Di sebuah kampung di wilayah kekuasaan kerajaan Moro, hiduplah sebuah keluarga yang sangat sederhana. Pak Gong, sebagai kepala keluarga tersebut, mempunyai seorang isteri bemama Bu Mirda dan dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Yangsulung laki-laki bemama Toi dan adiknya Hinta. Usia mereka masih balita.
Pak Gong merasa sangat berbahagia meskipun hidup sederhana dengan keluarganya. Ia seorang kepala keluarga yang ulet serta giat bekerja. Ia memiliki ladang dan menanaminya dengan sayuran untuk bebutuhan pokok sehari-hari. Selain itu, ia memiliki beberapa binatang temak berupa kambing. Untuk melengkapi lauk di rumah, ia juga sering pergi menangkap ikan di laut. Keluarga itu hidup dengan bersahaja dan bahagia.
Pada suatu hari, akibat terlalu keras bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya, Pak Gong jatuh sakit. Pada awalnya penyakit Pak Gong tidak dianggap berat. Namun, karena tidak kunjung sembuh dan semakin hari semakin parah, isteri Pak Gong, Bu Mirda, minta pertolongan kepada seorang dukun di kampung itu.
Pertolongan yang diberikan dukun itu temyata belum mampu menyembuhkan Pak Gong. Oleh karena itu, Bu Mirda memanggil beberapa orang dukun untuk me,mberikan obat-obatan. Akan tetapi, penyakit Pak Gong tidak kunjung sembuh. Bahkan, semua nasihat para tetua pun telah Bu Mirda jalani demi kesembuhan suaminya. Hal itu juga tidak membawa hasil. Penyakit Pak Gong semakin hari semakin parah. Hingga suatu saat ada seorang tetua adat memerintahkan agar Pak Gong disembuhkan lewat upacara ritual adat.
"Kita harus berusaha demi kesembuhan suamimu, Bu Mirda," kata Tetua Adat.
"Jalan dan cara apalagi yang harus saya lakukan? Semua dukun sudah saya minta pertolongan. Berbagai macam obat sudah saya berikan. Bahkan, semua saran tetangga pun telah saya laksanakan demi kesembuhan suami saya," Bu Mirda berkata sedih.
"Bu Mirda, bagaimana kalau kita coba menyembuhkannya dengan menggelar upacara adat, siapa tahu bisa untuk menolong suamimu." "Upacara adat?" tanya Bu Mirda tak mengerti.
"Ya, upacara adat. Upacara itu dilakukan oleh para dukun untuk mengobati penyakit suamimu," jelas Tetua Adat.
"Apakah itu bisa untuk menyembuhkan penyakit suamiku?"
"Kita harus tetap berusaha. Selanjutnya, Yang Maha Kuasalah yang menentukan sembuh tidaknya suamimu."
Akan tetapi, pada akhirnya upacara yang ditawarkan Tetua Adatpun tidak dapat diharapkan. Semakin lama sakit Pak Gong semakin parah. Dan, atas kehendak Yang Maha Kuasa, Pak Gong meninggalkan keluarganya untuk selamalamanya.
Kesedihan menyelubungi keluarga yang ditinggalkan Pak Gong, yaitu Bu Mirda dan kedua anaknya. Kini tugas Bu Mirda semakin berat. Tidak hanya mengurus kedua anaknya, tetapi harus mengurus kebun dan temak mereka.
Di kampung tempat tinggal Bu Mirda sering sekali terjadi kemarau yang mengakibatkan keringnya sumbersumber air di kampung itu. Jika hal itu terjadi, para penduduk untuk sementara berbondong-bondong untuk membuka lahan perkebunan jauh ke dalam hutan, bahkan sampai ke pegunungan yang dekat dengan sumber mata air.
Bu Mirda dan kedua anaknya pun pergi ke hutan untuk berkebun dan juga memberi makan temak mereka. Lokasi kebun Bu Mirda sangat jauh dan terletak di sebuah bukit dengan sumber mata air yang lumayan guna keperluan tanamannya dan kebutuhan sehari-hari.
Dari hari ke hari tanaman dan ternak Bu Mirda memberikan hasil yang cukup buat Bu Mirda dan kedua anaknya. Meskipun para penduduk kampung telah banyak yang kembali, Bu Mirda dan anaknya merasa betah dan belum ingin kembali ke kampungnya.
Pada suatu saat, kemarau panjang kembali terjadi. Bahkan, demikian lamanya kemarau panjang menerjang hingga satu-satunya mata air yang berada di kebun Bu Mirda pun ikut mengering. Tanaman dan sayuran mulai layu karena kekurangan air. Hewan temak pun sudah semakin kurus karena kekurangan makanan. Sepanjang mata memandang hanyalah rumputan yang telah menguning. Pohon-pohon pun bayak yang meranggas, menggugurkan daunnya guna mengurangi penguapan air. Bahkan, banyak yangmati.
Suatu hari, karena hujan tak juga kunjung datang, keadaan makin sulit. Bahkan, persediaan air untuk minum di gubuk Bu Mirda pun semakin habis. Karena itu, Bu Mirda memutuskan untuk pergi mencari air. Siapa tahu masih ada sisa-sisa sumber air di hutan itu, demikian Bu Mirda berkata dalam hati.
"Toi, Hinta, jangan ke mana-mana ya, Nak? Bermain saja di rumah, Mama akan keluar sebentar mencari air karena persediaan air kita sudah habis," kata Bu Mirda kepada kedua anaknya.
"Mau cari air di mana, Ma? Di mana-mana kan kering?" tanya Toi, anaknya yang sulung.
"Ya di mana saja, Sayang. Yang penting, Mama mendapatkan air untuk kita, jangan jauh-jauh dari adikmu, ya?" tim pal Bu Mirda.
"Tidak apa-apa, Ma. Nanti saya yang menjaga adik," jawab Toi.
Setelah berpesan kepada anaknya, Bu Mirda pun pergi mencari air. Dengan berbekal sebilah bambu yang terdiri atas beberapa ruas yang telah dilubangi, Bu Mirda perlahan turun dari rumahnya dan menyusuri lereng bukit dengan harapan semoga mendapatkan air. Namun, harapan untuk mendapatkan air tinggallah harapan. Yang Bu Mirda temui hanyalah bekas-bekas mata air dan kolam yang telah mengering. Sungai pun hanya berupa alur yang berkelok bagaikan ular tanpa menyisakan sedikit pun air. Kering.
Dengan tekad yang kuat, Bu Mirda tetap melanjutkan perjalanan untuk mencari air. Karena rasa sayang yang sangat mendalam kepada kedua anaknya, Toi dan Hinta, walaupun letih yang dirasakan, Bu Mirda tetap dengan pencariannya. Masuk hutan keluar hutan, dari satu sungai dan anak sungai ke sungai dan anak sungai lainnya. Hasilnya tetap nihil. Tak terasa Bu Mirda telah jauh meninggalkan rumah dan anak-anaknya. Dengan perasaan gundah Bu Mirda meneruskan perjalanannya. Akhimya, sampailah Bu Mirda di sebuah pantai. Dia tetap berkeliling dan menyusuri pantai itu sampai Bu Mirda pun akhirnya kelelahan dan tertidur di bawah pohon yang rindang.
Sementara di hutan, kedua anak Bu Mirda menunggu ibu mereka dengan cemas sebab hingga senja pun ibu mereka belum juga kembali. Dengan perasaan takut dan gelisah, Toi tetap menjaga adiknya. Karena kelelahan menunggu, kedua kakak beradik itu pun tertidur di beranda gubuk mereka.
Keesokan harinya, Toi dan Hinta terbangun. Namun, ibu mereka belum juga kunjung datang. Akhirnya, Toi mengambil keputusan untuk pergi mencari ibunya.
"Dik, marl kita makan yang banyak agar kita pergi menyusul ibu," kata Toi kepada Hinta.
"Ya, Kak. Tapi ibu mau kita cari ke mana, Kak?" tanya Hinta. "Kakak pun tidak tahu mau cari ke mana? Tapi sudahlah, yang penting kita susul ibu. Semoga saja kita dapat bertemu di jalan," timpal Toi.
Setelah membawa bekal, pergilah Toi dan Hinta menyusul ibu mereka. Bukit dan gunung mereka daki, hutan demi hu tan mereka jelajahi. Sampai pada akhimya dari suatu ketinggian, tampaklah lautan di hadapan mereka. Mereka terns berjalan untuk menemukan ibu mereka.
Sementara itu, Bu Mirda masih tetap dengan pencariannya. Sampai pada akhimya, karena rasa putus asa akibat belum juga menemukan air untuk kedua anaknya, Bu Mirda berkata dalam hati.
"Sejak kemarin aku sudah berjalan kian-kemari untuk mendapatkan air, tetapi tidak setetes pun air yang kutemukan. Bagaimana dengan anakku di rumah? Kasihan mereka. Aku harus tetap mendapatkan air. Tapi di mana? Semuanya kering, hanya lautan yang ada di hadapanku."
Karena bingung dan putus asa, Bu Mirda pun berdoa kepada Tuhan sambil terisak.
"Ya Tuhan, tolonglah hamba-Mu dari kesulitan ini. Berikan jalan yang terbaik bagi hamba dan kedua anak hamba."
Setelah berdoa, Bu Mirda berjalan menuju laut. Namun, dari kejauhan terdengar sayup-sayup anaknya memanggil. Akan tetapi, karena jaraknya masih sangat jauh, Bu Mirda tidak mendengar dengan jelas panggilan keduanya anaknya.
Toi dan Hinta berlari sekencang-kencangnya ke arah Bu Mirda. Ada pun Bu Mirda tetap melangkah ke tengah laut. Tidak lama kemudian Toi dan Hinta tiba di tepi pantai, tempat ibunya tadi berada, sambil memanggil lbu mereka. Sementara itu, air sudah sampai di leher Bu Mirda.
Demi mendengar suara anaknya, Bu Mirda berbalik menatap kedua anaknya. Namun, ia tidak berjalan kembali ke arah pantai. Dia hanya memandang Toi dan Hinta sambil menangis.
"Ma, tahoko! Ma, tahoko! Ma, tahoko!" seru Toi sambil menangis kepada lbunya karena menyangka ibunya tenggelam.
"Upa nahoko (jangan ke sini), nanti kamu tenggelam," sahut Bu Mirda dari dalam air.
Tanpa disadari, temyata Bu Mirda sudah semakin jauh ke tengah laut. Ketika Bu Mirda ingin kembali ke pantai, betapa terkejutnya karena ketika berjalan, ia sudah bukan berjalan dengan kedua kakinya. Yang dirasakan Bu Mirda, kakinya bukannya melangkah, melainkan mengibaskan air. Temyata kedua kaki Bu Mirda telah berubah menjadi ekor ikan. Tangannya pun sudah tidak bisa digerakkan lagi karena terlipat. Sekujur tubuhnya telah dipenuhi sisik ikan. Bu Mirda berubah menjadi seekor ikan duyung.
Demi melihat ibu mereka telah menjelma menjadi ikan, menangislah Toi dan Hinta.
"Bagaimana ini, Kak? Kenapa Mama menjadi ikan?" tanya Hinta kepada kakaknya sambil menangis tersedu-sedu.
"Kakak juga tidak mengerti kenapa sampai bisa seperti ini," jawab Toi kepada Hinta.
"Jadi sekarang kita bagaimana, Kak?" tanya Hinta lebih lanjut.
"Kita harus bersabar, Dik. Sekarang marl kita pulang," jawab Toi kepada adiknya dengan perasaan yang hancur dengan kejadian yang baru saja mereka alami.
Kini kedua kakak beradik tersebut telah yatim piatu. Mereka kini sebatang kara. Sambil menangis Toi dan Hinta kembali pulang ke gubuk peninggalan ibu mereka di tengah hutan. Selama berhari-hari Toi dan Hinta hanya bisa menangis mengingat peristiwa yang mereka alami. Makan dan tidur pun sudah tidak mereka hiraukan lagi. Mereka kini sebatang kara tanpa sanak saudara. Akhirnya, dengan kebesaran Tuhan, kedua kakak beradik, Toi dan Hinta, berubah menjadi sepasang burung. Para penduduk setempat menyebutnya dengan burung Tahoko. Nama itu diambil dari kata tahoka 'saya ke laut' yang keluar dari paruhnya ketika bersuara.
Burung Tahoko adalah sejenis burung yang hampir sama dengan a yam hutan. Burung ini senang berada di dekat sungai atau danau. Di pagi dan sore hari burung ini sering bersuara memanggil ibunya dengan kata tahoka! tahoka! tahoka! Sampai saat ini masyarakat setempat yakin apabila terdengar suara burung tahoko di darat, ibu mereka yang telah menjadi ikan duyung akan muncul ke permukaan laut.
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...