Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Kalimantan Timur Kutai Kartanegara
Lahirnya Aji Batara Agung Dewa Sakti (Raja Kutai Kartanegara Pertama)
- 20 September 2012
Tersebutlah didalam hikayat Kutai, bahwasanya Petinggi Jaitan Layar dengan isterinya tinggal di sebuah gunung, di tempat mana mereka membuka sebuah kebun untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Puluhan tahun mereka hidup sebagai suami isteri, namun Dewa di khayangan belum juga menganugerahkan seorang anak pun sebagai penyambung dari keturunan mereka untuk memerintah negeri Jaitan Layar ini. Sering Petinggi Jaitan Layar beserta isterinya bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya, memohon kepada Dewata untuk mendapatkan anak.

Pada suatu malam ketika mereka sedang tertidur dengan nyenyaknya, terdengar suara diluar rumah yang begitu gegap gempita hingga menyentakkan mereka dari tidur di peraduan. Mereka pun bangkit membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang terjadi diluar rumah.

Nampaklah oleh mereka sebuah batu besar yang melayang dari udara menghempas ke tanah. Suasana malam yang tadinya gelap gulita kini menjadi terang benderang seakan-akan bulan purnama sedang memancar.

Terkejut melihat batu dan alam yang terang benderang itu, Petinggi beserta isterinya segera masuk kembali kedalam rumah serta menguncinya dari dalam. Dari dalam rumah mereka mendengar suara yang menyerunya.
"Sambut mati babu, tiada sambut mati mama!"
Sampai tiga kali suara ini didengar oleh Petinggi Jaitan Layar dan akhirnya dengan rasa cemas dijawabnya juga, "Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus!"
"Sambut mati babu, tiada disambut mati mama." kembali suara itu terdengar.
"Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus.'' jawab si Petinggi.
Dan terdengarlah gelak ketawa dari luar rumah sambil berkata, "Barulah ada jawaban dari tutur kita". Mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat gembira sekali, karena tutur katanya mendapatkan jawaban.

Petinggi Jaitan Layar pun tidak merasa takut lagi dan kemudian keluar rumah bersama isterinya mendatangi batu itu yang ternyata adalah sebuah raga mas. Raga mas itu lalu dibuka dan betapa terkejutnya Petinggi beserta isterinya tatkala melihat didalamnya terdapat seorang bayi yang diselimuti dengan lampin berwama kuning. Tangannya sebelah memegang sebuah telur ayam, sedang tangan lainnya memegang keris dari emas, keris mana merupakan kalang kepalanya.

Pada saat itu menjelmalah tujuh orang Dewa yang telah menjatuhkan raga mas itu. Mereka mendekati Petinggi Jaitan Layar dengan muka yang gembira memberi salam dan salah seorang dari Dewa itu menyapa Petinggi, "Berterima kasihlah kepada Dewata, karena doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak. Meskipun tidak melalui rahim isterimu. Bayi ini adalah turunan dewa-dewa dari khayangan, karena itu jangan sia-siakan untuk memeliharanya, tapi jangan dipelihara seperti anak manusia biasa."

Dewa juga berpesan agar bayi keturunan dewa ini jangan diletakkan sembarangan diatas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam bayi ini harus dipangku berganti-ganti oleh kaum kerabat Petinggi.
"Bilamana engkau ingin memandikan anak ini, maka janganlah dengan air biasa, akan tetapi dengan air yang diberi bunga wangi."

"Dan bilamana anakmu sudah besar, janganlah ia menginjak tanah, setelah diadakan erau (pesta), dimana pada waktu itu kaki anakmu ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan pada kepala manusia yang sudah mati. Selain itu kaki anakmu ini diinjakkan pula pada kepala kerbau hidup dan kepala kerbau mati."

"Demikian pula bilamana anak ini untuk pertama kalinya ingin mandi ke tepian, maka hendaklah engkau adakan terlebih dahulu upacara erau (pesta) sebagaimana upacara pada tijak tanah."

Setelah pesan-pesan tersebut disampaikan oleh salah seorang Dewa itu maka ketujuh Dewa itu naik kembali ke langit. Petinggi dan isterinya dengan penuh rasa bahagia membawa bayi itu masuk ke rumahnya. Bayi ini bercahaya laksana bulan purnama, wajahnya indah tiada bandingnya, siapa memandang akan bangkit kasih sayang terhadapnya.

Akan tetapi isteri Petinggi susah hatinya, karena payudaranya tidak dapat meneteskan air susu. Apa yang bisa diharapkan lagi dari seorang perempuan yang sudah tua untuk bisa menyusui anaknya?

Akhimya Petinggi Jaitan Layar membakar dupa dan setanggi serta menghambur beras kuning, sambil mereka memanjatkan do'a kepada para Dewa, agar memberikan kurnia kepada isteri Petinggi supaya teteknya mengandung air susu yang harum baunya. Setelah selesai berdo'a, terdengarlah suara dari langit, "Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah tetekmu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya."

Mendengar perintah ini, isteri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap teteknya sebelah kanan dan pada waktu sampai tiga kali dia berbuat demikian, tiba-tiba mencuratlah dengan derasnya air susu dengan baunya yang sangat harum seperti bau ambar dan kesturi. Maka bayi itupun mulai dapat diberikan air susu dari tetek isteri Petinggi Jaitan Layar itu sendiri. Kedua laki isteri itu sangat bahagia melihat bagaimana anaknya keturunan dari Dewa, mulai dapat menyusu.

Sesudah tiga hari tiga malam, tanggallah tali pusat dari bayi itu. Maka semua penduduk Jaitan Layar pun bergembira. Meriam "Sapu Jagat" ditembakkan sebanyak tujuh kali. Selama empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku silih berganti dan dipelihara dengan hati-hati dan secermat-cermatnya. Selama itu juga telor yang sudah menetas menjadi seekor ayam jago makin besar dengan suara kokoknya yang lantang.

Sesuai dengan petunjuk para Dewata, maka anak tersebut dinamakan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Pada waktu Batara Agung berumur lima tahun maka sukarlah dia ditahan untuk bermain-main didalam rumah saja. Ingin dia bermain-main di halaman, di alam bebas dimana dia dapat berlari-larian, berkejar-kejaran dan mandi-mandi di tepian.

Maka Petinggi Jaitan Layarpun mempersiapkan upacara tijak tanah(menginjak tanah) dan upacara erau mengantarkan sang anak mandi ke tepian untuk pertama kalinya. Empat puluh hari empat puluh malam diadakan pesta, dimana disediakan makanan dan minuman untuk penduduk. Gamelan Gajah Perwata ditabuh siang malam, membuat suasana bertambah meriah. Berbagai ragam permainan ketangkasan dipertunjukkan silih berganti.

Sesudah erau dilaksanakan empat puluh hari empat puluh malam, maka bermacam binatang baik betina, maupun jantan disembelih. Disamping itu juga Petinggi Jaitan Layar tidak melupakan pesan dari Dewa yaitu agar membunuh beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan untuk diinjak kepalanya oleh Batara Agung pada upacara "tijak tanah".

Kepala-kepala binatang dan manusia itu diselimuti dengan kain kuning. Aji Batara Agung Dewa Sakti diarak dan kemudian kakinya dipijakkan kepada kepala-kepala binatang dan manusia itu.

Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Ditepi sungai Aji Batara Agung dimandikan, dimana kakinya dipijakkan berturut-turut pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda.

Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak membawa kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, dimana dia diberi pakaian kebesaran. Kemudian dia dibawa ke halaman kembali dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.

Tiba-tiba guntur berbunyi dengan dahsyatnya menggoncangkan bumi dan hujan panas pun turun merintik. Tetapi keadaaan demikian tidak berlangsung lama, karena kemudian cahaya cerah kembali datang menimpa alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi.

Penduduk Jaitan Layar kemudian membuka hamparan dan kasur agung, dimana Aji Batara Agung Dewa Sakti disuruh berbaring. Upacara selanjutnya ialah gigi Aji Batara Agung diasah kemudian disuruh makan sirih.

Sesudah upacara selesai, maka pesta pun dimulai dengan mengadakan makan dan minum kepada penduduk, bermacam-macam permainan dipertunjukkan, lelaki perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlaku selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.

Bilamana selesai keramaian ini, maka segala bekas balai-balai yang digunakan untuk pesta ini, dibagi-bagikan oleh Petinggi Jaitan Layar kepada penduduk yang melarat. Demikian juga semua hiasan-hiasan rumah oleh Nyai Jaitan Layar dibagi-bagikan kepada rakyat.

Para undangan dari negeri-negeri dan dusun yang terdekat dengan selesainya pesta ini, semua pamit kepada Petinggi dan kepada Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka semua memuji-muji Aji Batara Agung dengan kata-kata "Tiada siapapun yang dapat membandingkannya, baik mengenai rupanya maupun mengenai wibawanya. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan."

Selesai pesta ini, maka kehidupan di negeri Jahitan Layar berjalan seperti biasa kembali, masing2 penduduk melaksanakan pekerjaan mencari nafkah sehari-hari dengan aman dan sentosa. Sementara itu Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa, makin gagah, tampan, berwibawa dan kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara.

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline