Lagu Lir-ilir merupakan sebuah tembang dolanan (lagu anak-anak) karangan Sunan Kalijaga yang dipergunakan sebagai media untuk mendakwahkan Agama Islam di Nusantara. Alasan dipilihnya lagu sebagai media dakwah adalah agar mudah dimengerti oleh masyarakat pada kala itu yang rata-rata belum terdidik. Selain itu, juga sebagai penarik bagi semua kalangan yang ada di Jawa untuk mengenal Islam lebih mendalam.
Adapun lirik lagu Lir-Ilir adalah sebagai betikut beserta terjemahannya dalam Bahasa Indonesia:
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wes sumilir
(Bangun, bangunlah, pohon sudah mulai bersemi)
Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
(Demikian menghijau, bergairah bagai pengantin baru)
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
(Anak gembala, anak gembala, panjatkan belimbing itu)
Lunyu-lunyu yo penekno, kanggo mbasuh dodotiro
(Walaupun licin tetap panjatlah, untuk mencuci pakaianmu)
Dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir
(Pakaian, pakaian yang buruk, yang rusak pinggirkanlah)
Dondomono, Jlumatono, kanggo sebo mengko sore
(Jahit dan benahilah, untuk menghadap nanti sore)
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane
(Selagi terang sinar bulan, selagi masih banyak waktu)
Yo surako, surak hiyo
(Mari bersorak-sorak ayo)
Dengan lirik yang sederhana, kata-kata yang mudah dimengerti, dan nada yang riang gembira, lagu ini menjadi media penyampaian yang ampuh oleh para wali songo. Meskipun terkesan sederhana, lirik yang ada dalam lagu ini memiliki makna agama yang sangat mendalam.
Dimulai dengan kata Lir-ilir, lir -lir yang memiliki arti bangunlah, lagu ini mengajak subjek untuk bangkit dari tidurnya. Tidur dalam hal ini bukan hanya berarti tidur secara fisik diatas dipan. Tetapi adalah tidur dimana seorang manusia berada dalam kondisi mati sementara dan dalam kegelapan. Bangun berarti ajakan untuk bangkit dan mulai berdzikir. Ajakan untuk kembali pada ajaran agama dan keluar dari kegelapan. Selanjutnya, kalimat Tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar berarti bahwa apabila seorang insan telah bangun dan mulai berdzikir atau kembali kejalan agama yang benar, maka akan menghasilkan kehidupan yang indah dan nyaman bagaikan pohon yang hijau dan rindang. Hidup yang demikian indah dan bersemangat hingga diumpamakan bagaikan psangan pengantin yang baru saja menikah. Pengantin dalam hal ini juga merupakan perumpamaan raja-raja di Nusantara yang mulai memeluk islam dan meninggalkan agama leluhur mereka. Tujuan dicantumkannya raja-raja ini adalah supaya rakyat biasa yang mendengarkan lagu ini akan mengikuti jejak raja-raja yang memeluk Islam. Perpindahan ini jugalah yang diibaratkan sebagai pohon rimbun berwarna hijau.
Pada baris berikutnya, Cah angon, cah angon bermakna memanggil seorang anak gembala. Alasan penggunaan anak gembala alih-alih seorang kyai atau pemuka agama adalah konsep anak gembala sebagai pemimpin dan pelindung bagi hewan gembalaannya. Seorang anak gembala harus membawa hewan gembalaannya ke padang hijau untuk merumput, menjaga pada saat malam, dan menghindarkan dari bahaya yang mengancam. Sama seperti figur seorang pemimpin yang harus memimpin rakyat atau bawahannya ke arah yang lebih baik. Bukan menjerumuskan kearah hal yang sesat.
Penekno blimbing kuwi memiliki arti panjatkan buah belimbing itu. Panjatkan bermakna ajakan atau dorongan untuk memeluk dan menjalankan syariat Islam. Sedangkan buah belimbing dipilih karena merupakan buah berwarna hijau-kuning yang memiliki 5 sudut yang menggambarkan Rukun Islam yang memiliki 5 perkara. Lunyu-lunyu yo penekno, kanggo mbasuh dodotiro merupakan sebuah pesan untuk berpegang teguh pada ajaranIslam meskipun akan banyak cobaan yang menghadang. Poin yang terdapat dalam hal ini adalah untuk tetap berusaha sekuat tenaga. Apabila sudah berpegang teguh pada iman dan syariat Islam, maka akan mudah bagi seseorang untuk membersihkan hati dan pikiran yang diumpamakan sebagai "pakaian" sehari-hari. Pakaian juga dapat diumpamakan sebagai karakteristik sesorang dalam bersosialisasi. Apabila pakaian (hati dan pikiran) kita lusuh dan kotor, maka akan sulit bagi kita untuk berinteraksi sosial dengan orang lain. Sesoarang dengan hati, pikiran, dan karakter yang baik akan dengan mudah melebur dalam masyarakat.
Pada baris berikutnya, Dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir, Dondomono, Jlumatono, kanggo sebo mengko sore merupakan lanjutan dari baris sebelumnya yaitu apabila "pakaian" kita yang lusuh dan kotor hendaknya segera dipinggirkan. Bukan berarti pakaian itu akan dibuang melainkan untuk segera dijahit kembali dan dibenahi agar indah kembali dan layak untuk dipakai. Perbaikan ini hendaknya dilakukan sesegera mungkin sebelum menghadap waktu sore hari. Waktu sore hari disini memiliki arti sebelum datang kematian karena sore merupakan penghujung hari dan kematian merupakan akhir dari hidup. Artinya, hendaknya seseorang itu memperbaiki iman dan karakternya sesegera mungkin sebelum datang kematiannya.
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane memiliki makna bahwa dalam kehidupan saat ini, selagi masih memiliki waktu yang longgar dan keinginan yang kuat, hendaknya iman tersebut segera diperbaiki. Sebelum sinar tersebut meredup dan waktu yang semakin sempit yang tidak memungkinkan untuk melakukan perbaikan diri tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan banyaknya waktu luang yang dipergunakan untuk hal yang sia-sia. Waktu tersebut dapat dipergunakan untuk suatu hal yang lebih bermanfaat.
Lagu ini ditutup dengan ajakan untuk bersorak. Yo surako, surak hiyo berarti sambutlah lagu ajakan ini dengan sorak kegembiraan. Untuk menjalankan syariat tersebut dengan senang hati dan keinginan yang kuat. Serta agar bahagia mengingat manfaat bagaikan pohon yang rindang menunggu diakhir perjuangan memperbaiki diri, iman, takwa.
#OSKMITB2018
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...