Sungai Mahakam memiliki banyak anak sungai, salah satu nya adalah Sungai Kerbau yang mengalir melalui kota Samarinda, Kalimantan Timur. Masyarakat setempat mengkeramatkan sungai karena sebuah peristiwa aneh yang terjadi beratus-ratus tahun yang lalu.
* * *
Pada pertengahan abad ke-13 Masehi, tersebutlah seorang raja bernama Aji Maharaja Sultan yang bertahta di Kerajaan Kutai Kartanegara. Ia merupakan Sultan Kutai Kartanegara ke-3 yang memerintah dari tahun 1360 hingga 1420 Masehi. Pada masa pemerintahannya, Aji Maharaja Sultan mempunyai cita-cita tinggi yakni menyatukan kerajaan-kerajaan di sekitar Mahakam seperti Kutai Martapura, Sri Bangun, Sri Muntai, Tanjung, dan Bahau agar berada di bawah kekuasaan Kutai Kartanegara. Cita-cita sang Sultan pun terkabul dan Kutai Kartanegara menjadi kerajaan yang makmur dan sejahtera. Selain memiliki sumber daya alam yang melimpah, kerajaan ini juga mendapat upeti dari kerajaan-kerajaan taklukan.
Suatu hari, Aji Maharaja Sultan bermaksud memperindah kota kerajaannya. Ia juga ingin istananya dihiasi dengan ukiran yang indah dan halus. Untuk itu, ia pun mengumpulkan para pembesar kerajaan untuk membicarakan niat tersebut. Dalam sidang itu, Pangeran Mangkubumi mengusulkan agar Baginda Aji Maharaja Sultan mendatangkan ahli pahat dari Jawa.
“Jika sekiranya Baginda tidak keberatan, alangkah baiknya jika Baginda mendatangkan ahli pahat dari abdi dalem[1] Raja Jawa. Mereka sangat mahir mengukir istana,” usul Pangeran Mangkubumi.
“Hmmm… usulan yang bagus. Aku setuju usulan itu,” kata Baginda Aji Maharaja, ”Kalau begitu, segera kirim utusan ke Jawa!”
Keesokan harinya, beberapa utusan berangkat ke Tanah Jawa. Setiba di sana, para utusan itu langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada Raja Jawa. Dengan senang hati, Raja Jawa pun berkenan mengirimkan dua orang pemahat ulungnya ke Kerajaan Kutai Kartanegara.
Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, kedua pemahat yang kakak-beradik tersebut akhirnya tiba di Kerajaan Kutai Kartanegara. Mereka pun disambut baik oleh Baginda Aji Maharaja.
“Selamat datang di kerajaan kami, wahai utusan Raja Jawa,” sambut Baginda Aji Maharaja dengan ramah, “Saya dengar kalian amat piawai mengukir kayu. Oleh karena itu, saya ingin semua ruang istana ini diukir dengan bermacam-macam motif.”
“Ampun, Baginda. Kebetulan saja hamba dan adik hamba memiliki sedikit keahlian memahat,” jawab salah seorang pemahat itu dengan merendah, “Tapi, kalau boleh hamba tahu, motif apakah yang Baginda inginkan?”
“Aku ingin seni ukir Kutai, Bahau, Kenyah, dan Tunjung dipadukan dengan seni ukir Jawa,” pinta Baginda Aji Maharaja.
“Baiklah, Baginda. Permintaan Baginda segera kami laksanakan,” kata pemahat.
Kedua pemahat kakak-beradik dari Jawa itu pun mulai bekerja dengan giat. Dengan tangan terampil, satu per satu kayu-kayu gelondongan yang telah disiapkan mereka pahat menjadi karya seni ukir yang mengagumkan. Konon, kedua pemahat itu dibantu oleh kekuatan gaib sehingga dalam waktu singkat seluruh pekerjaan dapat mereka selesaikan dengan baik. Kini, istana Kutai Kartanegara telah dipenuhi oleh ukiran-ukiran kayu dari berbagai macam motif.
Baginda Aji Maharaja amat terpesona dan terkagum-kagum menyaksikan hasil kerja kedua pemahat itu. Sebagai ungkapan terima kasih, sang Baginda pun menganugerahi mereka hadiah yang amat banyak. Tidak hanya itu, ia juga mengizinkan mereka tinggal di dalam istana bersama keluarga raja. Sebagai abdi dalem, kedua pemahat itu sangat tahu dan selalu menjaga adat beraja dan tata krama istana. Baginda Aji Maharaja pun semakin perhatian kepada mereka.
Rupanya sikap Baginda Aji Maharaja kepada kedua pemahat tersebut dianggap berlebihan oleh para pejabat istana. Mereka pun merasa iri dan dengki terhadap kedua pemahat dari Jawa tersebut. Oleh karena itu, mereka berniat untuk menyingkirkan keduanya dari istana. Suatu malam, mereka mengadakan rapat tertutup tanpa sepengetahuan sang Baginda.
“Alasan apa yang harus kita sampaikan kepada Baginda untuk mengusir kedua pemahat keparat itu?” tanya salah seorang pejabat istana.
Tak seorang pun peserta sidang yang menjawab. Mereka semua sedang berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Beberapa saat kemudian, seorang pejabat istana lainnya angkat bicara.
“Aku tahu caranya!” kata pejabat itu.
“Apakah itu? Cepat katakan!” desak peserta sidang lainnya.
“Kita fitnah kedua pemahat itu di hadapan Baginda. Kita tuduh mereka melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap dayang-dayang istana. Dengan begitu, Baginda pasti akan murka dan mengusir mereka dari istana ini,’ ujar pejabat itu.
Seluruh peserta sidang menyetujui usulan tersebut. Keesokan harinya, mereka pun segera menghadap Baginda Aji Maharaja untuk mengatakan tuduhan mereka kepada kedua pemahat tersebut. Baginda pun terpancing amarahnya dan kemudian memutuskan akan mengusir kedua pemahat tersebut dari istana. Namun, para pejabat yang dirasuki rasa iri justru mengusulkan hal lain.
“Ampun, Baginda! Jika kedua pemahat itu dibiarkan hidup, mereka dapat bekerja pada raja lain untuk membuat ukiran yang lebih indah dari istana ini,” ujar salah seorang pejabat istana.
Baginda Aji Maharaja terpengaruh. Hatinya amat cemas jika kedua pemahat itu benar-benar melakukan hal tersebut karena ia tidak suka disaingi oleh raja lain, apalagi raja bawahannya. Berkat kepiawaian para pejabat istana menyampaikan kata-kata bujukan, akhirnya sang Baginda pun terpengaruh dan mempercayai kata-kata mereka.
“Baiklah, kalau begitu. Aku perintahkan kalian untuk segera menangkap dan menghukum mati kedua pemahat itu!” titah Baginda Aji Maharaja.
Tanpa menunggu waktu, para pejabat istana pun segera menangkap kedua pemahat itu. Keduanya diikat di sebuah tiang untuk dihukum gantung. Ketika hukuman itu akan dilaksanakan, salah seorang dari pemahat itu bisa meloloskan diri. Rupanya, ia memiliki ilmu sehingga dapat menghilang dalam sekejap mata. Namun, malang bagi pemahat yang lainnya karena ia akhirnya mati di tiang gantungan. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia sempat mengucap kata-kata kepada Bagida Aji Maharaja dan para pejabatnya.
“Sepuluh hancur luluh, sebelas jadi alas,” demikian pesan terakhir dari pemahat itu.
Menurut ahli ramal istana, maksud kata-kata pesan pemahat di atas adalah bahwa pada pemerintahan raja ke-10, Kutai Kartanegara akan hancur dan pada pemerintahan ke-11, ibukota kerajaan itu akan menjadi alas atau hutan. Perkiraan ahli ramal tersebut ternyata benar. Pada masa pemerintahan Aji Sultan Aliyiddin (sekitar tahun 1752 M), Kerajaan Kutai Kartanegara hancur diserang oleh perampok yang dikenal Bajak Sulu Kebuntalan dari Filipina Selatan yang dipimpin Dato Tan Perana. Setelah itu, ibukota kerajaan pun menjadi alas atau hutan yang kini menjadi sebuah kampung kecil bernama Kutai Lama.
Mayat si pemahat yang dihukum mati dibuang ke Sungai Kerbau. Ajaibnya, mayat itu tidak hanyut ke arah hilir mengikuti aliran sungai, melainkan hanyut ke arah hulu muara sungai dekat Kota Samarinda. Itulah sebabnya, Sungai Kerbau dianggap keramat. Oleh penduduk setempat, mayat si pemahat itu dibuatkan makam di tengah-tengah sungai. Hingga kini, makam itu dikeramatkan dan hampir setiap tahun dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah.
* * *
Demikian cerita Sungai Kerbau yang Keramat dari Kalimantan Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa seorang penguasa hendaknya lebih bijak menerima laporan dari bawahannya. Laporan itu harus terlebih dahulu diselidiki kebenarannya. Oleh karena kurang teliti dalam menerima laporan, Raja Aji Maharaja Sultan telah menghilangkan nyawa seseorang yang justru telah berjasa kepadanya. Selain itu, sifat iri dan dengki para pejabat istana merupakan sifat tercela yang tidak boleh ditiru.
Sumber: https://histori.id/legenda-sungai-kerbau/
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati