|
|
|
|
![]() |
Legenda Asal Muasal Nama Bukit Baruwadi Tanggal 24 Dec 2018 oleh Roro . |
Senja itu Limonu, pemuda yang tegap dan ceria baru kembali dari ladang. Sepanjang jalan yang dilaluinya didapati ada sekelompok anak-anak yang sedang bermain-main dengan riangnya. Di persimpangan jalan menuju ke sebuah bukit ia berpapasan dengan Pak Tua Patila. Dengan ramahnya Limonu menegur Pak Tua, “Eh! Pak Tua hendak kemana gerangan sudah sore begini, tampaknya Pak Tua mau cepat-cepat saja”. Pak Tua memperhatikan anak muda yang menyapanya kemudian bertanya, “Siapa, ya?” “Saya Limonu!” kata Limonu menjawab pertanyaan Pak Tua. “Oh engkau Limonu, saya sampai lupa, soalnya sudah tua. Baru pulang ya! Apa kabarmu anak muda?” Tanya Pak Tua sambil menjabat tangan Limonu. “Ah biasa-biasa saja Pak Tua. Eh…Pak Tua datang ya malam ini ke bentengku. Ada pertemuan dengan tokoh-tokoh silat dari Utara. Kebetulan Pak Hemuto mau menerapkan ilmu silat yang tinggi, sekaligus akan mengadakan upacara pengukuhan bagi mereka yang sudah tamat belajar. Pak Tua harus hadir dalam pertemuan itu sebagai penasehat”, kata Limonu dengan nada mengharap. “Yah, mudah-mudahan saja jika tidak ada aral melintang aku akan datang. Baiklah Nak, aku pergi mencari obat dahulu, batukku semakin parah saja akhir-akhir ini” jawab Pak Tua.
Limonu adalah murid kelompok pendahuluan, memiliki kemampuan yang sangat keras dan ia tidak merasa puas dengan apa yang diterimanya meskipun ia telah termasuk seorang pesilat mahir. Ilmu silat dasar sudah sejak lama diketahuinya. Oleh sebab itu ia ingin menghadiri pertemuan tokoh-tokoh persilatan untuk berguru. Apalagi kali ini tempat pertemuannya di benteng ayahnya. Cepat-cepat ia melangkah, untuk segera kembali ke rumah dan mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Dari jauh tampak olehnya kuda Pak Hemuto telah ditambatkan di dekat benteng yang berada tidak jauh dari rumahnya, bersama pimpinan cabang-cabang persilatan lainnya. Mereka mulai dating satu per satu. Sementara itu sebelum masuk ke rumahnya Limonu merapikan bajunya, sementara itu dilihatnya ibunya mulai menyiapkan makan malam.
“Mau kemana Nak? Makan dahulu sebelum pergi,” kata ibunya. “Itu…Bu, saya mau menghadiri pertemuan pimpinan-pimpinan cabang persilatan. Katanya Pak Hemuto mau melatih pemuda-pemuda yang telah mahir silat, untuk dijadikan pasukan berani mati. Boleh ya, Bu saya ingin pergi ke sana sekalian menjajagi kemampuan saya?” Tanya Limonu mohon ijin kepada ibunya.
“Itu kan orang-orangnya sudah terpilih. Kau tidak terpilih untuk ikut dengan mereka, sebaiknya kau harus berlatih mempermatang dahulu ilmumu di perkumpulanmu, setelah itu baru baru boleh ikut serta dikukuhkan di persilatan perkumpulan milik Pak Hemuto”, kata ibunya.
“Achh, bosan bu, kapan saya menjadi mahir, biarlah Bu, akan kucoba untuk memohon jadi murid Pak Hemuto”, kata Limonu memohon persetujuan ibunya. Setelah mendapatkan persetujuan ibunya pergilah Limonu ke tempat perkumpulan silat. Saat pertemuan itu berlangsung, masuklah Limonu tanpa ragu. Pemuda tegap itu menunduk, sambil membungkuk ia mencari tempat duduk di sebelah saudara seperguruannya. Ketika bertemu pandang dengan Hemuto, ia tunduk memberi hormat.
“Dari mana asalmu, dan apa maksudmu datang tanpa diundang kesini hai anak muda?” Tanya Pak Hemuto. “Hamba penduduk di sekitar benteng ini, hamba ingin berguru, hamba dengar tokoh-tokoh silat mau menerima murid yang tangguh dan bersungguh-sungguh belajar. Hamba bermaksud ingin bergabung, karena hamba sangat berkeinginan untuk diangkat menjadi murid bapak”, jawab pemuda itu.
Hemuto memandangi pemuda itu dengan penuh perhatian. Dalam hatinya ia mengagumi perawakan pemuda tanggung di sebelahnya itu. Ia juga sangat kagum saat keberanian pemuda itu yang tidak takut beradu pandangan dengan dirinya. Jarang ia menemukan pemuda yang seberani itu. Siapakah sebenarnya pemuda ini?. Berbagai pertanyaan berkacamuk dalam diri Hemuto tentang pemuda di dekatnya itu. Ia memang mengagumi pemuda itu dan bermaksud untuk mengambilnya sebagai murid demi memperkuat pasukan berani mati yang dibentuknya. Demikianlah pertemuan mereka pada awalnya hanya sampai pada sapa menyapa dan saling memandang. Kemudian pertemuan itu berlanjut, hingga akhirnya Hemuto bersedia menerima Limonu sebagai muridnya. Ia merasa kagum dengan pemuda itu, harapannya kedepan pemuda inilah yang akan menjadi penerus kepemimpinannya. Limonu yang setelah menjadi murid, makin giat berlatih dan kemajuan ilmunya pun kian hari kian bertambah sehingga mampu menyamai Hemuto, gurunya. Hemuto pun semakin kagum dengan keberanian dan kegigihan pemuda itu, dan karena ketekunannya Limonu pun telah dianggap sebagai murid kesayangannya.
Suatu hari di kediaman Limonu, saat itu malam telah larut, di luar bintang-bintang bertaburan di langit. Nampak seorang ibu sedang duduk mengunyah pinang yang sejak tadi digenggamnya. Rambut ibu itu telah hampir seluruhnya memutih, di dahinya nampak garis-garis ketuaan, tapi masih terlihat adanya bekas-bekas kecantikan di wajahnya yang keriput itu. Ibu ini teramat sangat kecintaannya kepada anaknya yang semata wayang, Limonu.
“Limonu……, kesini sebentar ada yang hendak ibu ceritakan kepadamu” demikian sapanya kepada sang anak membuka pembicaraan ketika saat itu mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing.
“Apakah itu penting untukku bu?” tanya Limonu yang saat itu sedang membersihkan keris peninggalan ayahnya. “Keris ini sudah lama tidak diminyaki, Bu” kata Limonu sambil memandang keris yang dipegangnya.
“Benar katamu Nak, itu satu-satunya keris peninggalan ayahmu. Ketika itu ayahmu ikut kakekmu bertarung dengan Mangindano di Pantai Bone. Simpanlah dulu keris itu pada tempatnya semula”, kata Ibunya.
“Baiklah Bu, aku akan segera kesana”, jawab Limonu sambil memasukan keris itu ke dalam sarungnya, diciumnya keris itu tiga kali kemudian disimpannya ke dalam kotak kayu jati yang berukir dan kemudian berjalan mendekat ke arah ibunya.
“Ada apa, Bu?” tanya Limonu setelah duduk dekat ibunya.
“Sudah mahir jurus silatmu, Nak?” tanya ibunya.
“Sudah, ada apa Bu, adakah sesuatu yang ingin ibu kemukakan kepadaku?” bertanya Limonu dengan penuh penasaran.
“Bagus, sudah saatnya rahasia ini kubuka kepadamu. Rasanya ibu sedang memikul beban yang sangat berat untuk tidak menyampaikan hal ini sebelum ibu menutup mata yang terakhir. Dahulu ayahmu seorang penguasa di daerah ini. Ketiga benteng yang ada, merupakan warisan keturunannya sebagai saksi peristiwa itu. Di tempat ini pula ibu pernah melarang ayahmu untuk tidak memperluas daerah kekuasaannya. Rupanya ayahmu lupa akan pesan Raja Wadipalapa II, bahwa kedatangan kami di sini bukan untuk memperluas daerah kekuasaan , tetapi menjadikan tanah dataran ini untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik dari pada di kerajaan Pinohu. Tetapi ayahmu keras kepala, ingin tetap menguasai daerah yang berada di bawah kekuasaan Hemuto. Ayahmu bermaksud ingin mendirikan sebuah kerajaan dan ingin menjadi raja yang mewilayahi dua dataran yaitu Dataran Barat dan Utara.
Kakakmu Pahu menjadi pimpinan Pasukan Berani Mati. Begitulah perjalanan hidup di kehidupan ayah dan kakakmu yamg telah dikuasai angan-angannya untuk mendirikan sebuah kerajaan. Namun Tuhan menghendaki lain dan dalam pertempuran ayahmu gugur, menyusul kemudian kakakmu sementara engkau masih dalam kandungan ibu” demikian sang ibu mengakhiri ceritanya.
“Siapa pembunuh ayah itu, Bu?” tanya Limonu. Ibunya menarik nafas panjang, berat rasanya ia menyampaikan hal itu. “Bu, katakanlah kepadaku siapa pembunuh ayahku sebenarnya? Aku akan menuntut balas atas kematiannya. Aku mampu bu menumpas mereka. Katakanlah ……..katakanlah siapa paembunuhnya!” demikian kata Limonu memaksa ibunya.
“Baiklah, pembunuh ayahmu adalah guru silatmu sendiri. Hem …..He..muto, pemimpin pasukannya?” jawab ibunya terbata-bata.
“Apa?? Pak Hemuto….?Guruku..???? Guruku yang begitu baik kepadaku, yang menurunkan ilmu silat kepadaku?” gumam Limonu tidak percaya. ”Ibu…., mengapa harus dia yang membunuh ayahku? Mengapa bukan orang lain?” demikian pertannyaan itu terus menerus terlontar dari mulutnya seolah-olah tidak mempercayai kenyataan yang menimpa dirinya. Di hatinya bertarung antara kewajiban membalas kematian ayahnya dan kewajiban berbakti kepada guru silatnya. Oh …., betapa sulitnya kehidupan ini. Lama Limonu termenung, sukar ia menetapkan kata hatinya sendiri.
“Apa rencanamu sekarang anakku?” tanya ibunya. Limonu tersentak, ditatapnya wajah ibunya dalam-dalam. Wajah yang sedang menunggu keputusan kata hatinya mulai imbalan beban yang dipikulnya selama ini.
Setelah lama bermenung akhirnya terlontar juga dari mulutnya kata-kata, “Baiklah apa boleh buat saya terpaksa harus menuntut balas dengan cara saya sendiri, bu!” jawab Limonu tanpa menatap wajah ibunya. “Masih adakah cara yang lain?” Tanya ibunya menawarkan. Limonu memperhatikan sinar mata ibunya kembali, mencari apa yang tersirat dibalik pertanyaannya. Dengan satu ketetapan hati ia menjawab, “Tidak ada”.”Saya akan melaksanakan kewajiban saya menuntut balas kematian ayah dan setelah itu saya ingin hidup damai dengan penduduk di sini sekaligus membela orang-orang yang lemah”. Ibunya menunduk. Pada wajah tua itu air mata nampak menetes perlahan. Dipandanginya wajah anak satu-satunya itu, dan dengan tenang ia berkata,”Baguslah, Nak. Perkuatlah pasukanmu dan rahasiakanlah rencanamu ini”.
Musim panen telah berlalu, sambil menunggu musim tanam berikutnya, perkumpulan silat aktif mengadakan latihan, memainkan jurus-jurus silat yang diterima dari pemimpin mereka. Pasukan Limonu yang dibentuk dengan dalih latihan semakin mempermahir jurus-jurus mereka untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi. Tampaknya perkumpulan silat ini mendapat perhatian anak-anak muda dari cabang-cabang persilatan yang lain. Limonu banyak menjelaskan kepada penduduk, bahwa pasukan yang dibentuknya tiada lain hanya untuk membela daerah ini dari gangguan dan serbuan bangsa asing, dan membela kepentingan rakyat yang lemah dari perbuatan sewenang-wenang sesamanya.
Malam itu selesai melatih jurus-jurus silat, Limonu memacu kudanya menuju rumah Pak Tua Patila. Banyak yang ingin ia bicarakan dengan orang tua yang sudah dianggapnya kakeknya sendiri. Didapatinya Pak Tua sedang duduk pada sehelai tikar sambil menggulung rokoknya.
“Nah..! justru kesempatan seperti ini yang sangat saya harapkan dari Pak Tua, mengajak saya mengobrol tentang masa lalu terutama tentang sepak terjang ayah dan kakakku. Ibuku sering menceritakan tentang keberanian dan kedigjayaan ayah sebagai penguasa daerah ini. Kata ibu beliau justru gugur karena keinginannya yang kuat untuk memperluas kekuasaannya untuk menguasai daerah Utara. “Apa benar seperti itu Pak Tua?” Tanya Limonu, seolah-olah ingin memancing cerita tersebut dari Pak Tua Patila. Pak Tua terkejut, namun dengan tenang ia dapat menguasai dirinya kembali, kemudian berkata. “Yang sudah lalu tidak perlu dikenang lagi. Adat laki-laki merupakan suatu kebanggaan apabila mati dalam pertempuran. Kalah atau menang merupakan suatu resiko dalam suatu pertarungan. Kita tidak perlu menyesali suatu keadaan yang sudah terjadi. Perjalanan hidup seseorang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Jika apa yang kita lakukan pada masa dahulu suatu kesalahan, maka masa sekarang ini kita wajib memperbaikinya” jawab Pak Tua menasehati Limonu. Kemudian dengan panjang lebar berceritalah Pak Tua Patila tentang perjuangan ayah dan kakaknya sehingga tanpa disadari malam semakin larut.
Setelah puas mendengarkan cerita Pak Tua Patila, maka pamitlah Limonu dan berkata, “Terima kasih Pak Tua atas segala nasihatmu. Lagalah rasa hati ini, semoga kemakmuran dan kedamaian akan senantiasa dilimpahkan Tuhan atas daerah kita ini. Berbahagia rasanya apabila kita bias menyaksikan rakyat daerah ini sejahtera hidupnya sehingga dapat membangun daerah ini dengan baik dan berhasil” demikian kata Limonu, dengan semangat patriotnya. Limonu kemudian pamitan dan Pak Tua Patila pun dengan bangga mengantar Limonu sampai ke teras rumahnya, sambil menepuk-nepuk punggung Limonu ia kemudian berkata, “Terima kasih anak muda atas kunjunganmu, kendalikan dirimu, jadilah anak yang baik yang berbakti untuk orang tua, bangsa, dan tanah airmu”.
Semakin hari pasukan berani mati dibawah pimpinan Limonu semakin terkenal di mana-mana. Tingkah laku mereka semakin menarik simpati masyarakatnya. Mereka ramah terhadap penduduk, suka menolong rakyat yang ditimpa musibah. Pasukan ini sangat berjasa ketika dataran Barat mengalami kerusakan akibat tertimpa bencana banjir, air danau Limboto pada waktu itu melimpah dan menggenangi daratan itu. Rumah-rumah rakyat tenggelam, penduduk hanya dapat menyelamatkan diri masing-masing dengan membawa bekal seperlunya saja, tanpa dapat menyelamatkan harta benda yang ludes diterpa banjir yang terkenal ganas itu. Sebagian penduduk diungsikan ke benteng, dan bukit-bukit sekitar benteng. Setelah berada di tempat itu mereka pun diperkenankan oleh Limonu untuk mendirikan rumah-rumah, sementara menunggu air surut dan daratan menjadi kering kembali. Bersama-sama penduduk pasukan ini membuka hutan baru untuk ditanami bahan makanan sebab menunggu daratan menjadi kering harus memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu penduduk seharusnya berupaya untuk membuka ladang yang baru untuk ditanami bahan makanan agar tidak kehabisan.
Dari tempat yang jauh Limonu memperhatikan pasukannya, ada yang sedang bekerja membantu penduduk, ada yang sedang berlatih. Dalam dirinya muncul suatu kebanggaan dan keyakinan yang besar akan kekuatan pasukannya, mereka terdiri dari pasukan yang memiliki fisik yang kuat, berbadan tegap, memiliki pertahanan dan kesetiaan yang cukup tinggi. Ia pun bermaksud untuk mengadakan pertemuan dengan cabang-cabang persilatan lainnya dari Utara untuk memperkenalkan pasukan itu. Limonu juga akan mengundang para guru silat dari perkumpulan-perkumpulan di daerah sekitar wilayahnya termasuk gurunya sendiri Hemuto untuk hadir dalam acara tersebut. Ibunya sendiri telah diberi tahunya tentang maksudnya itu, ia ingin mendengar sendiri penjelasan gurunya Hemuto tentang tragedy kematian ayah dan kakaknya.
“Aku bermaksud ingin mendengar penjelasan dari mulut guruku sendiri tentang tragedy kematian ayah dan kakakku. Setelah itu aku ingin menanti keputusannya secara jantan, Bu. Apabila guru menantang pembalasanku apa boleh buat, musuh pantang dicari. Tetapi kalau guru menyerahkan persoalan itu kepadaku dan menghendaki keputusanku, aku hanya mohon kepadanya untuk menyerahkan wilayah daratan sebelah Barat yang direbutnya dari ayah untuk dikembalikan kepadaku dan menjadi wilayah kekuasaanku”, kata Limonu kepada Ibunya.
“Apa maksudmu dengan menguasai daratan itu Nak?” Tanya Ibunya yang tidak mengerti jalan pikiran anaknya.
“Aku hanya menginginkan kehidupan penduduk di daerah itu bisa aman dan tenteram, sesuai pesanan Raja Wadipalapa II untuk kita menjaga dan mempertahankan daerah itu dari cengkeraman orang-orang jahat. Jadi bukan maksud hatiku untuk mendirikan kerajaan di daratan itu” jawab Limonu berapi-api.
“Baiklah, aku setujui rencanamu itu” demikian kata ibunya kemudian berjalan mengambil keris yang tergantung di dinding rumah mereka. “Pakailah keris peninggalan ini dan sebuah banggo milik ayahmu yang tergantung di benteng kakakmu Pahu. Pakailah semua peralatan perang ini. Apabila engkau memerlukan pelana kuda, di benteng kakakmu itu juga kusimpan beberapa buah pelana yang masih kuat dan utuh. Pergunakanlah barang-barang milik ayah dan kakakmu itu dengan sebaik-baiknya” kata ibunya selanjutnya, sambil mengusap pundak anaknya. Limonu pun tunduk menjamah tangan ibunya dan menciumnya. “ Aku akan menjaga dan mempergunakan dengan baik semua benda pusaka ini, Bu. Benda-benda ini seolah memberiku kekuatan untuk menantang segala kezaliman. Dan dengan benda-benda ini pula aku seolah-olah merasakan kehadiran ayah dan kakakku memberikan semangat yang besar dan membantuku dalam perjuangan ini Bu” demikian kata Limonu.
Malam itu benteng Otanaha, nampak terang benderang dengan sinar-sinar obor yang terpancang di sekitar ketiga benteng itu. Suasana di sekitar benteng-benteng itu nampak meriah seperti layaknya sebuah pesta perhelatan. Puluhan kuda tertambat di bawah pepohonan. Pasukan silat dari Utara dan Barat nampak mulai berdatangan dan selanjutnya duduk berkelompok di sekitar benteng. Kepulan asap lalahe, di sana sini nampak memutih laksana kabut pagi, menambah suasana semakin meriah saja. Berpuluh-puluh bambu yang berisi tuak tersedia di tempat itu. Sekedar untuk memanaskan badan, mereka bergantian minum pada ruas bambu dan gayung tempurung kelapa yang telah disiapkan.
Di dalam benteng induk itu, semua tokoh-tokoh silat dan para guru silat termasuk Hemuto telah hadir. Secara bergilir, tokoh-tokoh silat dari semua cabang perkumpulan telah memberikan laporan perkembangan murid-muridnya dan juga mengutarakan persoalan yang dihadapi selama mereka mendidik murid-muridnya.
Tiba giliran Limonu, pemuda itu tampak gugup. Namun ia segera menguasai keadaan, sambil memperbaiki cara duduknya, ia memandang ke arah guru yang dihormati dan dicintainya.
“Guruku yang baik, hamba mengajukan suatu pertanyaan yang jawabannya mohon guru sendiri yang menjelaskan” ucap Limonu dengan takzimnya.
“Baik, pertanyaan apakah itu Limonu?” Tanya gurunya. “Guru seandainya seorang ayah dan seorang kakak mati atau gugur dalam pertempuran merebut kekuasaan, apakah seorang anak meneruskan pertarungan itu, demi membalas kematian ayah dan saudaranya itu?” ucap Limonu dengan nada memohon.
Sejenak Hemuto tertegun. Sungguh di luar dugaan anak muda kesayangannya, muridnya yang pandai dan paling tekun akan mengajak menantangnya untuk menuntut balas atas kematian ayah dan kakaknya. Diam-diam diakuinya atas keberanian atas anak ini, dan prinsip hidup yang dianutnya. Dengan tenangnya untuk menutupi amarah yang telah menguasai kepalanya, Hemuto berkata, “Kalau aku katakan….ya! ….., apa rencanamu anak selanjutnya?” Tanya Hemuto kembali sambil memandang anak muda itu.
“Sudah saatnya guru,….untuk melaksanakan pertarungan itu kembali” jawab Limonu dengan tenangnya.
“Kurang ajar…..!, aku sama sekali tidak menduga kau akan selancang itu terhadap gurumu” jawab Hemuto sambil menghunus banggonya.“Sabar guru, jawaban guru adalah keputusan guru, hamba hanya menjalankan apa yang telah diputuskan. Jika guru berkenan, hamba ingin mengajukan dua pilihan untuk guru” kata Limonu yang masih tetap duduk menatap gurunya.
“Diam…! Apa maumu hah ….. bangkitlah, saat yang kau inginkan telah tiba, tunggu apa lagi” ujar Hemuto dengan bernafsu.
“Sabar guru, jika wujud manusia dikendalikan oleh akal, maka sebagai satria kita perlu mempertimbangkan manfaatnya, untung dan ruginya sebelum bertindak” jawab Limonu dengan tersenyum. Sidang dan anggota perkumpulan pada pertemuan itu menjadi tegang. Mereka tidak menduga sama sekali akan terjadi pertengkaran yang nantinya akan berakhir dengan pertempuran dan pertarungan.
Hemuto merasa kikuk, seolah-olah dirinya digurui oleh anak ingusan. Harga dirinya masih dipertahankannya, dan lewat suara yang serak dan dengan nada mengancam ia berkata, “Katakanlah cepat, apa yang hendak engkau ungkapkan. Ingat, pantang bagiku menolak bangkai. Ayo….,katakanlah….!!!” serunya dengan napas yang tersengal-sengal menahan amarah.
“Baik guru, sebagaimana telah saya katakan tadi, bahwa lanjutan pertarungan itu kuserahkan atas keputusan guru. Bertarung berarti kita perang antar pasukan, dan siapa yang menang dialah yang berkuasa atas kedua daratan ini, dan siapa yang kalah dia harus rela untuk dikuasai oleh yang menang. Itu gagasan pertama. Yang kedua, dengan tidak bertarung. Yang bertarung adalah akal sehat, dalam hal ini guru harus menyerahkan kembali wilayah kekuasaan ayahku untuk ku pimpin, kuajak penduduk untuk meningkatkan taraf hidupnya sesuai perintah dan pesan Raja Wadipalapa II kepada guru dan ayahku. Dengan penyerahan kekuasaan itu kurasa tertebuslah kematian ayah dan kakakku. Cukup jelas guru, dan sekali lagi keputusan tertinggi di tangan guru yang kuhormati. Sebagai murid aku hanya menjalankan kewajibanku, sekalipun guru akan menjadi musuhku” jawab Limonu dengan tegas.
Hemuto merasa malu diperlakukan demikian oleh anak muda itu. Amarahnya meluap-luap, matanya berapi-api, ingin rasanya menebas batang leher anak muda itu sampai putus. Dalam batinnya berkecamuk perasaan antara mempertahankan harga diri dan perasaan malu, kalah berdebat dengan Limonu. Tidak….!!! Aku masih punya harga diri. Menyerahkan daratan Barat kepada anak muda ini berarti aku kalah tanpa bertarung. Apa kata penduduk nanti dengan keunggulan yang lalu, yang telah mengalahkan ayah dan kakaknya. Nama baikku akan hilang sekejap mata. Tenaga ini masih mampu untuk bertahan dan menghabisi nyawa anak muda ini.
Dengan menahan perasaannya akhirnya terlontar juga kata-kata menantang dari mulut Hemuto sebagai jawabannya atas pertanyaan Limonu. “Limonu, kita harus bertarung karena kita ditakdirkan sebagai laki-laki, itu pilihanku” jawab Hemuto.
“Sabar guru, kita bertarung yang adil dan seimbang. Karena ukuran kita adalah kekuatan, bukan pengkhianatan. Hitunglah berapa banyak pasukan guru, agar pertarungan kita seimbang” kata Limonu sambil menghunus pedangnya.
Dalam sekejap mata arena musyawarah beralih menjadi arena pertempuran dan pertarungan yang hebat. Mayat-mayat bergelimpangan. Di dalam dan di luar benteng terdengar denting banggo dan pedang yang saling beradu.
Limonu pemuda tangguh dan mahir silat telah banyak merobohkan lawannya. Demikian pula pasukannya, dibantu dengan penduduk yang simpati kepada jasa-jasanya. Dalam pertempuran itu, Hemuto dan pasukannya terdesak dan terpaksa melarikan diri, namun di pihaknya banyak tokoh silat bagian Utara yang cedera dan menemui ajalnya. Ketiga benteng tersebut seolah-olah menjadi saksi bisu adanya arena pertarungan perang saudara yang berlangsung di tempat itu, yang memakan korban jiwa demikian banyaknya.
Ketika pertempuran itu berakhir, fajar telah menyingsing. Mulai saat itu daratan sebelah Barat dikuasai oleh Limonu. Penduduk dapat merasa aman di bawah kekuasaannya. Tidak heran kedigjayaan pemuda itu semakin terkenal di kalangan dua daratan yang dikuasainya. Hal ini menambah panas hati Hemuto, karena tragedy Benteng Otanaha membuat penduduk kurang menghargainya lagi.
Penyerangan kedua kalinya kembali terjadi. Semua siasat dijalankan, bahkan mencegat Limonu di atas bukit kapur, namun pemuda itu dengan tangkas dan gesitnya berhasil menghindari dan sekaligus menghalau mereka. Jika pada suatu saat Hemuto mengepung benteng-benteng itu dari segala penjuru, disaat itu pula Limonu menggulingkan batu-batu besar dari puncak bukit yang disertai lemparan batu penduduk bersamanya. Kejadian ini dalam bahasa Gorontalo disebut, “mo dembenga lo botu”. Seruan penduduk ketika mengusir pasukan Hemuto saat perang itu berlangsung dalam bahasa daerah adalah, “Dembenga………..!!! Dembenga timongoliyo………….!!!” atau “Lempar…..!!! Lempari mereka……..!!!”.
Pasukan Hemuto banyak yang menemui ajalnya. Yang sempat lari dikejar-kejar penduduk sampai ke Utara. Proses perlawanan dengan pelemparan batu-batu ini menjadi nama tempat (desa), atau bukit-bukit berandanya benteng, yang sampai saat ini disebut Dembe (Dembe I) yang berasal dari kata Dembenga (lempar). Konon kabarnya pengejaran dan pelemparan terhadap pasukan Hemuto berlangsung terus hingga berakhir di Utara, sehingga desa tempat kejadian berakhirnya lemparan itu disebut pula dengan sebutan/nama Dembe (Dembe II). Bankai yang menumpuk di salah satu daratan, yang agak rendah dekat pantai danau Limboto telah membukit dan bukit itu disebut “BUKIT BARUWADI”
![]() |
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
![]() |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
![]() |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
![]() |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |