Tolitoli adalah salah satu nama kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Di kabupaten yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah berkualitas ini terdapat sebuah batu yang melegenda di kalangan masyarakat setempat. Alkisah, batu tersebut merupakan jelmaan sebuah perahu bagga (perahu layar), sehingga disebut Batu Bagga.
- “Anakku! Ayah berharap jangan sampai cuaca buruk seperti ini membuatmu patah semangat untuk pergi melaut, karena hanya pekerjaan inilah yang menjadi tumpuan hidup kita.”
- “Iya, Ayah! Saya mengerti,” jawab Impalak sambil mengangguk-anggukkan kepala.
- “Hei, Impalak! Kenapa wajahmu murung seperti itu” Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?“ tanya Intobu kepada anaknya.
- “Tidak apa-apa, Ayah!” jawab Impalak dengan nada lemah.
- “Bicaralah, Nak! Tidak usah kamu pendam dalam hati!” desak ayahnya.
- “Maafkan saya, Ayah! Sebenarnya saya sudah jenuh menjadi nelayan. Walaupun setiap hari kita ke laut, tapi hasil yang kita peroleh hanya cukup untuk dimakan,” keluh Impalak kepada ayahnya.
- “Jika Ayah mengizinkan, Impalak ingin pergi merantau ke negeri lain untuk mengubah nasib kita,” sambung Impalak.
- “Bagaimana dengan nasib Ayahmu ini, Nak” Umur Ayah sudah semakin tua. Jika kamu pergi, tidak ada lagi yang membantu Ayah untuk mendayung sampan,” kata Intobu mengiba kepada anaknya.
- “Saya mengerti, Ayah! Tapi, saya sekarang sudah dewasa. Sudah saatnya saya membahagiakan Ayah.
- “Baiklah, Nak! Meskipun dengan berat hati, Ayah mengizinkanmu pergi merantau. Tetapi, kamu jangan lupakan Ayah dan cepatlah kembali! Ayah khawatir tidak akan bertemu kamu lagi, apalagi umur Ayah sudah semakin tua,” kata Intobu dengan perasaan cemas.
- “Baik, Ayah! Saya akan selalu mengingat pesan Ayah,” jawab Impalak dengan perasaan gembira.
- “Permisi, Tuan! Bolehkah saya ikut berlayar bersama Tuan”“ tanya Impalak tanpa rasa segan.
- “Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa hendak ikut berlayar bersamaku”“ tanya pemilik perahu.
- “Saya Impalak, Tuan! Saya ingin pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga saya,” jawab Impalak.
- “Memang apa pekerjaannya orang tuamu”“ tanya pemilik perahu.
- “Ayah saya seorang nelayan biasa, sedangkan ibu saya sudah meninggal saat saya masih kecil. Setiap hari saya membantu ayah memancing ikan di laut. Akan tetapi, hasilnya hanya cukup untuk di makan sehari-hari. Makanya saya ingin pergi merantau untuk mencari nafkah yang lebih baik,” jelas Impalak.
- “Kamu memang anak yang berbakti, Impalak! Besok pagi kita akan berlayar bersama. Tapi, apakah kamu sudah meminta izin kepada ayahmu”“ tanya pemilik perahu.
- “Saya sudah mendapat izin dari ayah saya, Tuan!” jawab Impalak.
- “Baiklah, kalau begitu! Saya tunggu kamu besok pagi,” kata pemilik perahu itu.
- “Terima kasih, Tuan!” ucap Impalak seraya berpamitan pulang.
- “Ayah, saya sudah menghadap kepada pemilik perahu bagga. Dia bersedia mengajak saya berlayar bersamanya,” lapor Impalak kepada ayahnya dengan perasaan gembira.
- “Ya, syukurlah kalau begitu, Nak! Nanti malam siapkanlah segala keperluan yang akan kamu bawa!” seru ayahnya sambil tersenyum pilu.
- “Impalak...! Ayo cepat...! Perahunya sebentar lagi berangkat...”
- “Baik, Tuan!” jawab Impalak seraya berpamitan kepada ayahnya.
- “Ayah! Saya harus berangkat sekarang, jaga diri Ayah baik-baik!”
- “Iya, Nak! Jangan lupakan Ayah, Nak!”
- “Baik, Ayah! Saya akan selalu ingat pesan Ayah,” kata Impalak sambil mencium tangan ayahnya.
- “Impalak...! Ayo kita berangkat!” terdengar lagi teriakan pemilik perahu memanggil Impalak.
- “Ayah, saya berangkat dulu,” jawab Impalak kemudian bergegas menuju ke perahu bagga.
- “Kalau sudah berhasil cepat pulang ya, Nak!” teriak sang Ayah sambil melayangkan pandangannya ke arah Impalak yang sedang berlari menuju ke perahu bagga.
- “Kenapa jantungku berdebar-debar begini”
- “Jangan-jangan anakku ada di perahu bagga itu” Ah, tidak mungkin. Impalak benar-benar sudah melupakan aku,” ucap ayah Impalak berusaha menepis pikiran-pikiran itu.
- “Impalaaak....Anakku! Ini aku ayahmu!”
- “Bang! Sepertinya orang itu memanggil nama Abang. Apakah dia itu ayah Abang” tanya istrinya setelah mendengar teriakan lelaki tua itu.
- “Bukan! Abang tidak mempunyai ayah sejelek lelaki tua itu,” jawab Impalak dengan kesal sambil memalingkan wajahnya.
- “Tapi, bukankah orang tua itu mengaku kalau Abang adalah anaknya”“ tanya istri Impalak.
- “Dia itu hanya mengada-ada,” jawab Impalak dengan ketus.
- “Sudahlah, Dik! Tidak usah hiraukan orang gila itu!” tambah Impalak.
- “Toloonng... ! Tolooong... aku Impalak!” teriak ayah Impalak meminta tolong.
- “Ha..ha..ha...!!! Rasakanlah itu orang gila!”
- “Ya Tuhan! Hukumlah anak Hamba yang durhaka itu! Kutuklah perahu bagga yang ditumpanginya itu menjadi batu!”
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja