Upacara adat selalu mewarnai kehidupan orang Nias mulai dari ketika seseorang berada dalam kandungan, lahir, bertumbuh, hingga pada kematian. salah satunya adalah pelaksanaan upacara kematian yang disebut “Maluaya Famadaya Hasi Zimate (prosesi pengangkatan peti jenazah)”
Pelaksanaan upacara pelepasan jenazah ini bisa dikatakan sangat jarang sekali dilaksanakan di Pulau Nias. Sebab, hanya orang-orang yang mampu dan tergolong bangsawanlah, yakni(si’ulu) dan golongan penetua adat (si’ila), yang mampu melakukan upacara ini. Untuk golongansi’ila tidak semua keluarga boleh menyelenggarakan upacara adat ini, tergantung bagaimana peran almarhum di masyarakat selama dia hidup.
Karena jarang dilaksanakan, tidak mengherankan, ketika acara ini dilaksanakan di Kota Gunungsitoli pada Minggu (24 Juli 2011) lalu mengundang perhatian warga. Hujan lebat yang turun saat upacara berlanjut pun warga yang antusias menyaksikan rangkaian acara itu bergeming.
Upacara yang hanya ditemukan di Nias Selatan ini dilaksanakan pada pemakaman seorang pengusaha dan mantan anggota DPRD Kabupaten Nias, Alexander Yampo Dachi, yang meninggal Kamis (21/7/2011) pada usia 65 tahun.
Almarhum yang berasal dari Hilisimaetanö, Kabupaten Nias Selatan, ini sudah menetap selama puluhan tahun di Kota Gunungsitoli. Namun, saat beliau meninggal dunia, keluarganya menyelenggarakan upacara adat kematian sesuai yang berlaku di masyarakat Nias Selatan.
Almarhum yang memiliki gelar kebangsawanan Siwa Åli Batu itu dimakamkan di sebuah pemakaman di tepi pantai di Jalan Diponegoro Km. 4 Gunungsitoli, Minggu (24/7/2011).
Patung “Telau Lasara”
Prosesi Maluaya Famadaya Hasi Simate dipimpin langsung oleh Hikayat Manaö, seorang budayawan dari Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan.
Saat ditanya pendapatnya tentang upacara adat yang sangat jarang terjadi itu, Hikayat Manaö mengatakan, sangat bangga dengan keluarga almarhum karena dengan menyelenggarakan acara seperti itu, secara tidak langsung, keluarga almarhum ikut melestarikan budaya Nias, khususnya Nias Selatan.
Yang membedakan penguburan biasa dengan bangsawan, terutama si’ulu, ini adalah peti jenazah yang dihiasi dengan patung telau lasara diarak. Adapun bila yang meninggal si’ila tidak menggunakan patung telau lasara. Hal ini karena si’ila bukan dilihat sebagai strata tetapi dilihat dari fungsinya. Bila dilaksanakan dengan utuh, peti jenazah si’ulu diarak keliling kampung dengan dua orang di atas peti sambil maluaya (tari perang).
Pada pemakaman Alexander Yampo Dachi itu juga terlihat para pengusung peti jenazah menggunakan ikat kepala dari kain putih sebagai simbol berduka yang sangat mendalam atas meninggalnya almarhum.
Patung telau lasara melambangkan seorang raja yang berwibawa dan bijaksana. Saat peti dikubur, patung telau lasara tidak ikut dikuburkan karena patung tersebut akan diletakkan di permukaan makam.
Dalam pengangkatan peti jenazah, serombongan pria berpakaian adat lengkap dengan toho (tombak) dan baluse (perisai) berada di depan pengusung peti. Mereka menari (maluaya) yang disebut fadöli hia.
Di antara mereka, ada yang melantunkan hoho (puisi yang dilagukan), yang disebut hoho famadaya.Hoho tersebut mengisahkan almarhum semasa masih hidup. Di dalam hoho famadaya terkandung wejangan-wejangan bijak sehingga masyarakat yang mendengar bisa belajar dari kehidupan almarhum.
Penyair hoho adalah seorang yang mempunyai keahlian khusus. Walaupun kata-kata yang diucapkan lebih banyak bersifat spontanitas, tetap tersusun dan terstruktur, baik dari tema-temanya maupun substansi dan kata-kata yang digunakan. Penyair hoho juga harus paham sejarah dan data terkait mengenai almarhum.
sumber: http://berkat-iman-j-z.blog.ugm.ac.id/2012/03/14/maluaya-famadaya-hasi-zimate/
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati
Bangunan GKJ Pakem merupakan bagian dari kompleks sanatorium Pakem, yang didirikan sebagai respon terhadap lonjakan kasus tuberculosis di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, saat obat dan vaksin untuk penyakit ini belum ditemukan. Sanatorium dibangun untuk mengkarantina penderita tuberculosis guna mencegah penularan. Keberadaan sanatorium di Indonesia dimulai pada tahun 1900-an, dengan pandangan bahwa tuberculosis adalah penyakit yang jarang terjadi di negara tropis. Kompleks Sanatorium Pakem dibangun sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan kapasitas di rumah sakit zending di berbagai kota seperti Solo, Klaten, Yogyakarta, dan sekitarnya. Lokasi di Pakem, 19 kilometer ke utara Yogyakarta, dipilih karena jauh dari keramaian dan memiliki udara yang dianggap mendukung pemulihan pasien. Pembangunan sanatorium dimulai pada Oktober 1935 dan dirancang oleh kantor arsitektur Sindoetomo, termasuk pemasangan listrik dan pipa air. Sanatorium diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII pada 23...
Bahan-bahan 4 orang 2 bungkus mie telur 4 butir telur kocok 1 buah wortel potong korek api 5 helai kol 1 daun bawang 4 seledri gula, garam, totole dan merica 1 sdm bumbu dasar putih Bumbu Dasar Putih Praktis 1 sdm bumbu dasar merah Meal Prep Frozen ll Stok Bumbu Dasar Praktis Merah Putih Kuning + Bumbu Nasi/ Mie Goreng merica (saya pake merica bubuk) kaldu jamur (totole) secukupnya kecap manis secukupnya saus tiram Bumbu Pecel 1 bumbu pecel instant Pelengkap Bakwan Bakwan Kriuk bawang goreng telur ceplok kerupuk Cara Membuat 30 menit 1 Rebus mie, tiriskan 2 Buat telur orak arik 3 Masukkan duo bumbu dasar, sayuran, tumis hingga layu, masukkan kecap, saus tiram, gula, garam, lada bubuk, penyedap, aduk hingga kecap mulai berkaramel 4 Masukkan mie telur, kecilkan / matikan api, aduk hingga merata 5 Goreng bakwan, seduh bumbu pecel 6 Siram diatas mie, sajikan dengan pelengkap
Wisma Gadjah Mada terletak di Jalan Wrekso no. 447, Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma Gadjah Mada dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh PT GAMA MULTI USAHA MANDIRI. Bangunan ini didirikan pada tahun 1919 oleh pemiliknya orang Belanda yaitu Tuan Dezentje. Salah satu nilai historis wisma Gadjah Mada yaitu pada tahun 1948 pernah digunakan sebagai tempat perundingan khusus antara pemerintahan RI dengan Belanda yang diwakili oleh Komisi Tiga Negara yang menghasilkan Notulen Kaliurang. Wisma Gadjah Mada diresmikan oleh rektor UGM, Prof. Dr. T. Jacob setelah di pugar sekitar tahun 1958. Bangunan ini dikenal oleh masyarakat sekitar dengan Loji Cengger, penamaan tersebut dikarenakan salah satu komponen bangunan menyerupai cengger ayam. Wisma Gadjah Mada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal Tuan Dezentje, saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai penginapan dan tempat rapat. Wisma Gadjah Mada memiliki arsitektur ind...
Bangunan ini dibangun tahun 1930-an. Pada tahun 1945 bangunan ini dibeli oleh RRI Yogyakarta, kemudian dilakukan renovasi dan selesai tanggal 7 Mei 1948 sesuai dengan tulisan di prasasti yang terdapat di halaman. Bangunan bergaya indis. Bangunan dilengkapi cerobong asap.