Aceh merupakan daerah yang kaya akan khazanah sejarah dan kebudayaan. Setidaknya banyak aktivitas sejarah dan budaya penting yang menjadi sebuah kearifan lokal dalam masyarakat di Aceh, terutama dalam usaha membangun peradaban Islam..
Islam dibawa dan disebarkan ke Aceh dengan berbagai cara. Hal utama yang dilakukan adalah melalui perkawinan. Selanjutnya, anak yang lahir dari hasil perkawinan tersebut dididik melalui unsur-unsur yang juga bernuansa Islami. Salah satu metode ringan yang biasa digunakan adalah Dodaidi (meng-”nina”-”bobok”-kan). Dodaidi berasal dari bahasa Aceh, yaitu “doda” dan “idi”. Doda atau peudoda yang berarti bergoyang, dan idi atau dodi yang berarti berayun.
Dodaidi merupakan upaya orang tua khususnya kaum “mak” atau ibu untuk menidurkan anaknya diiringi lantunan syair-syair dalam bahasa Aceh. Dodaidi biasanya memerlukan beberapa alat seperti ija kroeng (kain sarung) / ija sawak (kain selendang) dan tali yang digantungkan pada bara kayu, tidak jarang pula digantungkan di pohon-pohon depan rumah sehingga kenyaman tidur si bayi lebih terasa atau agar mudah diawasi si ibu yang melakukan kegiatan ringan di halaman rumah.
Rumah Aceh yang berkonstruksi kayu serta berarsitektur panggung dan terdiri atas tiang-tiang yang tinggi sangat memungkinkan ibu-ibu zaman dahulu mengikat ayun di bawah lantai rumah sambil melakukan kegiatan lainnya. Hal tersebut dapat dijumpai di daerah perkampungan di Pidie, Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Tamiang, dan daerah lainnya. Kebiasaan masyarakat Aceh, Dodaidi hanya dilakukan pada siang hari. Mungkin si ibu hendak mengerjakan pekerjaan rumah yang banyak tertinggalkan, maka agar pekerjaannya dapat dikerjakan tanpa gangguan si anak, sang ibu menidurkan anaknya terlebih dahulu dengan metode Dodaidi.
Ada pesan terindah dibalik syair Dodaidi. Itulah sebabnya masyarakat Aceh sangat menyukainya. Banyak seniman yang telah menghabiskan waktunya untuk memajukan peradaban, sehingga senandung pengantar si bayi tidur tersebut masih terpelihara dan tercatat sampai sekarang. Tetapi sangat disayangkan, karya yang sarat dengan nilai-nilai agama itu sekarang kurang diminati, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada lagi, apalagi dipengaruhi oleh modernisasi yang semakin meresahkan. Para ibu lebih menyukai cara terbaru saat menidurkan anaknya. Terkadang caranya tidak memberikan kebaikan bagi anak. Ibu zaman sekarang lebih senang mengayunkan bayinya dalam ayunan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang remote control seraya menyaksikan gosip selebriti kesayangannya.
Belum lagi ibu-ibu yang menyandang status wanita karier. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tidak cukup suami yang menafkahi melainkan istri juga ikut berpartisipasi. Akhirnya si anak hanya dititipkan pada pembantu, baby sitter. Kini, sudah banyak pula dipakai ayun elektronik. Dengan metode baru ini, tak perlu bersentuhan pun dengan ayunan. Sang ibu cukup menekan remote control dari jauh untuk menggerakkan ayunan.
Dengan cara demikian, tentu tak mungkin berharap banyak agar terjalin hubungan batin antara anak dan ibu. Ikatan batin antara si anak dan ibu pun terus berkurang. Padahal, untuk mengaplikasikan syair-syair Dodaidi, butuh kolaborasi antara si ibu dengan anak. Seperti syair berikut, “Allah hai do dodaidi, boeh gadong bi boeh kayee uteun, rayeuk sinyak hana peue mak bri, ayeb ngoen keji ureung donya kheun. Wahe aneuk bek taduk le, beudoeh saree tabila bangsa, bek tatakot keu darah ile, adak pih mate poma karela.”
Walau anak hampir ketiduran dengan merdunya lantunan syair oleh ibu, terasa ibu dan anak saling berinteraksi. Ada pesan moral mendalam untuk si anak saat dewasa kelak. Meskipun syair tersebut berbaur politik yang membuat anak kadang tidak memahaminya, tetapi itulah pesan moral yang merupakan turunan perintah agama, sehingga menjadikan watak masyarakat Aceh keras bila agama mereka ditindas.
Seiring terjadinya perubahan zaman yang semakin modern, syair Dodaidi yang dikenal telah melahirkan generasi yang berbudi luhur, kini telah hilang ditelan arus globalisasi yang merajai Aceh saat ini. Masyarakat saat ini telah lupa akan budaya yang pernah dimiliki, sehingga menjadikan kita terus mengikuti arus tanpa menyadari manfaat dari makna-makna yang telah kita punahkan.
Konsep dasar pendidikan Islam menganggap bahwa proses pendidikan mulai dari bayi usia dini sampai kematian seseorang. Mungkin konsep pendidikan seumur hidup ini telah mengilhami tradisi Aceh untuk menambahkan pesan pendidikan dalam lagu Dodaidi. Tentu saja, metode ini juga diakui dalam konsep pendidikan modern seperti yang diterapkan dalam gaya bermain kelompok melalui lagu pengantar tidur yang berbeda.
Dalam Islam, memperkenalkan pendidikan agama adalah kewajiban bagi orang tua. Itulah sebabnya pesan agama selalu ditemukan dalam lagu Dodaidi. Tujuan utama adalah memperkenalkan anak-anak dengan Allah dan ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu umumnya semua lagu Dodaidi diawali dengan asma Allah, seperti “Allah hai Do dodaidi”. Sedangkan yang lainnya dimulai dengan frasa lengkap melafazkan ke-Esaan Allah, seperti, “Laa Ilaaha Illallah”, tidak ada Tuhan selain Allah.
Demikianlah indahnya budaya Aceh yang satu ini. Sebagian besar perilaku masyarakat dan karya seperti syair tersebut selalu bersandarkan pada Alquran dan hadist.
Rasulullah bersabda, “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat.” Sungguh pesan nabi dalam hadist ini telah diamalkan oleh masyarakat Aceh sejak dulu melalui Dodaidi. Memang ketika syair Dodaidi dilantunkan, bukan si cabang bayi yang mempelajarinya sendiri, melainkan sang ibu yang melantunkannya dengan penuh harap untuk kebaikan si anak pada masa mendatang. Bagaimana pun juga, sedikit banyak anak akan memahami maksud sang ibu. Karena itu, tutur dan perilaku orang tua sangat mempengaruhi watak anaknya, sehingga jika perilaku orang tua tidak baik, maka tidak jarang pula anaknya berperilaku hal yang sama saat bermasyarakat. Bahkan dalam ilmu kedokteran dinyatakan, perilaku orang tua mempengaruhi janin dalam kandungan, seperti pepatah menyebutkan, “Kiban bruek meunan bhoi” atau “Anak adalah cerminan orang tua.” Akan tetapi, tentu tak semuanya demikian. Dalam sebuah komunitas, hampir selalu ada pengecualian. Tak ada keseragaman mutlak.
Sepengetahuan penulis, sekitar tahun 1990-an, Dodaidi pernah dilombakan di Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang, tepatnya di Kampong Masjid yang diikuti oleh lima kampong dalam kemukiman Kampong Mesjid. Perlombaan tersebut merupakan selingan dalam MTQ saat itu. Panitia MTQ mempersiapkan peralatan sebagaimana penulis sebut di atas. Namun, yang menarik di ajang tersebut adalah panitia memutar rekaman bayi sedang menangis, sedangkan para kontestan berasal dari kalangan wanita muda. Wanita muda tersebut menggendong bantal, seolah-olah bayi sedang menangis dan berupaya menenangkan, mendiamkannya, sambil mendodaidi diiringi syairnya.
Budaya Dodaidi harus kembali dihidupkan demi terjaganya warisan indatu Aceh, sehingga menjadikan Provinsi Aceh daerah yang sangat khusus dan istimewa di antara provinsi lain di Indonesia. Agar generasi muda berminat dan mengamalkan kembali petuah tersebut, ada baiknya Dodaidi dijadikan sebagai cabang budaya yang patut diperlombakan, apalagi mengingat tahun 2013 adalah tahun penyelenggaraan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA-VI). Semoga tulisan singkat ini menjadi inspirasi bagi generasi muda Aceh khususnya kaum perempuan untuk memikirkan kembali akan pentingnya budaya Dodaidi.
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2013/05/19/dodaidi-budaya-yang-tereliminasi?page=2