Tradisi “Marbinda” bagi orang Batak Toba sudah berlangsung turun temurun. Marbinda merupakan tradisi masyarakat Batak menyembelih hewan kemudian dibagikan pada warga. Setelah agama Kristen masuk ke Tanah Batak, tradisi ini pun dilakukan pada saat menyambut Natal dan Tahun Baru.
Marbinda bertujuan untuk merawat kebersamaan, memeriahkan Natal serta mensyukuri berkat yang telah didapat selama satu tahun sekaligus menyongsong Tahun Baru dengan penuh suka cita.
Hewan yang dibeli berasal dari uang yang dikumpulkan dari setiap warga. Hewan itu disembelih dan dipotong-potong untuk diberikan kepada warga. Pada umumnya warga yang mendapat adalah mereka yang ikut ikut berpartisipasi dalam pengumpulan dana. Tetapi tidak tertutup kemungkinan juga dibagi kepada masyarakat yang tidak mampu yang ada di kampung itu.
“Tahun ini kami tetap melakukan Marbinda. Natal kemarin kami motong. Dan rencananya tanggal 31 juga akan motong. Setiap tahun di kampung ini kami Marbinda,” kata salah seorang warga Ujung Serdang, Patumbak, kepada medanbisnisdaily.com, Jumat (29/12/2017).
"Di sini bukan hanya orang Batak Toba tetapi juga banyak masyarakat Karo. Namun kami kompak dan bisa “Marbinda” bersama-sama. Tidak memandang suku ataupun gereja. Bagi kami semuanya sama. Yang penting kompak, lanjutnya.
Tradisi Marbinda memang masih terus dilakukan terutama di daerah-daerah pemukiman orang Batak yang ada di Sumatra Utara. Tradisi ini dinilai sarat makna, antara lain kebersamaan, kekeluargaan dan kehangatan. Masing-masing akan mendapat bagian yang sama dengan yang lainnya. Dengan kata lain, setidaknya pada momen Natal maupun Tahun Baru seperti sekarang ini, setiap orang bisa merasakan sukacita bersama.
“Tradisi Marbinda patut untuk dilestarikan. Ia bukan sekadar bagi-bagi daging. Di dalamnya ada nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Di dalam budaya Batak Toba itu dibilang ‘si sada hudon’. Artinya setiap orang merasakan makanan yang sama dan dari sumber yang sama,” tukas budayawan Batak Toba Batara Siahaan.
Batara menyayangkan tradisi ini tidak semeriah dulu. Bila sudah marbinda, semua warga ikut bergotong-royong. Ada yang bertugas menyembelih, membuat perapian, meracik bumbu sampai memasak. Di masa lalu, tidak hanya daging mentah yang diberikan, tetapi yang sudah dimasak. Jadi setiap warga merasakan menu yang sama.
Tidak seperti sekarang, soal selera diserahkan kepada masing-masing warga. Setelah itu dilanjutkan dengan saling mengunjungi, ketika Tahun Baru tiba. Itulah momen yang tepat untuk saling memaafkan.
“Mungkin sudah zamannya. Yang terpenting tradisi ini harus tetap dijaga. Kalau pun tidak bisa dilakukan seperti di masa lalu, yang penting semangat kebersamaan itu masih ada,” pungkasnya.
Sumber:
http://www.medanbisnisdaily.com/news/online/read/2017/12/29/18881/marbindatradisi_masyarakat_batak_toba_sambut_tahun_baru/
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang