Pomparan Nai Ambaton
Naimbaton adalah nama seorang ibu istri pertama Tuan Sorimangaraja. Disebut Naiambaton karena anaknya bernama Siambaton yang disebut juga sebagai Tuan Sorba Dijulu atau Suli Raja. Menurut cerita Ibu Naimbaton inilah yang berpesan kepada anaknya Siambaton agar keturunannya bersatu. “Sisada lulu anak si sada lulu boru” artinya tetap merasa satu keluarga dan tidak saling mengawinkan anak antar sesama mereka di kemudian hari.
Tuan Sorba Dijulu (Siambaton) mempunyai empat orang anak;
– Simbolon Tua
– Tamba Tua
– Saragi Tua
– Munthe Tua
Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah anak Tuan Sorba Dijulu, dimana ada yang mengatakan mempunyai 4 (empat) orang anak, dan juga ada yang mengatakan mempunyai 5 (lima) orang anak, dan anak yang ke-5 adalah bernama Nahampun Tua.
Munte Tua yang merupakan anak ke-4, dari Naimbaton mempunyai 3 orang anak, yaitu;
– Ompu Raja Panguruan
– Ompu Jelak Maribur
– Ompu Jalak Karo
Ompu Jelak Maribur mempunyai 2 orang anak, yaitu;
– Ompu Saha Hulubalang (Parsanti Ulu Balang)
– Raja Isora
Raja Isora mempunyai 1 (satu) orang anak yang bernama Datu Morani Aji. Kemudian Datu Morani Aji mempunyai 3 (tiga) orang anak, yaitu;
– Ompu Pamarpar
– Ompu Toga Raja
– Ompu Tuan Nabue
Ompu Pamarpar mempunyai 2 (dua) orang anak, yang bernama Ompu Sait Pagar, dan Ompu Tinumpahan. Pada kisahnya, Ompu Tinumpahan dari Negeri Tamba kemudian pergi ke Humbang tepatnya di Dolok Sanggul, untuk menjumpai saudaranya Ompu Saha Ulu Balang (Parsanti HuluBalang) yang saat itu masih menggunakan marga Siambaton.
Menurut sejarah Ompu Jelak Maribur alias Raja Parultop inilah yang menjadi orang Batak pertama yang menggunakan marga Haromunte. Bagaimana sejarahnya sehingga keturunan dari Munthe atau Parna ini kemudian “memisahkan” diri dan menjadi satu marga baru yang otonom, ini akan kita lihat kemudian.
Namun, sebelum lebih jauh ada juga diskrepansi antara Haromunthe dengan Haro Rajagukguk karena kedua marga ini sama-sama menggunakan kata “Haro”. Ini perlu dijelaskan karena hingga hari ini pun masih banyak orang Batak yang belum bisa membedakannya.
Haromunthe Tidak Sama Dengan Haro Raja Guk-Guk
Raja Parultop dikenal sebagai seorang dukun besar yang dulunya tinggal di Huta Sibabiat Negeri Tamba, yang mempunyai sebuah ultop (merupakan sejenis senjata zaman dulu yang terbuat dari bambu). Ultop ini dia peroleh ketika berkenala ke Tanah Karo. Ultop yang berlilit kulit lintah yang sampai saat ini masih disimpan dengan baik oleh keturunannya di Huta Sibabiat Negeri Tamba ini diberi nama Ultop Ipuh.
Keturunan Raja Parultop di Negeri Tamba dengan demikian menggunakan marga Haromunthe. Setelah beberapa keturunan Haro Munthe berada di Negeri Tamba, suatu ketika datanglah marga Haro Raja Guk Guk ke Negeri Tamba yang bernama Ompu Djohana yang keturunannya sekarang ini adalah keturunan dari Ompu Tuan Lada.
Dengan demikian tinggallah di Negeri Tamba 2 marga yang sama-sama memakai Haro yaitu Haromunthe dan Haro Raja Guk Guk. Karena sama-sama memakai marga Haro, masyarakat kadang-kadang bingung mana yang Haromunthe, dan mana yang Haro Raja Gukguk. Kadang kala juga masyarakat menganggap mereka sama, akan tetapi kenyataannya Haromunthe adalah keturunan dari Munte Tua, yaitu anak ke-4 dari Raja Naimbaton, sedangkan Haro Raja Gukguk adalah perpecahan dari marga Raja Guk Guk yang parsadaannya adalah Si Raja Lontung.
Untuk mengatasi keragu-raguan masyarakat terhadap siapa Haromunthe, dan siapa Haro Raja Gukguk terutama yang berada di Negeri Tamba, maka pada Tahun 1962 Haro Munthe yang berada di Negeri Tamba, maupun di perantauan mengadakan Pesta Partamiangan selama 3 hari berturut-turut yang juga dihadiri oleh abang/adiknya Marga Munthe yang berada diluar Negeri Tamba, seperti Munthe dari Dolok Sanggul, Sidikalang, Pollung, dan dari Huta Hauganjang.
Dalam acara pesta tersebut, pada saat menari (manortor) yang diikuti Haromunthe bersama abang adiknya sambil memegang Ulltop pusaka peninggalan Raja Parultop. Kemudian setelah pesta partamiangan selesai, maka jelaslah diketahui oleh masyarakat umum bahwa antara Haromunthe dan Haro Raja Guk Guk yang ada di Negeri Tamba tidak ada hubungan silsilah marga sama sekali, dan Haromunthe yang ada di Negeri Tamba, banyak mempunyai abang adik yang berada di luar Negeri Tamba terutama Munthe yang ada di Humbang (Dolok Sanggul).
Masyarakat Batak yang ada diperantauan maupun yang tinggal di Bona Pasogit selalu bergabung ke persadaannya. Misalnya; marga Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Aritonang, Siregar, parsadaannya adalah Si Raja Lontung. Kemudian contoh lain seperti marga Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munte Tua, Nahampun Tua, persadaannya adalah Naimbaton dan begitu juga marga-marga lain yang semuanya ada persadaannya.
Sebagai mana telah kita jelaskan sebelumnya Naimbaton adalah nama seorang Ibu yaitu nama isteri pertama Tuan Sorimangaraja nama itu melekat padanya adalah karena nama anaknya Siambaton, nama Naiambaton inilah yang menjadi nama untuk keturunan Siambaton atau Tuan Sorbadijulu lebih popular nama itu diakronimkan PARNA (Parsadaan Naimbaton). Namun Setelah kongres PARNA tahun 1946 di Sibolga, singkatan PARNA berubah menjadi Parsadaan Raja Naimbaton.
Kalau melihat silsilah masyarakat Batak bahwa Raja Naimbaton adalah sundut ke-4 (empat), dan Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) adalah sundut ke-6 (enam) dengan demikian perkawinan Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) ke salah seorang boru dari marga Tamba Lamban Tonga-Tonga adalah bertentangan dengan apa yang dipesankan oleh Naimbaton sebagai mana telah dijelaskan diatas.
Sekarang timbul pertanyaan dan jawabannya akan menuntun kita pada raison d’etre dari marga Haromunthe sendiri.
Bagaimana kedudukan Haromunthe dalam wadah Parsadaan Raja Naiambaton (Parna)?
Jelas bagi keturunan Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) hal ini sering merupakan permasalahan dan tanda tanya apakah masuk PARNA atau tidak. Permasalahan ini sering akan jelas kelihatan peliknya terutama jika berurusan dengan upacara adat dimana harus jelas posisi Dongan Tubu, Hula-hula dan Boru (sesuai prinsip Dalihan Na Tolu).
Bahkan sampai muncul beberapa orang bermarga Haromunthe mengaku dirinya Haro Raja Gukguk. Padahal, tentulah tidak jelas kedudukan mereka dalam silsilah Rajagukguk. Mereka tidak bisa menyebutkan dimana posisi mereka (nomor atau sundut) menurut garis genealogi [karena memang bukan dari Rajagukguk].
Untuk mengatasi permasalahan dan keragu-raguan tersebut diatas udah sering dilakukan musyawarah oleh para tua-tua adat yaitu di Bona Pasogit Negeri Tamba. Puncaknya adalah musyawarah pada Tanggal 15 September 1982 di Kota Medan. Karena keterbatasan akses informasi dan situasi, tidak semua marga Haromunthe bisa mengikuti musyawarah tersebut. Seandainya musyawarah tersebut benar-benar bisa menghadirkan semua marga Haromunthe yang ada, tentu konsensus yang dihasilkan disana akan lebih mudah diterima dan diikuti oleh semua peserta konsensus.
Namun, hal ini tidak menghalangi jalannya musyarawah. Terbukti musyawarah tetap dijalankan.
Berikut adalah para utusan yang hadir dalam musyawarah tersebut:
1. Dari Bona Pasogit Negeri Tamba mewakili Haromunthe si Tolu Ama, yaitu Ompu Jahipas Munthe
2. Dari kabupaten Labuhan Batu, yaitu Ompu Parsaoran Munthe
3. Dari kota Medan sekitarnya, yaitu Amani Robinson Munthe
4. Dari Dolok Sanggul, yaitu Apu Munthe
5. Utusan dari Tongging, yaitu Nathan Munthe, Letkol N. Munthe, dan St. M. Munthe
6. Ketua Umum Pengurus Munthe/boru kota Medan sekitarnya, yaitu St. Maraden Munthe.
Hasil dari musyawarah tersebut adalah:
Terhitung sejak hari Sabtu tanggal 10 September 1982 Haro Munthe yang ada di Bona Pasogit Negeri Tamba dengan Haromunthe yang merantau dari Bona Pasogit di seluruh Indonesia/Dunia supaya hanya memakai marga MUNTHE.
Tentu saja ini masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Karena bagaimanapun, beberapa pertanyaan tetap belum terjawab.
– Bagaimana dengan nasib orang Batak bermarga Haromunthe yang masih mempunyai saudari atau bibi yang “terlanjur” menikah dengan marga Parna? Bukankah satu-satunya alasan bahwa perkawinan itu sah ialah karena saudari boru Haromunthe itu bukan bagian dari Parna?
– Apa sebenarnya alasan utama untuk kembali mengenakan marga Munthe jika ternyata leluhur dari Haromunthe sendiri jelas sudah dinyatakan sebagai bukan Parna?
– Jika keturunan dari Parna sendiri sudah mengetahui bahwa ada seorang bermarga Munthe, yakni Datu Jelak Maribur alias Datu Parultop yang melanggar ketentuan dari Nai Ambaton dengan menikahi boru Tamba Lumban Tonga-tonga, bagaimana kemudian nasib dari keturunan Haromunthe yang tidak ingin mengenakan marga Haromunthe lagi, tapi sebaliknya mengenakan “Munthe” saja?
Demikianlah, hasil musyawarah tersebut diatas memang sangat berat untuk dilaksanakan terutama bagi mereka yang tinggal di Bona Pasogit, dan mengambil boru tulangnya.
Dalam urusan administrasi sipil juga hal ini membawa imbas yang cukup besar. Mereka harus merombak semua dokumen sipil dan gerejani seperti: Akte kelahiran, KTP, Ijazah, SIM, Surat Baptis, dan dokumen lainnya yang sudah tercatat dengan memakai marga Haromunthe.
Cukup jelas bahwa hasil musyawarah inipun tidak bisa tidak hanya berkekuatan himbauan dan saran, bukan sesuatu yang bersifat obligatoris atau mewajibkan secara hukum.
Hubungan Haromunthe dengan Tamba
Sudah merupakan suatu kebiasaan bagi warga masyarakat batak, orang tua selalu menganjurkan kepada anaknya laki-laki (terutama yang sulung) untuk mengawini paribannya (mangalap boru ni tulangna). Dahulu kebiasaan ini sering terjadi dan masih dianjurkan oleh banyak keluarga Batak, yakni supaya seseorang kawin dengan pariban/boru tulangnya.
Dalam adat yang hidup pada keluarga Batak, bila seseorang anak pertama mau berencana kawin akan tetapi tidak dengan paribana/boru tulang selalu diusahakan MANULANGI TULANGNYA, tujuannya adalah meminta doa restu agar si pemuda tadi jodoh dengan calon istrinya dan kalau sudah mengikat perkawinan supaya keluarga tersebut menjadi keluarga yang harmonis. Hal ini disebabkan ada kalanya si tulang selalu mengharap bahwa bere-nya akan menjadi menantunya apabila kebetulan ada boru-nya yang sepadan umur dengan bere-nya itu.
Apabila seorang pemuda berencana kawin tanpa pamit dengan tulangnya sedangkan boru tulangnya sudah ada yang sepadan, hal ini dapat berakibat renggangnya hubungan kekerabatan.
Dari uraian diatas sangatlah jelas bahwa seorang anak laki-laki (pemuda) kalau mau kawin selalu mencari boru ni tulangnya. Setidak-tidaknya yang semarga dengan ibunya. Kebiasaan ini pada zaman dulu sangatlah banyak kita jumpai. Seiring perkembangan zaman, kebiasaan tersebut kendati masih diteruskan tetapi tidak lagi dipromosikan segencar zamann dahulu. Semakin banyak juga orang tua yang memberi kebebasan penuh kepada anak gadis dan anak laki-lakinya untuk menentukan pilihan mereka.
Dengan kawinnya Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) keturunan Munte Tua dengan boru dari marga Tamba Lumban Tonga-Tonga maka sejak itulah keturunan Ompu Djelak Maribur memanggil tulang kepada Tamba Lumban Tonga-Tonga dan anak keturunan Datu Parultop adalah bere Tamba Lumban Tonga-Tonga.
Dalam sejarah Haromunthe sebagaimana telah diuraikan pada halaman terdahulu bahwa Ompu Djalak Maribur (Datu Parultop) adalah keturunan Munte Tua dengan demikian jelas marganya adalah Munthe. Akan tetapi karena sesuatu hal yang terjadi akibat perbuatan Datu Parultop terhadap anak boru dari marga Tamba Lumban Tonga-Tonga sehingga pada saat itu Datu Parultop yang bermarga Munthe itu direstui mengawini perempuan yang telah disembuhkan dari penyakitnya. Jika dikembalikan pada ketentuan yang dinasihatkan oleh Nai Ambaton dan dipedomani oleh seluruh marga yang ada dalam kesatuan PARNA, jelas bahwa hal ini merupakan pelanggaran serius. Pelanggaran yang berakibat fatal, yakni DIKELUARKAN dari kesatuan marga Parna.
Konsekuensi lebih lanjut, untuk mengakomodasi dampak punitif dari pelanggaran itu tanpa harus menghilangkan keberadaan Datu Parultop dari Habatakon, ditinjau perlu untuk membedakan mana marga Munthe yang berasal dari keturunan Ompu Jelak Maribur dengan mana keturunan Munthe yang bukan dari Datu Jelak Maribur. Jelas: Dibutuhan suatu identitas baru, sebuah marga baru.
Dan hal ini memang benar sudah dipikirkan oleh para leluhur terdahulu. Ompu Jelak Maribur, yang ketika itu masih bermarga Munthe, akhirnya ditambahkanlah kata “Haro” pada marganya, yakni Munthe. Supaya penambahan ini membawa dampak efektif, kata “Haro” yang ditambahkan disana menjadi begitu penting, karena menjadi pembeda antara golongan Munthe yang berasal dari Ompu Jelak Maribur dengan yang bukan berasal dari Ompu Jelak Maribur.
Dengan demikian, setiap keturunan dari Datu Jelak Maribur atau Datu Parultop Hal ini pun tidak selalu mudah karena di kemudian haripun penulisan marga menjadi bervariasi:
1. Haro Munthe
2. Haromunthe
3. Haromunte
4. Haro (yang ini sudah jelas tidak digunakan lagi, karena potensial menimbulkan kebingungan yang sama ketika Haro Rajagukguk berada di negeri Tamba).
Demikianlah keturunan dari Ompu Djelak Maribur (Datu Parultop) yang mengawini boru dari marga Tamba Lumban Tonga-Tonga pada zaman dahulu kala masih hidup dan bertumbuh dalam jumlah hingga sekarang. Berawal dari Bona Pasogit yakni Negeri Tamba, populasi Batak yang bermarga Haromunthe pun menjadi bertambah banyak, kendatipun untuk mengetahui data angka spesifiknya, perlu dilakukan sensus yang serius.
Seiring dengan perkembangan zaman, semakin banyak orang Batak yang merantau keluar tanah kelahirannya. Sebagian dari para perantau Batak itu adalah orang yang bermarga Haromunthe. Dari sebagian ini, beberapa masih mengetahui asal-usul marga mereka dan masih bisa menjelaskan mengapa Munthe bisa berbeda dengan Haromunthe.
Sebagian lagi tidak lagi mengerti mengapa ia bermarga Haromunthe dan bukan Munthe. Bahkan ketika mereka ditanya oleh orang Batak lain, mereka sering kebingungan menjelaskan sehingga begitu saja menyamakan Munthe dan Haromunthe, sesuatu yang sangat ganjil ketika ber-Tarombo dengan sesama Batak.
Semoga dengan tulisan ini, kebingungan tadi tidak perlu terjadi lagi.
Sama seperti Nusantara adalah Majapahit, Sriwijaya, Demak, Kediri, Kutai, Samudra Pasai sebelum proklamasi, tetapi begitu proklamasi dikumandangkan, semua itu sudah menjadi Indonesia.
Pada akhirnya, tidak relevan lagi menanyakan: Anda orang Indonesia keturunan dari kerajaan mana? Majapahit? Sriwijaya? Kutai? Untuk sekedar mengetahui asal-usul bolehlah. Tetapi dalam bingkai Indonesia, mempertanyakan hal itu sampai pada tingkat yang bisa menyebabkan segregasi tentu bukan gagasan yang pantas ditiru.
Sama seperti itu, tidak relevan lagi meributkan “Dari dari mana kata [Munthe] itu anda peroleh pada marga [Haromunthe]? Dari Munthe Tua kah? Dari Dalimunthe kah? Sama kah dengan marga [Munthe] yang ada di Tanah Karo?”, dan seterusnya.
Keberadaan kita sebagai keturunan Haromunthe yang masih hidup sampai sekarang sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan bersyukur karena ternyata Debata Mulajadi Nabolon atau YHWH atau Allah SWT masih memberkati kita. Seperti dahulu Datu Parultop bersyukur kepada Mulajadi Nabolon karena masih memberkatinya dengan dengan keturunannya, dengan cara yang sama hendaknya kita para keturunan dari Datu Parultop bersyukur karena YHW/Tuhan/Allah SWT masih memberkati kita dengan keluarga dan keturunan kita.