|
|
|
|
Legenda Sakawira, Tara dan Kumbang Paya Tanggal 27 Dec 2018 oleh Admin Budaya . |
Zaman dahulu kala, semua manusia menyembah roh nenek moyang. Paya Kijing telah ada penghuninya yaitu Sakawira dengan anak buahnya. Pekerjaan mereka berburu dan mencari ikan di kali, Sakawira sebagai pemimpin, sangat disegani para pengikutnya, karena dia mempunyai pasukan syaitan di rawa Kijing ini dan juga pasukan buaya, kalau dia mau bepergian di darat, harimau adalah kudanya. Selain itu memang bentuk tubuhnya tinggi besar, tampan dan anggun kelihatannya. Untuk bertanding, ilmu kebal dan ilmu lainnya dimilikinya, sedangkan pengikutnya tak seorang pun yang memiliki ilmu yang demikian. Itulah sebabnya, dia diam di Rawa Kijing, karena disitu aman dan tenteram. Selain memiliki kegagahan, Sakawira memiliki hati yang lembut. Dia peramah dan pemurah. Istrinya delapan orang. Dia sangat kasih dan sayang terhadap istri-istrinya, terutama kepada istrinya yang termuda.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Sakawira dan pengikutnya setiap mereka meminta sesuatu kepada Eyangnya, maka dia mengorbankan binatang buruan atau sapi, kerbau dan ternak lainnya dengan membakar di dalam tungku yang telah disediakan. Mereka semuanya berkumpul mengelilingi tempat itu. Inilah mungkin sebabnya, maka letak tungku ini ke tinggian dari bukit Tungku Tiga itu. Tetapi di samping sifat-sifatnya tadi, dia sangat membenci hal-hal yang kotor dan kelakuan-kelakuan yang buruk. Biasanya apabila dia mendengar hal-hal yang buruk, tak segan-segan dia turun tangan. Ini pulalah, maka Sakawira sangat terkenal kemana-mana. Dia mempunyai hubungan pergaulan dengan penduduk di sepanjang kali sekampung, seperti Tegineneng. Sekampung Anak, Sekamung Balak bahkan ke pulau Jawa.
Kegagahan dan kekebalan Sakawira serta kemurahan hatinya ini sering menjadi pembicaraan masyarakat di luar kekuasaannya. Ada orang-orang yang percaya dan ada pula yang benci padanya. Lama kelamaan, kekayaan Sakawira ini tercium oleh serombongan perampok yang datang dari pulau Jawa, yang beranggotakan 40 orang. Rombongan ini bertekad ingin mengetahui, bagaimana kebenaran dari kesaktian yang dimiliki Sakawira. Secara diam-diam, rombongan ini menyusuri Way Sekampng dan Way Bulo, menuju Rawa Kijing. Sesampai mereka di sana, tengah malam dan ternyata mereka tak dapat mengetahui dimana perkampungan Sakawira. Walaupun malam bulan purnama, tetapi penglihatan para perampok itu gelap gulita. Tetapi Sakawira di tempat kediamannya telah mengetahui bahwa ada perampok yang sudah datang di daerahnya. Malam itu juga dia mengerahkan anak buahnya berkumpul, maka dikatakannya, "Hai, saudara-saudara, kita akan kedatangan tamu malam ini, jumlahnya tak kurang dari empat puluh orang. Oleh sebab itu, besok pagi-pagi benar kalian hendaknya menyampaikan makanan kepada tamu kita itu di muara, tapi ingat, makanan yang kalian berikan harus dicampur dengan abu pinang. Mendengar perintah ini, tak satu pun pengikutnya yang membantah, hanya ada yang bertanya-tanya, mengapa tamu disambut dengan masakan yang dicampur dengan abu pinang, bukankah pinang itu memabukkan?
Tetapi orang ini tak berani menyampaikan pendapatnya kepada siapa-siapa, hanya dialah yang berpikir demikian, tetapi kata hatinya baiklah besok dia akan melihat apa yang terjadi. Haripun pagi, rakyat Sakawira telah sibuk ke muara mendapatkan tamu yang sedang tertidur. Mendengar hiruk-pikuk penduduk, tamu terbangun dan mereka melihat rakyat Sakawira berdatangan membawa makanan. Berkatalah ketua perampok itu pada rakyat yang datang, "Hai, rakyat Sakawira !Siapakah yang menyuruh kamu kemari dan mau apa kamu kemari? Mereka menjawab, "Kedatangan saudara-saudara telah diketahui pemimpin kami sejak tadi malam. Oleh sebab itu, kami diperintahkan menjamu saudara-saudara sebagai tamu yang baru datang. "Oh begitu," kata pimpinan perampok. "Bawa kemari semua yang kamu bawa dan hidangkan, kami memang sangat lapar, kami datang dari jauh, telah 4 (empat) hari tidak menemukan makanan!" Sambil makan dengan lahapnya, para perampok itu berunding. "Keadaan ini baik sekali, belum diserang Sakawira telah menyerah. Dengan demikian nanti sudah saja, kita minta apa yang kita kehendaki." "Ya setuju" kata mereka serempak.
Tapi apa yang terjadi? Setelah mereka makan, mereka semuanya menjadi pusing dan ingin tidur kembali. Maka satu persatu perampok itu tertidur, sehingga dengkur mereka di siang itu kedengaran di perkampunagn Sakawira. Mendengar dengkur yang sudah bersahut-sahutan itu, Sakawira mengumpulkan anak buahnya. Dia berkata, "Hai pengikutku, mereka yang datang di muara itu, bukanlah orang-orang yang baik, tapi mereka adalah perampok, tujuan mereka untuk merampok kita, tetapi karena semalam berkat pertolongan Raja Bambangan (pimpinan syaitan), mereka tak dapat melihat kita. Jadi sekarang, kamu sekalian pergilah ke muara, perintahkan kepada raja Beguk (pimpinan buaya) agar membunuh mereka satu persatu, kecuali tinggalkan satu orang saja, tangkap dia dan bawa kemari." Semua perintah Sakawira dilakukan anak buahnya, ramailah di muara. Raja Beguk dengan pasukannya memeriksa satu persatu perampok yang tidur itu ke dalam sungai, sehingga terjadilah pertarungan hebat di dalam sungai antara pasukan rampok dan pasukan raja Beguk, sehingga sungai menjadi keruh. Raja Beguk meninggalkan seorang diantara perampok itu untuk dijadikan suruhan raja Sakawira. Perampok yang seorang itu bernama Tara.
Tara rupanya bukan sembarang perampok pula, dia memiliki ilmu yang cukup tinggi, terutama ilmu yang membuat orang agar kasihan kepadanya dan memiliki ilmu pemikat wanita yang disebut Pelet Segegok khasa. Jika wanita telah terkena ilmu ini, maka walaupun apa saja yang terjadi, dia tidak akan bisa berbuat lain kecuali ikut si lelaki itu, walaupun dia sudah kawin dengan orang lain tapi dia tidak akan merasa puas sebelumnya kawin dengan orang yang memeletnya itu baik secara syah atau tidak.
Waktu berjalan terus, Tara masih tetap sebagai tahan Sakawira, Sedangkan Sakawira sendiri tak sedikitpun menaruh curiga pada Tara, karena menurut penelitiannya, kerja sangat rajin dan sangat patuh sekali. Lain halnya bagi Tara sendiri, dia menaruh dendam yang dalam kepada Sakawira, karena dia melhat bagaimana nasib kawan-kawannya yang telah dirobek-robek oleh buaya dan bagaimana kelanjutan akan nasibnya sendiri, dia belum tahu. Maka secara diam-diam, Tara menyelidiki di mana letak kelemahan Sakawira.
Pada suatu saat. Tara menanyakan kepada Wara, apakah dia tahu, dimana letak kelemahan Sakawira yang masih polos itu tak tahu menahu apa maksud Tara. Ia menjawab, "Aku tak tahu pasti tentang kelemahan Sakawira, hanya aku tahu dia kurang memperhatikan istrinya yang nomor 6, yaitu Kumbang Paya, karena istrinya ini sangat benci dan iri pada istri muda Sakawira yang paling dikasihi yang bersemayam di Rawa Benig. Selain itu aku tak tahu." Demikianlah jawaban Wara. Jawabara. Wara ini cukup jadi peluang bagi Tara untuk memulai melaksanakan pembalasan.
Dengan diam-diam Tara mulai menggunakan ilmu peletnya. Pada saat dia dan Wara disuruh mengantarkan pakaian Sakawira ke Kumbang Paya, mulailah hati si Kumbang Paya tergoda kepada Tara. Dia selalu mengharap Tara datang untuk mengantarkan sesuatu suruhannya. Singkatnya Tara telah mendapatkan sebagian dari rencananya, yaitu antara Tara dan Kumbang Paya telah terjalin kasih, bahkan hubungan mereka telah sebagai suami-istri, di kala Sakawira berada dirumah istrinya yang lain. antara kedua mereka ini, lama kelamaan dihinggapi rasa takut, kalau hubungan ini diketahui oleh Sakawira.
Apakah yang akan terjadi atas diri mereka. Dengan akal liciknya, Tara memerintahkan kepada Kumbang Paya agar mulai sekarang, berbuat lebih baik dari pada dahulu, sehingga Sakawira akan menaruh kepercayaan yang sama dengan istrinya yang ada di Rawa Beduk. Setelah dipercaya maka harus menyelidiki di mana letak kelemahan ilmu Sakawira, sehingga Sakawira akan menaruh kepercayaan yang sama dengan istrinya yang ada di Rawa Beduk. Setelah dipercayai maka harus menyelidiki dimana letak kelemahan ilmu Sakawira, sehingga dia dapat mati, atau lumpuh karenanya. Kumbang Paya, kendati nantinya akan membawa akibat yang tidak baik bagi suaminya.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, sampailah lima tahun lamanya. Keadaan di Rawa Kijing tetap seperti biasa saja. Sakawira tak menaruh sedikit pun kecurigaan terhadap istrinya si Kumbang Paya. Dia menganggap istrinya telah sadar dan insaf. Walaupun dibalik kebaikan yang diberikan Kumbang Paya pada suaminya Sakawira, namun Sakawira telah dinodainya dengan selalu menyerahkan dirinya untuk memuaskan nafsu kepada Tara budaknya Sakawira.
Pada suatu malam, dikala Sakawira akan tidur di rumah Kumbang Paya, Kumbang Paya pura-pura menangis tersedu-sedu, seolah-olah sedih benar kedengarannya, sehingga memancing Sakawira untuk bertanya, menyapa Kumbang Paya. Malam itu Kumbang Paya merajuk "Oh abang Sakawira, telah tujuh tahun kita berkeluarga tapi sampai hari ini belum juga aku memperoleh seorang putra atau putri, hal ini karena abang kuang kasih sayang padaku, hanya kepada mereka yang lain saja engkau kasihankan putra dan putrimu, apakah jadinya dengan diriku nanti?" Tangisnya lebih menjadi-jadi. Mendengar ini Sakawira menyabarkan hatinya, lalu dia berkata, "Soal putra dan putri itu bukan soalku, tapi soal Eyang. Eyang belum memberkahi kita rupanya engkau harus bersabar. Pada suatu saat kita pasti berhasil" Mendengar jawaban ini, tambah menangis Kumbang Paya. Sambil dia menangis dia berkata. "Ini tak lain abang Sakawira, karena ilmumu terlalu banyak dan aku menjadi korban dari ilmu itu. Jika benar engkau sayang padaku, selama ini belum pernah engkau menceritakan di mana letak kekuatan ilmumu dan tunjukkan dimana letak kelemahanmu. Bagaimana jika orang tahu kelemahan ilmumu, aku sama sekali tak dapat menolongmu." Tangisnya diteruskan, "Sudah.", jawab Sakawira. "Kalau soal itu yang engkau tanyakan, nanti pada suatu waktu akan kusampaikan padamu, sekarang hari sudah malam, tak baik membicarakan itu tengah malam. Sekarang waktu tidur." Diamlah Kumbang Paya mendengar jawaban Sakawira, tapi dia sudah mendapatkan janji dan hal ini akan ditagihnya terus.
Waktu terus juga berjalan, yang jujur berlangsung terus, yang curang demikian juga terjadi di Rawa Kijing waktu itu. Sampai setahun lamanya Kumbang Paya belum juga menemukan kunci rahasia ilmu Sakawira. Dasar perempuan telah tersesat, suatu malam, diulanginya lagi permintaannya kepada Sakawira. Sambil marah Sakawira, menjawab, "Hai Kumbang Paya, kamu mau tahu, aku tidak akan mati karena alat apapun juga dan dikenakan dimana saja di bagian tubuhku. Aku baru akan mati jika senjata orang itu Bamban bukhung dan ditujahkan pada liang duburku (anus). Nah sekarang puaslah engkau. Habis berkata demikian, diamlah Sakawira, suasana jadi hening dan sepi. Dalam kesepian itu, Sakawira terperanjat karena tampak dibayangan matanya bahwa Eyangnya datang. Akhirnya ia merasa gelisah, sampai pagi ia tak bisa tidur, memikirkan apakah yang akan terjadi pada dirinya.
Keesokan harinya, masih pagi-pagi buta, setelah menjerangkan air di tungku, dengan tidak memperdulikan apakah Sakawira sudah bangun atau belum. Kumbang Paya telah melaporkan apa yang telah didengarnya semalam dari Sakawira, kepada Tara kekasihnya. Hari itu juga, Tara telah berkeliling di sekitar Rawa Kijing, berusaha untuk mencari Bamban Bukhung, tapi belum ditemukannya. Barulah pada hari ketujuh, dia mendapatkan apa yang dimaksudkannya itu, bukan dari Rawa Kijing, tapi dari daerah seberang daerah itu, yaitu di bukit Lubuk Laweung namanya. Secara sembunyi-sembunyi, Tara merahasiakan alat itu dan bagaimana melakukannya, belum ditemukannya siasat yang tepat.
Sebagaimana biasa, antara Kumbang Paya dan Tara, jika giliran Sakawira terhadap istrinya yang lain tiba, mereka berdua selalu bermufakat dan terakhir pada suatu hari, dibukakanlah oleh Tara rahasia yang sebenarnya. Tara berkata, "Hai Kumbang Paya, kini tibalah saatnya ajal dari Sakawira, karena Bamban Bukhung telah kusediakan serumpum untuknya, engkau sekarang tinggal pilih, ikut aku atau dia. Jika ikut aku, maka lakukanlah perintahku, jika ikut dia engkau juga akan kubunuh bersama dia." Mendengar jawaban itu Kumbang Paya menjawab. "Segala perintahmu sudah kuturuti bahkan diriku telah kau miliki walaupun belum resmi. Aku berbuat semuanya demi untukmu Tara. Jadi kini untuk jalan terakhir, apa renacanamu akan kita lakukan bersama. Aku terus terang saja Tara, tak sanggup lagi berpisah denganmu." "Baiklah kalau begitu", jawab Tara," Sekarang aku mengatur siasat, nanti pada saat gilian Sakawira tiba, segera engkau memberikantahukan kepadaku dimana tempat Sakawira biasanya duduk dan kau lubangi tapi kau tutup dengan tikar, sebab sewaktu dia mau duduk, pasti liang duburnya terbuka, bukankah biasanya dia duduk bersila?
Dalam keadaan semacam itu aku sudah siap dibawah kolong dengan Bamban Bukhung yang sdah kutajami. Jika dia sudah duduk dan tepat pada tempat yang engkau sediakan, kamu memberi tanda dengan mengatakan; ingok-ingok si khadu, dang lupa kepak pinsan, khaja mejong di hulu, kayunan dibah lamban! (ingat yang lalu, jangan lupa sekali, Raja duduk di hulu (atas), pesuruh di bawah rumah), waktu itulah Bamban Bukhung kusodorkan dari bawah melalui lobang yang telah kau sediakan". Kumbang Paya mendengar perintah ini, mengangguk saja tanpa iba. Bagaimana nasibnya nanti atau nasib suaminya, benarlah pelet sagegok khasa telah termakan olehnya. Waktu yang mereka tunggu-tunggu telah tiba, memang si Sakawira sendiri dalam bulan itu selalu kelihatan murung. Raja Bambangan dan Raja Beguk selalu mengeluh, didengarnya. Istrinya yang lain selalu bertanya mengapa dia selalu kelihatan gelisah, tapi semuanya dijawabnya"Entahlah!, kenapa aku sekarang merasa gelisah semenjak aku setengah mimpi melihat Eyang datang. Sore hari, menjelang keberangkatan Sakawira ke rumah Kumbang Paya, hujan lebat turun dan angin bertiup kencang sekali, sehingga banyak kayu-kayu yang tumbang. Raja Beguk dan anak buahnya kedengaran dikali menguak-nguak menangis kesedihan, tapi Sakawira waktu itu tenang saja, berangkatlah dia ke rumah Kumbang Paya di bawah curahan hujan dan tiupan angin yang kencang, sehingga sampai disana dia basah kuyup. Berbarengan sesampainya dia di sana air banjir. Waktu itulah timbul keraguan Kumbang Paya, tapi keraguan ini sebentar saja karena dia sudah yakin, Tara sudah ada di bawah kolong. Maka dengan bermuka manis, Kumbang Paya menyambut Sakawira dengan pura-pura kasihan. Kumbang Paya menuntun Sakawira dan didudukannya pada tempat yang telah diaturnya, sembari berkata. "Duduklah kakakbersila, baju dan badan kakak akan kulap, sebab basah, nanti kakak sakit." Sambil mengambil kain pengelap, mulailah Kumbang Paya menyanyi; ingok-ingok si khadu, dang lupa kepak pinsan khaja mejong dihulu." Alangkah bagusnya nyanyianmu Kumbang Paya." Baru dia mau minta diulang lagi.
Bamban Bukhung Tara telah masuk keliang dubur Sakawira. Dia memekik, "Aduuuuuuuh! mati aku sekali ini Kumbang Paya karena pengkhianatanmu, tapi engkau dan pembunuhku, akan mati pula dimakan Raja Beguk. Dan engkau akan menangis sepanjang abad menyesali perbuatanmu." Selesai dia menyumpah begitu lalu mati.
Malam itu belum ada yang tahu kalau Sakawira telah mati, kecuali Kumbang Paya dan Tara. Mereka lari membawa sampan, menghilir menuju Way Sekampung untuk lari menyelamatkan diri, tapi sampai pagi hari mereka belum sampai ke tempat tujuannya. Hari itu sibuklah orang membicarakan kematian Sakawira. Dicari pembunuhnya ternyata yang tidak ada Kumbang Paya dan Tara. Maka mereka dikejar oleh pasukan Raja Beguk. Di Rawa Kijing berkabung hujan 7 hari, 7 malam dan Raja Bambangan, mengumumkan gelap 7 hari 7 malam juga.
Raja Beguk terus mengejar Kumbang Paya dan Tara. Mereka terkejar di Tegineneng (kali Tegineneng), terjadilah perang antara Raja Beguk dan Tara. Akhirnya oleh rakyat Raja Beguk, perahu Tara dibalikkan dan Kumbang Paya memekik tertindih perahunya sendiri, sedang Tara mati dihajar oleh rakyat Beguk. Pekikan Kumbang Paya ini sampai sekarang (menurut sebahagian masyarakat yang mengetahui cerita ini) masih sering kedengaran yang kemudian disebut masyarakat suara halilintar Tegineneng. Suara ini sering timbul tengah malam yang sepi dan suaranya menyebabkan bumi bergetar halus. (Menurut kepercayaan masyarakat, bila ini terjadi, berarti merupakan pertanda akan datang banyak wabah cacar, tipes, kolera dan lain sebagainya).
Semenjak Sakawira mati, batu tungku tiga tidak ada yang merawatnya lagi dan penduduk disana berpindah ke lain tempat, karena selalu mendapat serangan-serangan dari perampok-perampok. Sampai sekarang masih ada penduduk, kalau mencari ikan di Rawa Kijing meminta-minta dengan memakai mantera-mantera tertentu kepada Raja Bambangan yang dianggap menguasai daerah itu untuk kepentingan keselamatan dan juga kepentingan tertentu.
Sumber : Cerita Rakyat (Mite dan Legende) Daerah Lampung. Depdikbud
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |