Di tepian Sungai Cerucuk, Belitung, hiduplah sepasang suami-istri bersama anak laki-lakinya. Kulup nama anak laki-laki itu. Meskipun hidup sederhana, mereka selalu tampak ceria. Gubuk reot di pinggir muara sungai itu tak membuat mereka dukacita. Mereka tetap saja bersahaja.
Emak Kulup telah lama sakit. Perutnya membuncit. Hari demi hari kakinya terlihat semakin mengecil. Kata orang, Emak mendapat tulah penunggu sungai.
Ketika itu Kulup masih kecil, sangat kecil bahkan. Usianya belum genap dua tahun. Itulah sebabnya Kulup tidak ingat betul apa penyebab sakit emaknya. Ia pun tidak tahu kebenaran cerita orang tentang penyakit emaknya itu.
Sejak emaknya sakit, Kulup dibesarkan sendiri oleh ayahnya. Lelaki setengah baya itu harus bekerja keras untuk menghidupi diri, istri, dan anaknya. Hari-harinya dihabiskannya untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Pagi-pagi sekali ia sudah berada di ladang, mengurus tanaman. Atau, ia pergi ke sungai, menengok bubu yang dipasang pada sore hari sebelumnya. Siang harinya, setelah selesai menyiapkan makan siang Kulup, ia ke hutan mencari kayu bakar. Lumayan, di samping untuk keperluan sendiri, sebagian kayu bakar itu dijualnya ke pasar. Begitulah hari-hari ayahnya dulu, saat Kulup masih kanak-kanak.
Kini Kulup telah menginjak dewasa. Usianya telah melewati masa akil baliq, sekitar enam belasan tahun. Atas didikan ayahnya, ia tumbuh menjadi remaja yang baik. Halus budi bahasanya, santun perilakunya. Ia pun rajin bekerja, seperti ayahnya.
“Kulup, besok temani ayah lagi mencari kayu bakar di hutan ya,” kata ayah pada suatu malam. “Kalau kita pergi berdua, hasilnya jauh lebih banyak daripada pergi sendiri-sendiri,” lanjutnya.
“Baik, Yah. Besok saya temani ayah ke hutan. Kebetulan, ladang kita juga sudah selesai saya siangi,” jawab Kulup.
Pagi harinya mereka ke hutan mencari kayu bakar. Seperti biasanya, mereka hanya mengambil pokok dan dahan yang betul-betul sudah kering. Mereka tidak pernah menebang pohon yang masih hidup. Mereka sadar bahwa hutan merupakan salah satu sumber kehidupan manusia. Untuk itu, hutan harus dijaga, tidak boleh dirusak. Kerusakan hutan hanya akan mendatangkan bencana.
Hari itu cuaca sangat bersahabat. Matahari tidak ganas memuntahkan teriknya. Langit biru. Angin pun berhembus pelan, membelai segala yang ada. Tak terkecuali Kulup dan ayahnya. Mereka, setelah merasa cukup mendapatkan kayu bakar, tersadai di bawah pokok meranti. Semilirnya angin membuat ayah-anak itu tidur ayam. Mata mereka sesekali terpejam, sesekali terbuka.
“Ah, aku tidak boleh tertidur,” kata ayah tiba-tiba. “Aku harus mencari rebung untuk digulai,” lanjutnya. Ia pun bangkit, meninggalkan Kulup yang mulai terlelap.
Pada saat sedang memilih-milih rebung yang akan diambil, tiba-tiba mata ayah terbelalak. Ia melihat sebatang tongkat berkepala intan permata. Warna merah delima yang memancar dari pernik-perniknya menyisip di celah-celah rimbunan bambu.
“Mimpikah aku?” teriak ayah Kulup tertahan. Tak lama kemudian, ayah Kulup pun menghampirinya. Diangkatnya tongkat itu, lalu dibawanya pergi.
“Nak, ayo kita pulang,” ajak ayah sambil membangunkan Kulup.
“Nantilah, Yah. Kulup masih ngantuk,” jawab Kulup bermalasan. Namun, setelah mendapat penjelasan ayah tentang tongkat itu, Kulup segera bangkit. Dengan muka yang berbinar, ayah-anak itu pun bergegas pulang, meninggalkan hutan.
Sesampainya di rumah, Kulup langsung menemui emaknya. Ia pun buru-buru memberi tahu emaknya bahwa ayah menemukan tongkat berkepala intan permata.
“Sebaiknya permata itu kita jual saja ya, Mak. Nanti hasilnya bisa kita gunakan untuk mengobati Emak,” kata Kulup penuh semangat.
Akhirnya, mereka bersepakat untuk menjual permata itu. Dibawalah permata itu ke pasar desa.
Di pasar, Kulup segera menemui seorang saudagar. Ia pun segera memperlihatkan tongkat berkepala intan permatanya itu.
“Hm, bagus betul tongkat ini,” kata saudagar dalam hati. Ia betul-betul kagum melihat tongkat berkepala intan permata itu. Oleh karena itu, ia segera menyetujui harga yang ditawarkan Kulup. Ia sengaja tidak melakukan tawar-menawar karena takut orang lain mengetahuinya.
Karena tidak membawa uang dalam jumlah yang banyak, saudagar itu mengajak Kulup ikut ke kota untuk menjemput uang pelunasan.
“Terimalah dulu uang ini sebagai tanda jadi. Nanti di kota akan aku lunasi,” bujuk saudagar itu.
“Tapi, aku harus pulang dulu, minta izin orang tua,” jawab Kulup.
Setelah berpamitan dengan ayah dan emaknya, Kulup pun ikut saudagar itu ke kota. Sesampainya di kota, saudagar itu pun segera menyerahkan semua kekurangan pembayaran tongkat kepada Kulup.
Begitu melihat uang bertumpuk, mata Kulup terbelalak, tak berkedip hingga beberapa saat lamanya. Otaknya pun berputar kencang, memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. “Dengan uang sebanyak ini saya bisa berusaha di kota ini. Untuk apa saya pulang ke kampung. Saya bisa berdagang atau membuka usaha lain di sini,” gumam Kulup tiba-tiba.
Keputusan Kulup untuk tetap tinggal di kota sudah bulat. Ia tidak ingin lagi mencangkul di ladang, menangkap ikan di sungai, dan mencari kayu bakar di hutan. Ia ingin menjadi saudagar yang sukses.
Berkat keuletan dan kerajinannya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kulup telah menjadi saudagar kaya raya. Rumahnya megah, kapalnya banyak, dan istrinya pun cantik. Sayang, ia mulai lupa pada ayah dan emaknya. Kehidupan kota telah membuatnya durhaka. Ayah dan emaknya, yang miskin di kampung, telah dilupakannya.
Tersebutlah, isteri Kulup nan cantik dan jelita. Ia bermimpi menemukan tempat wisata indah di pinggir sebuah sungai. Maka, ia pun segera mengajak suaminya berlayar, mencari sungai yang hadir dalam mimpinya itu.
Kapal megah Kulup pun berlayar sudah. Agar isterinya tidak kecewa, Kulup menuruti segala perintahnya.
“Itu, itu sungai yang hadir dalam mimpiku. Kita ke sana, Bang,” kata isteri Kulup tiba-tiba.
Tentu saja Kulup terkejut bukan kepalang. Ia tahu persis bahwa di tepian sungai itulah ayah dan emaknya tinggal. Namun, karena isterinya terus merengek, Kulup pun terpaksa membelokkan kapalnya ke arah Sungai Cerucuk, tanah kelahirannya. Padahal, selama ini Kulup merahasiakan identitas dirinya pada isteri tercintanya itu. Kulup tidak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak orang miskin.
Melihat ada kapal megah lewat, penduduk kampung pun menjadi heboh. Mereka berduyun-duyun ingin melihat kemegahan kapal. Berita pun segera menyebar ke segenap telinga. Tak terkecuali telinga Ayah dan Emak Kulup. Berita itu telah menggoda mereka untuk ikut melihatnya.
Agar dapat melihat kapal dengan jelas, Ayah menggendong Emak ke tepian sungai. Dengan susah payah Ayah mencarikan tempat Emak agar dapat melihat kapal megah yang akan lewat itu.
Tak lama kemudian, kapal megah itupun lewat. Betapa terkejutnya Emak setelah melihat nahkoda kapal megah itu.
“Kulup, anakku!” teriak Emak sambil mengayun-ayunkan tangannya. “Pulanglah, Nak. Kasihan ayahmu merawat Emak sendirian,” lanjutnya.
“Siapa gerangan wanita tua itu, Bang. Ia menyebut namamu,” tanya isteri Kulup.
Kulup, karena takut identitas dirinya terbongkar, pura-pura tidak mendengar pertanyaan istrinya. “Wah, gawat jika isteriku tahu bahwa yang memanggil namaku itu emakku,” kata Kulup dalam hati. Ia pun segera memutar arah kapal dan mepercepat lajunya, menuju laut lepas.
“Sudahlah, Emak. Kita pulang saja. Mungkin kita salah lihat. Nahkoda kapal megah itu tadi bukan Kulup, anak kita,” Ayah mencoba menenangkan hati Emak.
“Tidak. Tidak. Aku tidak salah lihat. Itu tadi Kulup, anak kita. Akulah yang melahirkannya. Tidak mungkin aku salah mengenalinya,” sanggah Emak. Akhirnya, dengan perasaan sedih Emak pun meratap, “Oh Tuhan, ampunilah dosa Kulup, anakku. Ia telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya.”
Rupanya, Tuhan mendengar ratapan Emak. Tiba-tiba gelombang pasang datang, menerjang kapal megah Kulup. Kapal megah itu oleng ke kanan dan ke kiri, sebelum karam ke dasar laut.
Emak terkejut dan juga sedih. Ia sama sekali tidak menghendaki semua itu terjadi. Sungguh, ia masih menyayangi dan merindukan Kulup, anak semata wayangnya itu.
Beberapa hari kemudian, keajaiban terjadi lagi. Di tempat karamnya kapal megah itu muncul sebuah pulau yang menyerupai kapal. Oleh penduduk setempat, pulau itu dinamakan Pulau Kapal.
Sumber:
Diubah suai oleh Agus Sri Danardana dari berbagai sumber
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...