×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Cerita Rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Jawa Timur

Asal Daerah

Lamongan

Legenda Ikan Bandeng dan Ikan Lele

Tanggal 11 Feb 2015 oleh Faiqotul Bariroh.

Lambang Kota Lamongan adalah Ikan Bandeng dan Lele. Tapi kali ini saya akan membahas Ikan Lele yang tentunya memiliki sejarah karena menjadi lambang dari Kota Lamongan. Ada yang bilang jika orang Lamongan asli tidak boleh memakan ikan yang satu ini. Benar atau tidak anggaban tersebut, berikut ceritanya.
Dahulu, ada seorang Nyi Lurah yang meminjam piandel berupa keris kepada salah seorang waliullah/sunan (kemungkinan Sunan Ampel) untuk mencegah ontran-ontran atau huru-hara sekaligus untuk menjaga kewibawaannya di wilayahnya (sekitar wilayah Bojonegoro). Kanjeng Sunan pun memberikan keris yang dimilikinya kepada Nyi Lurah dengan beberapa syarat. Diantaranya adalah tidak boleh menggunakan keris tersebut untuk kekerasan (menumpahkan darah) dan harus segera dikembalikan kepada Sunan tersebut secara langsung setelah tujuh purnama (tujuh bulan).

Akhirnya Nyi Lurah berhasil mewujudkan cita-cita dan harapannya itu. Namun setelah tujuh purnama terlewati, Nyi Lurah belum juga mengembalikan keris kepada Kanjeng Sunan. Khawatir terjadi penyalahgunaan pada pusakanya, Kanjeng Sunan kemudian mengutus salah seorang muridnya untuk menemui Nyi Lurah dan mengambil kembali keris Kanjeng Sunan.

Sampai di tempat Nyi Lurah, murid Kanjeng Sunan pun segera menemui Nyi Lurah. Saat murid tersebut menghadap dan mengutarakan maksudnya untuk mengambil keris Kanjeng Sunan, Nyi Lurah bersikeras tidak mau menyerahkan keris tersebut. Karena merasa tidak mendapat sambutan yang baik atas niatnya, akhirnya sang murid berencana untuk diam-diam mengambil keris pusaka di rumah Nyi Lurah.

Pada suatu malam, murid tersebut memasuki rumah Nyi Lurah dan berhasil menggambil keris. Namun, Nyi Lurah telah menyadari bahwa keris pusaka telah dicuri. Serta merta seluruh warga desa berbondong-bondong mengejarnya. Kejar mengejar ini berlangsung sangat jauh hingga mencapai daerah Lamongan. Pada saat di perbatasan daerah Babat-Pucuk, murid tersebut merasa terpojok karena sebuah pohon asam besar menghalangi jalannya. Dan ketika anak tombak dilemparkan kedadanya ternyata seekor kijang lewat menyelamatkannya, hingga yang terkena tombak adalah kijang. Atas kejadian tersebut, sang murid bersyukur kepada Allah dan berujar bahwa anak cucu dan keturunannya kelak tidak boleh memakan daging kijang karena binatang tersebut telah menyelamatkan nyawanya.

Sang murid terus melanjutkan perjalannya ke arah Surabaya, sementara para penduduk tadi masih tetap mengejarnya. Hingga dia terjebak pada sebuah jublangan/kolam yang di dalamnya penuh dengan Ikan Lele yang memiliki pathil yang mematikan. Sementara, dari kejauhan terlihat para penduduk yang semakin dekat menuju ke arahnya dan tidak ada jalan lain selain menyeberangi kolam Lele di depannya. Namun dengan keyakinan hati dan memohon perlindungan kepada Allah, akhirnya diapun menceburkan diri ke dalam kolam penuh Ikan Lele. Ternyata tak satupun Ikan Lele menyerangnya bahkan dengan tenang dia bisa menyelam dengan ikan-ikan lele berkerumun di atasnya. Karena melihat banyak Ikan Lele berenang di atas kolam maka penduduk menganggab bahwa si pencuri tersebut tidak mungkin bersembunyi di kolam penuh Ikan Lele yang memiliki pathil yang sangat mematikan. Warga desa yang mengejarnya itu pun mengalihkan pencariannya ke tempat lain. Setelah itu menyembullah sang murid ke permukaan kolam. Dengan mengucap puji syukur kepada Allah dan lagi-lagi dia berujar bahwa anak, cucu dan keturunannya kelak untuk tidak memakan Ikan Lele, karena ikan tersebut telah menyelamatkan hidupnya. Daerah tempat diucapkannya wasiat tersebut berada di sekitar daerah Glagah Lamongan. Akhirnya, sang murid berhasil menyerahkan kembali pusakanya pada Kanjeng Sunan.

Beberapa cerita mengatakan bahwa murid yang mencuri keris pusaka tersebut bernama Ronggohadi (saat ini menjadi salah satu jalan di Kota Lamongan). Dia adalah orang yang kelak membabat alas Lamongan dan menjadi bupati pertama Lamongan yang bergelar Bupati Surajaya.

Hingga saat ini, kebanyakan masyarakat Lamongan di daerah Glagah, tengah kota, atau pesisir, sangat jarang yang makan lele sebagai santapan lauk pauknya apalagi yang berdarah asli Lamongan (ayah dan ibu asli Lamongan). Mereka khawatir kalau masih ada darah keturunan sang murid Kenjeng Sunan dan takut melanggar sumpah. Meskipun pada umumnya orang sekitar Glagah, Deket dan sekitarnya di era sekarang ini banyak yang beternak ikan lele, namun jarang sekali mereka yang memakan ikan tersebut. Konon, jika ada anak keturunannya yang melanggar sumpah, maka pigmen di area tangan atau tubuhnya akan memudar sehingga warna kulitnya belang-belang hingga menyerupai tubuh Ikan Lele. Wa'allahualam. Namun hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mempunyai ayah dari luar Lamongan atau tinggal jauh di wilayah Lamongan bagian selatan dan barat.Lambang Kota Lamongan adalah Ikan Bandeng dan Lele. Tapi kali ini saya akan membahas Ikan Lele yang tentunya memiliki sejarah karena menjadi lambang dari Kota Lamongan. Ada yang bilang jika orang Lamongan asli tidak boleh memakan ikan yang satu ini. Benar atau tidak anggaban tersebut, berikut ceritanya.
Dahulu, ada seorang Nyi Lurah yang meminjam piandel berupa keris kepada salah seorang waliullah/sunan (kemungkinan Sunan Ampel) untuk mencegah ontran-ontran atau huru-hara sekaligus untuk menjaga kewibawaannya di wilayahnya (sekitar wilayah Bojonegoro). Kanjeng Sunan pun memberikan keris yang dimilikinya kepada Nyi Lurah dengan beberapa syarat. Diantaranya adalah tidak boleh menggunakan keris tersebut untuk kekerasan (menumpahkan darah) dan harus segera dikembalikan kepada Sunan tersebut secara langsung setelah tujuh purnama (tujuh bulan).

Akhirnya Nyi Lurah berhasil mewujudkan cita-cita dan harapannya itu. Namun setelah tujuh purnama terlewati, Nyi Lurah belum juga mengembalikan keris kepada Kanjeng Sunan. Khawatir terjadi penyalahgunaan pada pusakanya, Kanjeng Sunan kemudian mengutus salah seorang muridnya untuk menemui Nyi Lurah dan mengambil kembali keris Kanjeng Sunan.

Sampai di tempat Nyi Lurah, murid Kanjeng Sunan pun segera menemui Nyi Lurah. Saat murid tersebut menghadap dan mengutarakan maksudnya untuk mengambil keris Kanjeng Sunan, Nyi Lurah bersikeras tidak mau menyerahkan keris tersebut. Karena merasa tidak mendapat sambutan yang baik atas niatnya, akhirnya sang murid berencana untuk diam-diam mengambil keris pusaka di rumah Nyi Lurah.

Pada suatu malam, murid tersebut memasuki rumah Nyi Lurah dan berhasil menggambil keris. Namun, Nyi Lurah telah menyadari bahwa keris pusaka telah dicuri. Serta merta seluruh warga desa berbondong-bondong mengejarnya. Kejar mengejar ini berlangsung sangat jauh hingga mencapai daerah Lamongan. Pada saat di perbatasan daerah Babat-Pucuk, murid tersebut merasa terpojok karena sebuah pohon asam besar menghalangi jalannya. Dan ketika anak tombak dilemparkan kedadanya ternyata seekor kijang lewat menyelamatkannya, hingga yang terkena tombak adalah kijang. Atas kejadian tersebut, sang murid bersyukur kepada Allah dan berujar bahwa anak cucu dan keturunannya kelak tidak boleh memakan daging kijang karena binatang tersebut telah menyelamatkan nyawanya.

Sang murid terus melanjutkan perjalannya ke arah Surabaya, sementara para penduduk tadi masih tetap mengejarnya. Hingga dia terjebak pada sebuah jublangan/kolam yang di dalamnya penuh dengan Ikan Lele yang memiliki pathil yang mematikan. Sementara, dari kejauhan terlihat para penduduk yang semakin dekat menuju ke arahnya dan tidak ada jalan lain selain menyeberangi kolam Lele di depannya. Namun dengan keyakinan hati dan memohon perlindungan kepada Allah, akhirnya diapun menceburkan diri ke dalam kolam penuh Ikan Lele. Ternyata tak satupun Ikan Lele menyerangnya bahkan dengan tenang dia bisa menyelam dengan ikan-ikan lele berkerumun di atasnya. Karena melihat banyak Ikan Lele berenang di atas kolam maka penduduk menganggab bahwa si pencuri tersebut tidak mungkin bersembunyi di kolam penuh Ikan Lele yang memiliki pathil yang sangat mematikan. Warga desa yang mengejarnya itu pun mengalihkan pencariannya ke tempat lain. Setelah itu menyembullah sang murid ke permukaan kolam. Dengan mengucap puji syukur kepada Allah dan lagi-lagi dia berujar bahwa anak, cucu dan keturunannya kelak untuk tidak memakan Ikan Lele, karena ikan tersebut telah menyelamatkan hidupnya. Daerah tempat diucapkannya wasiat tersebut berada di sekitar daerah Glagah Lamongan. Akhirnya, sang murid berhasil menyerahkan kembali pusakanya pada Kanjeng Sunan.

Beberapa cerita mengatakan bahwa murid yang mencuri keris pusaka tersebut bernama Ronggohadi (saat ini menjadi salah satu jalan di Kota Lamongan). Dia adalah orang yang kelak membabat alas Lamongan dan menjadi bupati pertama Lamongan yang bergelar Bupati Surajaya.

Hingga saat ini, kebanyakan masyarakat Lamongan di daerah Glagah, tengah kota, atau pesisir, sangat jarang yang makan lele sebagai santapan lauk pauknya apalagi yang berdarah asli Lamongan (ayah dan ibu asli Lamongan). Mereka khawatir kalau masih ada darah keturunan sang murid Kenjeng Sunan dan takut melanggar sumpah. Meskipun pada umumnya orang sekitar Glagah, Deket dan sekitarnya di era sekarang ini banyak yang beternak ikan lele, namun jarang sekali mereka yang memakan ikan tersebut. Konon, jika ada anak keturunannya yang melanggar sumpah, maka pigmen di area tangan atau tubuhnya akan memudar sehingga warna kulitnya belang-belang hingga menyerupai tubuh Ikan Lele. Wa'allahualam. Namun hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mempunyai ayah dari luar Lamongan atau tinggal jauh di wilayah Lamongan bagian selatan dan barat.Lambang Kota Lamongan adalah Ikan Bandeng dan Lele. Tapi kali ini saya akan membahas Ikan Lele yang tentunya memiliki sejarah karena menjadi lambang dari Kota Lamongan. Ada yang bilang jika orang Lamongan asli tidak boleh memakan ikan yang satu ini. Benar atau tidak anggaban tersebut, berikut ceritanya.
Dahulu, ada seorang Nyi Lurah yang meminjam piandel berupa keris kepada salah seorang waliullah/sunan (kemungkinan Sunan Ampel) untuk mencegah ontran-ontran atau huru-hara sekaligus untuk menjaga kewibawaannya di wilayahnya (sekitar wilayah Bojonegoro). Kanjeng Sunan pun memberikan keris yang dimilikinya kepada Nyi Lurah dengan beberapa syarat. Diantaranya adalah tidak boleh menggunakan keris tersebut untuk kekerasan (menumpahkan darah) dan harus segera dikembalikan kepada Sunan tersebut secara langsung setelah tujuh purnama (tujuh bulan).

Akhirnya Nyi Lurah berhasil mewujudkan cita-cita dan harapannya itu. Namun setelah tujuh purnama terlewati, Nyi Lurah belum juga mengembalikan keris kepada Kanjeng Sunan. Khawatir terjadi penyalahgunaan pada pusakanya, Kanjeng Sunan kemudian mengutus salah seorang muridnya untuk menemui Nyi Lurah dan mengambil kembali keris Kanjeng Sunan.

Sampai di tempat Nyi Lurah, murid Kanjeng Sunan pun segera menemui Nyi Lurah. Saat murid tersebut menghadap dan mengutarakan maksudnya untuk mengambil keris Kanjeng Sunan, Nyi Lurah bersikeras tidak mau menyerahkan keris tersebut. Karena merasa tidak mendapat sambutan yang baik atas niatnya, akhirnya sang murid berencana untuk diam-diam mengambil keris pusaka di rumah Nyi Lurah.

Pada suatu malam, murid tersebut memasuki rumah Nyi Lurah dan berhasil menggambil keris. Namun, Nyi Lurah telah menyadari bahwa keris pusaka telah dicuri. Serta merta seluruh warga desa berbondong-bondong mengejarnya. Kejar mengejar ini berlangsung sangat jauh hingga mencapai daerah Lamongan. Pada saat di perbatasan daerah Babat-Pucuk, murid tersebut merasa terpojok karena sebuah pohon asam besar menghalangi jalannya. Dan ketika anak tombak dilemparkan kedadanya ternyata seekor kijang lewat menyelamatkannya, hingga yang terkena tombak adalah kijang. Atas kejadian tersebut, sang murid bersyukur kepada Allah dan berujar bahwa anak cucu dan keturunannya kelak tidak boleh memakan daging kijang karena binatang tersebut telah menyelamatkan nyawanya.

Sang murid terus melanjutkan perjalannya ke arah Surabaya, sementara para penduduk tadi masih tetap mengejarnya. Hingga dia terjebak pada sebuah jublangan/kolam yang di dalamnya penuh dengan Ikan Lele yang memiliki pathil yang mematikan. Sementara, dari kejauhan terlihat para penduduk yang semakin dekat menuju ke arahnya dan tidak ada jalan lain selain menyeberangi kolam Lele di depannya. Namun dengan keyakinan hati dan memohon perlindungan kepada Allah, akhirnya diapun menceburkan diri ke dalam kolam penuh Ikan Lele. Ternyata tak satupun Ikan Lele menyerangnya bahkan dengan tenang dia bisa menyelam dengan ikan-ikan lele berkerumun di atasnya. Karena melihat banyak Ikan Lele berenang di atas kolam maka penduduk menganggab bahwa si pencuri tersebut tidak mungkin bersembunyi di kolam penuh Ikan Lele yang memiliki pathil yang sangat mematikan. Warga desa yang mengejarnya itu pun mengalihkan pencariannya ke tempat lain. Setelah itu menyembullah sang murid ke permukaan kolam. Dengan mengucap puji syukur kepada Allah dan lagi-lagi dia berujar bahwa anak, cucu dan keturunannya kelak untuk tidak memakan Ikan Lele, karena ikan tersebut telah menyelamatkan hidupnya. Daerah tempat diucapkannya wasiat tersebut berada di sekitar daerah Glagah Lamongan. Akhirnya, sang murid berhasil menyerahkan kembali pusakanya pada Kanjeng Sunan.

Beberapa cerita mengatakan bahwa murid yang mencuri keris pusaka tersebut bernama Ronggohadi (saat ini menjadi salah satu jalan di Kota Lamongan). Dia adalah orang yang kelak membabat alas Lamongan dan menjadi bupati pertama Lamongan yang bergelar Bupati Surajaya.

Hingga saat ini, kebanyakan masyarakat Lamongan di daerah Glagah, tengah kota, atau pesisir, sangat jarang yang makan lele sebagai santapan lauk pauknya apalagi yang berdarah asli Lamongan (ayah dan ibu asli Lamongan). Mereka khawatir kalau masih ada darah keturunan sang murid Kenjeng Sunan dan takut melanggar sumpah. Meskipun pada umumnya orang sekitar Glagah, Deket dan sekitarnya di era sekarang ini banyak yang beternak ikan lele, namun jarang sekali mereka yang memakan ikan tersebut. Konon, jika ada anak keturunannya yang melanggar sumpah, maka pigmen di area tangan atau tubuhnya akan memudar sehingga warna kulitnya belang-belang hingga menyerupai tubuh Ikan Lele. Wa'allahualam. Namun hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mempunyai ayah dari luar Lamongan atau tinggal jauh di wilayah Lamongan bagian selatan dan barat.   

Monumen Bandeng Lele

DISKUSI


TERBARU


ASAL USUL DESA...

Oleh Edyprianto | 17 Apr 2025.
Sejarah

Asal-usul Desa dimulai dari keberadaan Jaka Tingkir/ Mas Karebet/ Sultan Hadiwijaya yang menetap di Desa Pringgoboyo, Maduran, Lamongan. KERAJAAN...

Rumah Adat Karo...

Oleh hallowulandari | 14 Apr 2025.
Rumah Tradisional

Garista adalah Rumah Adat Karo di Kota medan yang dikenal sebagai Siwaluh Jabu. Rumah adat ini dipindahkan dari lokasi asalnya di Tanah Karo. Rumah A...

Kearifan Lokal...

Oleh Artawan | 16 Mar 2025.
Budaya

Setiap Kabupaten yang ada di Bali memiliki corak kebudayaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Salah satunya Desa Adat Tenga...

Mengenal Sejara...

Oleh Artawan | 16 Mar 2025.
Budaya

Pura Lempuyang merupakan salah satu tempat persembahyangan umat hindu Bali tertua dan paling suci di Bali. Terletak di lereng Gunung Lempuyang, di Ka...

Resep Layur Bum...

Oleh Masterup1993 | 24 Jan 2025.
Makanan

Ikan layur yang terkenal sering diolah dengan bumbu kuning. Rasa ikan layur yang dimasak dengan bumbu kuning memberikan nuansa oriental yang kuat...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...