Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Banten Banten
LEGENDA MASJID TERATE UDIK
- 19 Juli 2018
Masjid Terate Udik  adalah nama sebuah masjid yang terletak di Kampung Terate Udik, Desa Masigit, Kecamatan Cilegon, Kota Cilegon, Provinsi Banten. Masjid ini termasuk salah satu tempat ibadah umat Islam yang dikeramatkan oleh masyarakat Cilegon dan sekitarnya. Menurut cerita, bangunan masjid ini tidak bisa diabadikan oleh kamera ataupun sejenisnya karena hasilnya tidak pernah jadi atau tidak jelas (blur) atau bahkan hanya hitam saja.
 
Ilustrasi Masjid Terate Udik, Banten, Indonesia
 
Di Kampung Terate Udik, Provinsi Banten, terdapat sebuah mushola kecil yang dibangun oleh penduduk setempat secara bergotong-royong. Rumah ibadah tersebut didirikan di atas tanah wakaf milik Ki Ahmadyang merupakan sesepuh desa sekaligus ulama yang terkenal kaya. Selain untuk tempat ibadah, mushola tersebut kerap digunakan sebagai tempat bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut masyarakat. Ki Ahmad selalu menjadi penengah di antara pihak-pihak yang berselisih.
 
Tidak lama setelah mushola dibangun, Ki Ahmad wafat. Seumur hidupnya, ulama yang kharismatik itu tidak pernah menikah. Ia hanya meninggalkan harta kekayaan berupa tanah kosong yang terletak di belakang mushola. Tanah kosong itu tidak ada yang mengurusnya sehingga menjadi rebutan oleh dua orang anak angkat Ki Ahmad. Kedua orang tersebut adalah Pak Sidik dan Pak Abu Bakar yang masing-masing mengakui kepemilikan tanah kosong warisan Ki Ahmad itu.
 
Mengetahui adanya perselisihan di antara kedua pihak tersebut, salah seorang warga yang bernama Pak Rasyid melapor kepada Ustadz Wahid, seorang tokoh agama sekaligus pengurus mushola yang menggantikan Ki Ahmad. Setiba di depan mushola, Pak Ahmad melihat Ustadz Wahid sedang membersihkan lantai mushola.
  • “Assalamu’alaim, Ustadz Wahid!” salam Pak Rasyid.
  • “Wa’alaikumsalam” jawab Ustadz Wahid, 
  • “Eeeh, Pak Rasyid. Ada apa gerangan pagi-pagi begini sudah datang kemari?”
Mendengar pertanyaan itu, Pak Rasyid pun menceritakan peristiwa yang terjadi di rumah tetangganya.
“Begini, Ustadz. Tadi, ketika saya hendak berangkat ke sawah,  tetangga saya Pak Sidik dan Pak Abu Bakar sedang bertengkar. Mereka sedang memperebutkan tanah kosong milik alhmarhum Ki Ahmad yang ada di belakang mushola ini,” jelas Pak Rasyid.
Mendengar penjelasan tersebut, Ustadz Wahid meminta kepada Pak Sidik dan Pak Abu Bakar serta seluruh warga masyarakat untuk segera berkumpul di Balai Desa. Saat semuanya berkumpul, Ustadz Wahid pun memanggil kedua belah pihak yang berselisih untuk maju ke depan.
  • “Pak Sidik dan Pak Abu Bakar, saya ingin kalian untuk berkata sejujur-jujurnya,” ujar Ustadz Wahid.
  • “Baik, Ustadz,” jawab keduanya serentak.
Pak Sidik dan Pak Abu Bakar pun menyampaikan pengakuan masing-masing. Namun, keduanya tetap mengakui bahwa tanah itu milik mereka. Karena keduanya tidak ada yang mau mengalah, akhirnya Ustadz Wahid meminta kepada keduanya agar tanah itu dibagi dua saja
  • “Ah, tidak bisa begitu, Ustadz. Tanah itu jelas-jelas adalah milik saya,” sanggah Pak Sidik.
  • “Hai, Pak Abu Bakar! Kamu jangan sembarangan mengaku seperti itu. Almarhum Ki Ahmad telah mewasiatkan tanah itu kepada saya,” teriak Pak Abu Bakar tidak terima.
Suasana sidang semakin panas. Kedua pihak yang berselisih tetap bersikeras pada pendirian masing-masing. Bahkan, mereka hampir saja berkelahi di hadapan seluruh warga.  Untung Ustadz Wahid yang bijaksana itu dapat menenangkan suasana sehingga perkelahian tersebut dapat dihindarkan. Sampai larut malam, perkara tersebut belum juga selesai. Akhirnya, Ustadz Wahid memutuskan agar perkara tersebut diselesaikan besok pagi di mushola. Kedua belah pihak diminta untuk menyiapkan masing-masing satu saksi.
 
Keesokan harinya, warga kembali berkumpul di mushola untuk menyaksikan penyelesaian perkara tanah tersebut. Pak Sidik dan Pak Abu Bakar pun datang bersama saksi mereka masing-masing. Saksi dari pihak Pak Sidik bernama Pak Rahmat, sedangkan saksi dari pihak Pak Abu Bakar bernama Pak Randik. Setelah semuanya siap, kedua saksi dari kedua belah pihak tersebut diminta maju ke depan untuk disumpah di hadapan kitab suci Alquran. Saksi yang mendapat giliran pertama untuk disumpah adalah Pak Rahmat.
“Saya bersumpah di depan Alquran, demi Allah bahwa tanah yang ada di belakang mushola ini adalah milik Pak Sidik. Saya telah mendengar dan menyaksikan sendiri saat Ki Ahmad menyampaikan wasiatnya kepada Pak Sidik sebelum beliau meninggal,” ucap Pak Rahmat.
Mendengar sumpah Pak Rahmat itu, Pak Randik pun langsung membantahnya.
“Hai Pak Rahmat, apa bukti dari penyataanmu itu?”
Saksi dari Pak Sidik itu tidak bisa memberikan bukti yang nyata. Sementara itu, Pak Randik sebagai saksi dari Pak Abu Bakar, selain bersumpah di depan Alquran, ia juga dapat menunjukkan bukti tertulis berupa surat wasiat untuk menguatkan sumpahnya di hadapan Ustadz Wahid.
“Maaf, Ustadz. Ini surat wasiat dari Ki Ahmad yang ditujukan kepada Pak Abu Bakar. Surat ini kami dapatkan dari orang yang biasa membersihkan kamar Ki Ahmad. Orang itu menemukannya di bawah kasur tempat tidur beliau sehari setelah beliau meninggal,” ungkap Pak Randik seraya menyerahkan surat wasiat itu kepada Ustadz Wahid.
Dengan saksi dan bukti yang meyakinkan, akhirnya Pak Abu Bakar berhasil memenangkan perkara tanah tersebut. Sidang yang telah berlangsung alot itu pun dianggap selesai. Pak Abu Bakar bersama para pendukungnya pulang ke rumah dengan perasaan gembira. Sementara itu, Pak Sidik dan para pendukungnya meninggalkan mushola dengan perasaan kecewa.
 
Pada malam harinya, terdengar kabar bahwa Pak Randik yang merupakan saksi Pak Abu Bakar tiba-tiba sakit, terserang penyakit yang sulit disembuhkan. Selang beberapa hari kemudian, saksi Pak Abu Bakar itu pun meninggal dunia. Rupanya, Pak Randik terkena oleh sumpahnya sendiri. Peristiwa itu membuat Pak Abu Bakar ketakutan karena merasa bersalah telah menyuruh Pak Randik untuk bersumpah palsu di hadapan seluruh warga desa. Ia pun akhirnya mengaku bahwa dirinya telah berdusta dan dan membuat surat wasiat palsu. Namun, nasi telah menjadi bubur. Akibat perbuatannya, Pak Abu Bakar pun mendapat ganjaran yang setimpal. 
 
Pada hari berikutnya, Pak Abu Bakar tewas bersama rumahnya yang habis dilalap api. Untung istri dan anak-anaknya dapat diselamatkan. Penduduk desa tersebut hanya dapat mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Pak Sidik pun merelakan tanah kosong di belakang mushola diwakafkan untuk kepentingan umum. Sejak perstiwa tersebut, tidak pernah lagi terdengar adanya perselisihan perkara tanah di kalangan masyarakat Kampung Terate Udik. Namun, beberapa tahun kemudian, masalah-masalah lain banyak yang bermunculan seperti pencurian dan perampokan.
 
Suatu malam, penduduk desa itu gempar karerna rumah salah seorang warga yang bernama Bu Fatimahbaru saja dirampok. Seluruh perhiasannya dibawa kabur oleh si perampok. Mendengar kabar tersebut, Ustadz Wahid segera ke rumah Bu Fatimah. Setibanya di sana, ternyata sudah banyak warga yang berkumpul. Ustadz pun menenangkan Bu Fatimah yang menangis tersedu-sedu.
“Tenangkanlah hati, Ibu! Saya dan warga berjanji akan menangkap perampok itu,” hibur Ustadz Wahid.
Keesokan harinya, ketika Ustadz Wahid hendak menyelidiki kasus perampokan itu, seseorang dari desa lain datang menemuinya. Orang yang belum dikenalnya itu bernama Pak Adi Kusuma dan istrinya Ibu Asri Kusumadewi Rupanya, Pak Fikar adalah warga baru di desa itu dan bermaksud mengajak Ustadz Wahid untuk menghadiri acara syukuran di rumahnya. Ustadz Wahid bersama beberapa warga lainnya pun mengiyakan undangan itu.
 
Semua undangan merasa senang karena mereka disuguhi berbagai macam makanan enak dan lezat, kecuali Pak Umar, suami Bu Fatimah, yang tampak gelisah karena ia melihat cincin batunya yang hilang tadi malam sedang dipakai Pak Adi Kusuma. Begitu pula, cincin emas milik istrinya melingkar di jari manis istri Pak Adi Kusuma, Ibu Asri Kusumadewi.
 
Setelah acara syukuran itu selesai, Pak Umar menemui Ustadz Wahid. Ia kemudian menceritakan semua yang baru saja dilihatnya di rumah Pak Fikar. Namun, Ustadz Wahid tidak menanggapi laporan Pak Umar. Ia beranggapan bahwa perhiasan yang dikenakan Pak Adi Kusuma dan istrinya Ibu Asri Kusumadewi tersebut hanya kebetulan saja sama dengan milik Pak Umar. Pak Umar tetap kukuh menyatakan bahwa perhiasan yang dipakai Pak Adi Kusuma dan istrinya Ibu Asri Kusumadewi itu adalah miliknya karena cincin batu itu adalah warisan dari ayahnya, sedangkan cincin emas itu ia pesan khusus untuk istrinya. Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya Ustadz Wahid memutuskan untuk menemui Pak Adi Kusuma dan istrinya Ibu Asri Kusumadewi di rumahnya dan menanyakan mengenai perhiasan yang mereka kenakan.
 
Oleh karena Pak Adi Kusuma dan istrinya Ibu Asri Kusumadewi tetap mengakui bahwa perhiasan tersebut adalah milik mereka, akhirnya Ustadz Wahid mengajak Pak Fikar untuk bersumpah di mushola pada esok harinya. Dengan disaksikan oleh seluruh warga, Pak Adi Kusuma dan istrinya Ibu Asri Kusumadewi pun menyatakan sumpahnya.
“Saya bersumpah, demi Allah bahwa saya tidak pernah mencuri barang-barang di rumah Pak Umar,” ucap Pak Adi Kusuma dan istrinya Ibu Asri Kusumadewi dengan sungguh-sungguh.
Beberapa hari kemudian, terdengar kabar bahwa Pak Adi Kusuma dan istrinya Ibu Asri Kusumadewi terserang penyakit yang aneh. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bisul-bisul yang menjijikkan dan berbau amis. Selain itu, mereka juga terkena penyakit lumpuh. Beberapa hari kemudian, Pak Adi Kusuma dan istrinya Ibu Asri Kusumadewi pun wafat karena termakan sumpah palsunya.
 
Sejak itu, penduduk Kampung Terate Udik menganggap bahwa mushola tersebut merupakan tempat bersumpah yang keramat. Kabar itu tersebar hingga ke desa-desa lain sehingga setiap warga desa yang sedang menghadapi masalah, mereka akan meminta bantuan Ustadz Wahid untuk menyelesaikan perkara dengan cara bersumpah di mushola itu. Lama-kelamaan, bangunan mushola itu diperbesar menjadi masjid.
 
Hingga kini, Masjid Terate Udik masih dapat kita saksikan di Kampung Terate Udik, Cilegon, Banten. Ajaibnya, masjid yang keramat ini tidak dapat diabadikan oleh kamera atau pun sejenisnya karena hasilnya tidak pernah jadi.
 
Sumber: http://agathanicole.blogspot.com/2017/10/legenda-masjid-terate-udik.html

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline