu hari Raja Bajau mengetahui hubungan mereka. Raja murka. Ia memerintahkan punggawa membawa Maruni ke istana. Itulah yang kemudian terjadi. Raja Bajau marah besar kepada Maruni.
            “Sekarang juga, kau harus meninggalkan wilayah kerajaan! Dilarang tinggal di sini! Sebelum matahari terbit esok pagi, kau sudah harus pergi! Bila esok masih di sini, kau akan dihukum mati!” 
            Mendengar titah ayahandanya itu, Putri Papu menangis dan berlari ke pelukan ibundanya. Di kamar, permaisuri mendekap erat tubuh putri kandungnya itu. Tapi, ia tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa dilakukannya.
            Permaisuri Raja Bajau itu tak berdaya melawan kehendak suaminya. Ia sendiri bukan penduduk asli kerajaan. Ia adalah putri bangsawan dari kerajaan di seberang lautan. Dahulu, ia pun dikawinkan melalui perjodohan.
            Namun, ia tidak merasa khawatir. Ia mengira, putri kesayangannya itu juga akan menjalani nasib yang sama dengannya, dikawinkan melalui perjodohan.
            “Sudahlah, anakku. Hari sudah senja. Mandilah dulu, kemudian makan. Setelah itu, istirahatlah...” Permaisuri memapah tubuh putrinya yang lunglai, menuntunnya masuk kamar.
            Tengah malam, tiba-tiba permaisuri terjaga dari tidurnya oleh suara gemuruh yang membahana dan mengguncangkan istana. Badai sedang mengamuk! Gemuruh angin, badai dan topan menggetarkan lantai, dinding dan atap istana. Terdengar suara hiruk-pikuk, teriakan para pengawal, jeritan panik, tangis perempuan dan anak-anak.
            Raja sudah tak berada di kamar.
            Ia sudah di luar, mengumpulkan punggawa, hulubalang dan para prajurit. Memberi perintah untuk mengatasi segala kemungkinan yang terjadi.
            Hujan, badai dan topan mengamuk dengan dahsyat. Menerjang istana di pesisir pantai itu dan permukiman penduduk. Alam tampaknya sedang murka. Lautan bergelora.
            Gelombang-gelombang sebesar gunung datang, bergulung, menyapu pantai, menghanyutkan perahu, sampan dan jaring nelayan. Rumah-rumah nelayan di tepian pantai dilulur ombak dan dihisap gelombang ke tengah lautan. Seakan lidah seekor naga raksasa yang menelan mangsanya.
            Permaisuri teringat Putri Papu.
            Bergegas, dibukanya pintu kamar. Tetapi, Putri Papu tidak ada! Bahkan, kasur, bantal dan selimutnya masih utuh, seolah tak pernah disentuh.
            “Anakku, Papu! Papuuu...!” Permaisuri berteriak-teriak. Panik. Menangis. Tergopoh-gopoh, diperiksanya seluruh ruangan istana. Dari satu kamar, ke kamar lainnya. Dua prajurit pengawal mengikuti ke manapun ia pergi. Mereka tak mau disalahkan apabila terjadi sesuatu pada permaisuri.
            Keesokan harinya, ketika matahari terbit, penduduk kerajaan gempar. Putri Papu hilang! Kepada para punggawa dan hulubalang, Raja Bajau memerintahkan agar seluruh prajurit melakukan pencarian secara besar-besaran. Bagi yang menemukan, akan diberikan imbalan.
            Ruangan istana yang hancur dibongkar, siapa tahu Putri Papu tewas tertimpa reruntuhan. Pesisir pantai dan batu karang juga diperiksa, kalau-kalau mayatnya dihanyutkan air ke sana. Namun, semuanya sia-sia. Tidak ada petunjuk yang jelas. Putri Papu lenyap tanpa bekas.
            Karena terlalu sedih memikirkan Putri Papu, permaisuri jatuh sakit. Seluruh tabib istana tak mampu mengobati. Tiga hari setelah sakit, ia mangkat. Sebelum mangkat, ia terus mengigau, sendu dan pilu, “Alla tulu... Anakku, Papu... Papuuu....” 
            Setelah tujuh hari tujuh malam melakukan pencarian tanpa hasil, Raja Bajau mengumpulkan seluruh rakyatnya di halaman reruntuhan istana. Bangunan istana yang terbuat dari kayu itu sudah porak-poranda. Dengan mata sembab, lelah dan sedih, ia bertitah:
            “Saat matahari terbit esok pagi, seluruh rakyat Kerajaan Bajau harus pergi ke laut. Carilah Putri Papu! Tidak boleh ada yang kembali ke daratan sebelum bertemu! Bawalah istri, anak dan cucu. Berangkatlah dengan perahu! Bawa perabotanmu! Jangan kembali tanpa izinku!”
            Mendengar titah itu, serempak penduduk menyiapkan sampan, perahu, dan mengumpulkan anggota keluarga masing-masing. Satu perahu memuat sejumlah keluarga, terdiri dari orang tua, beberapa pasang suami-istri, bayi dan anak-anak. 
            Karena titah Raja Bajau tidak bisa dianggap sembarangan, keberangkatan tiap keluarga dipersiapkan dengan matang. Barang keperluan sehari-hari dibawa serta. Bahan-bahan sandang pangan pun dibawa secukupnya, termasuk peralatan memasak.
            Karena tidak tahu sampai kapan pencarian itu akan berakhir, peralatan musik alahai juga dibawa. Untuk menghibur diri di laut di kala sunyi, siapa tahu mereka takkan pernah tinggal di darat lagi. Mereka harus menjalankan titah itu. Harus menemukan Putri Papu. Mereka tak mau seumur hidup menanggung malu.
            Dengan dipimpin langsung oleh raja, keesokan harinya armada perahu dan sampan rakyat Kerajaan Bajau itu berlayar. Di tengah lautan, sampan dan perahu-perahu itu berpencar ke seluruh penjuru.
            Bila malam tiba, mereka beristirahat di pesisir pantai pulau terdekat, tapi tidak tidur di darat. Makan-tidur tetap dilakukan di sampan dan perahu. Siang hari, mereka menukarkan ikan hasil tangkapan dengan garam dan kebutuhan hidup sehari-hari, dengan penduduk yang tinggal di darat.
            Waktu terus berlalu dan mereka terus berlayar mencari Putri Papu. Di laut, di saat tertentu, dengan nada pilu, terkadang mereka berseru, “Papuuu... Papuuu... Papuuu...!”
            Selama dalam pelayaran, mereka beranak-pinak. Tiap kali seorang perempuan melahirkan, orangtuanya menyampaikan amanat Raja Bajau: orang-orang Bajau tidak boleh tinggal di darat sebelum menemukan Putri Papu.
            Sampai kapan pun, mereka tetap harus mencarinya. Siapa tahu Putri Papu  dihanyutkan ombak lautan. Mungkin ia sedang menunggu untuk ditemukan. Tidak ada yang pernah berpikir sampai kapan pencarian itu akan berakhir. Mereka sudah menganggapnya takdir.
            Orang-orang Bajau dan keturunannya telah menjadikan sampan, perahu dan   lautan sebagai bagian dari kehidupan. Lautan dan samudera sebagai rumahnya. Sebagian dari mereka kini berada di pesisir Desa Rampa (Kecamatan Pulau Laut Utara), Rampa Manunggal (Kecamatan Sampanahan), Rampa Cengal (Kecamatan Pamukan Selatan), Desa Rampa, Sungai Bali (Kecamatan Pulau Sebuku), Rampa Banyu Berantai (Kecamatan Pulau Laut Timur) dan di Muara Pasir (Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur).  

Sumber:

http://datutadungmura.blogspot.com/2012/02/cerita-rakyat-kabupaten-kotabaru.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Dari Rendang Hingga Gudeg: 10 Mahakarya Kuliner Indonesia yang Mengguncang Lidah
Makanan Minuman Makanan Minuman
DKI Jakarta

1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...

avatar
Umikulsum
Gambar Entri
Resep Ayam Goreng Bawang Putih Renyah, Gurih Harum Bikin Nagih
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Resep Ayam Ungkep Bumbu Kuning Cepat, Praktis untuk Masakan Harian
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya