Pada jaman dahulu hiduplah seorang bangsawan yang mempunyai dua orang teman, yang satu bernama Lesamana, dan yang lainnya bernama Pedanelam. Dua orang teman bangsawan ini kerjanya selalu menghasut tuannya. Hasutannya ialah bila ia punya anak laki-laki hendaklah dipelihara, jika punya anak perempuan hendaklah dibunuh lalu dagingnya dijadikan gulai untuk dimakan. Bangsawan ini mempunyai seorang istri yang sedang hamil. Cerita rakyat Aceh ini mengkisahkan bahwa suatu ketika ia berencana pergi ke Pulau Pinang, lalu ia bertanya kepada istrinya, “Dinda, berapa usia kandunganmu saat ini?” “Ya Kakanda, kandunganku sudah tujuh bulan,” kata istrinya. “Baiklah. Aku akan berangkat hari ini. Kalau nanti anak kita laki-laki bunyikan rantai perak. Tetapi kalau nanti anak kita perempuan, bunyikan rantai tembaga. Nah ketika mendengar isyarat itu aku akan pulang,” kata bangsawan kemudian. Sesungguhnya ucapan bangsawan itu mengandung makna tersendiri. Bila bayinya nanti laki-laki ia akan gembira, tetapi bila perempuan anak itu akan dibunuh. Cerita rakyat Aceh berlanjut. Setelah tiba waktunya maka lahirlah seorang bayi perempuan. Ibu bayi itu murung ketika mengetahui anaknya adalah bayi perempuan. Bagaimana nanti nasib anaknya itu bila suaminya pulang. Istri bangsawan mencoba berpikir. Jalan apa yang akan ia tempuh untuk menyelamatkan anaknya. lde itu tiba-tiba muncul, lalu ia mengantar anak bayinya itu ke hutan. Di hutan yang lebat ia memanjat pohon besar bernama pohon gelumpang. Dibuatnya di atas pohon itu tempat buaian untuk anaknya. Dalam perjalanan pulang ia menangkap seekor kambing lalu dipotong kemudian dimasak menjadi gulai. Kepala kambing ditanam di sudut perapian. Setelah semua itu selesai ia membunyikan rantai tembaga. Mendengar bunyi rantai tembaga bangsawan segera pulang. la didampingi temannya yang selalu mengiringinya yaitu Lesaman dan Pedanelam. “Sebelum Kanda datang, anak kita sudah saya sembelih. Inilah gulai daging anak kita,” sembari menghidangkan gulai dan nasi. “Ya, bagus. Mari kita makan, ” kata bangsawan itu mengajak teman-teman Lesaman dan Pendanelam. “Klik..klik…klik mereka bukan makan daging manusia. Klik….klik…klik….mereka sedang makan daging kambing,” suara itu rupanya suara elang.
Teman-teman bangsawan yang sedang makan, mendengar suara itu tertegun sebentar. Tetapi bangsawan mengatakan semua itu tak usah dihiraukan. Maka suara itu terdengar lagi. Semakin lama semakin jelas. Bangsawan mulai curiga. Kecurigaannya semakin bertambah ketika ditemukan kepala kambing dekat perapian. Bangsawan itu bangun dan sangat marah. la mengancam akan membunuh istrinya. Cerita rakyat Aceh berlanjut dengan percakapan suami istri tersebut. “Kemana anakku kau buang. Katakan! Atau kau kubunuh sekarang!, ” Kata bangsawan kepada istrinya. “Kusimpan di hutan, akan segera kuambil,” kata istrinya ketakutan. Kisah legenda Aceh berlanjut. Setelah lama berjalan sampailah ia di hutan. Ketika tiba di pohon gelumpang tempat anaknya disembunyikan, ia berseru memanggil anaknya. Kepada anaknya dikatakan bahwa ayahnya sudah pulang dari Pulau Pinang. Ayahnya membawa oleh-oleh tusuk sanggul emas dan perhiasan lain untuknya. Karena itu segera pulang. “Ibu yang baik, ” terdengar suara anaknya dari atas pohon. “Saya belum bisa pulang. Katakan kepada Ayah, saya sedang menanam kapas.” Takut akan sikap suaminya yang kasar, ibu itu membujuk anaknya pulang. Tetapi anaknya belum mau turun. Lalu ibunya pun pulang. Melihat istrinya pulang sendiri, bangsawan itu marah. “Mana anakku,” katanya dengan suara keras. “Anakmu sedang menanam kapas. Jadi belum bisa pulang,” kata istrinya dengan suara ketakutan.
“Perempuan tak tahu diuntung kapas apa yang ditanamnya! Jemput lagi anak itu. Kalau tidak nyawamu akan melayang,” kata suaminya mengancam. Maka istri bangsawan buru-buru ke hutan lagi. Ketika tiba di pohon gelumpang ia berkata kepada anaknya, “Anakku, turunlah! Mari kita pulang, ayahmu sudah pulang dari Pulau Pinang, Kau dibawakan anting-anting emas.” “Ibuku sayang, katakan saya belum bisa pulang. Saya sedang menunggu kapas yang hendak berbunga.” Istri bangsawan pulang ke rumah, usahanya membujuk anaknya tak berhasil. Sesampainya di rumah ia menerima kata-kata kasar dan ancaman dari suaminya. Tidak ada jalan lain bagi dia, kecuali kembali lagi ke hutan menemui anaknya. Kali ini anaknya mengatakan bahwa ia sedang memetik kapas. Karena itu belum dapat pulang. Kali lainnya lagi sedang memintal benang. Karena itu belum dapat pulang. Terakhir ibunya datang, berkata dengan sayu, “Anakku pulanglah sayang. Ayahmu sudah kembali membawa baju untukmu.” “Ibu, baju dan celana ayah sudah selesai kutenun. Tolonglah ayah datang menjemputku. Jangan lupa membawa tangga untukku.” Mendengar ucapan anaknya demikian ia segera pulang. Tiba di rumah pesan anaknya itu segera disampaikan kepada suaminya. Tetapi dalam hati ia merasa sedih. Karena anak itu tentu akan dibunuh oleh suaminya. la tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berserah diri. Cerita rakyat Aceh masih berlanjut dengan kehidupan anak malang yang akan dibunuh ayahnya.
Kemudian bangsawan pergi ke hutan mengambil anaknya. la memerintahkan kepada Lesmana dan Pedanelam untuk membawa dua puluh bilah pedang. Pedang itu diasah supaya tajam. Bangsawan membawa lima bilah pedang. la juga membawa sumpit lengkap dengan anak sumpitnya. Semua peralatan yang diperlukan sudah dikumpulkan. Mereka berangkat ke hutan mengambil anak itu. Sang ibu gelisah dan bersedih setelah menyaksikan peralatan, pedang tajam dan sumpit yang akan dibawa suaminya. la membayangkan semua peralatan yang tajam dibawa, tentu untuk membunuh anaknya. Ketika sampai di hutan, di pohon gelumpang mereka lalu membuat tangga. Setelah tangga selesai, sang ibu diminta memanggil anaknya. “Anakku. Ibu datang bersama ayahmu. Kami menjemputmu. Tangga sudah dipasang. Turunlah anakku,” bujuk ibunya dari bawah pohon.
Mendengar suara ibunya, anak itu hendak turun. Tetapi, sebelum melangkahkan kaki menuruni pohon, ia terlebih dahulu memohon izin. la mengucapkan terimakasih kepada pohon gelumpang yang selama ini melindungi dan merawatnya hingga tumbuh menjadi seorang gadis. Mendengar suara itu pohon gelumpang yang besar bersama daun-daunnya bergoyang. Mungkin menyambut suara si gadis. Sementara anak tangga yang seluruhnya terdiri dari pedang, sudah dipasang bangsawan dan teman-temannya. Gadis itu melangkahkan kaki mengenai tangga pertama. Pada saat itu ayahnya menyumpit dari bawah. Kena sanggulnya. “Apa ini Bu?” tanya gadis itu. “Itu tusuk sanggul emas. Ayahmu membawanya dari Pulau Pinang,” jawab ibunya. Gadis itu menuruni tangga kedua. Ayahnya menyumpit lagi. Kena telinganya. “Ini apa Bu?” tanya gadis itu lagi. “Itu anting-anting emas yang dibawa ayahmu,”Jawab ibunya. Gadis itu menuruni tangga ketiga. Ayahnya menyumpit lagi. Kena lehernya. “Apa ini Bu?”tanya gadis itu pula. “Itu kalung emas yang dibawa ayahmu,” Jawab ibunya. Begitulah setiap kaki gadis itu menuruni tangga ayahnya selalu menyumpitnya. Mengenai dada, pinggang, perut, paha dan kaki gadis. Gadis itu selalu bertanya. Cerita rakyat Aceh menyatakan bahwa sang ibu pun selalu menjawabnya bahwa itu adalah oleh-oleh yang dibawa oleh ayahnya dari Pulau Pinang. Tiba di bawah gadis itu tidak mengalami cedera. Kaki gadis itu tidak Iuka. Juga bagian tubuh lainnya yang disumpit dengan benda tajam tidak terluka. Bangsawan mengetahui dengan cara itu anaknya belum mati. Sedangkan ia ingin membunuh anaknya. Maka gadis itu dibawa pulang ke rumah.
Ketika duduk-duduk di rumah, tiba-tiba anak gadis itu berpikir untuk menyelamatkan diri. Lalu dikatakannya kepada ayahnya. “Ayah, bila Ayah ingin membunuh saya dirikan pohon pisang disebelah kiri saya,” kata gadis itu. Ayahnya bertanya heran, “Mengapa saya harus mendirikan pohon pisang? “Bila Ayah memancung saya langsung, mungkin Ayah tak sampai hati melakukannya,” kata anak gadis itu. “Kalau begitu saranmu, baiklah.” Batang pisang lalu ditanam di samping gadis itu. Ayahnya pun bersiap-siap dengan pedang tajam di tangan hendak memancungnya. “Ayah, pejamkan mata!” seru anaknya, Sambil memejamkan mata bangsawan mengayunkan pedang sementara secepat kilat gadis itu mundur Ialu meloncat ke semak di sekitar itu. Baju dan celana yang ditenun untuk ayahnya sempat tersangkut di pedang yang telah memotong batang pisang. Sang ayah mendekatkan pedang. la memperhatikan baju dan celana yang ditenun untuknya. Bangsawan itu tiba-tiba menyesali dirinya. “Anakku. Engkau tenun baju dan celana untukku. Sedangkan aku tak pernah memberikan segelas air atau sesuap nasi pun untuk membesarkanmu.” Bangsawan nampak amat sedih. Ia berseru dengan suara yang menyayat hati, “Anakku, betapa setia engkau. Anakku…aku termakan hasutan. Anakku…. aku menyesal.” Tiba-tiba ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lalu menebas Lesamana dan Pedanelam. “Rasakan pedangku ini, ini ulah kalian berdua. Kalian telah menghasutku untuk membunuh anakku,” jerit bangsawan pilu. Kemudian pedang itu diarahkan kepada dirinya sendiri. Gadis yang bersembunyi di semak itu, tak sempat lagi mencegah apa yang dilakukan ayahnya. Kemudian gadis itu hidup bersama ibunya dengan aman dan tenteram. Gadis itu dikenal dengan nama Putri Pucuk Gelumpang. Demikian cerita rakyat Aceh berkisah tentang Putri Pucuk Gelumpang penulis bagikan untuk Anda. Amanat cerita rakyat dari Aceh ini adalah supaya setiap orang tua menyayangi anaknya dengan tulus dan menerima keadaan anaknya dengan ikhlas. Pesan moral kisah legenda Putri Pucuk Gelumpang adalah jangan pernah mengabaikan kasih sayang anak. Semoga kisah legenda dari Aceh ini menambah wawasan Anda.
Sumber: http://agussiswoyo.com/cerita-rakyat/cerita-rakyat-aceh-legenda-putri-pucul-gelumpang-yang-terbuang/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja