|
|
|
|
Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat Tanggal 05 Aug 2014 oleh Gandung Aryopratomo. |
Masjid ini berlokasi di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Penyengat sendiri merupakan pulau kecil seluas 3,5 kilometer persegi namun menyimpan begitu banyak warisan sejarah kebesaran Kerajaan Riau-Lingga di masa lalu dengan corak keislamannya.
Lebih dikenal dengan sebutan Masjid Pulau Penyengat, keberadaan masjid ini menjadi ikon sejarah penting di Kepulauan Riau. Mengapa demikian? Itu karena masjid ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih ada.
Masjid yang masih terawat baik ini memiliki warna kuning menyala berpadu warna hijau. Ukurannya sekira 54 x 32 meter dengan bangunan induknya 29,3 x 19,5 meter. Di sekitar masjid terdapat pemakaman muslim. Masjid Sultan Riau begitu megah dengan tiga belas kubah dan empat menara runcing setinggi 18,9 meter.
Susunan kubahnya bervariasi dan dikelompokkan menjadi tiga dan empat kubah. Total kubah dan menaranya ada 17, sebuah angka yang mencerminkan jumlah rakaat shalat. Masjid Sultan Riau merupakan masjid pertama di Indonesia yang memakai kubah. Sampai saat ini belum diketahui dari mana arsitektur masjid ini berasal.
Masjid yang dahulu hanya bangunan sederhana ini, kini disulap menjadi bangunan tidak hanya menawan dan megah tetapi juga unik. Awalnya masjid ini berupa bangunan kayu berlantai dua dengan lantai batu bata dan menara setinggi 6 meter untuk mengumandangkan panggilan salat. Raja Abdurrahman Yang Dipertuan Muda Riau VII, (1831-1844) kemudian memerintahkan renovasi pada 1 Syawal 1248 Hijriah (1832 M). Perbaikan masjid ini saat itu sebagai bentuk syukur kepada Yang Mahakuasa atas kemakmuran penduduk Pulau Penyengat.
Perbaikan masjid melibatkan tukang bangunan orang-orang India yang didatangkan dari Singapura. Selain itu raja juga memerintahkan berbagai lapisan masyarakat di seluruh wilayah Riau Lingga bertindak sebagai tenaga pekerja. Saat itu, orang-orang dari penjuru Riau Lingga berdatangan membawa perlengkapan masing-masing mulai dari makanan, peralatan dan material bangunan.
Ada cerita ketika pasokan makanan seperti beras, sayuran dan telur, jumlahnya berlimpah maka rupanya telah menjadikan pekerja merasa bosan dengan makanan yang sama setiap hari. Akhirnya mereka hanya makan kuning telur saja dan menggunakan putih telur sebagai bahan perekat bangunan yang dicampurkan dengan adonan pasir dan kapur.
Kini setelah direnovasi terlihat megah dengan arsitektur unik dan warna kuningnya yang mencolok jika dilihat dari kejauhan. Luas kompleks masjid sekira 54,4 x 32,2 meter dengan bangunan induk berukuran 29,3 x 19,5 meter. Masjid ini ditopang empat tiang dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm serta masih berlantaikan batu bata.
Sumber: indonesia.travel
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |