|
|
|
|
![]() |
Legenda Danau Kastoba, Pulau Bawean Tanggal 18 May 2018 oleh Yunaz Karaman. |
Kala itu orang belum mengenal Pulau Bawean. Namanya masih tersohor dengan sebutan Pulau Majeti. Pulau ini diselimuti hutan belantara yang sangat lebat nan menghijau. Tepat di tengah-tengah pulau tumbuh pohon sangat besar. Namanya pohon kastoba. Pohonnya kokoh dan menjulang tinggi. Akar-akarnya tertancap kuat di tanah, bahkan yang menyembul ke permukaan seperti jari-jari sedang mencengkeram bumi. Daunnya sangat rimbun. Dahan-dahan dan rantingnya menjuntai sampai ke tanah. Tidak mengherankan apabila pohon itu menjadi tempat bermain, berteduh, dan bersarang bagi burung-burung dan binatang lainnya.
Pohon kastoba saat itu menjadi pohon yang sangat tersohor di seantero Nusantara. Pohon kastoba tiada duanya di dunia, hanya tumbuh di Pulau Majeti. Semua mengetahui bahwa pohon itu memiliki kesaktian tiada tara. Pemiliknya adalah Ratu Jin yang juga dikenal sangat sakti mandra guna. Sang Ratu memberikan titah kepada rakyatnya untuk senantiasa memelihara dan menjaga pohon langka itu. Bahkan, seluruh rakyat membanggakannya karena berkat pohon itu, kerajaan mereka di kenal di seluruh penjuru Nusantara.
Entah mengapa, suatu hari hati sang Ratu Jin tiba-tiba menjadi gundah gulana. Rasa khawatir memburu dan menyergapnya. Ada kerisauan yang mendalam tentang keberadaan pohon saktinya. Ratu yang sangat disegani oleh rakyatnya itu merasa takut apabila rahasia pohon saktinya diketahui oleh manusia. Oleh karena itu sang Ratu Jin segera memanggil pengawal istana untuk menghadap.
“Sembah hamba, Kanjeng Ratu,” ucap kedua pengawal hampir bersamaan dengan sikap menyembah.
“Pengawal, kuperintahkan kalian berdua untuk menemui Burung Gagak Jantan yang tinggal di Pantai Ria, Desa Deket Agung. Lalu, kalian temui juga Burung Gagak Betina yang tinggal di Pantai Mayangkara, Desa Diponggo. Perintahkan keduanya untuk segera menghadapku ke istana!” titah Ratu Jin dengan suara penuh wibawa.
“Daulat, Kanjeng Ratu. Kami siap melaksanakan titah Paduka,” jawab kedua pengawal itu dengan tetap menyembah.
Maka, tanpa menunggu lama-lama kedua pengawal istana itu beranjak dari hadapan sang Ratu Jin. Keduanya berdiri dengan sikap sempurna. Kedua telapak tangannya menyilang di dada. Mata kedua pengawal yang bertubuh tinggi tegap itu segera terpejam. Secepat kilat keduanya lenyap bersama hembusan angin.
Tidak lama kemudian, sampailah kedua pengawal istana itu di tempat tinggal Burung Gagak Jantan.
“Hai, Burung Gagak Jantan. Saat ini juga kau diperintahkan menghadap Kanjeng Ratu Jin ke istana!” perintah salah satu pengawal dengan suara lantang.
“Hamba siap menghadap wahai Pengawal,” jawab Burung Gagak Jantan tiada berani membantah. Tak pernah terdengar cerita ada makhluk yang berani membantah titah Ratu Jin di Pulau Majeti. Semua itu karena mereka percaya ratu mereka benar-benar sosok yang sakti dan ditakuti.
Segeralah Burung Gagak Jantan memberi hormat kepada kedua pengawal itu. Dikepakkan sayapnya yang kokoh, kemudian melesat membelah angkasa.
Kedua pengawal setia itu berdiri dengan sikap tegap, sempurna. Kedua telapak tangannya menyilang di dada. Mata kedua pengawal yang gagah perkasa itu segera terpejam. Keduanya lenyap bersama hembusan angin.
Dalam sekejap mata, keduanya telah sampai di Desa Diponggo, tempat tinggal Burung Gagak Betina.
“Hai, Burung Gagak Betina. Sekarang juga kau diperintahkan menghadap Kanjeng Ratu Jin ke istana!” perintah salah satu pengawal dengan suara garang.
“Hamba siap wahai Pengawal,” jawab Burung Gagak Betina tiada berani membantah dengan suara lirih.
Setelah memberi penghormatan kepada kedua pengawal istana itu, Burung Gagak Betina pun dengan sigap mengepakkan sayap melesat ke udara.
Sesampai di istana, Burung Gagak Jantan dan Betina dikawal menuju ke singgasana Ratu Jin. Kedua burung berbulu hitam pekat itu tentu saja hatinya berdebar-debar. Mereka kawatir, jangan-jangan dipanggil ke istana akan mendapatkan hukuman dari sang Ratu Jin.
“Sembah hamba, Paduka Ratu,” kata kedua burung bermata tajam itu penuh hormat.
“Hai, Burung Gagak Jantan dan Betina!” sapa Ratu Jin sambil berdiri dari kursinya yang bertahta emas dan permata.
“Daulat, Kanjeng Ratu,” jawab keduanya hampir bersamaan. Kepalanya tetap menunduk. Tak sedikitpun kedua Burung Gagak berani menatap ke arah Ratu penguasa Pulau Majeti itu.
“Mulai hari ini, akan kuberikan tugas berat untuk kalian berdua. Namun, berbanggalah kalian karena tugas ini hanya akan kuberikan kepada mereka yang benar-benar dapat aku percaya,” sabda sang Ratu meyakinkan.
“Daulat, Kanjeng Ratu,” jawab keduanya dengan perasaan bangga karena mendapatkan kepercayaan dari sesembahan mereka. Burung Gagak Jantan dan Betina menganggap inilah kesempatan untuk dapat mengabdikan diri bagi kerajaan.
“Bukankah kalian telah mendengar kesaktian pohon kastoba milikku?” tanya sang Ratu.
“Ya, Kanjeng Ratu,” jawab kedua burung itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, tugas kalian adalah menjaga pohon kastoba dan rahasianya dari siapapun yang berniat mengusik keberadaan pohon pujaanku itu,” terang sang Ratu.
Susana menjadi hening. Semua tertunduk mendengarkan titah sesembahan yang sangat mereka sanjung.
Tiba-tiba sang Ratu Jin menghentakkan tongkat emasnya ke lantai tiga kali. Terdengar suara gemerincing dari kepala tongkat berbentuk tengkorak itu.
“Semua yang ada di ruang ini keluar. Biarkan Burung Gagak Jantan dan Betina bersamaku!” perintah Ratu Jin kepada pengawal-pengawalnya.
Setelah semua keluar dari ruang istimewa sang Ratu, maka diperintahkan sepasang Burung Gagak itu untuk mendekat.
“Kalian adalah rakyatku yang selama ini kunilai sangat patuh. Oleh karena itu aku memilih kalian untuk tugas istimewa ini. Sudah saatnya kalian mengetahui rahasia dari pohon sakti milikku,” terang sang Ratu dengan nada lirih agar suaranya tidak menembus tembok ruangan berhias emas berlian itu.
Kedua Burung Gagak itu hanya menunduk mendengarkan sabda junjungannya.
“Namun ingat, jangan sampai rahasia ini didengar oleh siapapun apalagi manusia!” tandas sang Ratu.
“Ya, yang Mulia. Kami siap memegang rahasia,” jawab Burung Gagak Jantan.
“Bagaimana denganmu Burung Gagak Betina?” tanya sang Ratu.
“Hamba juga siap menjaga rahasia sang Ratu,” jawab Burung Gagak Betina.
“Hem…. Aku percaya kepada kalian. Coba dengarkan baik-baik. Pohon kastoba ini sangat kupuja karena kesaktiannya. Mulai dari akar, pohon, batang, ranting, dan daun-daunnya dapat dijadikan tumbal untuk menangkal segala bencana dan marabahaya. Sehelai daunnya saja dapat digunakan untuk menyembuhkan segala macam penyakit hanya dengan mengoleskan ke bagian tubuh yang sakit. Apalagi bunganya. Dapat dijadikan untuk menambah kekebalan tubuh dan kesaktian,” bisik sang Ratu.
Sepasang Burung Gagak itu hanya manggut-manggut dengan perasaan kagum terhadap pohon kebanggaan kerajaannya yang termashur itu.
“Nah, jagalah pohon kastoba. Apabila ada yang mendekat dan berniat mengusik pohon itu, segeralah beri isyarat pengawal istana agar segera dilenyapkan. Jangan sampai ada manusia yang tahu rahasia ini, karena jika mereka tahu khasiatnya tentu akan segera menguasai dan menghabiskannya. Pohon ini hanya ada di kerajaan kita. Tidak pernah tumbuh di kerajaan lain. Apabila sudah diusik, pohon itu akan segera mati. Tidak bisa tumbuh lagi. Tidak mungkin ditanam kembali. Jangan biarkan itu terjadi. Siapkah kalian?” tanya sang Ratu dengan nada sangat serius.
“Kami siap sang Ratu,” jawab keduanya dengan mantap.
“Semua kebutuhanmu akan disediakan oleh pengawal-pengawal istana. Jangan khianati kepercayaanku. Jika itu terjadi, kalian akan menanggung akibatnya! Apa kalian mengerti?” ancam sang Ratu dengan wajah bersungut-sungut.
Tidak selang lama, sang Ratu Jin segera memanggil kembali pengawal istana. Mereka diperintahkan untuk mengantarkan sepasang Burung Gagak itu menuju ke tempat pohon sakti berada.
“Kalian sangat beruntung mendapatkan tugas dari yang Mulia. Kami saja yang mengabdi dengan tulus selama beratus-ratus tahun, tidak diperkenankan mendekati pohon itu. Apalagi dipercaya untuk menjaganya,” puji pimpinan pengawal di tengah-tengah perjalanan menuju ke tempat pohon sakti itu tumbuh.
“Terima kasih atas pujiannya,” jawab Burung Gagak Jantan dengan rendah hati.
“Hai Burung Gagak Jantan dan Betina, laksanakan tugasmu dengan baik. Jangan kecewakan sang Ratu. Kecuali kalian mencari mati. Kami hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Kami tidak diperkenankan melangkah lebih dekat lagi karena kami takut terkena kutukan,” terang pimpinan pengawal istana.
“Baiklah, terima kasih Pengawal,” jawab Burung Gagak Betina.
Setelah pengawal kembali ke istana, sepasang burung yang baru saja mendapatkan kepercayaan Ratu Jin itu segera terbang menuju pohon sakti. Sesampai di sana, tubuh gelapnya seperti hilang tertelan lebatnya dedaunan. Keduanya mencari tempat yang nyaman untuk dapat melakukan pengintaian demi tetap amannya pohon itu dari gangguan siapapun yang berniat jahat.
Hari berganti hari. Tiada terasa, satu musim sudah Burung Gagak Jantan dan Betina melaksanakan tugas mulia. Keduanya berhasil menjalankan tugas dengan baik. Tidak satu pun ada tanda-tanda makhluk yang berniat mengusik pohon sakti kebanggaan rakyat di kerajaannya itu.
Musim telah bertukar. Kemarau panjang saat itu melanda seluruh wilayah kerajaan Ratu Jin. Udara sangat panas. Angin seperti enggan berhembus. Sumber-sumber air satu per satu mengering. Tanah-tanah mulai lekang. Daun-daun di hutan jatuh berguguran memasuki masa meranggas. Bahkan, banyak pohon yang layu, kemudian mati terbakar panasnya matahari.
Kedua burung itu mulai merasa jenuh dengan tugas mulianya. Keduanya mencoba mencari udara segar dengan bertengger di salah satu bagian dahan yang menembus keluar.
“Hem….segar…!” pekik Burung Gagak Betina sambil menghirup hembusan angin yang mengarah kepadanya.
“Wah, pohon ini benar-benar sakti ya!” kata Burung Gagak Betina.
“Ya, memangnya kenapa kamu tiba-tiba membicarakannya? Tidakkah ada hal lain yang bisa kamu bicarakan selain itu?” tanya Burung Gagak Jantan.
“Masak bicara begitu saja tidak boleh. Siapa yang mau mendengar? Kan, hanya ada kamu dan aku di sini?” tukas Burung Gagak Betina.
Suasana gerah siang itu bertambah menjadi tegang. Keduanya terdiam sejenak. Wajah Burung Gagak Betina terlihat masam.
“Andai kita bisa memiliki pohon sakti ini, tentu kita bisa sakti dan termashur di dunia seperti sang Ratu. Bahkan kita bisa menjadi raja dan ratu!” kata Burung Gagak Betina berandai-andai.
“Sssstttt…. Jangan keras-keras. Nanti ada yang mendengar. Kamu jangan berpikir serakah! Kalau ketahuan, kita bisa dibakar hidup-hidup oleh sang Ratu! Apa kamu mau mati sia-sia?” ingat Burung Gagak Jantan dengan penuh kecemasan.
“Halah… lagi pula siapa yang akan mendengar pembicaraan kita?” tentang Burung Gagak Betina lebih bersungut-sungut.
“Kita ini hanya dititahkan mengemban tugas menjaga pohon kastoba. Jangan lupa itu. Jadi, jangan pernah terlintas di benakmu untuk memiliki atau menguasainya. Nanti kita sama dengan bangsa manusia. Sering ikut-ikutan latah dan serakah. Sebaiknya jangan kita sia-siakan kepercayaan ini!” pinta Burung Gagak Jantan menasihati.
“Ya…ya, aku mengerti,” timpal Burung Gagak Betina dengan enteng.
Suasana kembali hening. Keduanya berhenti mengumbar kata-kata. Namun, tanpa disadari oleh keduanya ada seorang kakek buta yang berjalan tertatih-tatih menuju pohon sakti itu. Kakek berpakaian lusuh dan compang-camping itu berteduh sejenak tepat di bawah pohon sakti. Tenaganya hampir habis karena sergapan rasa haus dan lapar.
Sebenarnya kakek buta itu di masa mudanya adalah orang terhormat yang hidupnya sukses dan kaya raya. Kesehariannya bergelimang harta dan kemewahan. Hanya saja, sifat serakah, tamak, loba, dan tiada pernah peduli terhadap penderitaan sesama membutakan mata hatinya. Sifat-sifat itulah yang menyeretnya menjadi raja tega.
Kegilaan dalam mengumpulkan harta benda untuk urusan dunia, ternyata memalingkan mukanya dari rasa syukur kepada Tuhan. Dia merasa, kekayaan yang ia miliki adalah hasil jerih payahnya sendiri, bukan karena siapa-siapa. Bukan juga untuk dibagi-bagikan kepada orang lain termasuk fakir miskin.
Sampai suatu waktu, Tuhan menegurnya dengan cara yang sangat halus. Ketika menikmati jamuan pesta di rumahnya, ia memilih makanan ikan laut bakar kesukaannya. Namun, petaka menghampiri. Sambal yang ada di talam berpahat emas itu tersenggol oleh temannya sehingga biji-biji cabai melesat tepat mengenai kedua kornea matanya. Seketika itu ia merasakan dunia terlihat gelap. Sejak saat itu matanya menjadi benar-benar buta.
Segala cara telah ditempuh untuk mengembalikan penglihatannya. Namun, sampai harta bendanya habis kebutaan itu tetap menemani sepanjang hidupnya. Istri, anak, saudara, dan teman-teman satu per satu meninggalkannya karena ia jatuh miskin.
Setelah jatuh miskin, barulah dirinya menyesali perbuatannya selama ini. Namun, semua sudah terlambat. Maka sepanjang hari yang bisa dilakukan adalah mengembara tak tentu tujuan sambil berharap ada petunjuk agar matanya bisa melihat dunia kembali.
Sepasang Burung Gagak itu kembali terlibat dalam percakapan tentang pohon sakti.
“Hai, Burung Gagak Jantan. Masih ingatkah kamu rahasia pohon ini sebagaimana dikatakan sang Ratu?” pancing Burung Gagak Betina.
“Ya, masih ingat. Memangnya kenapa?” tanya balik Burung Gagak Jantan kurang bersemangat.
“Ratu menyampaikan bahwa mulai dari akar sampai pucuk daunnya sangat sakti dan ampuh. Dapat digunakan apa saja. Bisa untuk menambah kekebalan dan kesaktian. Bisa untuk menyembuhkan orang yang sakit apa saja. Kalau kita bisa memiliki pohon sakti ini, wah, tentunya baru luar biasa!” tandas Burung Gagak Betina yang tampaknya mulai tergiur untuk menguasai pohon sakti yang dijaganya itu.
Kakek yang buta itu sangat terperanjat mendengar pecakapan Burung Gagak Jantan dan Betina yang tepat berada di atasnya. Harapannya untuk sembuh dari kebutaan membuncah. Berbinarlah wajah keriputnya yang sayu dipenuhi debu.
Kakek buta itu berusaha mempertahankan posisinya agar tidak diketahui oleh sepasang Burung Gagak itu. Bahkan, aliran nafaspun diatur agar tidak terdengar mereka. Telinganya dibuka lebih lebar agar dapat menangkap lebih banyak tentang rahasia pohon itu.
“Kalau manusia tahu kasiatnya, tentu pohon ini akan segera dikuasai dan dihabiskan. Bagaimana tidak? Hanya dengan mengoleskan daunnya ke bagian tubuh yang sakit, maka akan sembuh segala macam penyakit. Apa tidak luar biasa itu namanya?” kata-kata Burung Gagak Betina tiada terasa semakin keras terdengar.
“Sssttt….jangan keras-keras. Nanti ada yang mendengar, bisa berbahaya!” pinta Burung Gagak Jantan mengingatkan.
“Dasar, manusia-manusia itu tak tahu apa-apa. Mereka rela menahan rasa sakit bertahun-tahun. Kalau tahu kasiat pohon ini, tentu mereka akan berbondong-bondong ke sini. Berebut pohon ini sampai tiada tersisa!” cela Burung Gagak Betina.
“Nah, kamu tahu itu. Maka berhentilah berbicara!” timpal Burung Gagak Jantan.
Kakek buta itu hanya bisa manggut-manggut keheranan. Antara percaya dan tidak obrolan Burung Gagak itu. Rasa penasaran membuat kakek itu berjalan tertatih untuk meraih daun yang menjuntai menyentuh tanah. Usaha keras kakek itu berhasil. Didapatkannya sehelai daun dari pohon sakti. Getah cair yang keluar dari pangkal daun itu segera diletakan di telapak tangan kemudian dioleskan ke kedua matanya.
Sungguh di luar dugaan, kedua mata kakek itu kembali dapat melihat indahnya dunia sekitar dengan sempurna. Semula ia menganggapnya itu mimpi. Namun, setelah mencubit-cubit kulitnya ternyata semua itu nyata.
Wah, betapa bahagianya sang Kakek dapat kembali melihat. Ia tersenyum-senyum bahagia. Ia tertawa-tawa gembira. Ia kemudian berteriak-teriak sekuat tenaga meluapkan rasa bahagia yang tiada terkira.
“Terima kasih Burung Gagak. Berkat obrolanmu aku sudah bisa kembali melihat dunia. Ha…ha…ha….!” teriakan sang Kakek sambil menari-nari meluapkan kegembiraannya.
“Terima kasih Burung Gagak….!” ungkap kakek itu menyuarakan isi hatinya.
“Terima kasih Burung Gagak… kalian telah menunjukkan rahasia kesaktian pohon ini kepadaku sehingga aku bisa sembuh dari kebutaan! Hai, Burung Gagak… terima kasih banyak…!” kata-kata sang Kakek meluncur sekuat-kuatnya membelah angkasa.
“Aku akan pulang ke kampung halamanku untuk mencari keluargaku. Aku ingin bertobat untuk menebus dosa-dosaku di masa lalu. Akan kuceritakan kesaktian pohon ini agar dapat membantu saudara-saudaraku yang menderita sakit. Terima kasih….Gagak!” pekik kakek itu penuh semangat.
Mendengar teriakan-teriakan itu, membuat kedua Burung Gagak diam mematung. Keduanya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Darahnya mendadak seakan berhenti. Mukanya menjadi pucat pasi. Mereka hanya bisa saling memandang seakan ingin saling menyalahkan. Keduanya kawatir kalau suara kakek itu terdengar pengawal istana.
Ternyata kekawatiran Burung Gagak Jantan dan Betina itu menjadi kenyataan. Teriakan-teriakan kakek itu terdengar oleh pengawal istana yang ditugasi untuk menjadi pengintai pohon sakti. Mereka bergegas melaporkan kejadian itu kepada sang Ratu.
Mendengar laporan itu sontak membuat sang Ratu Jin murka. Jantungnya berdegup kencang seakan hendak meledak. Aliran darahnya meluncur deras sampai ke ubun-ubun.Tubuhnya bergetar menahan amarah. Giginya berkerut. Matanya bulat sempurnya, merah bara menatap tajam ke sekelilingnya.
Tanpa banyak berucap, dalam sekejap mata, sang Ratu telah melesat menuju ke pohon sakti disertai oleh para pengawalnya.
“Wahai Burung Gagak, kalian telah mengkhianati kepercayaanku. Terkutuklah kalian! Mulai saat ini jangan pernah dirimu dan anak keturunanmu kembali ke pulau ini lagi. Jika kalian melanggar, akan kuhukum kalian dengan hukuman yang lebih berat lagi. Enyahlah dari pulau ini sekarang juga!” titah sang Ratu meluncur dengan nada meletup-letup. Kedua tangannya terlihat mengepal gemetar dan matanya memerah laksana api di tungku perapian pandai besi.
Sepasang Burung Gagak itu gemetar ketakutan. Bulu-bulunya seakan rontok. Tulang belulangnya seolah remuk. Tanpa berkata apa pun keduanya segera terbang dari pohon sakti dan meninggalkan Pulau Majeti. Konon, sejak peristiwa itu sampai sekarang anak keturunan Burung Gagak tidak pernah berani menginjakkan kaki ke Pulau Bawean.
“Kerajaanku dalam bahaya. Rahasia pohon sakti ini telah diketahui manusia. Manusia itu punya sifat rakus yang luar biasa. Aku harus bertindak cepat sebelum mereka berduyun-duyun ke sini mengusik dan memanfaatkan pohon saktiku untuk kebahagiaan hidup mereka. Aku tidak akan rela. Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi!” murka sang Ratu membuat seluruh pengawalnya gemetar karena ketakutan.
Diperintahkan semua pengawalnya untuk menjauh dari pohon sakti itu.
“Segeralah kalian menjauh dari sini! Carilah tempat perlindungan jika kalian ingin selamat!” bentak sang Ratu Jin.
Kedua tangan sang Ratu terlihat memegangi pohon yang bekulit gelap itu. Semua kesaktian yang dimiliki dikerahkan untuk memenuhi hasrat kemurkaannya.
“Hiaaattttt….!” teriak sang Ratu sekuat tenaga. Suara itu ternyata mengundang angin dari segala penjuru untuk menyatu membentuk pusaran yang sangat dahsyat menuju ke arah pohon sakti. Para pengawalnya lari tunggang langgang mencari perlindungan di balik bebatuan besar agar tidak tertimpa pohon-pohon lainnya yang tumbang.
Maka dengan sekali hentak, tercerabutlah pohon sangat besar itu dari tanah. Pohon itu kemudian diangkat di atas kepalanya. Sejenak diputar-putar seperti mainan. Hatinya masih sangat murka. Puncaknya, dilemparkanlah pohon kebanggaannya itu.
Maka, beberapa saat pohon itu melayang-layang di angkasa lalu meluncur seperti anak panah melewati bukit-bukit di Pulau Majeti. Akhirnya, pohon yang dipuja-puja oleh rakyat kerajaan Ratu Jin itu tercebur ke laut. Anehnya, posisi jatuhnya pohon itu terbalik. Bagian dahan dan daun berada di dasar laut, sedangkan bagian akarnya yang bercampur dengan tanah dan bebatuan berada di atas. Posisinya sampai menyembul ke permukaan laut.
Konon, sejak saat itu akar yang tercerabut bercampur dengan tanah dan bebatuan berubah wujud menjadi ghusong. Masyarakat Bawean percaya bahwa ghusong itu sering tampak di permukaan laut sebagai tumpukan karang yang terletak di sebelah timur Pulau Bawean.
Kemunculan ghusong di malam hari akan menjelma seperti bandar pelabuhan yang siap memberi sandaran kepada kapal-kapal yang lewat. Namun, ketika nakoda mengarahkan kemudinya menuju pelabuhan itu, ternyata kapalnya akan segera membentur tumpukan batu karang. Kapal itu akan kandas dan tidak dapat melanjutkan perjalanannya. Oleh karena itu sampai saat ini nakoda kapal yang melintasi laut di seputar Pulau Bawean akan sangat berhati-hati terlebih pada malam hari agar tidak terjebak oleh ghusong.
Sang Ratu Jin masih berdiri terpaku di seputar tempat tercerabutnya pohon sakti. Matanya masih menyorotkan sinar merah bara sebagai pertanda kemarahannya belum reda. Lubang di tanah itu menganga cukup luas dan dalam. Dipandanginya tempat itu. Tiba-tiba muncul rembesan dari sekeliling dinding tanah. Bekas akar tunggangnya yang panjang, menjadi sumber pusaran air yang deras. Semakin lama pancaran air yang menyembur dari dalam tanah itu semakin kencang. Akhirnya terbentuklah sebuah telaga yang luas.
Semburan air itu sampai ke bibir pantai. Apabila air laut surut, di kawasan pantai Desa Telukjati Dawang terlihat semburan air dari dalam tanah. Anehnya, rasa air itu tawar. Berbeda dengan air laut di sekitarnya yang terasa asin. Semburan air itu oleh masyarakat Desa Telukjati Dawang dan Desa Gelam disebut dengan mombhul.
Sejak saat itu sang Ratu Jin memberi nama tempat tersebut sebagai Telaga Kastoba. Hal ini mengingat bahwa pohon sakti yang tercerabut dari tanah itu bernama kastoba. Tempat tersebut sekarang menjadi objek wisata yang terkenal di Kecamatan Tambak dan Sangkapura, Pulau Bawean. Alamnya tampak indah. Dikelilingi rimbun pepohonan yang memanjakan mata.*
![]() |
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
![]() |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
![]() |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
![]() |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |