×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Tradisi

Asal Daerah

Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali

Makotek

Tanggal 27 Dec 2014 oleh Diah Dharmapatni.

Makotek/Makotekan/Ngerebeg merupakan upacara untuk memohon keselamatan dan tolak bala oleh warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Makotek digelar setiap enam bulan sekali pada hari raya Kuningan. Mulanya, upacara ini dikenal dengan istilah Ngerebeg. Kata ‘Ngerebeg’ berasal dari kata ‘Rebeg’ yang berarti tombak, melakukan penombakan terhadap seseorang. Prosesi ini menggambarkan perasaan senang dan gembira menyambut kemenangan raja Mengwi atas Kerajaan Blambangan, sebagai gambaram tentang keperkasaan, keperwiraan, kewibawaan bala tentara Kerajaan Mengwi.

Sejarah Makotek

Pada zaman kerajaan dahulu, Desa Adat Munggu di bawah kekuasaan Puri Mengwi, yaitu Ida Cokorda Mengwi sebagai rajanya, dan pembantu raja di dalam kepemerintahannya kebanyakan berasal dari Desa Munggu. Di bawah pemerintahan raja Mengwi, ternyata sangat bijaksana dan baik dengan rakyatnya. Begitu pula sebaliknya rakyatnya juga sangat berbakti terhadap rajanya yang memerintah.

Berselang beberapa lama kepemimpinan raja Mengwi, akhirnya berkeinginan melawan ekspansi untuk menaklukkan raja Blambangan yang dibantu oleh para pepatihnya. Sebelum rencana itu dilaksanakan, raja Mengwi beserta pendampingnya melakukan persembahyangan bersama ke Pura Dalem Kahyangan Jagat yang ada di Desa Adat Munggu. Persembahyangan ini bertujuan untuk memohon agar rencana untuk menaklukkan raja Blambangan bisa tercapai. Di dalam persembahyangan itu, beliau berjanji kalau semua keinginan tercapai, akan mempersembahkan ulam yaitu Caru kebo Yus berana yaitu induknya putih atau kerbau putih. Kemudian anaknya “kerbau hitam” dan yang belum ditusuk hidungnya itulah yang disebut kebo yus berana.

Setelah beliau tiba di Blambangan mulailah terjadi pertempuran yang sangat hebat sekali. Namun sesuai keinginan beliau serta para pendampingnya maka tercapai sesuai dengan harapan. Setelah lama beliau di sana sampai rasa gembira tidak bisa dibendung, lalu beliau berkeinginan untuk pulang. Panjak-panjak beliau yang berada di Desa Munggu, khususnya sudah lama menunggu. Di dalam perjalanan sebelum menyebrang lautan menuju Gilimanuk di sana lalu pendamping-pendamping beliau yang lengkap dengan senjata tombaknya lalu bersorak gembira sambil mengacung-acungkan karena senang sampai ada salah satu yang kena tombak hingga berdarah. Setelah Ida Cokorda melihat pendamping-pendamping beliau sampai berdarah, disitulah lalu beliau mengatakan dan mengeluarkan Bisama (tutur leluhur).

Apabila nanti luka yang kena tombak segera sembuh, akan sanggup merayakan makotek pada hari Saniscara wuku Kuningan yang diikuti oleh seluruh krama Desa Adat Munggu. Agar supaya seluruh Desa Adat Munggu dapat menyaksikan acara makotek, maka di dalam perayaan tersebut mengelilingi Desa Adat Munggu, dengan membawa tombak masing-masing.

 

Versi lainnya menyebutkan pelaksanaan upacara makotek berpedoman pada lontar Sri Jaya Kasunu. Seorang raja Sri Jaya Kasunu mengetahui bahwa di masa para leluhurnya memerintah kondisi-kondisinya sangat menyedihkan. Hal ini disebabkan oleh karena tidak pernah berlangsung lebih dari satu tahun memerintah lantas raja tersebut menemui ajalnya. Setelah Sri jaya Kasunu naik tahta, beliau melakukan semadi dengan segala upacaranya untuk memohon jalan keluar.

Dalam semadinya, diketahui bahwa para leluhurnya kurang melaksanakan upacara keagamaan sehingga semua pura mengalami kerusakan Dan akhirnya malapetaka itu bisa menyerang raja yang memerintah serta rakyatnya. Selanjutnya melalui semadi ini raja Sri Jaya Kasunu diberi petunjuk agar melaksanakan upacara keagamaan tersebut dengan baik dan tertib pada hari tertentu. Maka dari itu, upacara makotek terus dilaksanakan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan tolak bala.

Pada penjajahan Belanda ketika upacara makotek dilaksanankan pada hari Kuningan. Semua masyarakat keluar membawa tombak masing-masing dari rumahnya serta tombak-tombak yang berada di Pura Kahyangan Tiga diusung oleh Krama Desa Adat Munggu secara bergiliran. Begitu pula seluruh masyarakat keluar dengan membawa tombak lalu dilihat oleh Belanda, penjajah merasa takut. Lalu, Bendesa Adat Munggu sebagai penguasa wilayah Desa Adat, disuruh menghadap Belanda untuk membicarakan tentang perayaan makotek. Mulai saat itulah lalu tombak-tombak yang biasa dipakai makotek diganti dengan kayu. Kemudian kayu untuk pengganti tombak itu adalah kayu pulet, kayu yang tidak mudah dipatahkan. Besarnya kurang lebih sebesar tangkai cangkul, dan panjangnya kurang lebih 3,5 meter.

 

Persiapan Makotek

Jenis kayu yang digunakan untuk makotek ialah kayu pulet. Panjang kayu sekitar 3-4 meter. Tidak ada orang yang secara khusus menjual kayu pulet, maka dari itu warga desa mencarinya di tepi sungai. Warga desa Munggu menggunakan kayu pulet untuk mekotek karena kayu tersebut dikenal elastis dan kuat. Saat mekotekan kayu akan saling tumpuk dan saling lilit, jika tidak kuat pasti akan patah. Setelah kayu didapat, mereka akan menguliti hingga bersih. Kemudian, mereka menghias kayu itu dengan tamiang, pandan, dan plawa serta penyucian dengan tirta.

 

Pelaksanaan Makotek

Makotek dimulai sekitar pukul 13.00 WITA. Ratusan warga desa Munggu akan mengelilingi desa sembari membawa kayu menyerupai tombak. Selanjutnya yang nampak unik dan menarik, di setiap titik tertentu, khususnya pada persimpangan-persimpangan jalan, kayu-kayu itupun diadu. Masing-masing krama pun menahan kayunya itu kuat-kuat agar tidak sampai jatuh.

 

Sumber: http://bali.tribunnews.com/2014/12/26/hari-ini-warga-desa-munggu-gelar-tradisi-mekotek

Puluhan kayu pulet beradu saat makotek

DISKUSI


TERBARU


Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

Refleksi Realit...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Refleksi Keraton Yogyakarta Melalui Perspektif Sosiologis

Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya manusia menjadi penyebab munculnya kebudayaan. Kebudayaan sangat penting dalam k...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...