Martapura awal nya namanya adalah Kayuntangi, nama Martapura di berikan oleh Sultan Banjar ke 4, Sultan Mustainbillah pada abad-16 akibat keraton di Kuwin dihancurkan Belanda dan menjadi nama resmi hingga sekarang. Kota ini juga disebut kota santri di Kalimantan, karena terdapat pesantren Darussalam dan di kota ini banyak sekali santri-santri yang berpakaian putih-putih yang hilir mudik untuk menuntut ilmu agama dan selain itu juga kota ini terkenal sebagai kota yang agamis. Salah satu ulama yang terkenal adalah Kyai Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin al-Mufti Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang bergelar Al Alimul Allamah Al Arif Billaah Albahrul Ulum Al Waliy Qutb As Syeekh Al Mukarram Maulana (biasa dipanggil Abah Guru Sekumpul atau Tuan Guru Ijai).
Selain dikenal sebagai kota yanga agamis, Martapura juga dikenal dengan Kota Intan dari semenjak jaman Belanda, walau sebenarnya pendulangan intan bukan di Martapura tetapi didaerah kecamatan Cempaka (Banjarbaru) kemudian hasil pendulangan tersebut dikirim ke-Martapura untuk diasah, cutting, diikat dan di jual alhasil Martapura lah yang trkenal penghasil dan pendulangan intan.
Konon legendanya kalau menemukan intan ketika mendulang harus segera disimpan didalam mulut agar tidak hilang, sebab mitosnya intan itu milik makhluk gaib jadi kalau tidak “diliuri” bisa diambil yang empunya lagi (mahluk gaib). Dan ketika mendapat intan jangan berteriak “intan” tetapi harus bilang ”galuh” dan intan yang didapat tadi harus segera di simpan dalam mulut sebab jika tidak intan itu bisa berubah atau hilang. Kejadian ini pernah dialami oleh teman penulis ketika ia dan keluarga wisata dan mendulang intan di daerah Martapura ini, kebetulan anaknya mendapatkan intan tersebut, ketika ia mendapatkannya ia langsung berteriak “intan”, saat dibawa ternyata intannya menghilang.
Intan yang paling terkenal dari daerah Martapura ini adalah Intan Trisakti, pada bulan Agustus tahun 1965 pernah ditemukan intan sebesar 166,75 karat di Cempaka oleh sekelompok pendulang intan dibawah pimpinan H. Madslam dkk (24 orang). Lokasi penemuannya adalah di pendulangan intan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Banjar (sekarang Kota Banjarbaru) dan kemudian “dibeli” oleh pemerintah Soekarno dan diberi nama Intan Trisakti.
Menurut versi piagam yang diberikan oleh Menteri Pertambangan Republik Indonesia (Armunanto), Intan Trisakti tidak dijual oleh para penemunya tetapi dipersembahkan kepada Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno (Majalah Sarinah Jakarta). Atas jasa bakti persembahan itu pemerintah berjanji akan memberikan balas jasa yang sepadan kepada para H. Madslam. Balas jasa memang diberikan dalam bentuk ongkos naik haji untuk para penemu intan ditambah dengan sanak keluarganya, dan para pejabat yang terlibat. Jika dihitung secara keseluruhan, akumulasi uang balas jasa yang diberikan pemerintah kepada H. Madslam dkk ketika itu tercatat sebesar Rp. 3,5 milyar uang lama (sebelum sanering 1965) atau Rp. 3,5 juta uang baru (setelah sanering 1965). Padahal, konon menurut taksiran kasar, harga yang pantas untuk Intan Trisakti ketika itu adalah Rp. 10 trilyun uang lama atau Rp. 10 milyar uang baru.
Sehubungan dengan masalah uang balas jasa yang tidak sepadan itu, maka pihak penemu Intan Trisakti telah berusaha untuk meminta tambahan uang balas jasa kepada pemerintah. Tapi hasilnya nihil, dan keberadaan Intan Trisakti sendiri sudah tidak dapat diketahui lagi dengan pasti. Hingga sekarang masih diliputi kabut misteri. Tidak ada seorang pun yang mengetauhi dengan pasti di mana Intan Trisaktiberada sekarang ini. Nasibnya berbeda dengan Intan Koh I Noor atau Intan Putri Malu yang masih dapat dilacak keberadaannya hingga sekarang ini.
sumber: https://folksofdayak.wordpress.com/2014/03/25/martapura-kota-intan-serambi-mekah/
#SBJ
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja