Ritual
Ritual
Ritual Jawa Timur Wonogiri
Malam Selikuran
- 22 November 2018

Tradisi Malam Selikuran merupakan salah satu wajah Islam Nusantara yang mewarisi semangat akulturasi Islam-Jawa versi Wali Songo dalam berdakwah.

Selepas salat tarawih, ratusan prajurit Kasunan Surakarta berbaris membawa pedang, tombak, dan panah di depan Kori Kamandungan memimpin Kirab Malam Selikuran. Mereka berjalan menuju Masjid Agung Kauman, diikuti para punggawa keraton dan abdi dalem yang memikul 1.000 nasi tumpeng dan membawa 1.000 lampu ting (lentera).

Sebagian abdi dalem berbaris sambil menabuh gamelan, sementara lainnya menyanyikan tembang Macapat Dandhangula, yang diambil dari Serat Wulangreh karya Sunan Pakubuwono IV yang bertutur tentang Al-Qur’an sebagai sumber ajaran sejati serta rahasia malam seribu bulan.

Tidak seperti tahun sebelumnya, kirab tumpeng sewu dan lampu ting tidak berakhir di Masjid Agung, melainkan berlanjut menuju Kebonraja Taman Sriwedari yang berjarak sekitar tiga kilometer. Tahun ini, kirab dikembalikan mengikuti kebiasaan Sunan Pakubuwono X yang melakukan kembul bujana (kenduri) Malam Selikuran di Sriwedari.

Di Joglo Sriwedari, para abdi dalem meletakkan kotak-kotak kayu yang dipikulnya dan menatanya di tengah lantai. Setiap kotak berisi nasi tumpeng yang dikemas dalam bungkusan plastik per porsi makan–nasi berbentuk kerucut dalam wadah takir (mangkuk kertas)–untuk mempermudah dan mempercepat pembagian.

Setiap bungkus terdiri dari nasi gurih, cabai hijau besar utuh, kedelai hitam goreng, irisan mentimun, dan telur puyuh. Nasi putih melambangkan kesucian hati untuk menyambut sepertiga terakhir bulan Ramadan, sedangkan sebiji cabai warna hijau sebesar telunjuk jari melambangkan ketauhidan dan persaksian tentang keesaan Allah.

“Saat Nabi turun dari Jabal Nur di malam yang gelap di malam 21, 23, dan 25, para sahabat dan pengikutnya selalu membawa obor-obor untuk menyambut dan menerangi jalan beliau menuju ke rumah.”

Setelah panitia membacakan sejarah Malam Selikuran, ulama keraton memimpin doa kenduri dengan khusyuk dan diamini oleh semua yang hadir. Sebagai akhir ritual, nasi tumpeng bungkus dibagikan kepada semua orang untuk disantap bersama.

Karena jumlahnya terbatas 1.000, tidak semua orang yang datang bisa mendapatkannya. Selain warga yang menyaksikan, para abdi dalem sendiri juga ikut berebut. Satu tumpeng nasi gurih kira-kira setara dengan satu bungkus nasi Padang, cukup mengenyangkan untuk satu orang.

Dulu tradisi ini dikenal sebagai Maleman Kebonraja yang mampu menarik masyarakat pedesaan dari sekitar Solo. Setiap Maleman, orang-orang di Sukoharjo, Sragen, Klaten, Wonogiri, dan Boyolali datang ke Sriwedari untuk menyaksikan kirab, termasuk ikut berebut nasi gurih.

Tradisi dari Sunan Pakubuwono X inilah yang membuat Kebonraja populer di kalangan orang-orang tua sejak 1927 sebagai pusat keramaian malam. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, pihak keraton mengalihkan tujuan kirab Malam Selikuran ke Masjid Agung karena lahan Sriwedari dilanda sengketa hak waris.

Tradisi Malam Selikuran sudah ada sejak Kerajaan Demak, dan dilanjutkan oleh Kerajaan Pajang, Mataram, dan Kartasura untuk menyambut Lailatul Qadar, yang dalam kepercayaan Islam merupakan malam paling agung karena kemuliaannya sama dengan 1.000 bulan.

Sebagai penerus tahta, Kasunan Surakarta tetap melestarikannya dengan menggelar kirab setiap malam ke-21 bulan Ramadan setiap tahunnya.

Selikur artinya 21, yang memiliki makna sebagai awal malam ganjil di sepuluh hari terakhir di mana satu di antaranya merupakan Lailatul Qadar. Malam ke-21 Ramadan juga istimewa karena menandai peristiwa turunnya Nabi Muhammad dari Gua Hira di Jabal Nur setelah menerima wahyu (Al-Qur’an) pertama dari Allah lewat malaikat Jibril pada hari ke-17 Ramadan.

“Saat Nabi turun dari Jabal Nur di malam yang gelap di malam 21, 23, dan 25, para sahabat dan pengikutnya selalu membawa obor-obor untuk menyambut dan menerangi jalan beliau menuju ke rumah,” kata perwakilan keraton Kasunanan Surakarta yang memimpin acara, KPHA Sosronegoro.

“Kirab lampu ting ini untuk mengingat dan melestarikan peristiwa Nabi yang mendapatkan wahyu pertama kali.”

Lampu ting juga menggambarkan cahaya seribu bulan yang menandai turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadan. Ini mengadung ajaran bahwa cahaya itulah (Al-Qur’an) yang menjadi penunjuk jalan bagi manusia untuk melangkah. Namun, untuk mendapatkan cahaya itu, setiap orang Islam harus mempelajari dan mengamalkannya.

Lampu ting merupakan teplok–lampu minyak dengan kaca semprong–yang diberi tangkai sebagai penerang jalan kirab. Namun, saat ini panitia juga menggunakan petromaks selain teplok.

Meskipun sekarang cahayanya kalah oleh lampu listrik di jalan-jalan, pihak keraton tetap membawanya sebagai bagian dari ritual agar tidak menghilangkan makna Malam Selikuran. Selain lampu ting, beberapa abdi dalem juga membawa lampion yang berlambang Kasunanan Surakarta.

Sedangkan tumpeng sewu melambangkan sedekah Ramadan dari Kasunanan untuk masyarakat sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan menyambut malam Lailatul Qadar. Ini meniru kebiasaan para sahabat Nabi yang berlomba-lomba menyediakan makanan sepulang Nabi dari Jabal Nur.

Tradisi Malam Selikuran merupakan salah satu wajah Islam Nusantara, yang mewarisi semangat akulturasi Islam-Jawa versi Wali Songo dalam berdakwah. Para wali sengaja mengumpulkan massa dengan cara memasukkan syiar Islam ke dalam tradisi lokal yang sudah mengakar di masyarakat sebelum Islam masuk ke Jawa.

Raja-raja dinasti Mataram meneruskan ajaran Wali Songo dengan tidak menghilangkan unsur kejawen dalam setiap peringatan hari-hari besar Islam. Selain Malam Selikuran, keraton juga melestarikan Gerebek Gunungan pada Maulid Nabi, Idulfitri, dan Iduladha.

“Kirab ini sudah dimulai oleh Sultan Agung pada zaman Mataram, lalu kami teruskan sampai sekarang ini. Jadi kira-kira sudah ada sejak lebih dari 350 tahun,” ujar Sosronegoro.

Acara Malam Selikuran melibatkan lebih dari 1.000 orang dari keraton, 200 personil polisi, dan 150 orang dari Pemerintah Kota Surakarta. Kirab juga dijaga polisi bersenjata lengkap di beberapa sudut jalan.

sumber: https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/173207-malam-selikuran-tradisi-islam-jawa-lailatul-qadar

#SBJ

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline